Jurnalisme musik: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:Pekerjaan dalam bidang musik menggunakan HotCat |
k →Jurnalisme musik populer: clean up |
||
(27 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{refimprove|date=Oktober 2018}}
'''Jurnalisme musik''' adalah kegiatan mengkritik dan pelaporan [[media]] tentang topik [[musik
== Sejarah
Secara pasti, kemunculan jurnalisme musik tidak dapat ditentukan.
Pada pertengahan abad ke-19, musik modern mulai diminati masyarakat. Begitu pula dengan perkembangan jurnalisme musik. Sebelumnya, hanya kalangan musisi atau seniman yang dapat memberikan
Pada tahun 1894, majalah [[Billboard (majalah)|Billboard]] menjadi media pertama yang menjadikan musik sebagai salah satu kontennya. Tetapi,
Tahun 1920-an, persaingan dalam industri dan media musik semakin tinggi. Untuk dapat bertahan, media-media musik mulai memfokuskan kontennya.
Terbentuknya grup [[The Beatles]] tahun 1960 dengan aliran rocknya, juga memunculkan pergerakan baru bagi jurnalisme musik. Melody Maker mengkritik berbagai media mainstream yang kala itu justru menyerang industri musik ‘pop’ dan ‘rock’ yang diusung The Beatles. Steve Jones menyatakan bahwa kala itu, gerakan musik pop hanya dianggap sebagai salah satu bentuk seni musik. Padahal, Melody Maker melihat bahwa kemunculan aliran musik pop dan rock adalah sebagai bentuk gerakan masyarakat yang terkena imbas dari industrialisasi.<ref name=":2">Jones, Steve, ed. (2002). ''Pop Music and the Press''. Temple University Press</ref>
=== Sejarah
Di Indonesia sendiri, media musik baru muncul pada tahun 1957. Musika
Selain dinikmati anak muda, Aktuil juga turut digemari oleh kalangan musisi tanah air, terutama rocker. Berbagai liputannya seputar sensasi dunia musik rock seperti aksi panggung maupun masalah di luar panggung musik menjadi penarik sekaligus sumber bagi kalangan musisi untuk mencari referensi. Salah satu “sumbangsih” yang diberikan Aktuil bagi perkembangan dunia musik adalah sensasi aksi panggung. Peliputannya mengenai aksi Ucok AKA dan [[God Bless]] membawa peti mati ke atas panggung, Micky Jaguar yang menyembelih dan meminum darah kelinci saat pentas, seolah-olah menggiring fanatisme pecinta musik rock. Mereka seolah-olah menganggap sebuah konser tidaklah menarik apabila tidak ada aksi sensasional seperti yang disajikan oleh Aktuil. Hanya saja, tahun 1986 Aktuil berhenti terbit akibat krisis finansial setelah mengundang band luar negeri ke Indonesia.
Selain Aktuil, periode 1950-1980-an juga memunculkan berbagai media musik yang memiliki aliran berbeda. Soneta, Diskorina, Top, [[Hai]], [[Majalah Gadis|Gadis]], Junior, Violetta, Mode, Vista, dan beberapa media lainnya muncul untuk saling bersaing memuat konten musik. Informasi seperti profil musisi, kegiatan musik, ''review'', tangga lagu, hingga peluncuran album adalah konten yang sering dimuat oleh majalah-majalah musik tersebut.<ref>Mulyadi, Muhammad. 2009. Industri Musik Indonesia Suatu Sejarah. Koperasi Ilmu Pengetahuan Sosial</ref>
Mulai bergeraknya Indonesia menuju kancah internasional pada rentang 1990-2000-an, memberikan warna baru bagi industri dan media musik Indonesia. Masuknya [[MTV]] sebagai media yang secara khusus menayangkan informasi musik luar negeri yang tayang selama 24 jam, membuat anak-anak muda menjadi betah menikmati informasi musik. Periode ini pula, media musik mulai bergeser menjadi media hiburan.
Dengan adanya kebebasan pers waktu itu, media musik tidak lagi ekslusif menampilkan inforasi seputar dunia musik. Informasi seputar film, gaya hidup, kuliner, maupun
Trax dan [[Rolling Stone Indonesia|Rolling Stone]], pentolan media hiburan yang masuk ke Indonesia saat itu memberikan persaingan yang kuat bagi media lokal. Bahkan, Rolling Stone mampu mendominasi pasaran media hiburan dengan bantuan konglomerasi yang dilakukan. Hasilnya, Rolling Stone dianggap menjadi media mainstream, yang kemudian diikuti beberapa media lainnya. Pola pemberitaan musik pun cenderung mengikuti arus pasar. Media musik berubah menjadi sarana bagi industri musik untuk mendapatkan posisi di pasar. Informasinya pun lebih berfokus pada konten yang “menghibur” dan “informatif,” dengan musisi pop yang mendominasi topik pemberitaan.
