Sejarah Kota Samarinda: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2
 
(14 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
 
 
 
'''Sejarah [[Kota Samarinda]]''' dari perkampungan kuno hingga menjadi sebuah kota secara administratif dipengaruhi oleh sistem politik pemerintahan [[Kesultanan Kutai Kartanegara ing Martadipura|Kerajaan Kutai Kartanegara]] (1300–1844), [[Kesultanan Banjar|Kerajaan Banjar]] (1546–1700), [[Hindia Belanda|Pemerintah Hindia Belanda]] (1844–1942 dan 1945–1949), Pemerintah Militer [[Jepang]] (1942–1945), dan [[Pemerintah Indonesia|Pemerintah Republik Indonesia]] (1950–sekarang).<ref name="Sarip">{{cite book|last=Sarip|first=Muhammad|date=2017|title=Samarinda Tempo Doeloe Sejarah Lokal 1200–1999|publisher=Samarinda: RV Pustaka Horizon|pages=14}}</ref>
 
Baris 13 ⟶ 16:
Pada abad ke-13 Masehi (tahun 1201–1300), sebelum dikenalnya nama Samarinda, sudah ada perkampungan penduduk di enam lokasi yaitu:
# [[Pulau Atas, Sambutan, Samarinda|Pulau Atas]];
# Karangasan ([[Karang Asam]]);
# Karamumus ([[Karang Mumus, Samarinda Kota, Samarinda|Karang Mumus]]);
# Luah Bakung ([[Loa Bakung, Sungai Kunjang, Samarinda|Loa Bakung]]);
Baris 23 ⟶ 26:
== Masuknya Orang Banjar ke Samarinda ==
 
[[SukuUrang Banjar]] adalah suku bangsa yang menempati wilayah [[Kalimantan Selatan]], serta sebagian [[Kalimantan Tengah]] dan sebagian [[Kalimantan Timur]]. Keberadaan suku Banjar di Samarinda dan daerah lainnya di Kalimantan Timur tidak dikategorikan sebagai kaum pendatang karena sebelum pembentukan provinsi-provinsi pada tahun 1957, Pulau Kalimantan kecuali daratan [[Malaysia]] dan [[Brunei]] merupakan satu provinsi dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, yakni [[Provinsi Kalimantan|Kalimantan]] dengan ibukotaibu kota [[Banjarmasin]].
 
SukuUrang Banjar adalah sukumasyarakat asli di Pulau Kalimantan. Sementara itu, Samarinda bagian dari Kalimantan Timur; dan Kalimantan Timur bagian dari Kalimantan. Maka, suku Banjar di Samarinda dalam konteks geografis bisa disebut suku asli.
 
Pada tahun 1565, terjadi migrasi (perpindahan penduduk) sukuurang Banjar dari Batang Banyu ke daratan Kalimantan bagian timur. Ketika itu rombongan Banjar dari [[Amuntai]] di bawah pimpinan Aria Manau dari [[Kerajaan Kuripan]] (Hindu) merintis berdirinya [[Kerajaan Sadurangas]] (Pasir Balengkong) di daerah [[Paser]]. Selanjutnya sukuurang Banjar juga menyebar di wilayah Kerajaan Kutai Kartanegara, yang di dalamnya meliputi kawasan di daerah yang sekarang disebut Samarinda. Inilah yang melatarbelakangi terbentuknya [[bahasa Banjar]] sebagai bahasa dominan mayoritas masyarakat Samarinda di kemudian hari, walaupun telah ada beragam suku yang datang, seperti Bugis dan Jawa.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 17-18</ref>
 
Awal pemukiman sukuurang Banjar di daerah Kalimantan bagian Timur dimulai sejak Kerajaan Kutai Kartanegara berada dalam otoritas (kekuasaan) Kerajaan Banjar setelah runtuhnya [[Kesultanan Demak]] pada tahun 1546 Masehi. Hal ini dinyatakan oleh tim peneliti dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1976.<ref name="Depdikbud">Tim Penyusun (1976). ''Adat dan Upacara Perkawinan Daerah Kalimantan Timur''. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, hlm. 17.</ref>
 
Sampai pertengahan abad ke-17 (dekade 1650-an), wilayah Samarinda merupakan lahan persawahan dan perladangan beberapa penduduk yang pada umumnya dipusatkan di sepanjang tepi Sungai Karang Mumus dan Karang Asam.<ref name="pemkot">{{cite web |url=http://www.samarindakota.go.id/content/sejarah-kota-samarinda |title=Sejarah Kota Samarinda |publisher=Pemerintah Kota Samarinda |accessdate=31 Desember 2014 |archive-date=2017-05-30 |archive-url=https://web.archive.org/web/20170530045733/http://www.samarindakota.go.id/content/sejarah-kota-samarinda |dead-url=yes }}</ref>
 
