Depresi pasca-skizofrenia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k -iw
WanaraLima (bicara | kontrib)
Fitur saranan suntingan: 3 pranala ditambahkan.
 
Baris 6:
Karena ciri khas dari skizofrenia akut mirip dengan depresi, membedakan kadar normal dari depresi pada pasien dengan skizofrenia dengan kadar depresi pasca-skizofrenia merupakan hal yang sulit. Dua gejala khas yang paling membantu dalam membedakan skizofrenia dan depresi adalah alam perasaan di bawah normal secara subjektif dan alam perasaan yang datar.<ref name=":0" /> Sejumlah peneliti percaya bahwa depresi sebenarnya adalah gejala skizofrenia yang tertutupi oleh [[psikosis]].<ref name=":1">“Post-schizophrenic depression”. Annales Medico-Psychologiques. Jun 1975.</ref> Meskipun demikian, kedua ciri-ciri ini biasanya mulai muncul setelah episode psikosis pertama, jika ada.<ref name=":2">Ivanets, NN; Kinkul’kina, MA (2008). “Depression in schizophrenia”. ''Vestnik Rossiiskoi akademii medistinskikh nauk'' (10): 55–63. PMID19140400.</ref>
 
Secara resmi, [[Diagnosis|diagnosa]] akan depresi pasca-skizofrenia pada seorang pasien membutuhkan sang pasien tersebut untuk mengalami sebuah episode depresi, baik dalam jangka waktu pendek maupun panjang setelah menangani gangguan skizofrenia. Sang pasien harus menunjukkan beberapa gejala skizofrenia akan tetapi gejala skizofrenia itu tidak lagi merupakan fokus dari penyakit tersebut. Biasanya gejala-gejala depresi tidak cukup parah untuk digolongkan sebagai episode depresi yang berat. Secara resmi, diagnosa memerlukan sang pasien mengalami skizofrenia dalam satu tahun terakhir, sejumlah gejala skizofrenia, dan depresi yang hadir selama jangka dua minggu berturut-turut atau lebih lama dari itu.<ref>''The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders''. World Health Organization.</ref> Tanda-tanda skizofrenia yang lebih ringan mungkin terdiri dari penarikan diri dari pergaulan sosial, rasa tergugah/terhasut atau terserang secara verbal terhadap orang lain, serta tidur yang tidak teratur — seperti [[insomnia]] atau [[hipersomnia]].
 
== Penyebab ==
Tidak ada sebab yang jelas tentang bagaimana pasien dengan skizofrenia mengembangkan depresi pasca-skizofrenia sementara yang lainnya melewati tahapan ini. Akan tetapi, ada beberapa teori tentang sebab-sebab yang mungkin. Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia sering kali mengalami isolasi sosial karena penyakit mereka, yang justru menambah kadar depresi mereka.<ref name=":3">“Attitudes of mental health professionals toward people with schizophrenia and major depression”. ''Schizophrenia Bulletin''.</ref> Terdapat bukti kuat bahwa isolasi karena stigma terjadi pada mereka yang mengalami penyakit kejiwaan dalam berbagai jenis masyarakat. Isolasi ini terjadi terutama pada mereka yang mengalami skizofrenia yang dipandang sebagai berbahaya dan perilakunya tidak dapat diprediksi.<ref name=":3" />
 
Karena isolasi ini dan juga penelitian yang mengaitkan antara isolasi sosial dan depresi ini, terbuka kemungkinan bahwa pasien-pasien yang berada di bawah tekanan stigma akhirnya mengembangkan depresi pasca-skizofrenia.<ref>“Stigmatisation of people with mental illnesses”. ''The British Journal of Psychiatry.'' July 2000.</ref> Depresi pada pasien dengan skizofrenia dapat juga disebabkan oleh [[penyalahgunaan bahan]], yang cukup umum di antara orang yang mengalami skizofrenia; karena bahan-bahan seperti alkohol dan ganja dipakai sebagai penekan [[sistem saraf pusat]] (''depressant'') agar merilekskan sang pasien.<ref>“Substance abuse in first-episode schizophrenic patients: A retrospective study”. ''Clinical Practice and Epidemiology in Mental Health''.</ref> Selain itu, karena minimnya informasi yang diketahui tentang depresi pasca-skizofrenia, awal (''onset'') skizofrenia mungkin disebabkan karena pasien dengan skizofrenia tersebut tidak diberikan [[antipsikotik]].<ref>“Outpatient maintenance of chronic schizophrenic patients with longterm fluphenazine: double-blind placebo trial”. ''British Medical Journal''.</ref> Setelah obat-obatan antipsikotik berhenti diberikan, dosis antidepresan untuk pasien dengan skizofrenia harus mulai ditingkatkan. Adapun mereka yang diberikan pengobatan antipsikotik dilaporkan mengalami lebih sedikit gejala-gejala depresi. Karena itu, dipercaya bahwa kurangnya penggunaan antipsikotik pada tahap awal skizofrenia dapat mengakibatkan orang tersebut untuk mengalami depresi pasca-skizofrenia.<ref>“Dysphoric and depressive symptoms in chronic schizophrenia”. ''Schizophrenic Research''. 1989.</ref>
 
