Budaya Aceh: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak Ada Ringkasan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
|||
(24 revisi perantara oleh 16 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Budaya Aceh''' merupakan kumpulan budaya dari berbagai suku di [[Aceh]], [[Indonesia]]. Provinsi Aceh terdiri atas 11 suku, yaitu:
* [[Suku Aceh]] (76% dari populasi provinsi aceh sensus tahun 2010)
* [[Suku Tamiang|Suku]] [[Suku Tamiang|Tamiang]] (Di Kabupaten Aceh Tamiang sekitar 35%).
* [[Suku Haloban]] (Di Kabupaten Aceh Tenggara).
* [[Suku Singkil]] (Di Kabupaten Aceh Singkil dan Kota Subulussalam sekitar 40%)
* [[Suku Aneuk Jamee|Suku Jamèë]] dan [[Suku Kluet]] (Di Kabupaten Aceh Selatan sekitar 35%).
* [[Suku Gayo]] (di Kabupaten Aceh Tengah 20%, Kabupaten Bener Meriah 20% dan Kabupaten gayo Lues sekitar 40%)
* [[Suku Simeulue]], [[Suku Devayan]], [[Suku Sigulai]] (di Kabupaten Simeulue)
Masing-masing suku mempunyai budaya, bahasa dan pola pikir masing-masing. Bahasa yang umum digunakan adalah [[Bahasa Aceh]] (76%) selain [[Bahasa Indonesia]].
Di sana hidup adat istiadat Melayu, yang mengatur segala kegiatan dan tingkah laku warga masyarakat bersendikan hukum
== Sejarah ==
Sejarah menunjukkan bagaimana rakyat Aceh menjadikan Islam sebagai pedoman dan ulama pun mendapat tempat yang terhormat. Penghargaan atas keistimewaan Aceh dengan syariat Islamnya itu kemudian diperjelas dengan Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 menggenai Penyelenggaraan Keistimewaan Aceh. Dalam UU No.11 Tahun 2006 mengenai Pemerintahan Aceh, tercantum bahwa bidang al-syakhsiyah (masalah kekeluargaan, seperti perkawinan, perceraian, warisan, perwalian, nafkah, pengasuh anak dan harta bersama), mu`amalah (masalah tatacara hidup sesama manusia dalam kehidupan sehari-hari, seperti jual-beli, sewa-menyewa, dan pinjam-meminjam), dan jinayah (kriminalitas) yang didasarkan atas syariat Islam diatur dengan qanun (peraturan daerah).
Undang-undang memberikan keleluasaan bagi Aceh untuk mengatur kehidupan masyarakat sesuai dengan ajaran Islam. Sekalipun begitu, pemeluk agama lain dijamin untuk beribadah sesuai dengan kenyakinan masing-masing. Inilah corak sosial budaya masyarakat Aceh, dengan Islam agama mayoritas di sana tapi provinsi ini pun memiliki keragaman agama.
Keanekaragaman seni dan budaya menjadikan provinsi ini mempunyai daya tarik tersendiri. Dalam seni sastra, provinsi ini memiliki 80 cerita rakyat yang terdapat dalam Bahasa Aceh,
Seni tari Aceh juga mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri, dengan ciri-ciri antara lain pada mulanya hanya dilakukan dalam upacara-upacara tertentu yang bersifat ritual bukan tontonan, kombinasinya serasi antara tari, musik dan sastra, ditarikan secara massal dengan arena yang terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak yang sederhana dan dilakukan secara berulang-ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.
Baris 17 ⟶ 24:
Tari-tarian yang ada antara lain [[Seudati]], [[Saman]], [[Rampak]], [[Rapai]], dan [[Rapai Geleng]]. Tarian terakhir ini paling terkenal dan merupakan perpaduan antara tari Rapai dan Tari Saman.
Dalam bidang seni rupa, [[Rumoh Aceh]] merupakan karya arsitektur yang dibakukan sesuai dengan tuntutan budaya waktu itu. Karya seni rupa lain adalah seni ukir yang berciri kaligrafi. Senjata khas Aceh adalah [[
Suku bangsa Aceh menyenangi hiasan manik-manik seperti kipas, tudung saji, hiasan baju dan sebagainya. Kemudian seni ukir dengan motif dapat dilihat pada hiasan-hiasan yang terdapat pada tikar, kopiah, pakaian adat, dan sebagainya.