== Kedatangan Orang Bugis Wajo ke Samarinda ==
Baris 41 ⟶ 44:
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini berdasarkan estimasi/asumsi pelayaran selama 64 hari ditambahkan sejak tanggal 18 November 1667, sehingga diperoleh tanggal 21 Januari 1668.<ref name="MKSKS 168"/>
 
Penetapan tanggal 21 Januari 1668 ini kemudian mendapat legitimasi politis pada saat kepemimpinan Wali kota Samarinda Drs. H. [[AndiAbdul Waris Husain]] dengan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Samarinda Nomor 1 tahun 1988 pasal 1 yang berbunyi: "Hari Jadi Kota Samarinda ditetapkan pada tanggal 21 Januari 1668 M, bertepatan dengan tanggal 5 Sya'ban 1078 Hijriyah".<ref name="MKSKS 168"/>
 
Raja Kutai saat itu, [[Aji Pangeran Dipati Maja Kusuma ing Martapura]] mengabulkan permintaan tersebut kemudian memberikan lokasi kampung dataran rendah yang baik untuk usaha pertanian, perikanan, dan perdagangan kepada mereka. Kesepakatannya, orang-orang Bugis Wajo harus membantu segala kepentingan Raja Kutai, terutama dalam menghadapi musuh.<ref name="MKSKS 168"/>
Baris 52 ⟶ 55:
 
Versi ke-4 menurut kutipan C.A. Mees, permintaan izin orang Bugis dengan Raja Kutai berlangsung di Jembayan, yang berarti pertemuan ini terjadi minimal pada tahun 1732, sesuai dengan catatan sejarah bahwa pusat kerajaan dari Kutai Lama dipindahkan ke Jembayan pada tahun 1732–1782. Kemudian, pemimpin orang Bugis yang disetujui sebagai Pua Ado adalah Anakoda Tujing, bukan La Mohang Daeng Mangkona.<ref>Mees, pp. 264-265</ref>
 
Mengenai nama La Mohang Daeng Mangkona yang diklaim sebagai pendiri Samarinda Seberang, hal ini kontroversi. Namanya tidak ditemukan dalam sumber arsip dan literatur kolonial. Namanya juga tidak tercatat dalam surat perjanjian antara Bugis dan Raja Kutai. Yang tercatat dalam perjanjian beraksara Arab-Melayu dan penelitian S.W. Tromp (1881) sebagai pemimpin Bugis adalah Anakhoda Latuji.<ref>Tromp, Solco Walle (1887). Eenige Mededeelingen Omtrent de Boeginezen van Koetai. Bijdragen toot de Taal Land en Volkenkunde, vol. 36, issue 1, p.177.</ref> Adapun makam yang berpapan nama sebagai makam tokoh pendiri Samarinda, yakni La Mohang Daeng Mangkona, baru ditemukan oleh M. Thaha pada dekade 1990-an. Sebelumnya, tidak ada pemeliharaan dan pengenalan atas makam tersebut. Hal ini diinformasikan oleh Pemerintah Kota Samarinda, ketika menerbitkan buku profil 46 tokoh masyarakat penerima penghargaan dalam rangka HUT Pemkot Samarinda ke-47 tahun 2007.<ref>Vaturusi, Umar dan Herman A. Hasan (2007). Pengabdiannya Menuai Penghargaan Mutiara-Mutiara Samarinda Edisi Ketiga. Samarinda: Pemerintah Kota Samarinda, p.39.</ref>
 
== Asal-Usul Nama Samarinda ==
Baris 57 ⟶ 62:
Ada beraneka versi mengenai latar belakang terciptanya nama Samarinda.
 
Versi pertama berdasarkan persamaan ukuran tinggi rumah-rumah rakit/terapung penduduk Bugis Wajo di [[Samarinda Seberang]] yang tidak ada yang lebih tinggi antara satu dengan yang lain, sehingga disebut “sama-rendah”, yang juga bermakna tatanan kemasyarakatan yang egaliter.<ref>Tim Penyusun (2004),</ref>
 
Versi kedua berdasarkan persamaan ukuran tinggi Sungai Mahakam dengan daratan di tepiannya yang sama-sama rendah. Sampai awal dasawarsa tahun 1950-an setiap air Sungai Mahakam pasang naik, sebagian besar jalan-jalan di Samarinda selalu terendam air. Terlebih lagi jika sedang pasang besar, ada beberapa jalur jalan yang sama sekali tidak dapat dilintasi kendaraan karena ketinggian air yang merendamnya. Guna menanggulangi masalah tersebut, sejak awal 1950-an dilakukan penurapan lalu jalan ditinggikan hingga berkali-kali. Pada tahun 1978 ketinggian total bertambah 2 meter dari permukaan awal sehingga jalan tidak lagi terendam kecuali Mahakam pasang luar biasa.<ref>Dachlan, Oemar (1978). “''Asal“Asal-Usul Nama Samarinda Sejak Zaman sebelum Kemerdekaan, Nama Ini Sudah Terkenal di Seluruh Indonesia''.” Jakarta: Majalah Bulanan Prima, April 1978) dalam Oemar Dachlan, ''Kalimantan Timur dengan Aneka Ragam Permasalahan dan Berbagai Peristiwa Bersejarah yang Mewarnainya'',. (Jakarta: Yayasan Bina Ruhui Rahayu, 2000), hlm. 133.</ref>
 
