Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
BeeyanBot (bicara | kontrib)
k Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY: ejaan, replaced: dari pada → daripada
k copy edit
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan aplikasi seluler Suntingan aplikasi iOS
 
(44 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{refimprove|date=Agustus 2018}}
{{AP}}
{{pemutakhiran}}
[[Berkas:Yogyakarta COA.svg|thumb|right|Lambang Daerah Istimewa Yogyakarta]]
[[Berkas:JogjakartaCoat Specialof Autonomousarms Regionof Flag01Yogyakarta.png‎svg|thumbjmpl|rightka|BenderaLambang Daerah Istimewa Yogyakarta]]
[[Berkas:COLLECTIEFlag TROPENMUSEUMof Straatbeeld Jogjakarta TMnr 60018353Yogyakarta.jpgsvg|thumbjmpl|rightka|FotoBendera salahDaerah satu ruas jalan diIstimewa Yogyakarta (tahun 1933)]]
[[Berkas:COLLECTIE TROPENMUSEUM Straatbeeld Jogjakarta TMnr 60018353.jpg|jmpl|ka|Foto salah satu ruas jalan di Yogyakarta (tahun 1933)]]
'''[[Daerah Istimewa Yogyakarta''']] (DIY) adalah wilayah tertua kedua di [[Indonesia]] setelah [[Jawa Timur]], yang dibentuk oleh pemerintah negara bagian Indonesia. Daerah setingkat provinsi ini juga memiliki status istimewa atau otonomi khusus. Status ini merupakan sebuah warisan dari zaman sebelum kemerdekaan. [[Kesultanan Yogyakarta]] dan juga [[Kadipaten Paku Alaman]], sebagai cikal bakal atau asal usul DIY, memiliki status sebagai “Kerajaan vasal/Negara bagian/''Dependent state''” dalam pemerintahan penjajahan mulai dari [[VOC]] , Hindia PerancisPrancis (Republik Bataav Belanda-PerancisPrancis), India Timur/EIC (Kerajaan Inggris), [[Hindia Belanda]] (Kerajaan Nederland), dan terakhir Tentara Angkatan Darat XVI Jepang (Kekaisaran Jepang). Oleh Belanda status tersebut disebut sebagai ''Zelfbestuurende Lanschappen'' dan oleh Jepang disebut dengan ''Koti/Kooti''. Status ini membawa konsekuensi hukum dan politik berupa kewenangan untuk mengatur dan mengurus wilayah [negaranya] sendiri di bawah pengawasan pemerintah penjajahan tentunya. Status ini pula yang kemudian juga diakui dan diberi payung hukum oleh Bapak Pendiri Bangsa Indonesia [[Soekarno]] yang duduk dalam [[Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia|BPUPKI]] dan [[Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia|PPKI]] sebagai sebuah daerah bukan lagi sebagai sebuah negara.<ref name="bah">Saafrudin Bahar et. al. (ed), 1993</ref>.
 
=== Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945) ===
== Periode I: 1945—1946 ==
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' (南方軍 指揮官 閣下) dan ''Jawa Saiko Sikikan'' (ジャワ 最高 指揮官) beserta stafnya.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pada [[19 Agustus]] [[1945]] ''Yogyakarta Kooti Hookookai'' (ジョグジャカルタ公地奉公会) mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi.<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
=== Sambutan Proklamasi di Yogyakarta (18/19-08-1945) ===
Tanggal 18<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref>Achiel Suyanto, 2007</ref> atau 19<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref> Agustus 1945, Sultan [[Hamengku Buwono IX]] (HB IX) dan Sri Paduka [[Paku Alam VIII]] (PA VIII) mengirimkan ucapan selamat kepada [[Soekarno]]-Hatta atas kemerdekaan Indonesia dan atas terpilihnya mereka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Selain itu juga dikirimkan ucapan terima kasih kepada KRT Rajiman Wediodiningrat (mantan ketua [[BPUPKI]]) dan Penguasa [[Jepang]] ''Nampoo-Gun Sikikan Kakka'' (南方軍 指揮官 閣下) dan ''Jawa Saiko Sikikan'' (ジャワ 最高 指揮官) beserta stafnya<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Pada [[19 Agustus]] [[1945]] ''Yogyakarta Kooti Hookookai'' (ジョグジャカルタ公地奉公会) mengadakan sidang dan mengambil keputusan yang pada intinya bersyukur pada Tuhan atas lahirnya Negara Indonesia, akan mengikuti tiap-tiap langkah dan perintahnya, dan memohon kepada Tuhan agar Indonesia kokoh dan abadi<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
 
=== Sidang PPKI Membahas Daerah Istimewa (19-08-1945) ===
Di Jakarta pada [[19 Agustus]] [[1945]] terjadi pembicaraan serius dalam sidang PPKI membahas kedudukan ''Kooti''.<ref name="bah"/>. Sebenarnya kedudukan ''Kooti'' sendiri sudah dijamin dalam UUD, namun belum diatur dengan rinci.<ref>Pasal 18 UUD Indonesia yang pertama yang disahkan sehari sebelumnya berbunyi: “Pembagian daerah Indonesia atas daerah besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan ''hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa''.”</ref>. Dalam sidang itu Pangeran Puruboyo, wakil dari ''Yogyakarta Kooti'', meminta pada pemerintah pusat supaya ''Kooti'' dijadikan 100% otonom, dan hubungan dengan Pemerintah Pusat secara rinci akan diatur dengan sebaik-baiknya. Usul tersebut langsung ditolak oleh [[Soekarno]] karena bertentangan dengan bentuk negara kesatuan yang sudah disahkan sehari sebelumnya. Puruboyo menerangkan bahwa banyak kekuasaan sudah diserahkan Jepang kepada ''Kooti'', sehingga jika diambil kembali dapat menimbulkan keguncangan.
 
Ketua Panitia Kecil PPKI untuk Perancang Susunan Daerah dan Kementerian Negara , [[Oto Iskandardinata]], dalam sidang itu menanggapi bahwa soal ''Kooti'' memang sangat sulit dipecahkan sehingga Panitia Kecil PPKI tersebut tidak membahasnya lebih lanjut dan menyerahkannya kepada ''beleid'' Presiden. Akhirnya dengan dukungan [[Mohammad Hatta]], Suroso, Suryohamijoyo, dan [[Soepomo]], kedudukan ''Kooti'' ditetapkan ''status quo'' sampai dengan terbentuknya Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah. Pada hari itu juga Soekarno mengeluarkan piagam penetapan kedudukan bagi kedua penguasa tahta [[Kesultanan Yogyakarta]] dan [[Kadipaten Paku Alaman]]<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.Piagam tersebut baru diserahkan pada 6 September 1945 setelah sikap resmi dari para penguasa monarki dikeluarkan.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
=== UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949) ===
=== Dekrit Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945) ===
Pada tanggal [[1 September]] [[1945]], Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) Yogyakarta dibentuk dengan merombak keanggotaan ''Yogyakarta Kooti Hookookai''. Pada hari yang sama juga dibentuk [[Badan Keamanan Rakyat]] (BKR). Usai terbentuknya KNID dan BKR, Sultan HB IX mengadakan pembicaraan dengan Sri Paduka PA VIII dan [[Ki Hajar Dewantoro]] serta tokoh lainnya. Setelah mengetahui sikap rakyat Yogyakarta terhadap Proklamasi,<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>, barulah Sultan HB IX mengeluarkan dekritdekret kerajaan yang dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 5 September 1945}}. Isi dekritdekret tersebut adalah integrasi monarki Yogyakarta ke dalam [[Republik Indonesia]]. DekritDekret dengan isi yang serupa juga dikeluarkan oleh Sri Paduka PA VIII pada hari yang sama.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
DekritDekret integrasi dengan Republik Indonesia semacam itu sebenarnya juga dikeluarkan oleh berbagai monarki di Nusantara, walau tidak sedikit monarki yang menunggu ditegakkannya pemerintahan ''Nederland Indie'' setelah kekalahan Jepang. DekritDekret semacam itu mengandung risiko yang sangat besar. Seperti di daerah Sulawesi, '''Raja Kerajaan Luwu''' akhirnya terpaksa meninggalkan istananya untuk pergi bergerilya melawan Sekutu dan NICA untuk mempertahankan dekritnya mendukung Indonesia.
 
=== Pemerintahan dan Wilayah Kerajaan di Yogyakarta (1945-1946) ===
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1945.png|thumbjmpl|rightka|Wilayah DIY (D.I. Kasultanan dan D.I Paku Alaman) beserta Kab/Kota dalam lingkungannya pada 1945]]
 
Pada saat berintegrasi wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta meliputi:<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
# Kabupaten [[Kota Yogyakarta]] dengan bupatinya KRT Hardjodiningrat,
# Kabupaten [[Sleman]] dengan bupatinya KRT Pringgodiningrat,
Baris 29:
# Kabupaten [[Kulon Progo]] dengan bupatinya KRT Secodiningrat.
 
