Kedudukan akal dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi Android
HsfBot (bicara | kontrib)
k v2.04b - Fixed using Wikipedia:ProyekWiki Cek Wikipedia (Tanda baca setelah kode "<nowiki></ref></nowiki>")
 
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Islam}}'''Kedudukan akal''' '''dalam [[Islam]]''' merupakan masalah yang masih diperdebatkan hingga saat ini. Dalam [[Islam]], kepenggunaan [[akal]] terutama dalam agama tidak mendapat kedudukan secara pasti. Bagi sebagian kelompok, penggunaan [[akal]] dalam beragama itu adalah Haram, sebab hal itu akan menimbulkan pertentangan dengan beberapa dalil di dalam [[Hadis|Haditshadis]] maupun [[Al-Qur'an]]. Sedangkan di sisi lain, ada pula beberapa kelompok yang memandang penggunaan [[akal]] dalam beragama itu boleh, bahkan dianjurkan. Hal itu didasarkan pada asas manfaat yang diperoleh ketika umat menggunakan akalnya, maka akan lahirlah peradaban besar. Selain itu, penggunaan akal menurut kelompok ini sangatlah didukung oleh beberapa dalil [[Al-Qur'an]] yang memerintahkan [[Muslim|umat Islam]] untuk menggunakan akalnya.
 
== Sejarah ==
Perdebatan tentang posisi akal dalam agama Islam bukanlah sebuah masalah yang baru, sebab sejak [[Muhammad|Rasulullah]] meninggal, terjadi perpecahan dalam umat Islam ketika memandang posisi akal dalam beragama. Contoh terkenal dalam kasus ini yaitu perdebatan antara [[Ahlur Ra’yi]] dengan [[Ahlul Hadits]]. [[Ahlur Ra’yi]] berpandangan bahwa penggunaan akal itu merupakan sebuah kebaikan dan dianggap bisa memecahkan masalah,<ref>{{Cite book|title=''Tarikh al-Fiqh al-Islami|last=Sayis|first=Muhammad Ali|date=1999|publisher=Dar al-Kutub al-ilmiyah|isbn=9781575475769|location=Beirut|pages=|url-status=live}}</ref>, sedangkan bagi [[Ahlul Hadits]], penggunaan akal itu tidak diperbolehkan sebab Rasulullah menurut mereka tidak memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal dan juga dikhawatirkan akan menimbulkan banyak pertentangan dalam agama.<ref>{{Cite book|title=Ensiklopedia Indonesia|last=Shadily|first=Hassan|date=|publisher=Ichtiar Baru Van Hoeve|isbn=|location=Jakarta|pages=115|url-status=live}}</ref>.
 
Selain itu, contoh yang lebih ekstrem terjadi pada masa [[Kekhalifahan Abbasiyah]] antara [[Muktazilah]] dengan sebagian golongan [[Sunni]] terutama yang bermazhab Hanbaliyah. Ketika Khalifah [[Al-Ma'mun]] memegang jabatan Khalifah, dia memerintahkan [[Muktazilah]] sebagai mazhab resmi negara dan memerintahkan mihnah. Hal itu kemudian menimbulkan banyak tentangan dari sebagian golongan [[Sunni]] kepada Khalifah [[Al-Ma'mun]] sehingga beberapa orang dari golongan [[Sunni]] mengalami penindasan. Keadaan kemudian cepat berbalik ketika Khalifah [[Al-Mutawakkil]] naik takhta menggantikan [[Al-Watsiq]]. Khalifah [[Al-Mutawakkil]] kemudian memerintahkan untuk pemurnian kembali agama [[Islam]] dengan melakukan [[inkuisisi]] paksa kepada seluruh umat Islam untuk memeluk aliran [[Sunni]] dan sempat melarang praktek ilmiah dalam kegiatan umum.<ref>{{Cite book|title=Islam Tanpa Ekstrimisme : Potrer Seorang Muslim untuk Kebebasan|last=Akyol|first=Mustafa|date=2014|publisher=PT Elex Media Komputindo|isbn=9786020244846|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>.
 
