James Hal Cone: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
#wpwp
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
|name = James Hal Cone
|box_width =
|image = JamesHalCone.jpg
|image_width =
|caption = James Cone di Konvokasi ke-174 Seminari Teologi Union di Kota New York. 2009
|birth_date = 5 Agustus 1938
|birth_place = Fordyce, Arkansas
Baris 34:
=== Allah ===
James Cone menyinggung soal [[realitas Allah]].<ref name="Cone">{{en}} James H. Cone. ''The Cross and the Lynching Tree''. 2006. USA: Harvard Divinity Buletin. Hal. 47-55.</ref> Ia menyatakan bahwa Allah tidaklah dimiliki oleh manusia, tetapi Allah yang memiliki manusia. Allah bukan milik orang kulit putih tetapi Allah milik semua orang.<ref name="Cone"/> Dikatakan juga bahwa [[Injil]] itu adalah Injil yang membebaskan, Injil itu adalah pesan Tuhan, untuk mengetahui Injil itu tidak hanya melalui pengetahuan saja, tetapi harus juga melalui iman, sehingga Injil berisi soal pesan pembebasan yang dilakukan Tuhan di dunia.<ref name="Cone"/>
Realita yang terjadi menurut Cone merupakan penyimpangan yang besar, bahwa Allah hanya dimiliki orang oknum tertentu saja, mereka adalah kelompok yang membuat diri mereka menjadi superior dalam sistem, mereka adalah orang kulit putih.<ref name="Cone"/> Allah ada untuk orang kulit putih, teologi yang perkembang adalah teologi dari kaca matakacamata kulit putih, Allah hanya dimiliki oleh orang kulit putih.<ref name="Cone"/> Kepemilikan Allah pada orang kulit putih, hal yang tidak benar, berdampak kepada perlakukan sosial yang ada di tengah masyarakat. Contoh yang sangat jelas adalah superioritas orang kulit putih.<ref name="Cone"/>
 
=== Kristus ===
Baris 46:
Menurut dia, lagu Negro Spirituals itu bersifat cerita mengenai daya upaya historis orang kulit hitam untuk memperoleh kebebasan duniawi, dan bukan suatu proyeksi orang Afrika yang tidak mempunyai harapan dan yang telah melupakan “tanah air” mereka, atas dunia lain.<ref name="Wessel">{{id}} Anton Wessel. ''Memandang Yesus''. 2001. Jakarta: BPK Gunung Mulia. Hal. 84-89.</ref> Dalam lagu-lagu “Spirituals” itu Yesus dilihat sebagai Raja yang membebaskan umat manusia dari penderitaan yang tidak adil.<ref name="Wessel"/> Ia penghibur dalam waktu-waktu susah, “bunga bakung yang di lembah” dan bintang terang diwaktu menjelang pagi. “Spirituals” itu tidak mengungkapkan spekulasi teologis.<ref name="Wessel"/> Yesus bukanlah pokok-pokok permasalahan teologis.<ref name="Wessel"/>Ia dilihat dalam kenyataan pengalaman kaum kulit hitam. Spirituals itu berbicara jelas dan tuntas tentang sifat ilahi Yesus.<ref name="Wessel"/>Berbicara mengenai Bapa dan Anak adalah dua cara untuk berbicara tentang kenyataan kehadiran ilahi dalam masyarakat budak.<ref name="Wessel"/> Yang menjadi pusat keberadaan mereka adalah lambang dari penderitaan mereka.<ref name="Wessel"/> Yesus berada di tengahnya, sehingga Ia adalah Sahabat dn Teman sependeritaan dalam perbudakan, “Spirituals” itu tidak hanya berbicara tentang apa yang dilakukan oleh Yesus dan sedang dilakukan bagi orang kulit hitam dalam perbudakan. Ia dianggap sebagai orang yang memegang kunci penghakiman.<ref name="Wessel"/> Yesus adalah Allah sendiri, yang menerobos ke dalam masa lampau historis umat manusia dan mengubahnya sesuai dengan pengharapan ilahi.<ref name="Wessel"/>
 
Cone menegaskan bahwa Yesus Kristus harus diakui berdasarkan keberadaan-Nya kini, dalam masa lampau dan dalam waktu yang akan datang. “Kita baru dapat memahami riwayat hidup Yesus pada masa lampau dan arti keselamatan-Nya (soteriologis), jika hidup-Nya pada masa lampau dikaitkan secara logis dan teratur (dialektis) dengan kehadiran-Nya pada masa kini dan kedatangan-Nya pada masa yang akan datang”. Dalam menganalisamenganalisis hidup Yesus pada masa lampau, kita tidak dapat menyangkal nilai soteriologis-Nya pada masa kini sebagai Tuhan dari pergumulan kita sekarang.<ref name="Wessel"/> Pandangan terhadap masa depan Kristus, yang menerobos kehidupan mereka sebagai budak, mengubah pandangan mereka terhadap masa depan mereka sendiri.<ref name="Wessel"/> Para teolog kulit hitam harus dapat membuktikan, bahwa sifat hitam Yesus bukan hanya bakat psikologis dari orang kulit hitam, tetapi berasal dari penelitian yang dapat dipercaya, dari sumber-sumber yang menyoroti riwayat hidup Yesus pada masa lampau, masa kini dan masa depan.<ref name="Wessel"/> Kalau kita tidak berhasil dalam hal ini, demikian Cone berkata, maka kita akan kena tuduhan, bahwa “Kristus yang hitam” adalah s pemutar-balikan ideologis dari Perjanjian Baru untuk tujuan-tujuan politis.<ref name="Wessel"/>