Sedang wilayah kekuasaan Kadipten Paku Alaman meliputi:<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>:
# Kabupaten Kota Paku Alaman dengan bupatinya KRT Brotodiningrat,
# Kabupaten [[Adikarto]] dengan bupatinya KRT Suryaningprang.
 
Kabupaten-kabupaten tersebut tidak memiliki otonomi melainkan hanya wilayah administratif. Bupati-bupati yang mengepalai masing-masing kabupatennya disebut dengan Bupati Pamong Praja.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mereka juga mengepalai birokrasi kerajaan yang disebut dengan Abdi Dalem Keprajan. Birokrasi kerajaan inilah yang akan menjadi tulang punggung utama Kabupaten dan Kota di DIY sampai tahun 1950.
 
=== Penyelenggaraan Pemerintahan Sementara Yogyakarta (1945-1946) ===
Dengan memanfaatkan momentum terbentuknya Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Daerah Yogyakarta pada [[29 Oktober]] [[1945]] dengan ketua Moch Saleh dan wakil ketua S. Joyodiningrat dan Ki Bagus Hadikusumo, sehari sesudahnya Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan dekritdekret kerajaan bersama (dikenal dengan {{ke wikisource|Amanat 30 Oktober 1945}}) yang isinya menyerahkan kekuasaan Legislatif pada BP KNI Daerah Yogyakarta.<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Mulai saat itu pula kedua penguasa kerajaan di Jawa bagian selatan memulai persatuan kembali kedua kerajaan yang telah terpisah selama lebih dari 100 tahun. Sejak saat itu dekritdekret kerajaan tidak dikeluarkan sendiri-sendiri oleh masing-masing penguasa monarki melainkan bersama-sama dalam satu dekritdekret. Selain itu dekritdekret tidak hanya ditandatangani oleh kedua penguasa monarki, melainkan juga oleh ketua Badan Pekerja KNI Daerah Yogyakarta yang dirangkap oleh Ketua KNI Daerah Yogyakarta sebagai wakil dari seluruh rakyat Yogyakarta.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
Seiring dengan berjalannya waktu,<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>, berkembang beberapa birokrasi pemerintahan (kekuasaan eksekutif) yang saling tumpang tindih antara bekas Kantor Komisariat Tinggi (''Kooti Zimukyoku'') sebagai wakil pemerintah Pusat, ''Paniradya'' (Departemen) Pemerintah Daerah (Kerajaan) Yogyakarta, dan Badan Eksekutif bentukan KNID Yogyakarta. Tumpang tindih itu menghasilkan benturan yang cukup keras di masyarakat dan menyebabkan terganggunya persatuan. Oleh karena itu, pada [[16 Februari]] [[1946]] dikeluarkan Maklumat No. 11 yang berisi penggabungan seluruh birokrasi yang ada ke dalam satu birokrasi Jawatan (Dinas) Pemerintah Daerah yang untuk sementara disebut dengan Paniradya. Selain itu melalui Maklumat-maklumat No 7, 14, 15, 16, dan 17, monarki Yogyakarta mengatur tata pemerintahan di tingkat ''kalurahan'' (sebutan pemerintah desa saat itu).
 
== Periode I: 1945—1946 ==
=== Penyusunan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta (1945-1946) ===
Untuk merumuskan susunan dan kedudukan daerah Yogyakarta, BP KNID juga menyelenggarakan sidang maraton untuk merumuskan RUU Pokok Pemerintahan Yogyakarta sampai awal 1946. RUU ini tidak kunjung selesai karena perbedaan yang tajam antara BP KNID, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah biasa seperti daerah lain, dengan kedua penguasa monarki, yang menghendaki Yogyakarta menjadi daerah istimewa. Akhirnya RUU yang terdiri dari 10 Bab tersebut dapat diselesaikan. Kesepuluh Bab tersebut adalah:<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>:
# Kedudukan Yogyakarta
# Kekuasaan Pemerintahan
Baris 55:
== Periode II:1946 - 1950 ==
=== Pembentukan DIY oleh Kerajaan di Yogyakarta (1946) ===
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1946.png|thumbjmpl|rightka|Wilayah DIY dan Kab/kota di lingkungannya tahun 1946]]
 
Sambil menunggu UU yang mengatur susunan Daerah yang bersifat Istimewa sebagaimana pasal 18 UUD, maka Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII dengan persetujuan BP DPR DIY (Dewan Daerah) pada [[18 Mei]] [[1946]] mengeluarkan Maklumat No. 18 yang mengatur kekuasaan legeslatif dan eksekutif (lihat {{ke wikisource|Maklumat Yogyakarta No. 18}}).<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Maklumat ini adalah realisasi dari keputusan sidang KNI Daerah Yogyakarta pada [[24 April]] [[1946]].<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Setelah menyetujui rencana maklumat itu, KNID membubarkan diri dan digantikan oleh Dewan Daerah yang dibentuk berdasarkan rencana maklumat. Dalam sidangnya yang pertama DPR DIY mengesahkan rencana maklumat No 18 yang sebelumnya telah disetujui dalam sidang KNI Daerah Yogyakarta tersebut.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>.
 
Dalam maklumat ini secara resmi nama [[Daerah Istimewa Yogyakarta]] digunakan menandai bersatunya dua monarki Kesultanan dan Pakualaman dalam sebuah Daerah Istimewa. Persatuan ditunjukkan dengan hanya ada sebuah Parlemen lokal untuk DIY dan Ibu Kota Yogyakarta (gabungan Kabupaten Kota Kasultanan dan Kabupaten Kota Paku Alaman) bukan dua buah (satu untuk Kesultanan dan satunya untuk Paku Alaman).<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Tidak dipungkiridimungkiri juga terdapat perbedaan pendapat antara KNID dengan Monarki<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref><ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref> yang tercermin dengan adanya dua tanggal pengumuman maklumat yaitu tanggal 13 dan 18 Mei 1946. Selain itu juga nampaktampak dari materi maklumat dengan RUU. Dari sepuluh Bab yang diusulkan, sebanyak tiga bab tidak ditampung, yaitu Bab 1 tentang Kedudukan DIY, Bab 6 tentang Keuangan, dan Bab 7 tentang Dewan Pertimbangan.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
=== Penyelenggaraan Pemerintahan DIY (1946-1948) ===
Baris 67:
 
=== Pemda Kota Yogyakarta (1947-1950) ===
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1947.png|thumbjmpl|leftkiri|Wilayah DIY dan kabupaten di lingkungannya pasca dibentuknya Haminte-Kota Yogyakarta tahun 1947]]
 
