Jaksa Pepitu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k regexp replacement(s), replaced: ada kalanya → adakalanya (2)
k Referensi: clean up, added uncategorised tag
 
(11 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 15:
Setelah pembagian [[kesultanan Cirebon]] pada tahun 1667 dan pembentukan [[kesultanan Kacirebonan]] pada tahun 1705 di Cirebon terdapat empat penguasa yaitu Sultan Sepuh I Syamsuddin Martawijaya, Sultan Anom I Badruddin Kartawijaya, Panembahan Agung Nasiruddin Wangsakerta dan Sultan Kacirebonan I Kaharuddin Aria atau yang dikenal dengan nama ''Pangeran Aria Cirebon'', namun hanya ada satu badan peradilan, yaitu Pengadilan Kerta, dalam pengadilan ini penanganan dan penyelesaian perkara dilaksanakan oleh tujuh orang jaksa atau dikenal dengan nama ''Jaksa Pepitu'' secara kolektif baik untuk perkara perdata maupun pidana, ketujuh orang Jaksa tadi dua orang masing-masing mewakili [[kesultanan Kasepuhan]], [[kesultanan Kanoman]] dan [[Panembahan Agung]] serta satu orang jaksa mewakili [[kesultanan Kacirebonan]], selain bertindak sebagai hakim, ''jaksa pepitu'' juga melaksanakan pekerjaan kepaniteraan dan penuntutan, bahkan adakalanya bertindak sebagai pembela.<ref name="Hazeau">G.A.J. Hazeau. 1905. Tjirebonsch Wetboek (Papakem Tjerbon) van her jaar 1768 verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap. [[Leiden]]: A.W Sijthoff's Uitgeversmij M.V</ref>
 
Dalam kasus seseorang dari [[kesultanan Kasepuhan]] melakukan tindak pidana dalam wilayah hukum [[kesultanan Kanoman]] maka terhadap orang tersebut dilakukan penuntutan oleh seorang jaksa yang mewakili [[kesultanan Kanoman]] sedangkan dua orang jaksa lainnya berasal dari [[kesultanan Kasepuhan]] bertindak sebagai pembela dan empat orang jaksa lainnya yang masing-masing berasal dari [[kesultanan Kacirebonan]] dan [[Panembahan Agung]] bertindak sebagai hakim, namun putusan terhadap para terdakwa tadi dijatuhkan atas hasil musyawarah para ''jaksa pepitu''. Adakalanya pula sultan langsung mengadili sendiri warganya dalam perkara-perkara yang sangat berat.<ref>Effendy, Marwan. 2005. Kejaksaan RI: Posisi dan Fungsinya dalam persfektif hukum. [[Jakarta]]: Gramedia Pustaka Utama<name=marwan/ref>
 
=== ''Jaksa Pepitu'' dalam ''Gotra Sawala'' ===
Baris 21:
Pada saat kesultanan-kesultanan Cirebon menggelar sebuah simposium agung ([[bahasa Cirebon]]: ''Gotra Sawala'') yang dihadiri oleh para ahli sejarah, cendekiawan serta para penguasa di nusantara pada tahun 1677<ref>Staf Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian. 1987. Majalah Bhayangkara: pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian. [[Jakarta]]: Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian, Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian</ref>-1698, para ''jaksa pepitu'' bersama dengan para ahli lain dibidangnya membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wangsakerta yang pada masa itu bertindak sebagai ketua Gotra Sawala untuk mengumpulkan bahan dan menafsirkan data.<ref>Ekadjati, Edi S, A. Sobana Hardjasaputra, Ade Kosmaya Anggawisastra, Aam Masduki. 1994. Empat Sastrawan Sunda Lama. [[Jakarta]]: Direktorat Jenderal Kebudayaan</ref>
 
