Suku Buol: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Aldo samulo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Naval Scene (bicara | kontrib)
 
(8 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox ethnic group
{{rapikan}}
|group = Suku Buol
{{hapus:kelayakan}}
|population = 75.000 jiwa<ref name="Misi">[http://misi.sabda.org/profilo_isi.php?id=16 Misi Sabda]</ref>
|region1 = [[Sulawesi Tengah]]
|pop1 =
|ref1 =
|region2 =
|pop2 =
|ref2 =
|region3 =
|pop3 =
|ref3 =
|region4 =
|pop4 =
|ref4 =
|region5 =
|pop5 =
|ref5 =
|region6 =
|pop6 =
|ref6 =
|region7 =
|pop7 =
|ref7 =
|region8 =
|pop8 =
|ref8 =
|region9 =
|pop9 =
|ref9 =
|region10 =
|pop10 =
|ref10 =
|region11 =
|pop11 =
|ref11 =
|languages = [[Bahasa Buol]], [[Bahasa Indonesia]]
|religions = [[Islam]],<ref name="Misi" />
|related =
|footnotes =
}}
'''Suku Buol''' adalah [[suku bangsa]] yang berdiam di Provinsi [[Sulawesi Tengah]] bagian utara, dekat perbatasan Provinsi Gorontalo. Daerah ini diapit oleh pegunungan pada bagian selatan dan laut sulawesi pada bagian utara. Wilayah kediaman orang Buol meliputi lima di antara seluruh kecamatan di [[Kabupaten Buol]], yakni kecamatan [[Biau, Buol|Biau]], Lakea, Tiloan, Gadung, Bukal, Karamat, [[Momunu, Buol|Momunu]], [[Bokat, Buol|Bokat]], [[Bunobogu, Buol|Bunobugu]] Paleleh Barat dan [[Paleleh, Buol|Paleleh]].<ref name="Misi" />
 
== Referensi ==
{{tidak memenuhi kriteria kelayakan|d=22|m=01|y=2013|i=14|ket=|kat=Y}}
{{reflist}}
TRADISI DAN BUDAYA MASYARAKAT BUOL
(SEBUAH KAJIAN SEDERHANA DALAM PERSPEKTIF ISLAM)
Oleh: Adnan M.Baralemba, S.Pd. M.Si.)*
 
[[Kategori:Suku bangsa di Sulawesi Tengah|Buol]]
ABSTRAK
Masyarakat Buol yang seluruhnya beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Buolmya. Di antara tradisi dan budaya ini terkadang bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Tradisi dan budaya Buol ini sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Buol, terutama warisan “Nikakai”. Di antara tradisi dan budaya ini adalah keyakinan akan adanya roh-roh leluhur yang memiliki kekuatan ghaib, keyakinan adanya “Penjaga-Penjaga” di suatu tempat tertentu yang berkedudukan seperti tuhan, tradisi member makan terhadap penjaga-penjaga itu, ziarah ke makam orang-orang tertentu, melakukan upacara-upacara ritual yang bertujuan untuk persembahan kepada tuhan atau meminta berkah serta terkabulnya permintaan tertentu. Setelah dikaji inti dari tradisi dan budaya tersebut, terutama dilihat dari tujuan dan tatacara melakukan ritus-nya, jelaslah bahwa semua itu tidak sesuai dengan ajaran Islam. Tuhan yang mereka tuju dalam keyakinan mereka jelas bukan Allah, tetapi dalam bentuk pemujaan-pemujaan roh-roh leluhur, atau yang lainnya. Begitu juga bentuk-bentuk ritual yang mereka lakukan jelas bertentangan dengan ajaran ibadah dalam Islam yang sudah ditetapkan dengan tegas dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Karena itulah, tradisi dan budaya Buol seperti itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran Islam dan perlu diluruskan atau sekalian ditinggalkan.
