Sita harta bersama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Cahyo (WMID) (bicara | kontrib)
Artikel hibah, jangan dihapus. Sedang dikerjakan
k ~ref
 
(8 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Sita harta bersama''' atau disebut dengan '''sita marital''' adalah sita dengan dimohonkan oleh pihak suami atau istri terhadap suatu harta bersama baik yang bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya. Dalam sita ini dimohonkan agar selama proses pemeriksaan perkara berlangsung barang-barang tersebut yang menjadi harta bersama tidak dialihkan suami atau istri.<ref>{{Cite book|last=Amin|first=Muchsin Bani|date=2016|title=Hukum Acara Peradilan Agama|url-status=live}}</ref>
{{Inuse}}
A. Pengertian
 
== Tujuan ==
Dalam sistem hukum Indonesia, istilah sita harta bersama atau sita harta perkawinan, dapat juga disebut sita harta benda bersama suami-istri. Namun sipersingkat menjadi sita bersama. Sebutan itu memperlihatkan bahwa kedudukan setara atau ''equal'' antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.[1]
Tujuan dari sita harta bersama adalah sebagai berikut.<ref>{{Cite book|last=Harahap|first=M.Yahya|date=2006|title=Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,|location=Jakarta|publisher=Sinar Grafika|url-status=live}}</ref>
 
a.      # Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat.,
B. Tujuan Sita Harta Bersama[2]
b.      # Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik.,
c.      # Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.
 
Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam halterkait ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.<ref [3]name=":0">{{Cite book|last=Mertokusumo|first=Sudikno|date=1988|title=Hukum Acara Perdata Indonesia|location=Yogyakarta|publisher=Liberty|url-status=live}}</ref>Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.
a.       Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat.
 
== Tindakan pengamanan ==
b.       Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik.
C. Tindakan pengamanan yang diamantkandiamanatkan sita harta bersama berpedoman pada Pasal 832 Rv berdasarkan asas kepentingan beracara (''process doelmatigheid''). Menurut Pasal 832 Rv tindakan pengamanan meliputi:
 
a.      # Penyegelan,
c.       Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.
b.      # Pencatatan,
c.      # Penilaian harta bersama,
d.      # Penyitaan harta bersama.
 
== Pengaturan ==
Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam hal ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi. [3]Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.
Pengaturan sita harta bersama di antaranya:<ref name=":0" />
 
# Pasal 190 KUH Perdata, Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[5]<ref>{{Cite book|last=Subekti|first=R.|last2=Soesilo|first2=R.|title=Kitab Undang-undang Hukum Perdata|location=Bandung|publisher=Pradnya Paramita|url-status=live}}</ref> Ketentuan terdahulu berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Namun sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Pasal 190 KUH Perdata dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukan sebagai hukum adat tertulis.
[6]# PPtentangPasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,<ref>{{Cite book|title=PP tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.|url-status=live}}</ref>
[# Pasal 78 Huruf c UU No. 7] Tahun 1989,<ref>{{Cite book|title=Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49., dan|url-status=live}}</ref>
c.      # Pasal 823 Rv.
 
== Referensi ==
C. Tindakan pengamanan yang diamantkan sita harta bersama berpedoman pada Pasal 832 Rv berdasarkan asas kepentingan beracara (process doelmatigheid). Menurut Pasal 832 Rv tindakan pengamanan meliputi:
<references />
 
[[Kategori:Istilah hukum]]
a.       Penyegelan,
 
b.       Pencatatan,
 
c.       Penilaian harta bersama,
 
d.       Penyitaan harta bersama.
 
 
D. Pengaturan Sita Harta Bersama[4]
 
a.       Pasal 190 KUH Perdata,
 
Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[5] Ketentuan terdahulu berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Namun sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Pasal 190 KUH Perdata dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukan sebagai hukum adat tertulis.
 
b.       a.       Pasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,[6]
 
b.       Pasal 78 Huruf c UU No. 7 Tahun 1989,[7]
 
c.       Pasal 823 Rv.
----[1] Undang-Undang tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 2 Januari 1974, LNRI No. 3019, 1974.
 
[2] M. Yahya Harahap, H''ukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,'' Jakarta, Sinar Grafika. Hlm.428-429.
 
[3] Sudikno Mertokusumo, ''Hukum Acara Perdata Indonesia,'' Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 64.
 
[4] Ibid, hlm. 429-430.
 
[5] R. Subekti, R. Soesilo, ''Kitab Undang-Undang Hukum Perdata'', Pradnya Paramita, Bandung, cet. 25, hlm.60.
 
[6] PPtentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.
 
[7] Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49., dan