Perang Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Tag: Suntingan visualeditor-wikitext
Baris 70:
 
[[Berkas:The Dutch War In Sumatra- Malay Soldiers Under The Dutch.jpg|thumb|Tentara Melayu di bawah komando Belanda di Sumatera.]]
 
Pada bulan November 1873, ekspedisi kedua yang terdiri dari 13.000 tentara dipimpin oleh Jenderal [[Jan van Swieten]] dikirim ke Aceh.<ref name="Ricklefs185-88"/> Invasi tersebut bertepatan dengan wabah [[kolera]] yang menewaskan ribuan orang di kedua sisi.<ref name="Ricklefs145"/> Pada bulan Januari 1874, kondisi yang memburuk memaksa [[Alauddin Mahmud Syah II|Sultan Mahmud Syah]] dan para pengikutnya meninggalkan Banda Aceh dan mundur ke pedalaman. Sementara itu, pasukan Belanda menduduki ibu kota dan merebut “dalam” (istana sultan) yang secara simbolis penting, membuat Belanda percaya bahwa mereka telah menang. Penjajah Belanda kemudian membubarkan Kesultanan Aceh dan mendeklarasikan Aceh sebagai bagian dari wilayah Hindia Belanda.<ref name="Ricklefs145"/>
 
[[File:Jirat Pel.JPG|jmpl|ki|Makam Mayor Jenderal [[Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel]] yang tewas di Tunggai, Banda Aceh pada tahun 1876]]
 
Sepeninggal Mahmud karena kolera, masyarakat Aceh memproklamasikan cucu muda [[Alauddin Ibrahim Mansur Syah]], bernama Tuanku Muhammad Daud, sebagai [[Alauddin Muhammad Da'ud Syah II]] (memerintah 1874–1903) dan meneruskan perjuangannya di wilayah perbukitan dan hutan selama sepuluh tahun, dengan banyak korban jiwa di kedua belah pihak.<ref name="Ricklefs145"/> Sekitar tahun 1880 strategi Belanda berubah, dan alih-alih melanjutkan perang, mereka kini berkonsentrasi mempertahankan wilayah yang sudah mereka kuasai, yang sebagian besar terbatas pada ibu kota ([[Banda Aceh]] modern),<ref name="Ibrahim132"/> dan kota [[pelabuhan]] [[Ulee Lheue]]. Blokade laut Belanda berhasil memaksa ''uleebelang'' atau pemimpin sekuler untuk menandatangani perjanjian yang memperluas kendali Belanda di sepanjang wilayah pesisir.<ref>Fink (2023), hal. 484-486.</ref> Namun, uleebelang kemudian menggunakan pendapatan mereka yang baru diperoleh kembali untuk membiayai kekuatan perlawanan Aceh.