Hingga saat ini, perdebatan posisi akal dalam beragama masih menjadi polemik dalam tubuh [[umat Islam]].
Baris 11:
=== Kelompok yang setuju penggunaan akal ===
[[Berkas:عبد_الله_بن_مسعود.png|jmpl|Abdullah ibn Mas'ud: Salah satu sahabat Nabi yang sering menggunakan akal dalam metode ijtihadnya.]]
Kelompok yang setuju penggunaan akal beranggapan, bahwa penggunaan akal dalam agama Islam tidaklah ditentang bahkan mendapat dukungan dari berbagai dalil yang ada dalam [[Al-Qur'an]], di samping manfaat yang di dapat karena akal merupakan sarana dalam pemecahan masalah.<ref>{{Cite book|title=Membonsai Islam|last=Mustofa|first=Agus|date=2006|publisher=Padma Press|isbn=9791070008|location=Surabaya|pages=|url-status=live}}</ref>. Akal dalam agama Islam sangatlah dihargai, bahkan diperintahkan penggunaannya oleh Allah sendiri.<ref>{{Cite book|title=Akal dan Wahyu dalam Islam|last=Nasution|first=Harun|date=1986|publisher=Penerbit Universitas Indonesia|isbn=9798034074|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>. Hal itu tercantum oleh beberapa ayat berikut ini :
{{Cquote|''Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur'an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta'wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta'wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: "Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.'' (QS. Ali-Imran [03]:07)}}
 
Baris 23:
Kelompok ini biasanya diwakili oleh aliran [[Muktazilah]]. Namun, bukan berarti semua orang yang berada di kelompok ini adalah orang [[Muktazilah]], sebab untuk menjadi seorang [[Muktazilah]], orang itu harus mempercayai lima ajaran utama dari aliran ini. Ada juga beberapa orang dari golongan [[Ahlussunnah]] yang mendukung penggunaan akal (terutama mereka yang mengikuti mazhab akidah [[Maturidi]]). Aliran lain yang juga mendukung penggunaan akal yaitu [[Quranisme|Ahlul Qur'an]]. Kelompok yang mengutamakan penggunaan akal dalam agama [[Islam]] disebut [[Ahlur Ra’yi]].
 
Meskipun menggunakan akal, kelompok ini tidak sama sekali bisa dikatakan menyimpang dari ajaran Islam. Beberapa fatwa yang dikeluarkan dari kelompok ini tidak menyimpang dari nilai-nilai keislaman,<ref>{{Cite book|title=Sejarah Peradaban Islam|last=Yatim|first=Badri|date=1994|publisher=Raja Grafindo Persada|isbn=|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>, karena mereka memposisikan akal sebagai pendukung wahyu. Penggunaan akal dalam agama dimaksudkan untuk memperkuat hukum-hukum Islam dan dijadikan sebagai tolak ukur pemecahan masalah seperti dalam [[ijtihad]], bukan sebagai sumber dalam mencari kebenaran baru untuk menentang kebenaran agama.<ref>{{Cite book|title=Salah Kaprah dalam Beragama Islam|last=Mustofa|first=Agus|date=2010|publisher=Padma Press|isbn=9789791070317|location=Surabaya|pages=|url-status=live}}</ref>.
 
Tokoh terkenal dari kelompok ini antara lain: [[Abdullah bin Mas'ud]], [[Abu Hanifah]] (Imam Hanafi), [[Ibn Rusyd|Ibnu Rusyd]], dll. Selain itu, di Indonesia juga ada beberapa tokoh terkenal dari kelompok ini, seperti [[Harun Nasution]] dan [[Agus Mustofa]].
Baris 30:
Kelompok yang tidak setuju akan penggunaan akal beranggapan, bahwa penggunaan akal itu dapat membuat pertentangan antara dalil yang ada dalam [[Al-Qur'an]] dan [[Hadits]]. Mereka berpendapat, bahwa tidak semua masalah agama itu rasional. Jika penggunaan akal manusia sangat ditekankan, maka dikhawatirkan akan ada perselisihan antara akal dengan beberapa dalil yang ada. Selain itu, mereka juga berpendapat bahwa [[Muhammad|Rasulullah]] sebagai teladan umat Islam sekali pun, tak pernah memerintahkan umatnya untuk menggunakan akal ketika memecahkan masalah. Justru yang ada malah melarang penggunaan akal. Hal itu dapat dilihat dalam [[hadits]] berikut :
{{Cquote|''Barangsiapa berkata tentang Al Qur’an dengan logikanya (semata), maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.'' (HR. Imam Tirmizi, No.2951)}}
Kelompok ini biasanya berasal dari golongan [[Salafiyah]], meski tidak semua orang yang beraliran ini melarang penggunaan akal. Lebih umumnya, kelompok ini diwakili oleh mereka yang berpaham [[Jabariyah]], dan [[Khawarij]]. [[Ahlul Hadits]] merupakan sebutan oleh mereka yang lebih mengutamakan [[hadits]] daripada akal, bahkan cenderung untuk menjauhi akal. Jarang sekali ada tokoh yang mewakili kelompok ini, meskipun secara kuantitas, kelompok ini banyak diikuti oleh kebanyakan umat Islam sebelum zaman pembaruan Islam maupun untuk saat ini. Tokoh besar dari golongan ini salah satunya adalah [[Ahmad bin Hambal]] (Imam Hambali).<ref>{{Cite book|title=Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim|last=Katsir|first=Ibnu|date=2010|publisher=Ibnu Jauzi|isbn=|location=|pages=|url-status=live}}</ref>.
 