Pada 1947 Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 17 Tahun 1947 tentang Pembentukan ''Haminte''-Kota Yogyakarta atas usulan Dewan Kota Yogyakarta. Ini tidak mengherankan sebab sejak [[5 Januari]] [[1946]] Yogyakarta menjadi IbukotaIbu kota Indonesia. Dalam UU tersebut Kota Yogyakarta dikeluarkan dari DIY dan mempunyai hubungan langsung dengan Pemerintah Pusat. Keadaan demikian menimbulkan keberatan dari Sultan HB IX.<ref name="soe">Soedarisman P, 1984</ref>. Sebagai penyelesaian, maka pada 22 Juli 1947 Mr. [[Soedarisman Poerwokoesoemo]] diangkat menjadi Wali kota ''Haminte''-Kota Yogyakarta dengan tiga SK sekaligus yaitu dari Presiden, Mendagri, dan Sultan HB IX, menggantikan M. Enoch (Wali kota Yogyakarta pertama) yang turut pergi mengungsi mendampingi Presiden karena terjadi [[Agresi Militer Belanda I]].<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
=== DekritDekret Resmi Kerajaan Untuk Berintegrasi kepada RI (Sept 1945) ===
=== UU Pemerintahan Daerah 1948 (1948-1949) ===
Pada tahun 1948, Pemerintah Pusat mulai mengatur Pemerintah Daerah dengan mengeluarkan UU No. 22/1948 tentang UU Pokok Pemerintahan Daerah. Dalam UU tersebut diatur susunan dan kedudukan Daerah Istimewa baik dalam diktum<ref>Daerah-daerah yang mempunyai hak-hak asal usul dan pada zaman sebelum Republik Indonesia mempunyai pemerintahan sendiri yang bersifat istimewa, dengan undang-undang pembentukan yang termaksud dalam ayat (3) dapat ditetapkan sebagai daerah istimewa yang setingkat dengan Provinsi, Kabupaten, atau Desa yang berhak mengatur dan mengurus rumah-tangganya sendiri. '''(Pasal 1 ayat (2) UU No 22/1948)'''</ref><ref>'''(5)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat oleh Presiden dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih menguasai daerahnya, dengan syarat-syarat kecakapan, kejujuran dan kesetiaan, dan dengan mengingat adat istiadat di daerah itu. '''(6)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa dengan mengingat syarat-syarat tersebut dalam ayat (5). Wakil Kepala Daerah Istimewa adalah anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Pasal 18 ayat (5) dan (6) UU No 22/1948)'''</ref> maupun penjelasannya.<ref>Tentang dasar pemerintahan di daerah istimewa adalah tidak berbeda dengan pemerintahan di daerah biasa; kekuasaan ada ditangan rakyat (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah). Yang berbeda ialah tentang angkatan Kepala Daerahnya. Juga yang mengenai angkatan Wakil Kepala Daerah, jikalau ada dua daerah istimewa dibentuk menjadi satu menurut Undang-undang Pokok ini, maka perlulah diadakan Wakil Kepala Daerah dari keturunan Raja dari salah satu daerah yang digabungkan tadi. Tingkatan daerah istimewa sama dengan tingkatan daerah biasa. Hasil penyelidikan itu akan menentukan apakah Daerah Istimewa itu masuk tingkat Provinsi, Kabupaten, atau Desa. Djikalau masuk tingkatan Kabupaten, maka Daerah Istimewa ini masuk ke dalam lingkungan Provinsi biasa. '''(Petikan Penjelasan umum UU No 22/1948 sub 29 dan 30)'''</ref><ref>Yang dimaksud dalam pasal 1 ayat (2) ialah yang pada zaman pemerintahan Hindia Belanda dinamakan ''Zelfbestuurende landschappen''. Karena daerah-daerah itu menjadi bagian pula dari Negara Republik Indonesia maka daerah-daerah istimewa itu diatur pula dan cara pemerintahannyapun diatur sama dengan lain-lain daerah, berdasarkan kedaulatan rakyat. Ke-istimewaan peraturan untuk daerah istimewa hanya mengenai Kepala Daerahnya ditentukan bahwa Kepala (Wakil Kepala) Daerah Istimewa diangkat oleh Pemerintah dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu. Sesudah berlakunya undang-undang pokok ini maka daerah-daerah istimewa dulu dapat dibentuk menjadi daerah biasa otonom atau daerah istimewa otonom; lain kemungkinan tidak ada. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 UU No 22/1948)'''</ref>. Walaupun demikian, pemerintah pusat belum sempat mengeluarkan UU untuk membentuk pemerintahan daerah karena harus menghadapi [[Agresi Militer Belanda II]] pada [[19 Desember]] [[1948]] yang menghajar IbukotaIbu kota Yogyakarta. Pemerintahan DIY-pun ikut menjadi lumpuh. Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII meletakkan jabatan sebagai Kepala Daerah Istimewa sebagai protes kepada Belanda.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. PascaPaska [[Serangan OemoemUmum [[1 Maret]] [[1949]], Yogyakarta dijadikan Daerah Militer Istimewa dengan Gubernur Militer Sri Paduka Paku Alam VIII. Keadaan ini berlangsung sampai tahun 1950.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
== Periode III: 1950 - 1965 ==
=== Landasan Hukum Pembentukan DIY (1950-1951) ===
Setelah pengakuan kedaulatan sebagai hasil [[Konferensi Meja Bundar|KMB]], Indonesia memasuki babakan sejarah yang baru. Negara Republik Indonesia yang beribukotaberibu kota di Yogyakarta sejak 1946, hanyalah sebuah negara bagian dari [[Republik Indonesia Serikat]] (RIS) yang berkedudukan di Jakarta sampai [[17 Agustus]] [[1950]].
 
==== Pembentukan DIY (1950) ====
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1950.png|thumbjmpl|rightka|Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1950]]
 
DIY secara formal dibentuk dengan {{ke wikisource|UU No. 3 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 3) yang diubah dengan {{ke wikisource|UU No. 19 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 48). Kedua UU tersebut diberlakukan mulai [[15 Agustus]] [[1950]] dengan {{ke wikisource|PP No. 31 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 58). UU 3/1950 tentang Pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta sangatlah singkat (hanya 7 pasal dan sebuah lampiran daftar kewenangan otonomi). UU tersebut hanya mengatur wilayah dan ibu kota, jumlah anggota DPRD, macam kewenangan, serta aturan-aturan yang sifatnya adalah peralihan. UU 19/1950 sendiri adalah perubahan dari UU 3/1950 yang berisi penambahan kewenangan bagi DIY. Status keistimewaan Yogyakarta tidak diatur lagi dalam UU pembentukan karena telah diatur dalam UU 22/1948 (lihat periode II di atas). Dalam UU 3/1950 disebutkan secara tegas Yogyakarta adalah sebuah Daerah Istimewa setingkat PopinsiPovinsi Bdan U K A Nbukan sebuah Provinsi.<ref>'''(1)''' Daerah yang meliputi daerah Kesultanan Yogyakarta dan daerah Paku Alaman ditetapkan menjadi Daerah Istimewa Yogyakarta. '''(2)''' Daerah Istimewa Yogyakarta adalah setingkat dengan Provinsi. '''(Pasal 1 ayat (1) dan (2) UU No 3 Tahun 1950)'''</ref>. Walaupun nomenklaturnya mirip, namun saat itu mengandung konsekuensi hukum dan politik yang amat berbeda terutama dalam hal kepala daerah dan wakil kepala daerahnya (lihat UU 22/1948 di atas). Walau begitu DIY bukan pula sebuah monarki konstitusional.<ref name=joyb>Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>.
 
==== Pembentukan Kabupaten dan Kota (1950-1951) ====
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1951.png|thumbjmpl|leftkiri|Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1951]]
 
Pembagian DIY menjadi kabupaten-kabupaten dan kota yang berotonomi diatur dengan {{ke wikisource|UU No. 15 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 44) dan {{ke wikisource|UU No. 16 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 45). Kedua undang-undang tersebut diberlakukan dengan {{ke wikisource|PP No. 32 Tahun 1950}} (BN 1950 No. 59). Menurut undang-undang tersebut DIY dibagi menjadi kabupaten-kabupaten [[Bantul]] (beribukotaberibu kota Bantul), [[Sleman]] (beribukotaberibu kota Sleman), [[Gunung Kidul]] (beribukotaberibu kota [[Wonosari]]), [[Kulon Progo]] (beribukotaberibu kota Sentolo), [[Adikarto]] (beribukotaberibu kota [[Wates]]), dan Kota Besar Yogyakarta. Untuk alasan efisiensi, pada tahun 1951, kabupaten Adikarto yang beribukotaberibu kota Wates digabung dengan kabupaten Kulon Progo yang beribukotaberibu kota Sentolo menjadi Kabupaten Kulon Progo dengan ibu kota Wates. Penggabungan kedua daerah ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Nomor 18 Tahun 1951}} (LN 1951 No. 101). Semua UU mengenai pembentukan DIY dan Kabupaten dan Kota di dalam lingkungannya, dibentuk berdasarkan UU 22/1948.
 
=== Penyelenggaraan Demokrasi di DIY (1950an1950-an) ===
==== Pemilu Lokal (Tingkat Daerah) Pertama (1951) ====
Pada tahun [[1951]] Yogyakarta menyelenggarakan pemilu pertama dalam sejarah Indonesia. Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota legislatif di Daerah Istimewa dan Kabupaten. Pemilu dilangsungkan dalam dua tahap, tidak secara langsung. Pemilih memilih electors yang kemudian electors memilih partai (Selo Sumardjan 1962, hal 101). Komposisi DPRD didominasi dari [[Majelis Syuro Muslimin Indonesia|Masyumi]] (18 kursi dari total 40 kursi), sisanya dibagi oleh enam parpol lainnya.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Tercatat dua parpol lokal yang mengikuti pemilu ini yaitu PPDI dan SSPP.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Sementara itu kekuasaan eksekutif tetap dijalankan oleh Dewan Pemerintah Daerah yang beranggotakan lima orang yang dipilih oleh dan dari DPRD sesuai dengan tingkatannya. Untuk tingkatan Daerah Istimewa, selain lima orang tersebut, Dewan Pemerintah juga diisi oleh kedua raja (Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII). Namun keduanya tidak bertanggung jawab kepada DPRD melainkan langsung kepada Presiden.
 
