Sastra eksil Indonesia: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Penggantian teks otomatis (-Perancis +Prancis) |
|||
(13 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Sastra Eksil Indonesia''' adalah karya-karya [[sastra]] pengarang Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965.<ref name="sastraeksil">{{id}} Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Lontar, 2002, ISBN 979-8083-42-3</ref>, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda.▼
▲'''Sastra Eksil Indonesia''' adalah karya-karya pengarang Indonesia yang terdampar di luar negeri dan tidak bisa atau tidak diperbolehkan pulang ke tanah air setelah peristiwa 30 September 1965.<ref name="sastraeksil">{{id}} Alham, Asahan (ed). Di Negeri Orang: Puisi Penyair Indonesia Eksil, Lontar, 2002, ISBN 979-8083-42-3</ref>
▲Sastra eksil Indonesia ialah karya sastra orang-orang eksil Indonesia, yakni orang-orang Indonesia yang terpaksa tidak bisa pulang kembali ke Indonesia karena situasi politik pada tahun 1965, khususnya mereka yang bermukim di Eropa Barat, dan lebih khusus lagi yang di Belanda. Situasi politik yang dimaksud ialah perubahan pemerintahan secara drastis dari pemerintahan sipil ke pemerintahan di bawah kekuasaan militer. <ref name="sastraeksil2">{{id}} Setiawan, Hersri.''Sastra Eksil Indonesia [1]'', makalah lokakarya tentang ‘Indonesian exiles: crossing cultural, political and religious borders’, Maret 2009, Canberra, Australia</ref> Keadaan ini terjadi sejak sekitar kuartal pertama tahun 1966, yang diawali dengan apa yang dinamakan ‘Peristiwa G30S’ tahun 1965. Terhambatnya warga Indonesia tidak bisa kembali ke tanah air, dan harus hidup dari satu negeri ke negeri lain, oleh mantan Presiden Abdulrachman Wahid alias Gus Dur menamai orang-orang eksil Indonesia sebagai ‘orang-orang yang terhalang pulang’ atau ‘orang-orang klayaban’.<ref name="sastraeksil2"/>
Kebudayaan [[eksil]], termasuk [[sastra eksil]], lahir sebagai akibat terjadinya dua atau lebih kekuatan ideologi dan kekuatan politik – sekaligus juga kekuatan ideologi-politik – yang tidak terdamaikan, sehingga pihak yang satu harus dilenyapkan atau diusir sejauh-jauhnya oleh pihak yang lain. Hindu-Budha vs Islam (Badui, Wong Using, Bali Kuno – abad ke-15), Belanda vs Jawa (Samin – abad ke-19), Kiri vs Kanan/Militerisme (Diaspora Indonesia – dua dasawarsa pasca-PD II).<ref name="sastraeksil2"/> Atau, dalam bentuk yang lebih lunak, hasil dari sekelompok makhluk yang kalah kuat yang dipindahkan dengan paksa dari tempat satu ke tempat lain oleh sekelompok makhluk yang lebih kuat. Seperti misalnya, antara lain, sastra Jawa Suriname dan sastra Jawa Afrika Selatan, yang lahir dari kuli-kuli kontrak dari Jawa di kawasan-kawasan tersebut.<ref name="sastraeksil2"/>
Sama yang umum dialami kaum eksil, para penulis eksil Indonesia juga harus membuang ciri-ciri dan jatidiri mereka.<ref name="sastraeksil2"/> Penghilangan jati diri itu dilakukan atas desakan dari penguasa di mana mereka berlindung – semua eksil Indonesia yang bermukim di China mereka harus bernama China, bahkan sampai di Eropa Barat pun (
Eksil Indonesia mempunyai kekhasan dibandingkan berbagai fenomena eksil dunia lainnya. Eksil pada umumnya adalah mereka yang melarikan diri ke luar negeri akibat berbagai tekanan politik.<ref name="sastraeksil3">{{id}} Supartono, Alex, ''Rajawali Tak Bisa Pulang: Karya-Karya Eksil Utuy Tatang Sontani'', Jurnal Kalam No. 18, 2001, Jakarta</ref> Mereka mempersiapkan diri untuk tidak akan pernah bisa pulang.<ref name="sastraeksil3"/> Karenanya, mereka akan berintegrasi penuh dengan budaya dan masyarakat baru di mana mereka akan tinggal.<ref name="sastraeksil3"/> Mereka menjadikan tanah pengasingan itu sebagai rumah baru dan menciptakan kebudayaan-kebudayaan baru sebagai hasil dialektika budaya yang mereka bawa dari tanah asal mereka dengan budaya tanah pengasingannya. Inilah yang dikenal dengan nama kebudayaan diaspora.<ref name="sastraeksil3"/>
Kondisi tersebut tidak terdapat pada eksil Indonesia.<ref name="sastraeksil3"/> Ketika peristiwa 65 terjadi di Indonesia, mereka yang berada di luar negeri merasa hal tersebut tidak akan berlangsung lama.<ref name="sastraeksil3"/> Namun kenyataannya berlangsung puluhan tahun.
