Dukun: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.2 |
k →Sejarah: clean up |
||
Baris 7:
== Sejarah ==
Istilah dukun biasanya digunakan di daerah [[Desa|pedesaan]], sedangkan orang pintar atau [[paranormal]], untuk menyatakan hal yang sama, digunakan lebih umum diantara populasi [[Kawasan perkotaan|perkotaan]]. Penerimaan sosial terhadap istilah orang pintar pun biasanya lebih positif dibandingkan penggunaan istilah dukun.
Sebab, meskipun memiliki persamaan karakteristik dengan dukun dalam hal bantuan yang diberikan, merujuk pada penggunaan istilah orang pintar biasanya tidak meminta [[Upah|imbalan]] atas jasa yang diberikan dan tak seperti tipikal dukun dalam penggunaannya secara istilah, keberadaan orang pintar di dalam masyarakat, tak berbeda dengan anggota komunitas lainnya.<ref name=":0" />
Selain menarik bayaran untuk keuntungan pribadi serta kurang berinteraksi dan berbaur dengan [[komunitas]] masyarakat, [[konotasi]] negatif yang muncul apabila istilah dukun yang digunakan, yaitu cenderung bersifat oportunistik dan menjalani [[Ritual|praktik-praktik]] tidak bermoral, dengan dalih sebagai bagian dari ''treatment''.<ref>{{Cite news|url=http://indonesiaexpat.biz/featured/something-wicked-this-way-comes/|title=Something Wicked This Way Comes - Indonesia Expat|date=2012-10-23|newspaper=Indonesia Expat|language=en-US|access-date=2017-11-02}}</ref>
Dukun dalam pengertiannya yang asli dan tak dibedakan dari istilah orang pintar, mempunyai peranan signifikan dalam masyarakat.<ref name=":0" /> Adanya pengobatan medis modern dan [[asuransi kesehatan]], terutama di daerah pelosok, tidak dapat menyingkirkan eksistensi pengobatan alternatif melalui dukun. Penyembuhan penyakit secara non-medis tersebut masih dipraktikkan dan masih menjadi pilihan utama masyarakat karena lebih murah dan lebih mudah.
Di [[Kota Kediri|Kediri]], dukun yang membantu menyembuhkan penyakit sangat dibutuhkan dan dihormati di masyarakat, sehingga mereka memegang peranan sosial yang cukup penting. Para pasien yang datang untuk berobat ke sana tidak hanya terbatas dari dalam Kediri saja, tetapi juga dari luar Kediri, hingga luar provinsi, bahkan luar [[Jawa|pulau Jawa]].<ref name=":1">{{Cite journal|last=Arini|first=Ratih Tyas|last2=Alimi|first2=Moh Yasir|last3=Gunawan|first3=Gunawan|date=2016-08-22|title=The Role of Dukun Suwuk and Dukun Prewangan in Curing Diseases in Kediri Community|url=https://journal.unnes.ac.id/nju/index.php/komunitas/article/view/4461|journal=KOMUNITAS: INTERNATIONAL JOURNAL OF INDONESIAN SOCIETY AND CULTURE|language=en|volume=8|issue=2|pages=328–338|doi=10.15294/komunitas.v8i2.4461|issn=2460-7320}}</ref>
Baris 19:
Di samping peran signifikannya, keberadaan aktivitas perdukunan sering kali menjadi [[kontroversi]].<ref name=":0" /> Berdasarkan hasil penelitian tentang fenomena dukun yang dilakukan di [[Pulau Madura|Madura]], dapat diketahui bahwa melalui dukun adalah salah satu strategi yang digunakan untuk mendapatkan kedudukan [[Sosialisme|sosial]], [[ekonomi]], dan [[politik]] di masyarakat.