==== Pemisahan dan Pembagian Urusan Pemerintahan Keraton dengan Pemda DIY (1950an1950-an) ====
Perubahan yang cukup penting,<ref name="joyb"/>, pasca UU 3/1950 adalah perubahan wilayah. Wilayah birokrasi eksekutif yang menjadi DIY adalah wilayah [[Negara Gung]] yang dibagi 3 kabupaten yakni Kota, Kulonprogo dan ''Kori'' dan kemudian menjadi 4 kabupaten 1 kota.<ref name="joyb"/>. Sejak 1945 birokrasi ini pula yang menjadi tulang punggung birokrasi DIY (lihat periode I di atas). Dengan kata lain Birokrasi Pemda DIY sebenarnya merupakan pengembangan dari ''Kanayakan'' yang memerintah ''Nagari Dalem'' (dahulu dikepalai oleh ''Pepatih Dalem'').<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Sementara wilayah [[Mancanegara]], yang tidak dikuasai Belanda tetapi dikelola dengan sistem bagi hasil, menjadi wilayah RI dengan pernyataan singkat [dari Sultan HB IX]: “Saya cukup berkuasa di bekas wilayah Negara Gung saja”. Sehingga wilayah-wilayah: [[Madiun]], [[Pacitan]], [[Tulung Agung]], dan [[Trenggalek]] yang dikenal sebagai ''Metaraman'' dilepas ke Republik Indonesia.<ref name="joyb"/>.
 
Wilayah Karaton (Keraton/Istana) menjadi sempit. Sultan HB IX sebagai pemimpin birokrasi kebudayaan terbatas hanya di ''Cepuri'' Keraton. Tugas kepangeranan yang dalam masa Belanda dan Jepang ada gaji cukup untuk membina lingkungan, namun dengan UU No 3/1950 (setelah resmi menjadi Daerah Istimewa), para pangeran di Kesultanan tidak ada kedudukan. Yang menjadi gubernur adalah Sultan, tapi keluarga pangeran tidak ada kaitan dengan birokrasi. Inilah penjelasan bahwa DIY juga B U K A Nbukan merupakan monarki konstitusi.<ref name="joyb"/>.
 
Pada dasarnya, kedua birokrasi ini semula dipimpin oleh Sultan HB IX. Namun karena sedang menjabat sebagai menteri sampai 1952, dia tidak dapat aktif menjadi Kepala Daerah. Oleh karena itu bagian Kepatihan dipimpin oleh Sri Paduka PA VIII sedangkan bagian Keraton yang disebut ''Parentah Hageng Karaton'' dipimpin oleh GP Hangabehi.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>. Proses pemisahan antara negara (''Nagari Dalem'') dan istana (''Karaton Dalem'') tidak mulus begitu saja. Terdapat keberatan-keberatan yang datang baik dari kalangan istana maupun partai politik yang duduk di parlemen lokal. Walaupun demikian setelah memakan waktu akhirnya Pemerintahan ''Nagari Dalem'' berubah menjadi Pemerintahan Daerah Istimewa dan ''Karaton'' (Keraton) Dalem tetap dikelola oleh Dinasti Hamengku Buwono.
 
=== Era Otonomi Daerah Seluas-luasnya (1957-1965) ===
==== Implementasi UUDS 1950 (1957-1965) ====
Pengaturan keistimewaan DIY dan pemerintahannya selanjutnya diatur dengan UU No 1/1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. UU ini diterbitkan untuk melaksanakan ketentuan dalam pasal 131-133 [[UUDS 1950]]. Pengaturan Daerah Istimewa terdapat baik dalam diktum<ref>Pembentukan Daerah Swatantra, demikian pula Daerah Istimewa termaksud dalam pasal 2 ayat (2), termasuk perubahan wilayahnya kemudian, diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 3 UU No 1/1957)'''</ref><ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari calon yang diajukan oleh DPRD dari keturunan keluarga yang berkuasa pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih mengusai daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan serta adat istiadat dalam daerah itu, dan diangkat dan diberhentikan oleh: ''a. Presiden bagi Daerah Istimewa tingkat I''. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diangkat calon yang diajukan oleh DPRD, seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa yang diangkat dan diberhentikan oleh penguasa yang yang mengangkat/memberhentikan Kepala Daerah Istimewa, dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1). '''(3)''' Kepala dan Wakil Kepala Daerah Istimewa karena jabatannya adalah berturut-turut menjadi Ketua serta anggota dan Wakil Ketua serta anggota Dewan Pemerintah Daerah. '''(Petikan Pasal 25 ayat (1), (2), dan (3) UU no 1/1957)'''</ref> maupun penjelasannya.<ref>Kepala Daerah Istimewa tidak dipilih oleh dan dari anggota DPRD melainkan diangkat oleh Pemerintah Pusat. Jadi keistimewaannya dari suatu Daerah Istimewa masih tetap terletak dalam kedudukan Kepala Daerahnya. Karena Kepala Daerah Istimewa ini diangkat oleh penguasa Pemerintah Pusat yang berwajib maka: a. ia tidak dapat ditumbangkan oleh DPRD, sedangkan: b. mengenai gaji dan segala emolumenten ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. '''(Petikan Penjelasan Umum Ad 4 UU No 1/1957)'''</ref>. Secara garis besar tidak terjadi perubahan yang mencolok tentang pengaturan pemerintahan di Yogyakarta saat itu dengan peraturan sebelumnya (UU 22/1948).<ref>Provinsi/Daerah Istimewa setingkat Provinsi dan Kabupaten/Daerah Istimewa setingkat Kabupaten yang berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU RI No 22 tahun 1948 tidak perlu dibentuk lagi sebagai Daerah Swatantra akan tetapi sejak berlakunya UU ini berturut-turut menjadi Daerah Tingkat ke I/Daerah Istimewa Tingkat I dan Daerah Tingkat ke II/Daerah Istimewa Tingkat II termaksud dalam UU ini. '''(Petikan Pasal 73 ayat (1) UU No 1/1957)'''</ref>. Pada masa pemberlakuan UU ini terjadi "Masalah Pamong Praja" yang melibatkan benturan keras antara korps pamong praja sebagai 'metamorfosis' ''abdidalem kepatihan'' yang sejak semula menjadi tulang punggung birokrasi DIY dengan Dewan Pemerintah Daerah yang memiliki dukungan DPRD DIY yang sedang dikuasai oleh PKI yang menghendaki hapusnya pamong praja.<ref name="pjs">PJ Suwarno, 1994</ref>.
 
==== Penyatuan Wilayah (1957-1958) ====
[[Berkas:Peta seri DIY AA 1957.png|thumbjmpl|rightka|Wilayah DIY beserta pembagian Kab/Kota di lingkungannya tahun 1957]]
 
Demi kelancaran tata pemerintahan, sesuai dengan mosi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta Nomor 6/1952 tertanggal 24 September 1952, daerah-daerah [[enclave]] [[Imogiri]] (milik [[Kasunanan]]), [[Kota Gede]] (juga milik Kasunanan), dan [[Ngawen]] (milik [[Mangkunagaran]]) '''dilepaskan''' dari Provinsi Jawa Tengah dan kabupaten-kabupaten yang bersangkutan kemudian '''dimasukkan''' ke dalam wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan kabupaten-kabupaten yang wilayahnya melingkari daerah-daerah enclave tersebut. Penyatuan enclave-enclave ini ditetapkan oleh {{ke wikisource|UU Drt No. 5 Tahun 1957}} (LN 1957 No. 5) yang kemudian disetujui oleh DPR menjadi {{ke wikisource|UU No. 14 Tahun 1958}} (LN 1958 No. 33, TLN 1562).
 
==== Pasca DekritDekret Presiden (1959-1965) ====
Sambil menunggu UU pemerintahan daerah yang baru setelah [[DekritDekret Presiden 5 Juli 1959]], Presiden mengeluarkan PenPres No 6 Tahun 1959 sebagai penyesuaian UU 1/1957 terhadap [[UUD 1945]] yang diberlakukan kembali. Pengaturan Daerah Istimewa dalam peraturan ini juga tidak banyak berbeda.<ref>'''(1)''' Kepala Daerah Istimewa diangkat dari keturunan keluarga yang berkuasa menjalankan pemerintahan daerah itu pada zaman sebelum Republik Indonesia dan yang masih berkuasa menjalankan pemerintahan di daerahnya, dengan memperhatikan syarat-syarat kecakapan, kejujuran, kesetiaan pada Pemerintah Republik Indonesia serta adat istiadat dalam daerah itu dan diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. '''(2)''' Untuk Daerah Istimewa dapat diadakan seorang Wakil Kepala Daerah Istimewa, yang diangkat dan diberhentikan dengan memperhatikan syarat-syarat tersebut dalam ayat (1) pasal ini. '''(Pasal 6 ayat (1) dan (2) PenPres No 6/1959)'''</ref>. Selain itu Sultan HB IX mulai aktif kembali dalam politik Nasional, praktis kepemimpinan sehari-hari DIY di pegang oleh Sri Paduka PA VIII.
 