Para ''jaksa pepitu'' yang membantu Pangeran Raja (PR) Nasiruddin Wamgsakerta adalah:<ref>Atja. Edi. S. Ekadjati. 1987. ''Pustaka Rajya-Rajya I Bumi Nusantara I.I'': Suntingan Naskah dan Terjemahan. [[Bandung]]: Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi)</ref><ref>Iswara, Prana Dwija. 2009. Sejarah Kerajaan Cirebon. [[Bandung]]: Universitas Pendidikan Indonesia</ref>:
 
* Ki Raksanagara, sebagai penulis naskah dan pengatur pertemuan, beliau melayani sekalian peserta, juga memeriksa dan meneliti naskah-naskah yang telah dikumpulkan.
Baris 30:
* Ki Anggaraksa, sebagai penanggung jawab konsumsi, tugas pokoknya adalah menjadi pemimpin dapur, yang menyediakan berbagai makanan dan minuman bagi seluruh peserta.
* Ki Nayapati, sebagai penanggung jawab akomodasi dan transportasi, tugas pokoknya menyediakan penginapan dan kendaraan, di samping sebagai pemimpin pengawal.
 
== Kasus ==
 
=== Kasus klaim persawahan antara Kanci dengan Japura ===
 
Pada tahun 1710, Sultan Sepuh Tajularipin Djamaluddin atas nama masyarakat desa Japura melakukan klaim terhadap lahan persawahan yang terletak diantara desa Japura dengan desa Kanci yang merupakan desa dibawah kekuasaan [[kesultanan Kanoman]].<ref name=mason>Hoadley, Mason Claude. 2018. Selective Judicial Competence: The Cirebon-Priangan Legal Administration, 1680–1792. New York : Cornell University Press</ref> Bentrokan bersenjata berkaitan dengan permasalahan tersebut hampir terjadi, dalam sidang perdana, institusi peradilan Cirebon yaitu ''Jaksa Pepitu'' menolak menerima kasus tersebut<ref name=mason/> dikarenakan tidak ada cukup bukti untuk mendukung klaim yang diajukan oleh Sultan Sepuh yang mewakili masyarakat Japura, dengan yakin para jaksa mengetahui para saksi yang akan dipanggil untuk mendukung klaim Japura yang dibuat oleh Sultan Sepuh, tiga dari empat saksi yang diajukan oleh Sultan Sepuh tidak dapat diterima kesaksiannya karena mereka bersaksi atas nama majikan mereka, sebagai akibatnya, nanti para Jaksa memiliki tugas yang mustahil untuk membujuk pihak yang kalah menerima hasil keputusan dikarenakan adanya bukti yang tidak sah<ref name=mason/>
 
Komposisi jaksa pada peradilan di Cirebon setelah disahkannya Pangeran Adiwijaya (putera kedua Sultan Sepuh Martawijaya) sebagai salah satu penguasa Cirebon dengan gelar Pangeran Arya Cirebon adalah dua orang jaksa mewakili Kanoman, dua orang jaksa mewakili gusti Panembahan, dua orang jaksa mewakili Kasepuhan dan seorang jaksa mewakili pangeran Arya Cirebon<ref name=marwan>Effendy Marwan. 2005. Kejaksaan RI: posisi dan fungsinya dari perspektif hukum. [[Jakarta]] : Gramedia Pustaka Utama</ref>
 
