Keyakinan dalam Buddhisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Faredoka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Faredoka (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Baris 22:
{{Buddhisme|dhamma}}
 
Dalam [[agama Buddha]], '''keyakinan''' atau '''iman''' ({{lang-pi|'''saddhā'''|italic=yes}}, {{lang-sa|'''śraddhā'''|italic=yes}}) mengacu kepada komitmen untuk mempraktikkan ajaran [[Buddha Gautama|Buddha]] dan percaya kepada para makhluk tercerahkan atau mereka yang dianggap telah maju dalam pelatihan diri, seperti para [[Buddha]] atau [[bodhisatwa]] (mereka yang beraspirasi untuk mencapai Buddha). Umat Buddha pada umumnya mengakui beberapa objek keyakinan, tetapi beberapa umataliran Buddha[[Buddhisme]] secara khusus membaktikan diri kepada tokoh tertentu, seperti Buddha tertentu. Keyakinan tak hanya berupa bakti kepadaterhadap seseorangsuatu tokoh, tetapi juga terkait dengan konsep-konsep dalam ajaran Buddha seperti efikasi [[karma dalam agama Buddha|karma]], buah karma, dan kemungkinan mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]].
 
Keyakinan atau iman dalam agama [[Sejarah agama Buddha#Tahap awal agama Buddha|Buddha awal]] dan aliran [[Theravāda]] dipusatkan pada lima keyakinan utama:
Keyakinan dalam agama [[Sejarah agama Buddha#Tahap awal agama Buddha|Buddha awal]] dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Tiga Permata]], yang meliputi Buddha; ajaran-Nya ([[Dharma (Buddhisme)|Dhamma]]); dan komunitas para pengikut yang dianggap maju secara spiritual atau komunitas rahib yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|Kecerahan]] ([[Saṅgha]]). Seorang umat yang taat disebut [[upasaka dan Upasika|''upāsaka'' atau ''upāsika'']], dan ini adalah status yang tidak memerlukan inisiasi resmi. Agama Buddha awal menjunjung tinggi pembuktian yang dilakukan secara pribadi atas kebenaran spiritual, sementara kitab suci, nalar, atau keyakinan kepada seorang guru tidak menjadi sumber otoritas utama. Keyakinan memang dianggap penting, tetapi keyakinan hanya dianggap sebagai langkah pertama menuju [[Paññā|kebijaksanaan]] dan [[pencerahan (Buddhisme)|pencerahan]], lalu keyakinan juga akan usang atau mengalami perubahan penafsiran pada tahap akhir perjalanan spiritual. Sementara itu, agama Buddha awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada [[Dewa#Agama Buddha|dewa-dewi]]. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan [[animisme|animis]], kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari Tiga Mestika, yang masih terus memegang peran utama.
 
# Keyakinan/iman terhadap Buddha, yaitu [[Siddhattha Gotama]] dan pencapaian [[Kebuddhaan]]-Nya di [[Nibbāna]]
# Keyakinan/iman terhadap [[Dhamma]], yaitu ajaran yang disampaikan oleh Buddha
# Keyakinan/iman terhadap [[Saṅgha]], yaitu komunitas para pengikut yang dianggap maju secara spiritual atau komunitas rahib yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|kecerahan]]
# Keyakinan/iman terhadap ''kamma'', yaitu perbuatan berkehendak baik dan buruk
# Keyakinan/iman terhadap buah ''kamma'' (''vipāka''), yaitu akibat dari perbuatan berkehendak baik dan buruk
 
Keyakinan dalam agama [[Sejarah agama Buddha#Tahap awal agama Buddha|Buddha awal]] dipusatkan pada keyakinan terhadap [[Tiga Permata]], yang meliputi Buddha; ajaran-Nya ([[Dharma (Buddhisme)|Dhamma]]); dan komunitas para pengikut yang dianggap maju secara spiritual atau komunitas rahib yang berupaya mencapai [[Kecerahan (Buddhisme)|Kecerahan]] ([[Saṅgha]]). Seorang umat yang taatawam disebut [[upasaka dan Upasika|''upāsaka'' atau ''upāsika'']], dan ini adalah status yang tidak memerlukan inisiasi resmi. Agama Buddha awal menjunjung tinggi pembuktian yang dilakukan secara pribadi atas kebenaran spiritual, sementara kitab suci, nalar, atau keyakinan kepada seorang guru tidak menjadi sumber otoritas utama. Keyakinan memang dianggap penting, tetapi keyakinan hanya dianggap sebagai langkah pertama menuju [[Paññā|kebijaksanaan]] dan [[pencerahanKecerahan (Buddhisme)|pencerahankecerahan]], lalu keyakinan juga akan usang atau mengalami perubahan penafsiran pada tahap akhir perjalanan spiritual. Sementara itu, agama Buddha awal secara moral tidak mengecam pemberian persembahan secara damai kepada [[Dewa#Agama Buddha|dewa-dewi]]. Sepanjang sejarah agama Buddha, pemujaan dewa-dewi, sering kali berasal dari keyakinan pra-Buddhis dan [[animisme|animis]], kemudian disesuaikan menjadi praktik dan kepercayaan Buddhis. Sebagai bagian dari proses itu, dewa-dewi tersebut dinyatakan sebagai bawahan dari [[Tiga MestikaPermata]], yang masih terus memegang peran utama.
 
Pada masa berikutnya dalam sejarah agama Buddha, khususnya [[Buddha Mahāyāna]], keyakinan memiliki peran yang jauh lebih penting. Aliran Mahāyāna memperkenalkan [[Bakti Buddhis|bakti]] kepada para Buddha dan bodhisatwa yang berada di [[Tanah Murni]]. Dengan berkembangnya bakti kepada [[Buddha Amitābha]] dan [[Buddha Tanah Murni|agama Buddha aliran Tanah Murni]], keyakinan memperoleh peran utama dalam praktik agama Buddha. Agama Buddha aliran Tanah Murni versi Jepang, yang dipimpin oleh [[Hōnen]] dan [[Shinran]], bahkan meyakini bahwa satu-satunya praktik yang bermanfaat bagi umat Buddha adalah [[shinjin|keyakinan penuh kepercayaan]] kepada Buddha Amitābha, karena aliran tersebut menganggap [[Selibat|selibasi]], meditasi, dan praktik Buddhis lainnya sebagai praktik yang tidak lagi mujarab atau bertolak belakang dengan sifat utama keyakinan. Sementara itu, umat Buddha Tanah Murni pada umumnya mengartikan keyakinan sebagai sebuah keadaan yang mirip dengan pencerahan. Dampak keyakinan dalam religiositas umat Buddhis kemudian menjadi sangat penting dalam gerakan-gerakan [[milenarianisme|milenarian]] di beberapa negara Buddhis, yang terkadang mengakibatkan kehancuran dinasti-dinasti kerajaan dan perubahan politik penting lainnya.