== Periode IV: 1965-1998 ==
=== Pengaturan DIY Pada Masa Pergolakan (1965-1974) ===
Tanggal [[1 September]] [[1965]], sebulan sebelum terjadi [[G30S/PKI]], Pemerintah mengeluarkan UU No. 18 tahun 1965 tentang pemerintahan daerah. Dalam UU ini Yogyakarta dijadikan sebuah Provinsi <ref>Pada saat berlakunya UU ini, maka: Daerah tingkat I dan Daerah Istimewa Yogyakarta yang berhak mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan UU No 1 tahun 1957 serta [[Daerah Istimewa Aceh]] berdasarkan Keputusan Perdana Menteri Republik Indonesia No. 1/Missi/1959 adalah “Provinsi” termaksud dalam pasal 2 ayat (1) sub a UU ini. '''(Pasal 88 ayat (1) sub a UU No 18/1965)'''</ref> (sebelumnya adalah Daerah Istimewa Setingkat Provinsi [lihat periode III di atas]). Dalam UU ini pula seluruh “swapraja” yang masih ada baik secara ''de facto'' maupun ''de jure'' yang menjadi bagian dari daerah lain yang lebih besar dihapuskan.<ref>Daerah-daerah swapraja yang ''de facto'' maupun ''de jure'' dinyatakan hapus. '''(Petikan Pasal 88 ayat (3) UU No 18/1965)'''</ref>. Dengan demikian Yogyakarta menjadi satu-satunya daerah bekas swapraja yang diakui oleh Pusat.<ref>Sifat istimewa suatu daerah berlaku terus hingga dihapuskan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang, pada saat berlakunya UU ini, adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada jangka waktu masa jabatan dimaksud dalam pasal 17 ayat (1) dan pasal 21 ayat (5). '''(Petikan Pasal 88 ayat (2) sub a dan b UU No 18/1965)'''</ref>. UU ini juga mengisyaratkan penghapusan status istimewa baik bagi [[Aceh]] maupun [[Yogyakarta]] di kemudian hari .<ref>Daerah yang bersifat istimewa disebut Daerah Istimewa. Karena itu, maka sebutan Daerah Yogyakarta dan sebutan Daerah Istimewa Aceh berlaku terus hingga dihapuskan atau diganti dengan peraturan-peraturan perundangan yang sah. Pada saatnya diharap bahwa status atau sifat istimewa bagi Yogyakarta dan Aceh akan hapus. '''(Petikan Penjelasan pasal 1 dan 2 UU No 18/1965)'''</ref>. Mulai dengan keluarnya UU No 18/1965 dan UU pemerintahan daerah selanjutnya, keistimewaan Yogyakarta semakin hari semakin kabur.
 
=== Pengaturan DIY Pada Masa Orde Baru (1974-1998) ===
Tahun 1973, Sultan HB IX diangkat menjadi [[Wakil Presiden Indonesia]]. Otomatis dia tidak bisa aktif dalam mengurusi DIY. Oleh karena itu pemerintahan sehari-hari dijalankan oleh Sri Paduka PA VIII. Kebijakan tentang status Yogyakarta diteruskan oleh Pemerintah Pusat dengan UU No. 5 Tahun 1974 tentang Pemerintah Daerah (LN 1974 No 38; TLN 3037). Di sini Provinsi D.I. Yogyakarta diatur secara khusus di aturan peralihan.<ref>Pada saat berlakunya UU ini: Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta yang sekarang adalah Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah menurut UU ini dengan sebutan Kepala Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Wakil Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta, yang tidak terikat pada ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan bagi Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah lainnya. '''(Pasal 91 sub b UU No 5/1974)'''</ref>. Dengan UU ini, susunan dan tata pemerintahan DIY praktis menjadi sama dengan daerah-daerah lain di Indonesia. Satu-satunya perbedaan adalah Kepala Daerah Istimewa dan Wakil Kepala Daerah Istimewa, beberapa urusan Agraria dan beberapa pegawai Pemda yang merangkap menjadi ''Abdi Dalem Keprajan'' (lihat periode I dan III di atas).
 
Sultan HB IX kembali aktif melaksanakan tugas sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa setelah berhenti sebagai wakil presiden pada tahun 1978. Melihat keistimewaan yang semakin kabur, DPRD DIY periode 1977-1982 menyatakan pendapat dan kehendaknya bahwa sifat dan kedudukan istimewa DIY perlu dilestarikan terus sampai masa mendatang sesuai dengan UUD 1945 dan isi serta maksud UU 3/1950. Putusan DPRD ini tertuang dalam Keputusan DPR DIY No. 4/k/DPRD/1980.<ref name="joy">Joyokusumo, 2007</ref>.
 
=== Wafat Sultan HB IX (1988) dan Sri Paduka PA VIII (1998) ===
[[Berkas:Sultan Hamengku Buwono IX blackwhite.png|thumb|Sultan HB IX Raja Kesultanan Yogyakarta sekaligus Gubernur I DIY]]
 
Sultan HB IX hanya sepuluh tahun memangku kembali sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Pada 1988, Dia wafat di Amerika Serikat saat berobat. Sultan Hamengku Buwono IX tercatat sebagai Gubernur terlama yang menjabat di Indonesia antara 1945-1988 dan Raja [[Kesultanan Yogyakarta]] terlama antara 1940-1988. Pemerintah Pusat tidak mengangkat Sultan [[Hamengku Buwono X]] (HB X) sebagai Gubernur Definitif melainkan menunjuk Sri Paduka [[Paku Alam VIII]], Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa, sebagai Penjabat Gubernur/Kepala Daerah Istimewa.<ref name="ari">Ariobimo Nusantara (ed), 1999</ref>.
 
Pada saat reformasi, tanggal [[20 Mei]] [[1998]], sehari sebelum pengunduran diri presiden terdahulu (''former president'') [[Presiden Soeharto]], Sultan HB X bersama-sama dengan Sri Paduka PA VIII mengeluarkan sebuah maklumat yang pada pokoknya berisi "ajakan kepada masyarakat untuk mendukung gerakan reformasi damai, mengajak [[ABRI]] (TNI/Polri) untuk melindungi rakyat dan gerakan reformasi, untuk menjaga persatuan dan kesatuan, dan mengajak masyarakat untuk berdoa bagi Negara dan Bangsa". Maklumat tersebut dibacakan di hadapan masyarakat dalam acara yang disebut ''Pisowanan Agung''.<ref name="ari"/>. Beberapa bulan setelahnya dia menderita sakit dan meninggal pada tahun yang sama. Sri Paduka Paku Alam VIII tercatat sebagai wakil Gubernur terlama (1945-1998) dan Pelaksana Tugas Gubernur terlama (1988-1998) serta Pangeran Paku Alaman terlama (1937-1998).
 
== Periode V: 1998-2008 ==
=== Pro Kontra Suksesi Gubernur I (1998) ===
Meninggalnya Sri Paduka PA VIII menimbulkan masalah bagi Pemerintahan Provinsi DIY dalam hal kepemimpinan. Terjadi perdebatan antara Pemerintah Pusat, DPRD Provinsi DIY, Pihak Keraton Yogyakarta dan Puro Paku Alaman, serta masyarakat. Keadaan ini sebenarnya disebabkan oleh kekosongan hukum yang ditimbulkan UU No. 5/1974 yang hanya mengatur jabatan Gubernur dan Wakil Gubernur Provinsi DIY saat dijabat oleh Sultan HB IX dan Sri Paduka PA VIII, dan tidak mengatur masalah suksesinya. Atas desakan rakyat, Sultan HB X ditetapkan sebagai Gubernur/Kepala Daerah Istimewa oleh Pemerintah Pusat untuk masa jabatan 1998-2003.<ref name="ari"/>.
 
Karena suksesi di Puro Paku Alaman untuk menentukan siapa yang akan bertahta menjadi Pangeran Adipati Paku Alam tidak berjalan mulus, maka Sultan HB X tidak didampingi oleh Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa. Pada tahun 1999 Sri Paduka [[Paku Alam IX]] naik tahta, namun dia belum menjabat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa.
 
=== Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi I (1999-2004) ===
Untuk menanggulangi masalah tersebut, Pemerintah Pusat dalam UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah (LN 1999 No 60; TLN 3839) mengatur masalah suksesi bagi kepemimpinan di Provinsi DIY.<ref>Pengakuan keistimewaan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan pada asal usul dan peranannya dalam sejarah perjuangan nasional, sedangkan isi keistimewaanya adalah pengangkatan Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Sultan Yogyakarta dan Wakil Gubernur dengan mempertimbangkan calon dari keturunan Paku Alam yang memenuhi syarat sesuai UU ini. '''(Petikan Penjelasan Pasal 122 UU No 22/1999)'''</ref>. Sedangkan masalah birokrasi dan tata pemerintahan Provinsi DIY adalah sama dengan provinsi-provinsi lainnya .<ref>Keistimewaan untuk Provinsi [[Daerah Istimewa Aceh]] dan Provinsi [[Daerah Istimewa Yogyakarta]], sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 5 Tahun 1974, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Istimewa Aceh dan Provinsi Istimewa Yogyakarta didasarkan atas UU ini. '''(Pasal 122 UU No 22/1999)'''</ref>.
 