 
PENDAHULUAN
Sebenarnya masyarakat Buol sangat kental dengan masalah tradisi dan budaya. Tradisi dan budaya Buol hingga akhir-akhir ini tidak ada yang terketuk hatinya untuk menggali, menemukan dan mengembangkan agar dapat memberikan kontribusi terhadap kekayaan budaya nasional di Indonesia. Faktor penyebabnya adalah begitu banyaknya orang Buol yang menjadi elite negara yang berperan dalam percaturan kenegaraan di Indonesia sejak zaman sebelum kemerdekaan maupun sesudahnya, namun tidak ada upaya untuk memperkenalkannya. Nama Buol juga sebenarnya sangat akrab di telinga bangsa Indonesia, ini pertanda bahwa Buol adalah suatu nama yang dapat dijadikan jargon atau nama panggilan yang indah bagi masyarakat Buol.
Jika kita perhatikan, ternyata tradisi dan budaya Buol tidak hanya memberikan warna dalam kehidupannya, tetapi juga berpengaruh dalam keyakinan dan praktekpraktek keagamaan. Masyarakat Buol yang memiliki tradisi dan budaya yang banyak dipengaruhi ajaran dan kepercayaan Hindhu dan Buddha terus bertahan hingga sekarang, meskipun mereka memiliki keyakinan atau agama Islam.
Masyarakat Buol yang beragama Islam hingga sekarang belum bisa meninggalkan tradisi dan budaya Buolnya, meskipun terkadang tradisi dan budaya itu bertentangan dengan ajaran-ajaran Islam. Memang ada beberapa tradisi dan budaya Buol yang dapat diadaptasi dan terus dipegangi tanpa harus berlawanan dengan ajaran Islam, tetapi banyak juga budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam. Masyarakat Buol yang memegangi ajaran Islam dengan kuat (kaffah) tentunya dapat memilih dan memilah mana budaya Buol yang masih dapat dipertahankan tanpa harus berhadapan dengan ajaran Islam. Sementara masyarakat Buol yang tidak memiliki pemahaman agama Islam yang cukup, lebih banyak menjaga warisan leluhur mereka itu dan mempraktekkannya dalam kehidupan mereka sehari-hari, meskipun bertentangan dengan ajaran agama yang mereka anut. Fenomena seperti ini terus berjalan hingga sekarang.
Gambaran masyarakat Buol seperti di atas menjadi penting untuk dikaji, terutama terkait dengan praktek keagamaan kita sekarang. Sebagai umat beragama yang baik tentunya kita perlu memahami ajaran agama kita dengan memadai, sehingga ajaran agama ini dapat menjadi acuan kita dalam berperilaku dalam kehidupan kita. Karena itulah, dalam tulisan yang singkat ini akan diungkap masalah tradisi dan budaya Buol dalam perspektif ajaran Islam. Apakah tradisi dan budaya Buol ini sesuai dengan ajaran Islam atau sebaliknya, bertentangan dengan ajaran Islam. Untuk mengawali uraian tentang masalah ini penting kiranya terlebih dahulu dijelaskan siapa masyarakat Buol itu.
 
MASYARAKAT BUOL, BUDAYA, dan KEAGAMAAN
Masyarakat adalah kesatuan hidup dari makhluk-makhluk manusia yang terikat oleh suatu sistem adat istiadat (Koentjaraningrat, 1996: 100). Masyarakat Buol merupakan salah satu masyarakat yang hidup dan berkembang mulai zaman dahulu hingga sekarang yang secara turun temurun menggunakan bahasa Buol dan mendiami Pulau Sulawesi Tengah. Di Buol sendiri selain berkembang masyarakat Buol juga berkembang masyarakat Gorontalo, Toli-Toli, Bugis, dan Manado, dan masyarakat-masyarakat lainnya. Pada perkembangannya masyarakat Buol tidak hanya mendiami Sulawesi Tengah, tetapi kemudian menyebar di hampir seluruh penjuru nusantara. Bahkan di luar Sulawesi pun banyak ditemukan komunitas Buol. Masyarakat Buol ini memiliki karakteristik tersendiri dibandingkan dengan masyarakat-masyarakat lainnya, Artinya masyarakatnya hanya memiliki satu ras bahasa daerah yaitu bahasa Buol. Tidak seperti suku Kaili di mana bahasa ini terdiri dari Kaili Doi, Kaili Tara, Endepu, Kaili Ledo, dan lain sebagainya.
