#ALIH [[ Kategori:Kabupaten Kuningan #Etimologi]] ▼
Ada beberapa kemungkinan tentang asal-usulnya [[Kuningan]] dijadikan nama daerah ini. Salah satu kemungkinan adalah bahwa istilah tersebut berasal dari nama sejenis logam, yaitu [[kuningan]]. Dalam bahasa [[Sunda]] (juga bahasa [[Indonesia]]), [[kuningan]] adalah sejenis logam yang terbuat dari bahan campuran berupa timah, perak dan perunggu. Jika disepuh (dibersihkan dan diberi warna indah) logam kuningan itu akan berwarna kuning mengkilap seperti emas sehingga benda dibuat dari bahan ini akan tampak bagus dan indah. Memang logam kuningan bisa dijadikan bahan untuk membuat aneka barang keperluan hidup manusia seperti patung, bokor, kerangka lampu maupun hiasan dinding.
Di Sangkanherang, dekat Jalaksana sebelum tahun 1914 ditemukan beberapa patung kecil terbuat dari [[kuningan]]. Paling tidak sampai tahun 1950-an barang-barang yang terbuat dari bahan logam [[kuningan]] itu sangat disukai oleh masyarakat elit (menak) di daerah [[Kuningan]]. Barang-barang yang dimaksud berbentuk alat perkakas rumah tangga dan barang hiasan di dalam rumah. Benda-benda dari bahan [[kuningan]] itu juga disukai pula oleh sejumlah masyarakat [[Sunda]], [[Jawa]], [[Melayu]], dan beberapa kelompok masyarakat di Nusantara umumnya.
Di daerah [[Ciamis]] dan [[Kuningan]] sendiri terdapat cerita legenda yang bertalian dengan bokor (tempat menyimpan sesuatu didalam rumah dan sekaligus sebagai barang perhiasan) yang terbuat dari logam [[kuningan]][. Kedua cerita legenda dimaksud menuturkan tentang sebuah bokor [[kuningan]] yang dijadikan alat untuk menguji tingkat keilmuan seorang tokoh agama.
Di [[Ciamis]] - dalam cerita Ciung Wanara - bokor itu digunakan untuk menguji seorang pendeta Galuh (masa pra-[[Islam]]) bernama Ajar Sukaresi yang bertapa di Gunung Padang. Pendeta ini diminta oleh Raja Galuh yang ibukota kerajaannya berkedudukan di Bojong Galuh (desa Karangkamulya) sekarang yang terletak sekitar 12 km sebelah timur kota [[Ciamis]], untuk menaksir perut istrinya yang buncit, apakah sedang hamil atau tidak. Kesalahan menaksir akan berakibat pendeta itu kehilangan nyawanya. Sesungguhnya buncitnya perut putri tersebut merupakan akal-akalan Sang Raja, dengan memasangkanbokor kuningan pada perut sang putri yang kemudian ditutupi dengan kain sehingga tampak seperti sedang hamil. Perbuatan tersebut dilakukan semata-mata untuk mengelabui dan mencelakakan Sang Pendeta saja.
Pendeta Ajar Sukaresi yang sudah mengetahui akal busuk Sang Raja tetap tenang dalam menebak teka-teki yang diberikan oleh Sang Raja, Sang Pendeta pun berkata bahwa memang perut Sang Putri tersebut sedang hamil. Sang Raja pun merasa gembira mendengar jawaban dari Pendeta tersebut,karena beliau berpikir akal busuknya untuk mengelabui Sang Pendeta berhasil. Sang Raja dengan besar kepala berkatabahwa tebakan Sang Pendeta salah, dan kemudian memerintahkan kepada prajuritnya agar pendeta tersebut dibawa ke penjara dan segera Sang Raja mengeluarkan perintah agar pendeta tersebut di hukum mati.
Teryata tak berapa lama kemudian diketahui bahwa Sang Puteri tersebut benar-benar hamil. Muka Raja tersebut merah padam,hal ini tak mungkin terjadi pikirnya. Dengan gelap mata Sang Raja tersebut marah dan menendang bokor kuningan, kuali danpenjara besi yang berada di dekatnya. Bokor, kuali dan penjara besi itu jatuh di tempat yang berbeda. Daerah tempat jatuhnya bokor [[kuningan]], kemudian diberi nama [[Kuningan]] yang terus berlaku sampai sekarang. Daerah tempat jatuhnya kuali (bahasa Sunda: kawali) dinamai Kawali (sekarang kota kecamatan yang termasuk ke dalam daerah Kabupaten [[Ciamis]] dan terletak antara [[Kuningan]] dan [[Ciamis]], sekitar 65 km sebelah selatan kota Kuningan), dan daerah tempat jatuhnya penjara besi dinamai Kandangwesi (kandangwesi merupakan kosakata bahasa [[Sunda]] yang artinya penjara besi) terletak di daerah [[Garut]] Selatan.
