Mafia Barkeley: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Gombang (bicara | kontrib)
k gabung, tak netral
Borgxbot (bicara | kontrib)
k Robot: Ganti #REDIRECT ke #ALIH
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{gabungkepada|#ALIH [[Mafia Berkeley}}]]
{{taknetral}}
 
'''Mafia Berkeley''' adalah sekelompok ekonom beraliran [[neoklasik]], yang berpengaruh besar dalam menentukan arah, strategi, dan kebijakan ekonomi negara selama hampir 41 tahun. Besarnya pengaruh itu nyaris tanpa henti, dari 1966-2007. Dalam sejarahnya, kelompok '''Mafia Berkeley''' ini dipersiapkan secara sistematis oleh kekuatan luar Indonesia, selama sepuluh tahun sebelum berkuasa (1956-1965). Pembangunan kapasitas intelektual serta jaringan kerjanya, merupakan bagian dari strategi perang dingin menghadapi kekuatan progresif dan revolusioner di kawasan [[Asia]]. Kelompok ini disebut dengan istilah “'''Mafia Berkeley''',” karena kebanyakan dari generasi pertamanya adalah lulusan Program Khusus di [[Universitas Berkeley]], [[California]], [[Amerika Serikat]]. Program ini, dibiayai oleh [[The Ford Foundation]] dan [[The Rockefeller Foundation]].
 
Dalam masa studinya, sebagaimana ditulis [[David Ransom]] (Ramparts, Oktober 1970), kelompok ini dicekoki teori-teori [[ekonomi liberal]], yang percaya bahwa ekonomi berorientasi pasar adalah jalan terbaik untuk kemajuan Indonesia. [[Doktrin]] ini mengajarkan, Indonesia hanya bisa duduk sejajar dengan negara maju lainnya, jika mengintegrasikan diri ke dalam [[sistem kapitalisme global]].
 
Generasi pertama kelompok '''Mafia Berkeley''' terdiri dari [[Sumitro Djojohadikusumo]], yang merupakan perintisnya. Berbaris di belakangnya sekitar 40 ekonom, dimana yang paling terkemuka diantaranaya adalah [[Widjojo Nitisastro]], [[Emil Salim]], [[M. Sadli, Subroto]], [[Sudjatmoko]], [[Barli Halim]], [[Rachmat Saleh]], dan [[Radius Prawiro]]. Kaderisasi ini berlanjut dengan memberikan kesempatan akademis dan politis bagi generasi selanjutnya seperti, [[Dorojatun Kuntjoro Jakti]], [[Budiono]], [[Sri Mulyani Indrawati]], [[Mohamad Chatib Basri]], [[Mohamad Ikhsan]], dan [[Rizal Malaranggeng]].
 
Selain kapasitas akademik, kelompok '''Mafia Berkeley''' ini juga memiliki jaringan internasional yang kuat dan luas seperti, [[USAID]], [[IMF]], [[Bank Dunia]], dan [[Bank Pembangunan Asia]]. Bahkan sumber pembiayaan utama lembaga-lembaga akademik dan penelitian yang dikontrol '''Mafia Berkeley''', berasal dari bantuan atau grant lembaga internasional tersebut. Tidak aneh, bila produk hasil penelitian dan rekomendasi kebijakan biasanya sejalan dan sebangun dengan rekomendasi [[Washington Consensus]]/[[IMF]]-[[Bank Dunia]], [[Policy Pappers]] [[USAID]] atau [[lembaga kreditor internasional]] lainnya.
 
Dalam mengawal arah [[strategis kebijakan ekonomi]] Indonesia, agar sejalan dengan arahan [[IMF]], [[Bank Dunia]], dan [[USAID]], '''Mafia Berkeley''' menyepakati penyusunan Undang-undang atau peraturan pemerintah yang dikaitkan dengan [[pinjaman utang luar negeri]]. Dengan mekanisme seperti ini, kepentingan rakyat dan nasional Indonesia diletakkan sebagai sub-ordinasi [[kepentingan global]]. Mekanisme pengaitan [[utang luar negeri]] dengan penyusunan [[Undang-undang]] dan [[peraturan pemerintah]], tak lain adalah bentuk intervensi kepentingan global terhadap [[kedaulatan ekonomi]] dan politik Indonesia. Inilah sebabnya, mengapa '''Mafia Berkeley''' enggan atau bahkan, menolak mencari alternatif pembiayaan pembangunan di luar [[utang luar negeri]].
 
Sikap inilah ditunjukkan oleh para kader '''Mafia Berkeley''' seperti Menko Ekuin [[Budiono]] dan Menkeu [[Sri Mulyani]]. Setelah tidak lagi berhubungan dengan [[CGI]], para menteri itu berniat melakukan pembicaraan utang luar negeri dengan [[negara kreditor]] secara [[bilateral]] ([[G to G]]). Mengingat beberapa negara atau [[lembaga keuangan internasional]], seperti [[JBIC]], [[ADB]], [[Bank Dunia]], dan [[Bank Pembangunan Islam]] (IDB), masih memiliki keinginan besar untuk memberi pinjaman pada Indonesia. Termasuk [[China]], yang memberikan tawaran pinjaman. Selain itu, Indonesia bisa mengandalkan [[Surat Utang Negara]] (SUN) untuk membiayai [[defisit anggaran]].
 
Rencana berutang kembali, sebenarnya telah dikemukakan jauh hari oleh para menteri perekonomian ini. Pada pertengahan Desember 2006, pemerintah merencanakan untuk kembali berutang dalam jumlah besar. Pada periode 2006-2009, pemerintah mengusulkan untuk menambah utang sebesar 3.0-35 miliar dolar AS. Bahkan, dalam pemberitaan terakhir angkanya sudah mencapai 40 miliar dolar AS ([[Tajuk Media Indonesia]], 01 Februari 2007). Itu berarti jauh di atas [[rata-rata utang per tahun]] yang sebesar tiga miliar dolar AS. Daftar belanja atau ''shopping list'' tersebut diajukan sejumlah kementerian dan lembaga pemerintah, termasuk [[pemerintah daerah]]. Beberapa di antaranya adalah kebutuhan untuk pengadaan [[alat utama sistem persenjataan]] (alutsista) [[Departemen Pertahanan dan Kepolisian Republik]] Indonesia, sebesar 4,5 miliar dolar AS, serta kebutuhan [[investasi]] [[PLN]] 13,3 senilai miliar [[dolar AS]] sampai 2009 ([[Republika]], 18 Desember 2006).
 
Kebijakan tersebut, justru makin menjerumuskan Indonesia ke dalam jebakan utang yang lebih berat. Parahnya lagi, [[anggaran belanja negara]] juga harus menanggung beban berat dari SUN, yang masa jatuh temponya pendek dan [[suku bunga]] tinggi. Sikap ini patut dicurigai sebagai agenda jahat atas keputusan pembubaran [[CGI]], yang dimaksudkan untuk menegakkan [[kedaulatan ekonomi]] dan politik bangsa Indonesia.
[http://www.example.com judul pranala]