Sitti Nurbaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Baris 23:
| followed_by =
}}
'''''Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai''''' (sering disingkat '''''Sitti Nurbaya''''' atau '''''Siti Nurbaya'''''; [[Ejaan Republik]] '''''Sitti Noerbaja'''''; {{lang-ms|'''Siti Nurbaya'''}}; [[Abjad Jawi|Jawi]]: سيتي نوربايا) adalah sebuah [[Sastra Indonesia|novel Indonesia]] yang ditulis oleh [[Marah Rusli]]. Novel ini diterbitkan oleh [[Balai Pustaka]], penerbit nasional negeri [[Hindia Belanda]], pada tahun 1922. Penulisnya dipengaruhi oleh perselisihanpertentangan antara kebudayaan [[orang Minang|Minangkabau]] dari [[Sumatra Barat|Sumatra bagian barat]] dan penjajah Belanda, yang sudah menguasai Indonesia sejak abad ke-17. Pengaruh lain barangkali pengalaman buruk Rusli dengan keluarganya; setelah memilih perempuan [[Orang Sunda|Sunda]] untuk menjadi istrinya, keluarganya menyuruh Rusli kembali ke [[Kota Padang|Padang]] dan menikah dengan perempuan Minang yang dipilihkan.
 
''Sitti Nurbaya'' menceritakan cinta remaja antara Samsulbahri dan Sitti Nurbaya, yang hendak menjalin cinta tetapi terpisah ketika Samsu terpaksa pergi ke [[Jakarta|Batavia]] untuk melanjutkan pendidikan. Belum lama kemudian, Nurbaya menawarkan diri untuk menikah dengan Datuk Meringgih (yang kaya tetapi kasar) sebagai cara untuk ayahnya hidup bebas dari utang; Nurbaya kemudian dibunuh oleh Meringgih. Pada akhir cerita Samsu, yang menjadi anggota [[Koninklijk Nederlands-Indische Leger|tentara kolonial Belanda]], membunuh Meringgih dalam suatu revolusi lalu meninggal akibat lukanya.
 
Ditulis dalam [[bahasa Melayu]] yang baku dan termasukmencakup teknik penceritaan tradisional seperti [[pantun]], novel ''Sitti Nurbaya'' menyinggung tema kasih tak sampai, anti-pernikahan paksa, pengorbanan, [[kolonialisme]], dan [[modernisasi|kemodernan]]. Novel yang disambut baik pada saat penerbitan pertamanya ini sampai sekarang masih dipelajari di [[SMA|SMA-SMA]] se-Nusantara. Novel ini pernah dibandingkan dengan ''[[Romeo dan Julia]]'' karya [[William Shakespeare]] serta legenda Tiongkok ''[[Sampek Engtay]]''.
 
== Penulisan ==
Baris 74:
 
== Penerimaan ==
Keluarga Rusli tidak menerima novel ''Sitti Nurbaya'' dengan baik. DalamSang sepucukayah surat,mengutuknya ayahnyalewat telahsepucuk mengutuk Ruslisurat, sehingga Rusliia tidak pernah kembali ke Padang.{{sfn|Foulcher|2002|p=101}} Novelnya yang berikutnya, ''[[Anak dan Kemenakan]]'' (1958) bahkan lebih kritis terhadap kekakuan generasi sebelumnya.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|2007|p=131}}
 
Sampai setidaknya tahun 1930, ''Sitti Nurbaya'' merupakan salah satu karya Balai Pustaka yang paling populer, sering dipinjam dari perpustakaan. Setelah [[Proklamasi Kemerdekaan Indonesia|kemerdekaan Indonesia]], ''Sitti Nurbaya'' diajarkan sebagai salah satu karya sastra Indonesia yang klasik; ini menyebabkan novel ini "lebih sering dibaca dalam bentuk sinopsis daripada teks asli oleh berbagai generasi siswa SMA".{{sfn|Foulcher|2002|pp=88–89}} Sampai tahun 2008, buku ini sudah dicetak ulang 44 kali.{{sfn|Rusli|2008|p=iv}}
 
''Sitti Nurbaya'' sering dianggap salah satu karya sastra Indonesia yang paling penting,.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|2007|p=8}} dengan ceritaCerita cintanya dibandingkan dengan ''[[Romeo dan Julia]]'' karya [[William Shakespeare]] dan legenda Tiongkok ''[[Sampek Engtay]]''.{{sfn|KapanLagi 2004, broadcast}} Beberapa kritikus Barat, misalkan Teeuw dan penulis A. H. Johns, menganggap novel ini sebagai novel Indonesia pertama. ''[[Azab dan Sengsara]]'', yang diterbitkan pada tahun 1920,{{sfn|Balfas|1976|p=52}} dianggap kurang berkembang dalam tema kawin paksa dan segi negatif adat.{{sfn|Mahayana|Sofyan|Dian|2007|p=8}}
 
Teeuw menulis bahwa pesan moral dan sentimentalitas dalam ''Sitti Nurbaya'' terlalu berlebihan, seperti dalam ''Azab dan Sengsara''. Namun, dia beranggapan bahwa alur ''Sitti Nurbaya'' lebih menarik untuk pembaca dari latar belakang Barat daripada karya [[Merari Siregar]] itu.{{sfn|Teeuw|1980|p=87}} Menurut Siregar, Rusli bertindak sebagai dalang dalam novel ini, sehingga tokoh kadang-kadang dikesampingkan supaya penulis dapat menyatakan sesuatu secara langsung kepada pembaca. Dia juga beranggapan bahwa alur terasa dipaksakan, seakan penulis menghalangi aliran cerita.{{sfn|Siregar|1964|p=52}} Dia juga beranggapan bahwa Rusli telah menjadi juru bicara pemerintah kolonial, sebab Samsu, tokoh protagonis, menjadi prajurit Belanda dan Meringgih, tokoh antagonis, pemimpin kaum revolusioner; dia juga menyalahkan antipati Rusli terhadap agama [[Islam]] dalam novel.{{sfn|Siregar|1964|p=48}}