Jamalul Alam dari Aceh: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
LaninBot (bicara | kontrib)
k ibukota → ibu kota
k Pranala luar: clean up
 
(2 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3:
 
== Masa awal pemerintahan ==
Pada masa pemerintahan sultan sebelumnya dia telah dipersiapkan untuk menduduki takhta kesultanan. Dia bernama Aluddin merupakan putra mahkota dari [[Badrul Alam dari Aceh|Sultan Badrul Alam Syarif Hasyim Jamaluddin]]. Pada tahun [[1702]] Sultan Badrul Alam meninggal dunia tidak lama setelah digulingkan. Kematian sultan mewariskan takhta yang menjadi rebutan antara Alauddin dengan pamannya [[Perkasa Alam dari Aceh|Perkasa Alam Syarif Lamtui]]. Namun dua bulan setelah pemerintahan Perkasa Alam Syarif Lamtui kedudukan Alauddin diakui menjadi sultan dengan gelar Sultan Jamalul Alam Badrul Munir. Masa-masa awal pemerintahannya dia digambarkan sebagai sultan yang mampu memerintah Aceh dengan baik. Rentang waktu pemerintahan dia merupakan periode paling lama bagi sultan Aceh dari wangsa Syarif. Menurut seorang [[Belanda]] yang melaporkan tentang keadaan masa pemerintahan dia mencatat bahwa ramai saudagar yang bermukim di Aceh. Sultan yang tidak mengambil hak pada bidang perdagangan tetapi mengambil 10% pajak dari nilai barang impor.<ref name="Djajadiningrat 1911 p. 196">Djajadiningrat (1911), p. 196; Taniputera (2013), p. 194.</ref>.
 
== Hubungannya dengan Eropa ==
Menurut laporan [[VOC]] yang mendominasi perdagangan di beberapa bagian pantai barat [[Sumatra]], sultan merencanakan merebut kembali wilayah Aceh yang telah dikuasai Belanda. Dalam upaya tersebut pada tahun [[1712]], dia menyiapkan armada yang akan menundukkan daerah pesisir [[Padang]]. Pada tahun yang sama dia gagal membujuk Sultan [[Kesultanan Johor|Johor]] untuk membantu dia menyerang Belanda di [[Melaka]].<ref>Coolhaas (1976), pp. 841, 857.</ref>. Akibatnya rencana dia sama sekali tidak bisa dilaksakan. Aceh yang sejak terakhir kalinya pada masa [[Sultan Iskandar Muda]] telah kehilangan kemampuan tertinggi militernya. Untuk menjaga keamanan di Aceh sultan berusaha memperluas hubungan dagang dengan orang-orang [[Kerajaan Britania Raya|Inggris]] yang memiliki berada di [[Chennai|Madras]] [[India]] dan [[Bengkulu]] di [[Sumatra]]. Pada saat ini banyak pedagang Aceh mengunjungi pantai India. Tahun [[1709]] Jamalul Alam mengundang pedagang Inggris dari Madras untuk datang ke Aceh. Saran itu diterima dengan baik dan banyak kapal-kapal Inggris berlabuh di pelabuhan Aceh pada tahun-tahun berikutnya. Perdagangan Inggris di Aceh menurun dari tahun [[1716]] hingga [[1730]] ketika para pedagang [[China]] mulai menghindari Aceh dan lebih tertarik untuk berlabuh di [[Kepulauan Riau]]. Penurunan volume perdagangan ini membuat sultan terpaksa memperketat kontrol perdagangan di seluruh pelabuhan Aceh, hal ini mengubah situasi yang sekian lama relatif tenang menjadi kekacauan internal yang cukup serius.<ref>Lee (1995), pp. 19-20.</ref>.
 
== Tahun-tahun akhir ==
Pada tahun [[1723]]-[[1724]] Batubara memisahkan diri dari Aceh dengan melakukan pemberontakan beberapa tahun setelah kekacauan. Jamalul Alam akhirnya menyiapkan dan memimpin pasukan dari Aceh untuk menumpas pemberontakan orang-orang Batubara. Namun dia tidak pernah berhasil memadamkan pemberontakan itu. Menurut cerita yang berkembang bahwa para pemimpin Batubara pura-pura tunduk dan mengirim kelapa muda dicampur racun kepada sultan yang diminum oleh dia tanpa rasa curiga. Dia jatuh sakit dan segera menarik diri dari kampanye militer yang segera diikuti oleh armada nya. Para pemberontak lalu membentengi Batubara terhadap kemungkinan serangan lebih lanjut.<ref name="Djajadiningrat 1911 p. 196"/>. Dalam satu babad disebutkan bahwa popularitas sultan Jamalul Alam tenggelam sejak dia mendatangkan orang-orang [[Afrika]] untuk menjadi pengawalnya. Namun orang-orang Afrika ini digambarkan gemar melakukan kekacauan dan tidak disukai oleh orang-orang Aceh.<ref name="Djajadiningrat 1911, p. 198">Djajadiningrat (1911), p. 198.</ref>.
 