Dengan perkembangan IPTEKS (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni) yang semakin gencar seperti sekarang ini, masyarakat Buol tidak tertarik dengan berbagai keunikannya, baik dari segi budaya, agama, tata krama, dan lain sebagainya. Bahkan dengan IPTEKS tersebut sedikit demi sedikit mulai menggerogoti keunikan masyarakat Buol tersebut, terutama dimulai di kalangan generasi mudanya. Di kota-kota seperti Palu atau di kota lain di Sulawesi, banyak ditemukan masyarakat Buol yang tidak menunjukkan jati diri ke-Buol-annya. Mereka lebih senang berpenampilan lebih modern yang tidak terikat oleh berbagai aturan atau tradisi-tradisi yang justeru menghalangi mereka untuk maju.
Begitu juga pengaruh keyakinan agama yang dianut ikut mewarnai tradisi dan budaya mereka sehari-hari. Masyarakat Buol yang menganut Islam santri, misalnya, lebih banyak terikat dengan aturan Islamnya, meskipun bertentangan dengan budaya dan tradisi Buolnya. Hal ini karena tidak sedikit tradisi-tradisi Buol yang bertentangan dengan keyakinan atau ajaran Islam. Sebaliknya bagi yang menganut Islam pas-pasan tradisi Buol tetap dijunjung tinggi, meskipun bertentangan dengan keyakinan atau ajaran Islam.
Msyarakat Buol yang menganut agama Islam, mereka masih banyak yang mewarisi agama nenek moyangnya, seperti “ Mengondongo, Motuyubo, dan lain-lain. Secara khusus masyarakat Buol bias dikelompokkan menjadi dua golongan besar, golongan yang menganut Islam murni (sering disebut Islam santri) dan golongan yang menganut Islam Pas-Pasan (sering disebut masyarakat yang masih yakin dngan hal-hal gaib). Masyarakat Buol yang menganut Islam santri biasanya tinggal di daerah perkotaan, sedang yang menganut Islam Pas-Pasan biasanya tinggal di daerah terpencil dan tertinggal.
Kita dapat klasifikasi bahwa ada tiga karakteristik kebudayaan Buol yang terkait dengan hal ini, yaitu:
1. Kebudayaan Buol pra Hindhu-Buddha
Kebudayaan masyarakat Indonesia, khususnya Buol, sebelum datangnya pengaruh agama Hindhu-Buddha sangat sedikit yang dapat dikenal secara pasti. Sebagai masyarakat yang masih sederhana, wajar bila nampak bahwa sistem animisme dan dinamisme merupakan inti kebudayaan yang mewarnai seluruh aktivitas kehidupan masyarakatnya. Agama asli yang sering disebut orang Barat sebagai religion magis ini merupakan nilai budaya yang paling mengakar dalam masyarakat Indonesia, khususnya Buol.
2. Kebudayaan Buol masa Hindhu-Buddha
Kebudayaan Buol yang menerima pengaruh dan menyerap unsur-unsur Hindhu- Buddha, prosesnya bukan hanya sekedar akulturasi saja, akan tetapi yang terjadi adalah kebangkitan kebudayaan Buol dengan memanfaatkan unsur-unsur agama dan kebudayaan India. Ciri yang paling menonjol dalam kebudayaan Buol adalah sangat bersifat teokratis. Masuknya pengaruh Hindhu-Buddha lebih mempersubur kepercayaan animisme dan dinamisme (serba magis) yang sudah lama mengakar dengan cerita mengenai orang-orang sakti setengah dewa dan jasa mantra-mantra (berupa rumusan kata-kata) yang dipandang magis.