Penggunaan kekuatan yang berasal dari sumber [[Mistisisme|gaib]] sebagai cara terpenting maupun sebagai cara alternatif untuk mencapai keinginan dan tujuan pribadi secara seketika, yang mana agama tak menjanjikan keinstanan tersebut, telah ada di Madura sejak bertahun-tahun lalu. Hal-hal pribadi yang diinginkan melalui perantara kekuatan gaib itu meliputi keinginan meningkatkan kedudukan sosial, mencapai kuota dan target [[bisnis]], kemajuan karier, kesuksesan pendidikan, kesehatan, hingga asmara.
Beberapa [[Suku Madura|orang Madura]] mengidentifikasikan diri sebagai [[Muslim]] dan mengamalkan ajaran serta kepercayaan agama, tetapi pada saat yang sama melibatkan diri dengan aktivitas yang berhubungan dengan alam gaib yang tidak diperbolehkan sekaligus dibenarkan dalam agama dan [[Keyakinan dan kepercayaan|kepercayaan]] tersebut.<ref name=":2">{{Cite journal|last=Haryanto|first=Bangun Sentosa D.|date=2015-12-31|title=The Dukuns of Madura: Their Types and Sources of Magical Ability in Perspective of Clifford Geertz and Pierre Bourdieu|url=http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/view/3479|journal=Hubs-Asia|language=en|volume=9|issue=1|pages=107–118|issn=2406-9183|access-date=2017-11-02|archive-date=2017-11-07|archive-url=https://web.archive.org/web/20171107003032/http://hubsasia.ui.ac.id/index.php/hubsasia/article/view/3479|dead-url=yes}}</ref>
Dukun dan perdukunan merupakan suatu [[dilema]]. Pada satu sisi dipandang sebagai profesi dan aktivitas yang kotor, tetapi pada sisi yang lain setidaknya memainkan peran dinamis dalam sistem sosial, budaya, dan hubungan politik. Dalam terminologi yang oleh sosiologis [[Prancis]], [[Pierre Bourdieu]], sebut sebagai ''cultural capital,'' yang diakumulasikan untuk mendominasi masyarakat.
Istilah dukun yang populer di daerah pedesaan itu pada perkembangannya menjadi jarang digunakan. Sebagai gantinya digunakan kata yang lebih halus atau yang lebih mengindikasikan orientasi keagamaan seperti ''Ki'' atau ''Aki'', ''Abah'', ''[[Haji (gelar)|Haji]]'', ''[[Kiai|Kyai]]'', atau ''[[Ustaz]]'', agar secara [[konsensus]] sosial tak berbahaya, sehingga dapat mengganggu aktivitas atau kebutuhan mereka.<ref name=":2" />
Kemajuan peradaban yang salah satunya diukur dengan keikutsertaan sebuah bangsa pada [[modernisasi]] yang berdasarkan rasionalitas, menyebabkan cara hidup [[Tradisionalisme|tradisional]] yang dipandang sebagai sebuah ''kemandegan'', harus ditinggalkan. Termasuk di dalam cara hidup tradisional adalah praktik dukun dalam membantu proses melahirkan.
Tingginya angka kematian bayi dan ibu melahirkan di [[Indonesia]] memberikan kesadaran untuk lebih meningkatkan upaya kesehatan ibu, antara lain dengan cara menempatkan tenaga [[bidan]] di setiap desa, yang sedikit demi sedikit mulai menggeser peran dukun.<ref>{{Cite journal|last=Prabowo|first=Dhanu Priyo|date=2013-12-30|title=Marginalisasi Profesi Dukun Bayi dalam Puisi “NiniNini Dukun Bayi” Karya Iman Budhi Santosa|url=http://atavisme.web.id/index.php/atavisme/article/view/93|journal=ATAVISME|language=id|volume=16|issue=2|pages=195–203|doi=10.24257/atavisme.v16i2.93.195-203|issn=2503-5215}}{{Pranala mati|date=Maret 2021 |bot=InternetArchiveBot |fix-attempted=yes }}</ref>
|