Sastra eksil bukan satu aliran, tetapi sebagai suatu kekhususan akibat peristiwa sejarah.<ref name="sastraeksil"/> Salah satu kekhususan kehidupan seniman eksil adalah kejiwaannya yang mengalami trauma akibat peristiwa politik.<ref name="sastraeksil"/> Keterpisahan berlarut-larut dengan negeri asal membuat mereka terombang-ambing antara dendam dan nostalgia, antara ilusi dan loyalitas.<ref name="sastraeksil"/> Bagi pada seniman dan sastrawan, pergulatan emosi itu muncul dalam bentuk puisi, yang ditulis bukan hanya oleh penyair.<ref name="sastraeksil"/> Banyak pelukis eksil yang kemudian membuat puisi, dan muncul penyair baru yang usianya sudah mendekati usia pensiun. Menulis puisi menjadi kebutuhan para seniman eksil.<ref name="sastraeksil"/>
== Penulis Eksil ==
Beberapa seniman yang tercatat sebagai penulis eksil, antara lain:
* [[A. Kembara]]/[[Awal Kembara]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[A. Kohar Ibrahim]]/[[D. Tanaera]]/[[A.K. Ibrahim]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Agam Wispi]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Alan Hogeland]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Asahan Alham]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Astama]]/[[S.T. Chaniago]]<ref name="sastraeksil4">{{id}} McGlynn, John dan Ibrahim, A. Kohar(ed). ''Menagerie 6'', Lontar, 2004, ISBN 979-8083-52-0</ref>/[[Satyadharma]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Basuki Reksobowo]]<ref name="sastraeksil4"/>
* [[Chalik Hamid]]<ref name="sastraeksil"/>
*
*
* [[Hersri Setiawan]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[J. Sura]]<ref name="sastraeksil4"/>
* [[Kuslan Budiman]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Magusig O. Bungai]]/[[J.J. Kusni]]/[[Sulang Sahun]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Mawie Ananta Jonie]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Noor Djaman]]<ref name="sastraeksil4"/>
* [[Nurdiana]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Rondang Erlina Marpaung]]<ref name="sastraeksil4"/>
* [[Siauw Giok Tjhan]]<ref name="sastraeksil4"/>
* [[Sobron Aidit]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Soeprijadi Tomodihardjo]]<ref name="sastraeksil"/>
* [[Utuy Tatang Sontani]]<ref name="sastraeksil3"/>
* [[Z. Afif]]<ref name="sastraeksil"/>
Baris 51 ⟶ 48:
* [[Pramoedya Ananta Toer]]<ref name="sastraeksil4"/>
== Jurnal Eksil ==
Berikut ini beberapa jurnal para penulis/sastrawan eksil:<ref name="sastraeksil4"/>
Baris 76 ⟶ 73:
* ''[[Pembaruan]]'', sebuah jurnal empat bulanan yang terbit antara 1983-1990 oleh [[World Citizen Press]], Amsterdam, Belanda; berukuran A-5, tebal sekitar 70 halaman.
* ''[[S.R.I]], [[Suara Rakyat Indonesia]]'', diterbitkan di Republik Rakyat
* ''[[Tekad Rakyat]]'', sebuah majalah berukuran saku, diterbitkan di [[Helsinki]] antara November 1967-Maret 1990, kadang-kadang memuat cerpen dan puisi.
==Rujukan==▼
{{reflist}}▼
▲== Rujukan ==
▲{{reflist}}
[[Kategori:
[[Kategori:
[[Kategori:Sejarah sastra Indonesia]]
|