3. Kebudayaan Buol masa kerajaan Islam
Kebudayaan ini dimulai dengan berakhirnya kerajaan Buol-Hindhu menjadi Buol-Islam. Kebudayaan ini tidak lepas dari pengaruh dan peran para ulama sufi yang mendapat gerlar para wali di tanah Sulawesi dan tanah Jawa. Perkembangan Islam di Buol tidak semudah yang ada di luar Buol yang hanya berhadapan dengan budaya lokal yang masih bersahaja (animisme-dinamisme) dan tidak begitu banyak diresapi oleh unsur-unsur ajaran Hindhu-Buddha seperti di Buol. Kebudayaan inilah yang kemudian melahirkan dua varian masyarakat Islam Buol, yaitu santri dan Pas-Pasan, yang dibedakan dengan taraf kesadaran keislaman mereka.
Karakteristik budaya Buol dapat kita katakana religius, non-doktriner, toleran, akomodatif, dan optimistik. Karakteristik seperti ini melahirkan corak, sifat, dan kecenderungan yang khas bagi masyarakat Buol seperti berikut: 1) percaya kepada Tuhan Yang Mahaesa atau yang disebut Meparcaya ato kuni Kayangan Allah Taala, dengan segala sifat dan kebesaran-Nya; 2) bercorak idealistis, percaya kepada sesuatu yang bersifat immateriil (bukan kebendaan) dan hal-hal yang bersifat adikodrati (supernatural) serta cenderung ke arah mistik; 3) lebih mengutamakan hakikat daripada segi-segi formal dan ritual; 4) mengutakaman cinta kasih sebagai landasan pokok hubungan antar manusia; 5) percaya kepada takdir dan cenderung bersikap pasrah; 6)
bersifat konvergen dan universal; 7) momot dan non-sektarian; 8) cenderung pada simbolisme; 9) cenderung pada gotong royong, guyub, rukun, dan damai; dan 10) kurang kompetitif dan kurang mengutamakan materi.
Pandangan hidup Buol memang berakar jauh ke masa lalu. Masyarakat Buol sudah mengenal Tuhan sebelum datangnya agama islam yang berkembang sekarang ini. Agama Islam yang datang diterima dengan baik oleh masyarakat Buol. Mereka tidak terbiasa mempertentangkan agama dan keyakinan. Mereka menganggap bahwa agama yang datang disebarkan itu baik. Ungkapan inilah yang kemudian membawa konsekuensi timbulnya sinkretisme di kalangan masyarakat Buol.
Masyarakat Buol yang menganut Islam sinkretis hingga sekarang masih banyak ditemukan, terutama di daerah terpencil. Mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, apabila berhadapan dengan permasalahan mengenai jatidiri mereka, seperti KTP, SIM, dan lain-lain. Secara formal mereka akan tetap mengakui Islam sebagai agamanya, meskipun tidak menjalankan ajaran-ajaran Islam yang pokok, seperti shalat lima waktu, puasa Ramadlan, zakat, dan haji (Koentjaraningrat, 1994: 313).
Masyarakat Buol, terutama yang menganut agama pas-pasan, mengenal banyak sekali orang atau benda yang dianggap keramat. Biasanya orang yang dianggap keramat adalah para tokoh yang banyak berjasa pada masyarakat atau para ulama yang menyebarkan ajaran-ajaran agama dan lain-lain. Sedang benda yang sering dikeramatkan adalah benda-benda pusaka peninggalan dan juga makam-makam dari para leluhur serta tokoh-tokoh yang mereka hormati. Di antara tokoh yang dikeramatkan.Misal Guru Tua, Datok Karama dan para wali sembilan yang lain sebagai tokoh penyebar agama Islam di Jawa sampai ke Sulawesi. Tokoh-tokoh lain dari kalangan raja local yang dikeramatkan adalah Terungku, dan yang lainnya di Kabupaten Buol.
Masyarakat Buol percaya bahwa tokoh-tokoh dan benda-benda keramat itu dapat memberi berkah. Itulah sebabnya, mereka melakukan berbagai aktivitas untuk mendapatkan berkah dari para tokoh dan benda-benda keramat tersebut.