Perintah dari Belanda di Batavia yang memaksa untuk menerima kasus tersebut membuat politisasi dikalangan para jaksa yang semakin besar, dikarenakan penolakan ''Jaksa Pepitu'' yang didasarkan kepada kurangnya bukti telah ditolak oleh Belanda maka semakin sedikit alasan para jaksa tersebut untuk tidak mendukung kepentingan dari atasan mereka masing-masing yang merupakan para penguasa Cirebon, hal ini menyebabkan kebuntuan peradilan dikarenakan para jaksa yang mewakili keluarga Sepuh (termasuk didalamnya seorang jaksa yang mewakili pangeran Arya Cirebon yang merupakan anak kedua Sultan Sepuh Martawijaya) kontra terhadap dua orang jaksa yang mewakili keluarga Kanoman, padahal sudah jelas bahwa ada bias dalam kesaksian dan kurangnya bukti yang diajukan oleh Sultan Sepuh pada saat itu. Hal ini menyebabkan [[Pangeran Raja Depati Kusuma | Pangeran Raja Depati Kusuma Agung]] yang merupakan wakil penguasa kesultanan Kanoman dan masyarakat Kanci merasa bahwa keputusan yang dihasilkan oleh institusi ''Jaksa Pepitu'' tersebut tidak sah dan tidak mengikat.<ref name=mason/>
 
Pada akhirnya masalah ini diseleseikan dengan perintah langsung dari Batavia pada tahun 1711 yang memutuskan bahwa suara mayoritas harus dijalankan, hal ini menyebabkan pada gilirannya keputusan tersebut dapat diterima oleh [[Pangeran Raja Depati Kusuma | Pangeran Raja Depati Kusuma Agung]]. Batavia yang memaksakan penerimaan pengadilan mengakibatkan keputusan itu harus diberlakukan walaupun pada prosesnya merusak wewenang ''Jaksa Pepitu'' dalam memutuskan penerimaan sebuah kasus<ref name=mason/>
 
=== Kasus mantri Anom Surya Dita ===
 
Pada tahun 1715, Pangeran Arya Cirebon telah mengambil Surya Dita yang merupakan seorang mantan mantri di [[kesultanan Kanoman]] untuk menjadi bawahannya, peraturan yang dipakai oleh Pangeran Arya Cirebon ialah peraturan berkenaan dengan ''sentana'' (keluarga kesultanan) yang diperbolehkan untuk berpindah dukungan ke penguasa yang lainnya dengan kemauannya sendiri.<ref name=mason/>
 
Permasalahan kemudian mengemuka berkenaan dengan lahan persawahan yang dimiliki oleh Surya Dita, haruskah lahan tersebut ikut berpindah ke Pangeran Arya Cirebon atau tetap dibawah kontrol [[kesultanan Kanoman]] yang pada masa itu diwakilkan oleh [[Pangeran Raja Depati Kusuma | Pangeran Raja Depati Kusuma Agung]]. Pada persidangan ''Jaksa Pepitu'' pada tahun 1717 para jaksa tidak memiliki suara bulat dalam menentukan hasil persidangan, terlebih ketika jaksa yang mewakili Sultan Sepuh menemukan bahwa hasil suara mayoritas tersebut pada keputusannya memiliki unsur yang bertentangan dengan hukum yang berlaku sehingga keputusan tersebut dapat dikatakan tidak sah.
 
Residen Cirebon pada masa itu mendesak agar dicarikan segera solusi atas permasalahan tersebut, kemiripan dengan kasus Japura dengan Kanci pada tahun 1710-1711 terlihat jelas. Para jaksa terlihat bingung dalam menjawab desakan residen Cirebon atas solusi dan menghindari penolakan dari pihak yang kalah seandainya solusi yang ditawarkan berbeda dengan hukum dan kebiasaan yang berlaku, mengingat kebalikan dari pendirian para pangeran dari keluarga Sepuh pada kebulatan suara keputusan jaksa, tampak jelas bahwa prinsip-prinsip hukum tradisional digunakan sebagai alasan yang tepat bagi para pangeran untuk mengejar kepentingan ekonomi.<ref name=mason/>
 
Pada akhirnya dicapailah sebuah solusi bahwa Surya Dita diperbolehkan berpindah menjadi bawahan Pangeran Arya Cirebon namun lahan persawahan yang dimilikinya tetap berada pada kuasa [[kesultanan Kanoman]]<ref name=mason/>
 
== Referensi ==
{{Reflist}}
 
{{Uncategorized|date=Januari 2023}}