Bingky Irawan: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
|||
(10 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Bingky Irawan''' (
Bingky saat ini adalah anggota presidium [[Matakin]]. [[Matakin]] singkatan dari [[Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia]], semacam [[Majelis Ulama Indonesia]] ([[MUI]]) untuk agama [[Islam]]. Matakin mengurus berbagai hal seputar [[Konghucu]] dari [[Sabang]] sampai [[Merauke]], mulai dari soal ritual, rumah ibadah ([[kelenteng]]), hingga hubungan antaragama dan pemerintah. Ia juga adalah mantan ketua Majelis Agama [[Konghucu]] [[Indonesia]] (Makin) [[Jawa Timur]]dan mantan pengurus [[Kelenteng]] Boen Bio di Jl Kapasan [[Surabaya]].
Bingky dikenal sangat dekat dengan KH [[Abdurrahman Wahid]], mantan presiden [[Republik Indonesia]] sekaligus kiai senior [[Nahdlatul Ulama]]. Ia memperjuangkan hak-hak sipil umat [[Konghucu]] dan warga [[Tionghoa]] umumnya.
Pada era [[Orde Baru]], warga keturunan [[Tionghoa]] di [[Indonesia]] mengalami [[diskriminasi]] hampir di segala bidang. Ekspresi budaya [[Tionghoa]] dilarang keras. Harus ganti nama dan ganti agama. Rezim [[Orde Baru]] hanya membakukan lima agama ([[Islam]], [[Protestan]], [[Katolik]], [[Hindu]], [[Buddha]]) sebagai agama resmi. Di luar lima itu dianggap bukan agama, termasuk [[Konghucu]]. Para penganut ajaran [[Konghucu]] ini juga diawasi secara ketat, termasuk ketika beribadah di [[kelenteng]] masing-masing.
Berdasar catatan Irianto Subiakto dari [[Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia]] (YLBHI), sedikitnya ada 50 peraturan perundangan-undangan yang mendiskriminasi etnis [[Tionghoa]] di [[Indonesia]]. Sebut saja Keputusan Presidium Kabinet Nomor 127 Tahun 1966 tentang peraturan ganti nama bagi WNI yang memakai [[nama Tionghoa]]. Keputusan Menteri Perdagangan dan Koperasi Nomor 285 Tahun 1978 tentang larangan mengimpor, memperdagangkan, dan mengedarkan segala jenis barang cetakan dalam huruf, aksara, dan [[bahasa Tionghoa]]. Instruksi Presidium Kabinet Nomor 37 Tahun 1967 tentang kebijaksanaan pokok penyelesaian masalah Tionghoa.
Baris 12:
Kebijakan Presiden [[Abdurrahman Wahid]] kemudian diteruskan oleh [[Megawati Soekarnoputri]], penggantinya. Presiden Megawati menetapkan Tahun Baru [[Imlek]] alias Sin Cia sebagai hari libur nasional. Ekspresi budaya, agama, seni, bahasa, dan segala sesuatu yang berbau [[Tionghoa]] pun bisa dinikmati di tanah air.
== Kasus Hak Sipil Pengantin Konghuchu ==
Menjelang kejatuhan [[Orde Baru]] Bingky Irawan bersama umat [[Konghucu]] menghadapi masalah serius menyangkut hak-hak sipil. Ada sepasang pengantin beragama [[Konghucu]], Budi Wijaya dan Lanny Guito, menghadapi masalah besar saat hendak mencatatkan pernikahannya di Kantor Catatan Sipil Surabaya.
Pegawai Catatan Sipil menolak karena agama [[Konghucu]] tidak diakui di [[Indonesia]]. Seperti diketahui, pemerintah hanya mengakui lima 'agama resmi'. Budi-Lanny pun diminta untuk memilih salah satu dari lima agama itu agar pernikahannya bisa dicatat dan diakui negara. Praktik ini sudah dianggap 'lazim' selama [[Orde Baru]].
Hampir semua umat Konghucu terpaksa main sandiwara dengan 'mengganti' agamanya di depan pejabat [[Catatan Sipil]] hanya untuk melegalisasi pernikahannya. Begitu pula untuk beroleh selembar [[kartu tanda penduduk]] ([[KTP]]) atau surat-surat lain yang punya kolom agama.
Budi dan Lanny yang baru saja melangsungkan pernikahan di kelenteng Konghuchu menolak kebijakan [[Catatan Sipil]] (Dinas Kependudukan) yang diskriminatif itu. Keduanya nekat mengajukan gugatan resmi ke [[Pengadilan Tata Usaha Negara]] ([[PTUN]]) [[Surabaya]]. Disebut 'nekat' karena sebelumnya tidak ada orang [[Konghucu]] atau penganut agama/kepercayaan di luar lima agama resmi yang berani mempertanyakan kebijakan pemerintah di bidang administrasi kependudukan.
Sebagai pemuka [[Konghucu]], Bingky Irawan harus mengawal dan mendampingi kedua jemaatnya yang masih muda itu. Ia menekankan permintaan agar pernikahan umat [[Konghucu]] dicatat seperti juga umat yang beragama lain.
Sidang kasus Budi-Lanny ini mendapat sorotan luas dari media massa. Polemik, perbedaan pendapat, muncul dari berbagai tokoh. Boleh dikata, sebagian besar pembicara menganggap tepat kebijakan Catatan Sipil yang menolak mengakui pernikahan Budi-Lanny. Polemik kemudian melebar seputar layak tidaknya Konghuchu disebut agama. Saat itulah [[Gus Dur]] muncul dengan pembelaannya yang terbuka terhadap umat [[Konghucu]], khususnya Budi dan Lanny.
Baris 31 ⟶ 30:
== Biodata ==
* Nama
* Tempat/tanggal lahir: [[Surabaya]], 7 Februari 1952
* Istri: Susilowati
* Anak: Puspita Sari, Agus Purwanto, Agus Cahyono, Agus Kurniawan
* Alamat: Jl Raya Sepanjang, Taman, [[Sidoarjo]]
* Pekerjaan: Pengusaha, Agamawan [[Konghucu]]
Baris 46 ⟶ 45:
* 1986-1991: Wakil Ketua Pengurus Kelenteng Boen Bio, [[Surabaya]].
* 1991-2006: Ketua Pengurus Kelenteng Boen Bio, [[Surabaya]].
* 1991-2006
* 2006-sekarang: Anggota Presidium [[Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia]] ([[Matakin]]), Jakarta.
* 1991-sekarang: Forum Lintas Agama di [[Surabaya]], [[Jawa Timur]].
== Pranala luar ==
* [https://web.archive.org/web/20070729133234/http://hurek.blogspot.com/2007_08_01_archive.html/ Artikel Bingky Irawan di Jawa Pos]
[[Kategori:Kelahiran 1952|Irawan, Bingky]]
|