Masyarakat Buol juga percaya kepada makhluk-makhluk halus yang menurutnya adalah roh-roh halus yang berkeliaran di sekitar manusia yang masih hidup. Makhlukmakhluk halus ini ada yang menguntungkan dan ada yang merugikan manusia. Karena itu, mereka harus berusaha untuk melunakan makhluk-makhluk halus tersebut agar menjadi jinak, yaitu dengan memberikan berbagai ritus atau upacara.
Di samping itu, masyarakat Buol juga percaya akan adanya dewa-dewa. Hal ini terlihat jelas pada keyakinan mereka akan adanya penguasa Laut. Jika di masyarakat Jawa menyebutnya Selatan yang mereka namakan Nyai Roro Kidul (Ratu Pantai Selatan). Masyarakat Jawa yang tinggal di daerah pantai selatan sangat mempercayai bahwa Nyai Roro Kidul adalah penguasa
Laut Selatan yang mempunyai hubungan dengan kerabat Mataram (Yogyakarta). Mereka memberi bentuk sedekah laut agar mereka terhindar dari mara bahaya (Koentjaraningrat, 1995: 347).
Itulah gambaran tentang masyarakat Buol dengan keunikan mereka dalam beragama dan berbudaya. Namun sekarang ini keunikan ini justru tidak diperhatikan lagi, pada hal keunikan itu dapat dijadikan sebagai warisan tradisi yang dijunjung tinggi dan tetap terpelihara dalam kehidupan mereka. Bahkan dengan adanya otonomi daerah, masing-masing daerah mencoba menggali tradisi-tradisi untuk dijadikan tempat tujuan wisata yang dapat menambah income bagi daerah yang memiliki dan mengelolanya.
PENUTUP
Sebagai catatan penutup perlu ditegaskan bahwa Islam tidak sama sekali menolak tradisi atau budaya yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Dalam penetapan hukum Islam dikenal salah satu cara melakukan ijtihad yang disebut ‘urf, yakni penetapan hukum dengan mendasarkan pada tradisi yang berkembang dalam masyarakat. Dengan cara ini berarti tradisi dapat dijadikan dasar penetapan hokum Islam dengan syarat tidak bertentangan dengan ajaran Islam yang tertuang dalam al-Quran dan hadis Nabi Saw. Di Indonesia banyak berkembang tradisi di kalangan umat Islam yang terus berlaku hingga sekarang, seperti tradisi lamaran, sumbangan mantenan, peringatan hari-hari besar keagamaan, dan lain sebagainya. Selama ini tidak bertentangan dengan ajaran Islam maka tradisi-tradisi seperti itu dapat dilakukan dan dikembangkan. Sebaliknya, jika bertentangan dengan ajaran Islam, maka tradisi-tradisi itu harus dikembangkan dengan tujuan sebagai kontribusi kekayaan budaya Indonesia.
Mudah-mudahan tulisan ini menjadi pemicu masyarakat Buol untuk bangkit dalam menggali budaya di daerahnya demi sehingga dapat berkompetisi dengan daerah-daerah lain di Indonesia.
 
DAFTAR PUSTAKA
 
Koentjaraningrat. (1994). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka.
---------------. (1995). Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Jambatan.
---------------. (1996). Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Moleong, Lexy J. (1996). Metode Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Simuh. (1996). Sufisme Jawa. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Suharsimi Arikunto. (1991). Prosedur Penelitian, Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
Rineka Cipta.
Suyanto. (1990). Pandangan Hidup Jawa. Semarang: Dahana Prize.
 
Biodata Penulis
Adnan M.Baralemba, dilahirkan di Desa Baturata, Kecamatan Paleleh, Kabupaten Buol, Propinsi Sulawesi Tengah, selesai pendidikan Pascasarjana (S-2) di Universitas Tadulako. Sekarang ini bertugas sebagai Widyaiswara (Pejabar Fungsional) Pada Pusat Pengembangan Tenaga Kependidikan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Jakarta, khusus tenaga pelatih mulai dari Prajabatan, Kepala Sekolah, Pengawas Sekolah, sampai dengan melatih Tenaga Pimpinan (Pejabat Pimpinan Eselon II,III dan IV).