===
Masuknya internet ke Indonesia, memberikan pengaruh yang besar pula. Untuk dapat bertahan, media-media hiburan juga menggunakan sarana internet untuk menyebarkan konten-kontennya. Di sisi lain, internet memungkinkan semua penggunanya untuk dapat menjadi “jurnalis musik” dengan menyebarkan konten mereka melalui blog,
Dampaknya, media-media hiburan yang awalnya sudah memiliki pasar yang luas menjadi sulit untuk bersaing. Di internet, mereka hanya dapat mengandalkan pemasukan dari iklan, sedangkan kontennya dapat diakses secara gratis oleh masyarakat. Inilah yang menyebabkan berbagai media hiburan di Indonesia gulung tikar, termasuk Rolling Stone Indonesia yang tutup pada awal tahun 2018. Tutupnya Rolling Stone juga dianggap sebagai matinya media musik di Indonesia.
== Jurnalisme musik klasik ==
Baris 36 ⟶ 37:
Media jurnalisme musik sering dianggap sebagai perpanjangan dari jurnalisme seni dan hiburan atau selebritis, bukan sebuah bentuk tulisan sendiri. Jurnalisme musik sering diabaikan karena dianggap sebagai cabang jurnalisme yang amatir dan tidak punya kemampuan.
Walaupun dalam jurnalisme musik, banyak jurnalis sukses pada tahun 1960-1970an seperti [[Hunter S. Thompson]], [[Lester Bangs]], [[Tom Wolfe]], Charles Shaar Murray, Nick Kent, dan yang lain-lain
Jurnalisme musik awalnya muncul sekitar 100 tahun yang lalu lewat ketertarikan media cetak (koran) terhadap musik, yang merupakan usaha mereka untuk berinteraksi dengan hiburan rendah yang populer di masyarakat. Karena itu, pembuatan jurnalisme
Dalam penulisan, jurnalis musik muncul dengan gaya yang bebas dan cenderung mirip dengan prosa ''[[Fiksi ilmiah|sci-fi]]'' karangan fans yang dimuat dalam ''[[fanzine]]'' (majalah yang diproduksi oleh amatir untuk fans). Organisasi pers musik muncul lewat perkembangan ''fanzine'' musik yang pesat sejak tahun
== Jurnalisme musik populer ==
Rata-rata jurnalis musik populer akan melibatkan banyak waktu yang akan dihabiskan di belakang komputer untuk meneliti dan menulis cerita yang didapat ketika meliput acara apapun yang berhubungan dengan seni musik. Jurnalis musik juga terkadang menghadiri pesta rilis dan konser rekaman dari suatu artis solo maupun group dari berbagai aliran musik. Mereka dipekerjakan oleh media cetak, online, dan media siaran. Mereka bekerja dengan Editor, Fotografer Musik, Humas, Jurnalis lainnya, dan kadang-kadang, Artis Rekaman
Jurnalisme menyediakan informasi yang akurat dan
Pada awalnya jurnalis musik adalah fans musik itu sendiri atau kerap disebut “fans yang tercerahkan (enlightened fans)” (Gudmondsson et al. 2002). Jika melihat tokoh-tokoh jurnalis musik pada masa itu seperti [[Lester Bangs]], [[Nick Kent]], [[Robert Christgau]], atau [[Simon Reynolds]] merupakan orang-orang yang memiliki passion terhadap musik. Tak ada institusi resmi yang mempelajari jurnalisme musik – kecuali, saat ini beberapa perguruan tinggi di Inggris dan Amerika sudah menjadikan jurnalisme musik sebagai disiplin ilmu sendiri. Seperti halnya ilmu jurnalistik, jurnalisme musik tentu memiliki tugas untuk menyediakan informasi faktual mengenai musik dan tetek bengeknya. Gambaran seperti apa seorang jurnalis musik bekerja ditampilkan dalam film [[Almost Famous]] yang diangkat dari pengalaman pribadi sang sutradara semasa remaja, [[Cameron Crowe]]; mewawancarai band, mengikuti tur panjang, dan melihat berkembangnya budaya
== Referensi ==
{{reflist}}
[[Kategori:Jurnalisme musik| ]]
[[Kategori:
|