Akan tetapi, beberapa profesional dalam bidang psikologi masih memaksakan pengurangan penggunaan obat-obatan neuroleptik, sejalan dengan kepercayaan populer bahwa depresi pasca-skizofrenia disebabkan oleh pengobatan neuroleptik. Para terapis juga diyakini untuk [turut] terlibat dalam [penanganan] depresi pada orang dengan skizofrenia, dengan banyak memberikan terapi wicara setelah sang pasien mengatasi gejala-gejala skizofrenianya.<ref name=":1" /> Skizofrenia itu sendiri dapat pula dilihat sebagai salah satu penyebab depresi pasca-skizofrenia ini. Penelitian yang dilakukan selama dua tahun yang mengamati pasien dengan skizofrenia serta memantau depresi mereka gagal untuk menemukan penyebab potensial seperti yang telah disebutkan di atas, maka terdapat kemungkinan bahwa merupakan karakter (''nature'') dari skizofrenia itu sendirilah yang menjadi sebab utama depresi ini.<ref name=":4">Johnson, D. (1981). “Studies of depressive symptoms in schizophrenia”(PDF). ''British Journal of Psychiatry''.</ref>
Baris 18:
Mereka yang mengalami depresi pasca-skizofrenia juga umum untuk punya risiko untuk bunuh diri.<ref name=":0" /> Ada tren yang mengaitkan bunuh diri dengan depresi pasca-skizofrenia berdasarkan penelitian Mulholland dan Cooper dalam riset mereka yang berjudul ''The Symptoms of Depression in Schizophrenia and its Management (''Gejala-Gejala Depresi pada Skizofrenia dan Pengelolaannya). Selain itu, depresi dan skizofrenia telah diteliti secara mandiri oleh berbagai pihak agar ditemukan kaitan antara keduanya, dan berbagai penelitian telah mengindikasikan bahwa ada kecenderungan untuk pasien dengan depresi atau dengan skizofrenia untuk bunuh diri.<ref>“Depressive, suicidal behaviour and insight in adolescents with schizophrenia”. ''European Child & Adolescent Psychiatry''. 15: 352–359. 7 April 2006. doi:1007/s00787-006-0541-8.</ref>
 
Menurut statistik, dari keseluruhan pasien dengan skizofrenia, 10% meninggal dunia dengan cara bunuh diri. Pasien depresi pasca-skizofrenia punya risiko yang tinggi untuk bunuh diri pada bulan-bulan pertama setelah diagnosa dan setelah pulang dari rawat-inap di rumah sakit.<ref name=":5">Samuel, Siris (August 2012). “Treating ‘depression’ in patients with schizophrenia”. ''Current Psychiatry''.</ref> Faktor risiko yang meningkatkan kecenderungan bunuh diri adalah – dari yang tertinggi ke yang terendah – riwayat depresi sebelumnya, riwayat percobaan bunuh diri, penyalahgunaan bahan, dan beberapa faktor lainnya.<ref>“Schizophrenia and suicide: systematic review of risk factors”. ''The British Journal of Psychiatry''. June 2005.</ref> ''The ICD-10 Classification of Mental and Behavioural Disorders'' (Panduan Penggolongan [[Gangguan jiwa|Gangguan Jiwa]] dan Perilaku) yang diterbitkan oleh WHO secara resmi mengenali bunuh diri sebagai aspek yang menonjol pada depresi pasca-skizofrenia. Karena peningkatan yang tajam dalam hal bunuh diri ini, merupakan hal yang sulit untuk mempelajari depresi pasca-skizofrenia seiring dengan banyak korbannya yang meninggal karena hal ini.
 
== Pengobatan ==