Pada tahun 2000, [[MPR]] RI melakukan perubahan kedua UUD 1945. Pada perubahan ini, status daerah istimewa diperjelas dalam pasal 18B. Dalam pasal ini keistimewaan suatu daerah diatur secara khusus dalam suatu undang-undang.<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. (Pasal 18B ayat (1) UUD 1945[kedua/setelah perubahan 1-4])</ref>.
 
=== Pengusulan RUU Keistimewaan (2002) ===
Pihak Provinsi DIY pernah mengajukan usul UU Keistimewaan Yogyakarta untuk menjalankan aturan pasal 18B konstitusi pada 2002.<ref name="hbx">HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007</ref>. Namun usul tersebut tidak mendapat tanggapan positif bila dibandingkan dengan Prov NAD dan Prov [[Papua]] dengan dikembalikan lagi ke daerah.<ref name="hbx"/>. Kedua provinsi tersebut telah menerima otonomi khusus masing-masing dengan UU No 18/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi [[Aceh]] (LN 2001 No.114; TLN 4134) dan UU No 21/2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua (LN 2001 No 135; TLN 4151).
 
=== Pro Kontra Suksesi Gubernur II (2003) ===
Baris 145 ⟶ 144:
 
=== Pengaturan DIY Pada Masa Reformasi II (2004-sekarang[2012]) ===
Tahun 2004, masalah keistimewaan kembali bergolak. Dalam UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (LN 2004 No 125; TLN 4437), status keistimewaan Provinsi DIY tetap diakui, namun diisyaratkan akan diatur secara khusus<ref>Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-undang. '''(Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>Yang dimaksud satuan-satuan pemerintahan yang bersifat khusus adalah daerah yang diberi otonomi khusus, sedangkan daerah istimewa adalah Daerah Istimewa Aceh dan Daerah Istimewa Yogyakarta. ('''Penjelasan Pasal 2 ayat (8) UU No 32/2004)'''</ref><ref>'''(1)''' Ketentuan dalam UU ini berlaku bagi Provinsi Daerah Khusus IbukotaIbu kota Jakarta, Provinsi Aceh, Provinsi Papua, dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarata sepanjang tidak diataur secara khusus dalam UU tersendiri. '''(2)''' Keistimewaan untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sebagaimana dimaksud dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, adalah tetap dengan ketentuan bahwa penyelenggaraan pemerintahan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta didasarkan pada UU ini. '''(Pasal 226 ayat (1) dan (2) UU No 32/2004)'''</ref> seperti provinsi-provinsi: NAD, DKI [[Jakarta]], dan Papua.<ref>Yang dimaksud dengan UU tersendiri adalah UU Nomor 34 tentang Daerah Khusus IbukotaIbu kota Jakarta, UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Aceh, jo UU Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Aceh, UU Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. '''(Penjelasan pasal 226 ayat (1) UU No 32/2004)'''</ref>. Namun sebelum UU yang mengatur status keistimewaan Provinsi DIY diterbitkan, seluruh pelaksanaan pemerintahan mengacu pada UU tersebut. Sama seperti daerah provinsi yang lain, kecuali Aceh dan Papua, Pemerintahan Provinsi DIY dibagi menjadi Dinas, Badan, Kantor, Rumah Sakit, serta Sekretariat PemProv dan DPRD. Pada 2006 sekali lagi Provinsi DIY mengajukan usul namun sekali lagi pula usul itu dikembalikan seperti usulan empat tahun sebelumnya.<ref name="hbx"/>.
 
== Periode VI (Peralihan): 2007 - sekarang (2012) ==
=== Pernyataan Pengunduran Diri Sultan HB X ===
[[Berkas:Peta seri DIY AA 2007.png|thumbjmpl|rightka|Prov. DIY tahun 2007 beserta Kab/Kota di lingkungannya]]
 
Di tengah silang pendapat masyarakat mengenai keistimewaan DIY, pada [[7 April]] [[2007]], Sultan HB X mengeluarkan pernyataan bersejarah<ref>Pernyataan bersejarah Sultan: "Selanjutnya setelah saya pertimbangkan secara mendalam dengan laku spiritual memohon petunjuk-Nya, maka saya harus mengambil ketegasan Sikap Spiritual Kultural yang saya tuangkan dalam sebuah Pernyataan Sejarah, sebagai berikut: 1. Dengan tulus ikhlas saya menyatakan tidak bersedia dipilih sebagai Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY pada purna masa jabatan tahun 2003-2008 nanti. 2. Selanjutnya saya titipkan masyarakat DIY kepada Gubernur/Kepala Daerah Provinsi DIY yang akan datang." '''(Kompas Yogyakarta 9 April 2007)'''</ref> lewat orasi budaya pada perayaan ulang tahunnya yang ke-61, yang pada intinya tidak bersedia lagi untuk dipilih sebagai Gubernur DIY setelah masa jabatannya selesai tahun 2008.<ref>HB X, 2007</ref>.
 
Pernyataan Sultan HB X itu mendapat tanggapan dari berbagai pihak. [[Sofian Effendi (akademisi)|Sofian Effendi]]<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> (rektor UGM pada saat itu) menyampaikan bahwa keraton memang tidak perlu ikut kegiatan dalam pemerintahan sehari-hari, Sultan atau Keraton harus harus di atas itu tetapi keuangan keraton harus dijamin anggaran daerah. Sedangkan keistimewaan DIY menurutnya dapat meniru kesultanan di Malaysia atau sistem monarki parlementer Inggris. Sementara itu Purwo Santoso<ref name="k0904">Kompas 09 April 2007</ref> pakar otda UGM menilai sebagai langkah positif bagi perkembangan demokrasi dan tidak menyalahi keistimewaan.
Baris 157 ⟶ 156:
Bagi Roy Suryo<ref>Kompas Yogyakarta 09 April 2007A</ref> pakar telematika yang juga kerabat Paku Alaman pernyataan Sultan HB X merupakan “sabdo pandhito ratu” dan memerlukan penelaahan lebih lanjut. Roy berharap keistimewaan DIY tidak dirusak dengan adanya pilkada. Herry Zudianto<ref name="kj0409">Kompas Yogyakarta 09 April 2007C</ref> (Wali kota Yogyakarta) tidak setuju keraton dan raja dipisahkan sama sekali dari sistem pemerintahan.
 
Warga Bantul<ref name="kr0904">Kedaulatan Rakyat 09 April 2007</ref> siap menggelar Pisowanan Agung untuk meminta kejelasan tentang pernyataan Sultan serta menyampaikan aspirasi agar Sultan HB X tetap bersedia memimpin. Para lurah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintahan Desa Indonesia juga akan menemui Sultan untuk menyampaikan keberatan.<ref name="kj0409"/>.
 
Akhirnya pada 18 April 2007, Sultan HB X menegaskan kembali untuk tidak menjadi Gubernur DIY dalam Pisowanan Agung yang dihadiri sekitar 40.000 warga Yogyakarta.<ref name="Kompas Yogyakarta 19 April 2007">Kompas Yogyakarta 19 April 2007</ref>.
 
=== Ambiguitas Sikap Masyarakat DIY ===
Sebuah jajak pendapat yang dilakukan oleh Kompas<ref name="Kompas Yogyakarta 19 April 2007"/> pada [[13 April]] [[2007]] menunjukkan 74,9% responden setuju jika jabatan Gubernur di pegang oleh kerabat Keraton Yogyakarta. Persentase ini lebih besar daripada responden yang setuju dipegang oleh Masyarakat Umum (63,5%) maupun oleh Kerabat Pura Paku Alaman (59,1%). Terlihat dalam jajak pendapat ambiguitas sikap masyarakat Yogyakarta. Senada dengan itu jajak pendapat yang dilakukan oleh PSPA selama bulan maret (sebelum statement dikeluarkan) menunjukkan 70,3 persen responden menyetujui jika Gubernur DIY dipilih secara langsung.<ref>Kedaulatan Rakyat 19 April 2007</ref>.
 
Dalam sebuah jajak pendapat berseri yang dilakukan oleh Kompas<ref>Kompas Yogyakarta 20 April 2007</ref> pada 21-22 Desember 2006 dan 13 April 2007 menyangkut persepsi masyarakat mengenai nilai keistimewaan DIY terjadi sebuah pergeseran. Pada Desember 2006 keberadaan Sultan Yogyakarta sebagai gubernur masih menjadi hal utama yang menentukan keistimewaan DIY (32,2%) disusul oleh keberadaan keraton, pusat kebudayaan dan seniman, kota pariwisata (27,7%). Setelah pernyataan ketidaksediaan Sultan sebagai gubernur pada April 2007 porsi terbesar ditunjukkan oleh Nilai historis DIY yang berperan dalam sejarah perjuangan bangsa (41,4%; sebelumnya hanya 15,7%) disusul oleh keberadaan Sultan sebagai gubernur (32,0%; sebelumnya 32,2%). Sedangkan opsi keberadaan keraton melorot menempati urutan empat (7,6%).
 