Versi ketiga berdasarkan asal kata dari bahasa Sansekerta, yaitu “Samarendo” yang berarti selamat sejahtera.{{cite book|last=<ref>Al Haddad|first=, Sajed Alwi Tahir|date=1957|title= (1887). Sejarah Perkembangan Islam di Timur Jauh|publisher=. Djohor al Mahtab Addaini|pages=101–106}, p.101-106.</ref>
 
Versi keempat berdasarkan cerita rakyat bahwa nama Samarinda berasal dari [[bahasa Melayu]] dari kata “samar” dan “indah”.
 
Sampai menjelang akhir abad ke-20 atau sekitar dekade 1980-an warga masih menyebut Samarinda dengan lafal “Samarenda” (pengucapan huruf “e” seperti pada kata “beta”) walaupun dalam bahasa penulisannya sudah berubah menjadi “Samarinda”.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari''</ref>
 
== Era Kolonial Belanda ==
Baris 81 ⟶ 86:
Sekitar tahun 1870 La Jawa gelar Kapitan Jaya memimpin beberapa orang Bugis untuk membuka [[Bugis, Samarinda Kota, Samarinda|Kampung Bugis]] (di kawasan kantor Korem sekarang). Tahun 1880 La Makkaroe Daeng Masikki, seorang Bugis Bone, dihikayatkan membuka pemukiman di [[Jawa, Samarinda Ulu, Samarinda|Kampung Jawa]]. Sementara itu, orang-orang Banjar tidak membentuk kampung khusus Banjar karena penyebaran mereka merata di wilayah Samarinda dan Kesultanan Kutai.
 
Seterusnya kedatangan etnis Tionghoa tahun 1885 ditempatkan di sekitar [[Pelabuhan, Samarinda Kota, Samarinda|Pelabuhan]] (sekarang meliputi kawasan Jl. Yos Sudarso dan Jl. Mulawarman). Setelah itu berdatangan pula etnis lainnya seperti Arab, India, Jawa, SumateraSumatra, dan lain-lain. Kemudian Belanda membangun perkantoran dί sekitar kawasan kantor Gubernur sekarang sebagai pusat pemerintahan.
 
Samarinda sebagai pusat pemerintahan berkembang pesat dengan fasilitas kantor, jalan umum, dan lainnya. Semuanya merupakan daya tarik bagi pemukim baru untuk menetap dί kota ini. Kawasan Samarinda yang dί seberang (Palarang) tidak berkembang lagi. Dengan peranan Palarang yang sudah tergantikan oleh kawasan di seberangnya maka tercetuslah istilah Samarinda Seberang untuk wilayah Palarang dan Samarinda untuk wilayah pusat kota dan pemerintahan.<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 49-52</ref>
Baris 87 ⟶ 92:
Pada tanggal 3 Februari 1942, Belanda menyerahkan kekuasaan pemerintahan di Samarinda kepada balatentara Jepang. Tak seperti daerah lainnya, Pemerintah Hindia Belanda di Samarinda menyerah kepada Jepang tanpa perlawanan.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', pp. 14-15.</ref>
 
Setelah Jepang menyerah kepada sekutu pada 15 Agustus 1945 dan Republik Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Samarinda dengan membonceng pasukan sekutu yang bertugas melucuti tentara Jepang. Pada tanggal 1 Januari 1946, LetnanWakil Gubernur Jenderal Hindia Belanda membentuk Keresidenan Kalimantan Timur dengan ibukota Samarinda. Residen atau kepala pemerintahan Kaltim pertama adalah F.P. Heckman.<ref>Sarip (2016), ''Almanak Sejarah Samarinda'', p. 2.</ref>
 
Dalam rentang waktu 1945 hingga 1949 rakyat Samarinda melakukan perlawanan terhadap Belanda. Ada dua strategi perlawanan yang dipakai, yaitu jalur diplomasi dan jalur gerakan bersenjata. Aktivitas politik diplomasi dilakukan oleh partai lokal Ikatan Nasional Indonesia (INI) dan Front Nasional, dengan tokoh utamanya [[Abdoel Moeis Hassan]]. Sementara itu, jalur gerakan bersenjata ditempuh oleh para pemuda dengan mendirikan [[Barisan Pemberontakan Rakyat Indonesia]] (BPRI) setelah berkoordinasi dengan rombongan BPRI dari [[Banjarmasin]].<ref>Sarip (2015), ''Samarinda Bahari'', pp. 120-139</ref>