'''Sita harta bersama''' atau disebut dengan '''sita marital''' adalah sita dengan dimohonkan oleh pihak suami atau istri terhadap suatu harta bersama baik yang bergerak maupun tidak bergerak sebagai jaminan untuk memperoleh bagiannya. Dalam sita ini dimohonkan agar selama proses pemeriksaan perkara berlangsung barang-barang tersebut yang menjadi harta bersama tidak dialihkan suami atau istri.<ref>{{Cite book|last=Amin|first=Muchsin Bani|date=2016|title=Hukum Acara Peradilan Agama|url-status=live}}</ref>
{{Inuse}}
Dalam sistem hukum Indonesia, istilah '''sita harta bersama''' atau '''sita harta perkawinan''', dapat juga disebut '''sita harta benda bersama suami-istri''', diipersingkat menjadi '''sita bersama''' adalah XYZ. Sebutan itu memperlihatkan bahwa kedudukan setara atau ''equal'' antara suami dan istri dalam kehidupan rumah tangga. Kesetaraan secara tegas dirumuskan dalam Pasal 31 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974.[1]
== Tujuan ==
Tujuan dari sita harta bersama adalah sebagai berikut.<ref>{{Cite book|last=Harahap|first=M.Yahya|date=2006|title=Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,|location=Jakarta|publisher=Sinar Grafika|url-status=live}}</ref>
Menurut X, tujuan dari sita harta bersama adalah sebagai berikut.[2]
# Bukan dalam hal menjamin tagihan pembayaran kepada penggugat.,
# Bukan dalam hal menuntut penyerahan hak milik.,
# Tujuan utama dengan membekukan harta bersama suami dan istri melalui penyitaan, agar tidak berpindah kepada pihak ketiga selama proses perkara perceraian atau pembagian harta bersama berlangsung.
Sehingga adaya penyitaan terhadap harta bersama maka baik penggugat ataupun tergugat dalam halterkait ini suami-istri dilarang memindahkannya kepada pihak lain dalam segala bentuk transaksi.<ref [3]name=":0">{{Cite book|last=Mertokusumo|first=Sudikno|date=1988|title=Hukum Acara Perdata Indonesia|location=Yogyakarta|publisher=Liberty|url-status=live}}</ref>Hal ini bertujuan untuk melindungi kutuhan atau keberadaan harta bersama atas tindakan tidak bertanggungjawab tergugat.
== Tindakan pengamanan ==
== Pengaturan ==
Pengaturan sita harta bersama XYZ.[4]di antaranya:<ref name=":0" />
# Pasal 190 KUH Perdata, Sementara perkara berjalan, dengan izin hakim, istri boleh mengadakan tindakan-tindakan untuk menjaga agar harta kekayaan persatuan tidak habis atau diboroskan.[5]<ref>{{Cite book|last=Subekti|first=R.|last2=Soesilo|first2=R.|title=Kitab Undang-undang Hukum Perdata|location=Bandung|publisher=Pradnya Paramita|url-status=live}}</ref> Ketentuan terdahulu berlaku bagi golongan Eropa dan Tionghoa. Namun sejak UU No. 1 Tahun 1974 berlaku, Pasal 66 menegaskan bahwa ketentuan dalam KUH Perdata mengenai perkawinan dinyatakan tidak berlaku lagi. Pada Pasal 190 KUH Perdata dapat dijadikan bahan orientasi dalam kedudukan sebagai hukum adat tertulis.
# Pasal 24 ayat (2) Huruf C PP No. 9 Tahun 1975,[6]<ref>{{Cite book|title=PP tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975 LNRI Tahun 1975, No. 12.|url-status=live}}</ref>
# Pasal 78 Huruf c UU No. 7 Tahun 1989,[7]<ref>{{Cite book|title=Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49.|url-status=live}}</ref>
# Pasal 823 Rv.
== Referensi ==
<references />
[1] Undang-Undang tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 2 Januari 1974, LNRI No. 3019, 1974.
[[Kategori:Istilah hukum]]
[2] M. Yahya Harahap, H''ukum Acara Perdata Tentang Gugatan Persidangan, Penyitaan, Pembuktian dan Putusan Pengadilan,'' Jakarta, Sinar Grafika. Hlm.428-429.
[3] Sudikno Mertokusumo, ''Hukum Acara Perdata Indonesia,'' Liberty, Yogyakarta, 1988, hlm. 64.
[4] Ibid, hlm. 429-430.
[5] R. Subekti, R. Soesilo, ''Kitab Undang-Undang Hukum Perdata'', Pradnya Paramita, Bandung, cet. 25, hlm.60.
[6] PPtentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, diundangkan tanggal 1 April 1975, LNRI Tahun 1975, No. 12.
[7] Undang-Undang tentang Peradilan Agama, diundangkan tanggal 29 Desember 1989, LNRI Tahun 1989, No. 49., dan
|