== Budaya Bercocok Tanam ==
Bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga/instansi adat yang berwenang, yakni ''Panglima
Sistem pengelolaan hutan sebagai lahan bercocok tanam, fungsi ''Petua Seuneubôk'' tak dapat dinafikan. ''Seuneubôk'' sendiri maknanya adalah suatu wilayah baru di luar ''gampông'' yang pada mulanya berupa hutan. Hutan tersebut kemudian dijadikan ladang. Karena itu,
== Budaya Membuka Lahan Perkebunan ==
Bagi masyarakat Aceh terdapat sejumlah aturan yang sudah hidup dan berkembang sejak zaman dahulu. Kearifan masyarakat Aceh juga terdapat dalam larangan menebang pohon pada radius sekitar 500 meter dari tepi danau, 200 meter dari tepi mata air dan kiri-kanan sungai pada daerah rawa, sekitar 100 meter dari tepi kiri-kanan sungai, sekitar 50 meter dari tepi anak sungai (alue).
== Pamali atau Pantangan ==
# Selain itu, dalam adat Aceh dikenal pula sejumlah pantangan saat membuka lahan di wilayah ''seuneubôk''. Pantangan itu seperti ''peudöng jambô'' (mendirikan gubuk). Jambô atau gubuk tempat persinggahan melepas lelah sudah tentu ada di setiap lahan. Dalam adat meublang (bercocok tanam), ''jambô'' tidak boleh didirikan di tempat lintasan binatang buas atau tempat-tempat yang diyakini ada makhluk halus penghuni rimba. Bahan yang digunakan untuk penyangga gubuk juga tidak boleh menggunakan kayu bekas lilitan akar (''uröt''), karena ditakutkan akan mengundang ular masuk ke ''jambô'' tersebut.
Ada pula pantang ''daruet'' yang maksudnya anggota seuneubôk dilarang menggantung kain pada pohon, mematok parang pada tunggul pohon, dan menebas (''ceumeucah'') dalam suasana hujan. Hal ini karena ditakutkan dapat mendatangkan hama belalang (daruet).
Selain itu, di dalam kebun (hutan) juga dilarang berteriak-teriak atau memanggil-manggil seseorang saat berada di hutan/kebun. Hal ini ditakutkan berakibat mendatangkan hama atau hewan yang dapat merusak tanaman, seperti tikus, rusa, babi, monyet, gajah, dan sebagainya.
Disebutkan pula bahwa dalam adat Aceh terdapat pantangan masuk hutan atau hari-hari yang dilarang. Karena orang Aceh kental keislamannya, hari yang dilarang itu biasanya berkaitan dengan “hari-hari agama”.
Aceh juga mencatat sejumlah larangan atau pantangan dalam perilaku. Hal ini seperti memanjat atau melempar durian muda, meracun ikan di sungai atau alue, berkelahi sesama orang dewasa dalam kawasan ''seuneubôk'', mengambil hasil tanaman orang lain semisal buah rambutan, durian, mangga, dll., walaupun tidak diketahui pemiliknya, kecuali buah yang jatuh. Larangan tersebut tentunya menjadi cerminan sikap kejujuran dalam kehidupan di bumi yang mahaluas ini.
== Adat Bersawah ==
Dalam bersawah (''meupadé''), juga terdapat sejumlah ketentuan demi keberlangsungan kenyamanan dan keamanan bercocok tanam. Hal ini seperti ''hanjeut teumeubang
== Referensi ==
* {{id}} [http://acehpedia.org/Seni_Budaya_Aceh Ensiklopedia Aceh Terlengkap]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{id}} [http://id.scribd.com/doc/49435697/kebudayaan-daerah-aceh Kesenian Daerah Aceh]
* {{id}} [http://www.indonesia.go.id/in/pemerintah-daerah/provinsi-nanggroe-aceh-darussalam/sosial-budaya Portal Negara RI Tentang Sosial Budaya Aceh]{{Pranala mati|date=Februari 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}
* {{id}} [http://asclasin.wordpress.com/2011/08/23/seni-dan-budaya-provinsi-nanggroe-aceh-darussalam/ Seni Dan Budaya Aceh]
|