== Dampak ==
 
=== Terhadap Ilmu Pengetahuan ===
Perdebatan panjang tentang kedudukan akal dalam agama [[Islam]] membawa dampak yang besar bagi sendi-sendi kehidupan [[umat Islam]]. Salah satunya terhadap pandangan mereka kepada [[Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan|Ilmu Pengetahuan]]. Bagi sebagian [[umat Islam]], [[ilmu pengetahuan]] adalah momok terbesar bagi agama, apalagi ketika gencarnya stigma yang dihembuskan bahwa ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan agama dan tak mungkin untuk dipersatukan. Ilmu pengetahuan bagi beberapa orang di umat Islam dianggap sebagai produk budaya dari Barat yang berasal dari perlawanan orang-orang Liberal terhadap gereja, maka dari itu Haram hukumnya untuk memasukkan ilmu pengetahuan dalam urusan keagamaan. Namun bagi sebagian umat Islam yang lainnya, ilmu pengetahuan banyak membantu membuktikan kebenaran [[Al-Qur'an]] serta dapat membuat keimanan mereka semakin bertambah. Menurut kelompok ini, ilmu pengetahuan dipandang secara positif, sebab salah satu hal yang membuat Islam meraih kejayaannya adalah dengan keberadaan ilmu pengetahuan<ref name=":0">{{Cite book|title=Khazanah Intelektual Islam|last=Madjid|first=Nurcholish|date=1984|publisher=PT Bulan Bintang|isbn=9786024337377|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>.
 
=== Terhadap Filsafat ===
[[Berkas:AverroesColor.jpg|jmpl|kiri|Ibnu Rusyd: Salah seorang pemikir Islam yang mendukung penggunaan filsafat dalam ranah agama]]
[[Filsafat]] yang jugasebagai produk dari akal budi manusia juga tak luput dari polemik dalam agama Islam. [[Filsafat]] yang asalnya dari [[Yunani]] ini bagi beberapa orang dianggap bagian dari kekafiran. Contoh paling nyata dari pengharaman filsafat ini bermula dari buku ''[[Tahafut al-Falasifah]]'' karya [[Al-Ghazali|Imam Al-Ghazali]] yang kemudian membuat tidak populernya filsafat di kalangan Islam belahan Timur. Akan tetapi, banyak juga dari umat Islam yang memandang filsafat sebagai suatu jalan untuk memperkukuh keimanan dan membawa kebaikan, selagi tidak diarahkan kepada hal yang tidak bertentangan terhadap ajaran [[Islam]]. Hal itu dapat dilihat dari buku ''[[Tahafut at-Tahafut]]'' karangan [[Ibnu Rusyd]] yang bertujuan untuk membantah buku ''[[Tahafut al-Falasifah]]'' milik [[Al-Ghazali|Imam Al-Ghazali]].<ref name=":0" />.
 
=== Terhadap Ilmu Pengetahuan ===
Perdebatan panjang tentang kedudukan akal dalam agama [[Islam]] membawa dampak yang besar bagi sendi-sendi kehidupan [[umat Islam]]. Salah satunya terhadap pandangan mereka kepada [[Ilmu pengetahuan Islam abad pertengahan|Ilmu Pengetahuan]]. Bagi sebagian [[umat Islam]], [[ilmu pengetahuan]] adalah momok terbesar bagi agama, apalagi ketika gencarnya stigma yang dihembuskan bahwa ilmu pengetahuan itu bertentangan dengan agama dan tak mungkin untuk dipersatukan. Ilmu pengetahuan bagi beberapa orang di umat Islam dianggap sebagai produk budaya dari Barat yang berasal dari perlawanan orang-orang Liberal terhadap gereja, maka dari itu Haram hukumnya untuk memasukkan ilmu pengetahuan dalam urusan keagamaan. Namun bagi sebagian umat Islam yang lainnya, ilmu pengetahuan banyak membantu membuktikan kebenaran [[Al-Qur'an]] serta dapat membuat keimanan mereka semakin bertambah. Menurut kelompok ini, ilmu pengetahuan dipandang secara positif, sebab salah satu hal yang membuat Islam meraih kejayaannya adalah dengan keberadaan ilmu pengetahuan.<ref name=":0">{{Cite book|title=Khazanah Intelektual Islam|last=Madjid|first=Nurcholish|date=1984|publisher=PT Bulan Bintang|isbn=9786024337377|location=Jakarta|pages=|url-status=live}}</ref>.
 
== Catatan kaki ==
{{reflist}}{{Topik Islam|collapsed}}
<references />
 
{{Topik Islam|collapsed}}
{{portal|Islam}}