Dalam Babad [[Cirebon]] dan tradisi Lisan Legenda [[Kuningan]] bokor kuningan itu digunakan untuk menguji tokoh ulama [[Islam]] (wali) bernama Sunan Gunung Jati. Jalan ceritanya kurang lebih sama dengan cerita Ciung Wanara, hanya didalamnya terdapat beberapa hal yang berbeda. Perbedaan yang dimaksud terletak pada waktu dan tempat terjadinya peristiwa, tujuan dan akibat pengujian itu, dan tidak ada peristiwa penendangan bokor. Jika cerita Ciung Wanara menuturkan gambaran zaman kerajaan Galuh yang sepenuhnya bersifat kehinduan atau masa pra-[[Islam]], maka Babad [[Cirebon]] dan tradisi lisan Legenda [[Kuningan]] mengisahkan tuturan pada zaman peralihan dari masa [[Hindu]] menuju masa Islam atau pada masa proses Islamisasi. Dengan demikian, isi cerita Ciung Wanara lebih tua daripada isi Babad [[Cirebon]] atau tradisi lisan Legenda [[Kuningan]]. Cerita Ciung Wanara mengungkapakan tempat peristiwanya di Bojong Galuh, sedangkan Babad [[Cirebon]] dan tradisi lisan Legenda [[Kuningan]] mengemukakan bahwa peristiwanya terjadi di Luragung (kota kecamatan yang terletak 19 km sebelah timur [[Kuningan]]).
Tidak seperti dalam cerita Ciung Wanara, penaksiran kehamilan Puteri dilatarbelakangi oleh tujuan mencelakakan pendeta Ajar Sukaresi dan berakibat pendeta tersebut dihukum mati, dalam Babad [[Cirebon]] dan tradisi lisan Legenda [[Kuningan]] penaksiran kehamilan tersebut dimaksudkan untuk menguji keluhuran ilmu Sunan Gunung Jati semata-mata dan berdampak mempertinggi kedudukan keulamaan wali tersebut. Anak yang dilahirkannya adalah seorang bayi laki-laki yang kemudian dipelihara dan dibesarkan oleh Ki Gedeng Luragung, penguasa daerah Luragung. Selajutnya Sunan Gunung Jati menjadi Sultan di [[Cirebon]]. Setelah dewasa bayi itu diangkat oleh Sunan Gunung Jati menjadi pemimpin atau kepala daerah [[Kuningan]] dengan nama Sang Adipati [[Kuningan]].
Jadi, dari nama jenis logam bahan pembuatan bokor itulah daerah ini dinamakan daerah [[Kuningan]]. Itulah sebabnya, bokor kuningan dijadikan sebagai salah satu lambang daerah Kabupaten [[Kuningan]]. Lambang lain daerah ini adalah kuda yang berasal dari kuda samberani milik Dipati Ewangga, seorang Panglima perang [[Kuningan]].
Menurut tradisi lisan Lagenda [[Kuningan]] yang lain, sebelum bernama [[Kuningan]] nama daerah ini adalah Kajene. Kajene katanya mengandung arti warna kuning (jene dalam bahasa [[Jawa]] berarti kuning). Secara umum warna kuning melambangkan keagungan dalam masyarakat Nusantara. Berdasarkan bahan bokor [[kuningan]] dan warna kuning itulah, kemudian pada masa awal Islamisasi daerah ini dinami [[Kuningan]]. Namun keotentikan Kajene sebaga nama pertama daerah ini patut diragukan, karena menurut naskah Carita [[Parahyangan]] sumber tertulis yang disusun di daerah [[Ciamis]] pada akhir abad ke-16 Masehi, [[Kuningan]] sebagai nama daerah (kerajaan) telah dikenal sejak awal kerajaan Galuh, yakni sejak akhir abad ke-7 atau awal abad ke-8 Masehi. Sementara itu, wilayah kerajaan [[Kuningan]] terletak di daerah Kabupaten [[Kuningan]] sekarang.
Adalagi menurut cerita mitologi daerah setempat yang mengemukakan bahwa nama daerah [[Kuningan]] itu diambil dari ungkapan dangiang kuning, yaitu nama ilmu kegaiban(ajian) yang bertalian dengan kebenaran hakiki. Ilmu ini dimiliki oleh Demunawan, salah seorang yang pernah menjadi penguasa (raja) di daerah ini pada masa awal kerajaan Galuh.
Dalam tradisi agama [[Hindu]] terdapat sistem kalender yang enggambarkan siklus waktu upacara keagamaan seperti yang masih dipakai oleh umat [[Hindu]]-[[Bali]] sekarang. [[Kuningan]] menjadi nama waktu (wuku) ke 12 dari sistem kalender tersebut. Pada periode wuku Kuningan selalu daiadakan upacara keagamaan sebagai hari raya. Mungkinkah, nama wuku Kuningan mengilhami atau mendorong pemberian nama bagi daerah ini?
Yang jelas, menurut Carita Parahyangan dan Fragmen Carita Parahyangan, dua naskah yang ditulis sezaman pada daun lontar beraksara dan berbahasa [[Sunda]] Kuna, pada abad ke-8 Masehi, [[Kuningan]] sudah disebut sebagai nama kerajaan yang terletak tidak jauh dari kerajaan Galuh ([[Ciamis]] sekarang) dan kerajaan Galunggung ([[Tasikmalaya]] sekarang). Lokasi kerajaan tersebut terletak di daerah yang sekarang menjadi Kabupaten [[Kuningan]].
▲[[Kategori:Kabupaten Kuningan]]
|