=== RUU Keistimewaan dan Pro Kontra Suksesi Gubernur III (2008) ===
Untuk mengakomodir keistimewaan DIY yang tidak jelas arahnya, PAH I Dewan Perwakilan Daerah membentuk Tim Kerja yang diketuai oleh Subardi (anggota DPD perwakilan DIY) untuk menjaring aspirasi.<ref>Kompas Yogyakarta 10 April 2007</ref>. Sementara itu Depdagri mempercayakan Jurusan Ilmu Pemerintahan (JIP) FISIPOL UGM untuk menyusun RUU Keistimewaan (RUUK) yang telah memaparkan hasilnya di depan DPRD DIY pada 14 Juni 2007.<ref>Kedaulatan Rakyat 15 Juni 2007</ref>. Akhirnya pada 2 Juli 2007 diadakan uji sahih RUUK.<ref>Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007</ref>. Sebagai narasumber dalam ujisahih tersebut adalah wakil Kraton GBPH Joyokusumo,<ref>Joyokusumo atau selengkapnya Gusti Bendoro Pangeran Hario Joyokusumo yang lebih sering disapa Gusti Joyo adalah salah seorang Rayi Dalem (Adik Raja). Ia adalah Penghageng Kawedanan Hageng Panitrapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Pejabat Tinggi di Lembaga Tinggi Keraton Yogyakarta (lihat pemisahan Istana dan Negara di atas). Selain itu dia adalah anggota DPR RI (masa bakti 1999-2004 dan 2004-2009) mewakili DIY dan berasal dari Partai Golkar.</ref>, tim RUU JIP Bambang Purwoko, Dosen FH UGM Aminoto dan Ketua Tim Perumus Naskah Akademik dan PAH I DPD RI [[Jawahir Thontowi]]. Dalam uji sahih terungkap bahwa pihak keraton tidak menginginkan adanya sebuah lembaga baru, cukup dua lembaga: Keraton beserta Puro di satu kelompok dan Pemda (pemprov dan DPRD) di kelompok satunya.
 
Walaupun Depdagri menarget sebelum akhir 2007 RUU Keistimewaan DIY sudah diserahkan kepada DPR,<ref>Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 dan Kedaulatan Rakyat 22 September 2007</ref>, namun kenyataannya sampai Juni 2008 RUU Keistimewaan masih terkatung-katung di Setneg dan Depkumham.<ref name="Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008">Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008</ref>. Sementara itu DPD telah melangkah lebih jauh dengan mengesahkan RUU Perubahan Ketiga UU No 3 Tahun 1950 tentang Pembentukan DIY.<ref>Kedaulatan Rakyat 20 September 2007</ref>. RUU ini sudah diterima oleh Bamus DPR dan telah disetujui pada 6 Maret 2008 dalam surat bernomor TU.04/1871/DPR RI/III/2008 serta telah diserahkan ke Komisi II DPR untuk dibahas.<ref name="Kedaulatan Rakyat 18 Juni 2008"/>.
Sementara itu di daerah terjadi pergolakan terkait RUU Keistimewaan maupun pro kontra suksesi Gubernur Yogyakarta. Pada 25 Maret 2008 sekitar 10 ribu orang dari berbagai kabupaten di DIY menggelar “Sidang Rakyat” di halaman Gedung DPRD DIY. Acara tersebut pada intinya dimaksudkan untuk menyerukan agar DPRD DIY segera menyelenggarakan Rapat Paripurna Khusus untuk membuat keputusan politik sesuai aspirasi masyarakat DIY dan menolak Rancangan Undang-undang Keistimewaan (RUUK) yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat.<ref>Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008</ref>. Sehari sebelumnya tanggal 24 juga terjadi aksi masa yang serupa. Menindak lanjuti berbagai aksi masa baik yang mendukung penetapan (baca: kubu konservatif) maupun yang mendukung pemilihan gubernur (baca: kubu liberal) Rapat Gabungan Pimpinan DPRD DIY pada 10 April 2008 sepakat untuk menggelar Rapat Paripurna Dewan yang direncanakan digelar 17 April 2008.<ref>Kedaulatan Rakyat 11 April 2008</ref>. Setelah sempat tertunda DPRD DIY memutuskan membentuk Panitia Khusus (Pansus) Akselerasi (percepatan) Keistimewaan Yogyakarta. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat Paripurna (Rapur) DPRD DIY yang dipantau utusan Departemen Dalam Negeri pada 23 April 2008.<ref>Kedaulatan Rakyat 24 April 2008</ref>.
 
Secara substansi, terkait kepemimpinan DIY, Pansus sudah sepakat mengangkat kembali Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY periode 2008-2013. Namun substansi RUUK belum selesai dirumuskan.<ref>Kedaulatan Rakyat 2 Juni 2008</ref>. Sementara itu Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat menolak bicara soal usulan materi RUU Keistimewaan DIY. Selain ingin tetap berada di tengah, juga posisi kraton sudah tunduk pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Selain itu Sultan menegaskan, sejak Maklumat 5 September 1945, posisi kraton sudah menjadi bagian dari republik. Karena itu, kraton akan tunduk dengan perundang-undangan. Terkait dengan RUUK, memang bisa muncul pro dan kontra. Namun demikian aspirasi masyarakat harus dapat diperhatikan, karena kedaulatan ada di tangan rakyat.<ref>Kedaulatan Rakyat 7 Juni 2008</ref>. Pansus Percepatan RUU Keistimewaan DPRD DIY akhirnya menyelesaikan tugasnya pada 30 Juni 2008 dengan penyampaian laporan di hadapan Rapat Paripurna DPRD. Rapat Paripurna DPRD DIY pun menyepakati (dengan catatan) rekomendasi Pansus menjadi Keputusan Politik Dewan yang antara lain mendesak Pemerintah Pusat agar menetapkan Sri Sultan Hamengku Buwono X dan Sri Paduka Paku Alam IX sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DIY 2008-2013 dan agar mempercepat pembahasan RUU Keistimewaan DIY.<ref>Siaran tunda TVRI lokal Yogyakarta, Rabu 2 Juli 2008</ref><ref>Situs Pemprov DIY "DPRD DIY: Tetapkan HB X dan PA IX Sebagai Gub. dan Wagub DIY 2008-2013; Sultan: Terserah Saja Itu Aspirasi"</ref>.
 
Akhirnya RUU Keistimewaan DIY diserahkan oleh Pemerintah (Depdagri) kepada DPR RI pada pertengahan Agustus 2008 untuk dibahas.<ref>Kedaulatan Rakyat 21 Agustus 2008</ref>. Sementara itu pihak Keraton Yogyakarta (baca: keluarga keraton/adik-adik Sultan) juga menyiapkan dan mengirimkan draf RUU Keistimewaan DIY kepada DPR RI sebagai bahan masukan di samping berbagai draf yang ada.<ref>Kedaulatan Rakyat 2 dan 4 September 2008</ref>.
 
=== Beberapa pemikiran rakyat ===
==== Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta ====
{{unreferenced section|date=Agustus 2018}}
 
Substansi istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dapat dilihat dalam kontrak politik antara Nagari Kasultanan Yogyakarta & Kadipaten Puro Pakualaman dengan Pemimpin Besar Revolusi Soekarno sebagaimana dituangkan dalam Pidato Penobatan HB IX, 18 Maret 1940; Piagam Kedudukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX & Sri Paduka Pakualam VIII tanggal 19 Agustus 1945; Amanat 5 September 1945; Amanat 30 Oktober 1945; Amanat Proklamasi Kemerdekaan NKRI-DIY, 30 Mei 1949; Penjelasan pasal 18,UUD 1945; Pasal 18b (ayat 1 & 2), UUD NKRI 1945; Pasal 2, UU NO. 3/1950; Amanat Tahta Untuk Rakyat, 1986.
 