Dua tahun setelah pembelotan Batubara sultan mengunjungi XXII Mukim, satu wilayah dari tiga wilayah sagi Aceh. Kedatangan dia dalam sebuah rencana yang dirahasiakan untuk menangkap serta memenjarakan Muda Setia (panglima XXII mukim) yang tidak disukai oleh sultan. Rencana rahasia itu terbongkar sebelum sultan menangkap Muda Setia yang akhirnya melarikan diri dan mengumpulkan pasukan besar guna menghadapi Jamalul Alam. Pertempuran pecah antara pasukan setia kepada sultan dengan orang-orang XXII mukim yang melindungi Muda Setia. Kekerasan bersenjata itu berakhir dengan kekalahan sultan dan dengan terpaksa dia mencari perlindungan ke sebuah benteng serta mendengarkan segala arahan dari para penasehatnya. Oleh Panglima Maharaja sultan disarankan untuk mengasingkan diri ke [[Pidie]] serta mempercayakan pertahanan benteng utama ibu kota ketangan seorang perwira [[Bugis]] Maharaja Lela hingga keadaan berhasil di atasi dan kekuasaan sultan dipulihkan. Sultan menjalankan saran Panglima Maharaja dan mengungsi ke Pidie pada bulan November tahun [[1726]].<ref>Djajadinigrat (1911), p. 197.</ref>.
 
== Peranan setelah turun tahta ==
Setelah beberapa kekacauan Panglima Maharaja mengambil alih kekuasaan sebagai [[Jauharul Alam dari Aceh|Sultan Jauharul Alam Aminuddin Syah]], namun pemerintahannya hanya berlangsung beberapa hari dan digantikan oleh [[Syamsul Alam dari Aceh|Sultan Syamsul Alam]]. Kelakpada tahun [[1727]] Maharaja Lela dinobatkan sebagai sultan dengan gelar [[Sultan Alauddin Ahmad Syah]]. Maharaja Lela yang masih menghormati Jauharul Alam pada masa akhir pemerintahannya mengundang dia bersama para panglima dari XXII mukim, XXV mukim dan XXVI mukim ke ibu kota guna membicarakan suksesi takhta kesultanan. Namun pertemuan itu gagal mempersatukan pendapat resmi tentang takhta sultan. Ketika Alauddin Ahmad Syah meninggal pada tahun [[1735]], para panglima XXII dan XXV mukim memilih [[Sultan Alauddin Johan Syah|Alauddin Johan Syah]] sebagai sultan sedangkan XXVI Mukim mendukung Jamalul Alam.<ref name="Djajadiningrat 1911, p. 198"/>. Sekali lagi kisruh internal istana ini meluas menjadi perseteruan bersenjata para pihak yang saling mengklaim kekuasaan. Sultan resmi Alauddin Johan Syah yang menuai banyak dukungan dari wilayah sagi mencoba untuk menghindari pertikaian perang sipil yang mungkin akan segera pecah di Aceh. Dalam kapasitas dia sebagai sultan dia memperingatkan saudara bungsunya Pocut Muhammad agar tidak menyerang Jamalul Alam yang juga menobatkan diri sebagai sultan tandingan yang memerintah dari benteng Gampong Jawa. Meskipun telah diingatkan agar tidak menyerang keturunan Nabi, Pocut Muhammad tetap mengibarkan bendera perang terhadap Jamalul Lail. Dengan dukungan sepenuhnya dari orang-orang Pidie Pocut Muhammad berhasil mengusir Jamalul Alam dari Gampong Jawa dan akhirnya meninggal di Gampong Kandang, Neusu.<ref>Djajadiningrat (1911), p. 199.</ref>. Kisah ini dituliskan secara heroik dalam sebuah babad sejarah '''[[Hikayat Pocut Muhammad]]'''.<ref>Drewes (1979).</ref>.
 
== Referensi ==
Baris 32:
{{kotak selesai}}
{{Portal bar|Islam|Biografi|Sejarah}}
{{DEFAULTSORT:{{PAGENAME}}}}
<!--anda dapat berkontribusi dalam pelacakan artikel biografi tokoh muslim di wikipedia dengan menambahkan templat ini pada halaman tokoh muslim yang belum terhimpun di dalam kategori pelacakan --Kategori:Semua artikel biografi tokoh muslim -- Lihat Templat:Lifetime-Tokoh-Muslim -->
{{Lifetime-Tokoh-Muslim
Baris 56 ⟶ 55:
|tempat_makam =
}}
 
[[Kategori:Sultan Aceh]]