(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 1:
#ALIH [[Sesar Semangko]]
{{unreferenced|date=Februari 2017}}
[[Berkas:Bukittinggi Cañón del Sianok.JPG|jmpl|200px|[[Ngarai Sianok]] yang terbentuk akibat adanya patahan Semangko.]]
'''Patahan Semangko''' adalah bentukan geologi yang membentang di [[Pulau Sumatra]] dari utara ke selatan, dimulai dari [[Aceh]] hingga [[Teluk Semangka]] di [[Lampung]]. Patahan inilah membentuk [[Pegunungan Barisan]], suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau ini. Patahan Semangko berusia relatif muda dan paling mudah terlihat di daerah [[Ngarai Sianok]] dan [[Lembah Anai]] di dekat [[Kota Bukittinggi]].
Patahan ini merupakan patahan geser, seperti [[patahan San Andreas]] di [[California]].
Patahan Semangko terletak di antara Zona Semangko patahan Lampung. Bagian selatan dari blok Semangko terbagi menjadi bentang alam menjadi seperti pegunungan Semangko, Depresi Ulehbeluh dan Walima, Horst Ratai dan Depresi Teluk Belitung. Sedangkan bagian utara blok Semangko berbentuk seperti Dome (diameter +40 Km). Patahan Semangko adalah bentukan geologi yang membentang di pulau Sumatra dari selatan ke utara. Patahan inilah yang membentuk pegunungan Barisan, suatu rangkaian dataran tinggi di sisi barat pulau Sumatra. Patahan ini relatif lebih muda dan paling mudah terlihat di daerah ngarai Sianok dan Lembah Anai di dekat kota Padang Panjang.
Terbentuknya Patahan Semangko bermula sejak jutaan tahun lampau saat Lempeng (Samudra) Hindia-Australia menabrak secara menyerong bagian barat Sumatra yang menjadi bagian dari Lempeng (Benua) Eurasia. Tabrakan menyerong ini memicu munculnya 2 komponen gaya. Komponen pertama bersifat tegak lurus, menyeret ujung Lempeng Hindia masuk ke bawah Lempeng Sumatra. Batas kedua lempeng ini sampai kedalaman 40 kilometer umumnya mempunyai sifat regas dan di beberapa tempat terekat erat. Suatu saat, tekanan yang terhimpun tidak sanggup lagi ditahan sehingga menghasilkan gempa bumi yang berpusat di sekitar zona penunjaman atau zona subduksi. Setelah itu, bidang kontak akan merekat lagi sampai suatu saat nanti kembali terjadi gempa bumi besar. Gempa di zona inilah yang sering memicu terjadinya tsunami, sebagaimana terjadi di Aceh pada 26 Desember 2004. Adapun komponen kedua berupa gaya horizontal yang sejajar arah palung dan menyeret bagian barat pulau ini ke arah barat laut. Gaya inilah yang menciptakan retakan memanjang sejajar batas lempeng, yang kemudian dikenal sebagai Patahan Besar Sumatra. Geolog Katili dalam The Great Sumatran Fault (1967) menyebutkan, retakan ini terbentuk pada periode Miosen Tengah atau sekitar 13 juta tahun lalu. Lempeng Bumi di bagian barat Patahan Sumatra ini senantiasa bergerak ke arah barat laut dengan kecepatan 10 milimeter per tahun sampai 30 mm per tahun relatif terhadap bagian di timurnya. Sebagaimana di zona subduksi, bidang Patahan Sumatra ini sampai kedalaman 10 kilometer-20 km terkunci erat sehingga terjadi akumulasi tekanan. Suatu saat, tekanan yang terkumpul sudah demikian besar sehingga bidang kontak di zona patahan tidak kuat lagi menahan dan kemudian pecah. Batuan di kanan-kirinya melenting tiba-tiba dengan kuat sehingga terjadilah gempa bumi besar. Setelah gempa, bidang patahan akan kembali merekat dan terkunci lagi dan mengumpulkan tekanan elastik sampai suatu hari nanti terjadi gempa bumi besar lagi. Pusat gempa di Patahan Sumatra pada umumnya dangkal dan dekat dengan permukiman. Dampak energi yang dilepas dirasakan sangat keras dan biasanya sangat merusak. Apalagi gempa bumi di zona patahan selalu disertai gerakan horizontal yang menyebabkan retaknya tanah yang akan merobohkan bangunan di atasnya. Topografi di sepanjang zona patahan yang dikepung Bukit Barisan juga bisa memicu tanah longsor. Adapun lapisan tanah yang dilapisi abu vulkanik semakin memperkuat efek guncangan gempa. Beberapa tempat di Patahan Semangko merupakan pula zona lemah yang ditembus magma dari dalam bumi. Getaran gempa bumi bisa menyebabkan air permukaan bersentuhan dengan magma. Karena itu, pada saat gempa bumi, kerap terjadi letupan uap (letupan freatik) yang dapat diikuti munculnya gas beracun, sebagaimana terjadi di Suoh, Lampung, pada 1933.