Subtsansi Istimewa bagi Daerah Istimewa Yogyakarta terdiri dari tiga hal :
'''Pertama''', Istimewa dalam hal Sejarah Pembentukan Pemerintahan Daerah Istimewa (sebagaimana diatur UUD 45, pasal 18 & Penjelasannya mengenai hak asal usul suatu daerah dalam teritoir Negara Indonesia terdapat lebih kurang 250 ''zelfbestuurende-landschappen & volks-gemeenschappen'' serta bukti - bukti authentikautentik/fakta sejarah dalam proses perjuangan kemerdekaan, baik sebelum maupun sesudah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 hingga sekarang ini dalam memajukan Pendidikan Nasional & Kebudayaan Indonesia;
'''Kedua''', Istimewa dalam hal Bentuk Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang terdiri dari penggabungan dua wilayah Kasultanan & Pakualaman menjadi satu daerah setingkat provinsi yang bersifat kerajaan dalam satu kesatuan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (sebagaimana disebutkan dalam Amanat 30 Oktober 1945, 5 Oktober 1945 & UU No.3/1950);
'''Ketiga''', Istimewa dalam hal Kepala Pemerintahan Daerah Istimewa Yogyakarta yang dijabat oleh Sultan & Adipati yang bertahta (sebagaimana amanat Piagam Kedudukan 19 Agustus 1945 yang menyatakan Sultan & Adipati yang bertahta TETAP DALAM KEDUDUKANNYA dengan ditulis secara lengkap nama, gelar, kedudukan seorang Sultan & Adipati yang bertahta sesuai dengan angka urutan bertahtanya).
Polemik keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta ini makin berlarut - larut disebabkan oleh : '''Pertama''', manuver politik terkait konvensi pencalonan Presiden PEMILU 2004 & PEMILU 2009 (radar jogja,28/9/10) serta penolakan HB X menjadi gubernur yang tertuang dalam orasi budaya pada saat ulang tahun ke 61 pada tanggal 7 April 2007, setelah melakukan melakukan laku spiritual memohon petunjuk Tuhan memutuskan untuk tidak bersedia menjabat gubernur setelah periode kedua masa jabatannya berakhir 2008 (radarRadar jogjaJogja, 29/9/10);
 
'''Kedua''', setiap produk undang - undang yang mengatur tentang pemerintah daerah (UU No. 5/1969, UU 5/1974, UU No. 22/99, UU No. 32/2004) tidak mampu menjangkau, mengatur dan melindungi hak asal - usul suatu daerah sebagaimana diamanatkan oleh Undang - undang Dasar 1945, pasal 18 & penjelasannya maupun amanat UUD 1945 (hasil amandemenamendemen), pasal 18 b (ayat 1 & 2);
 
'''Ketiga''', pemahaman posisi serta substansi bagi Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia belum dipahami secara utuh dan benar oleh penerus tahta Kasultanan & Pakualaman (pasca HB IX & PA VIII) maupun oleh penerus tahta kepresidenan (pasca Soekarno & Hatta) maupun oleh masyarakat luas;
 
'''Keempat''', ketidak pahamanketidakpahaman para penerus & pengisi kemerdekaan karena perubahan orientasi tata pemerintahan dari geo-cultural (ranah kebudayaan) yang bernama Nusantara menjadi geo-politics (ranah politik) yang bernama Indonesia sebagaimana disebutkan dalam Bhineka Tunggal Ika belum dioperasionalisasikan secara yuridis formal dalam tata kehidupan sosial masayarakat & pemerintahan NKRI;
'''Kelima''', perpindahan orientasi politik atau mazhab politik berdirinya negara dengan Sistem Continental menjadi Anglo Saxon dalam pelaksanaan pemerintah pasca Reformasi semakin mengkacaukan sistem & hukum tata negara Indonesia, hal ini dibuktikan dengan adanya amandemenamendemen UUD 1945 tanpa melalui Referendum sebagaimana diamanatkan oleh UU No. 10/1985 dan perubahan sistem demokrasi dari Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan menjadi sistem pemilihan langsung & ternyata Pilihan Langsung ini lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya karena secara diam - diam telah terbukti bertentangan dengan sila ke IV Pancasila;
 
'''Keenam''', proses demokratisasi di Daerah Istimewa Yogyakarta masih terus bergulat dan berlangsung sesuai dinamika politik lokal yang menekankan substansi demokrasi (musyawarah untuk mencapai mufakat), sehingga sampai dengan detik ini belum melaksanakan Pilgub & Pilwagub secara langsung karena sesuai UU No.3/1950 & Kontrak Politik antara Kasultanan & Pakualaman dengan Bung Karno memang Posisi Gubernur DIY adalah wakil pemerintah pusat (bertanggung-jawab langsung kepada presiden), sebagaimana halnya Camat yang melakukan tugas medewewind (tugas pembantuan) dan tidak masuk ranah desentralisasi sebagaimana wali kota, bupati, lurah yang dipilih secara langsung dipilih oleh rakyat sesuai amandemenamendemen UUD 45 & UU No. 32/2004.
 
=== September - Oktober 2011 ===
{{expand section|date=Agustus 2018}}
Masa jabatan Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta yang sudah diperpanjang selama tiga tahun (2008-2011) kembali diperpanjang untuk kedua kalinya (2011-2012).
 
=== Mei - Agustus 2012 ===
Pada 10 Mei 2012, Sultan Hamengku Buwono X, dengan didampingi Adipati Paku Alam IX mengeluarkan dekritdekret kerajaan "Sabdatama". DekritDekret tersebut pada intinya berisi, antara lain, Sultan Yogyakarta yang bertahta menjadi Gubernur dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur. DekritDekret ini merupakan dekritdekret pertama yang dikeluarkan oleh Monarki Yogyakarta semenjak, terakhir, 30 Oktober 1945. Dengan dikeluarkannya dekritdekret ini sikap Pemerintah cq Kementerian Dalam Negeri agak melunak. Selain pengeluaran dekritdekret kerajaan terjadi pertemuan tertutup antara Sultan Yogyakarta dengan Presiden Republik Indonesia. Beberapa kesepahaman yang penting adalah menetapkan Sultan Yogyakarta yang bertahta sebagai Gubernur lima tahun sekali dan Adipati Paku Alam yang bertahta menjadi Wakil Gubernur lima tahun sekali. Selain itu disepakati bahwa Undang-undang Keistimewaan Yogyakarta akan diselesaikan dan diundangkan sebelum masa perpanjangan jabatan pada Oktober 2012 selesai.
 
== Lihat pula ==
* [[Daftar provinsi di Indonesia sepanjang masa]]
* [[Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia]]
 
== Catatan kaki ==
{{Reflist|colwidth=30em}}
 
== Daftar Bacaan ==
=== Buku ===
# {{cite book | editor=Selosoemardjan | title=Social Changes in Jogjakarta| publisher=New York: Cornell University Press| year=1962 | id= }}
# {{cite book | editor=A. Ariobimo Nusantara | title=Sri Sultan Hamengku Buwono X: meneguhkan tahta untuk rakyat | publisher=Jakarta: Grasindo | year=1999 | id=ISBN 979-669-570-7 }}
# {{cite book | author=P.J. Suwarno | title=Hamengku Buwono IX dan Sistem Birokrasi Pemerintahan Yogyakarta 1942-1974: sebuah tinjauan historis | publisher=Yogyakarta: Kanisius | year=1994 | id=ISBN 979-497-123-5 }}
# {{cite book | editor=Saafroedin Bahar et. al. | title=Risalah Sidang BPUPKI-PPKI 29 Mei 1945-19 Agustus 1945. Edisi kedua | publisher=Jakarta: Sekretariat Negara RI | year=1993 | id=ISBN 979-8300-00-9 }}
# {{cite book | author=Soedarisman Poerwokoeoemo | title=Daerah Istimewa Yogyakarta | publisher=Yogyakarta: Gadjah Mada University Press | year=1984 | id= }}
# {{cite book | author=Heru Wahyukismoyo | title=Keistimewaan jogja vs Demokratisasi | publisher=Bayu Indra Grafika, Yogyakarta | year=2004 | id=ISBN 979-8680-73-X }}
# {{cite book | author=Heru Wahyukismoyo | title=Merajut Kembali Pemikiran Sri Sultan Hamengku Buwono IX | publisher=Dharmakaryadhika Publisher, Yogyakarta | year=2008 | id=ISBN 978-979-18850-0-3 }}
 
=== Peraturan Perundangperundang-undangan ===
# UUD 1945 pertama (sebelum perubahan) dan UUD 1945 kedua (setelah perubahan)
# Peraturan Perundang-undangan tentang Pembentukan DIY Beserta Kabupaten dan Kota dalam Lingkungannya (UU 3/1950; UU 15/1950; UU 16/1950; UU 19/1950; PP 31/1950; PP 32/1950; UU 18/1951; UU Drt 5/1957; UU 14/1958).
# Peraturan Perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah (UU 22/1948; UU 1/1957; PenPres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974; UU 22/1999; dan UU 32/2004).
 
=== Surat Kabarkabar Harianharian ===
# Achiel Suyanto. (2007) "Keistimewaan DIY dalam Tinjauan Sosio-Yuridis" ''Kedaulatan Rakyat'' (19 April 2007).
# HB X dalam Kedaulatan Rakyat 23 Mei 2007 [''Sultan HB X Soal Kepemimpinan; Jangan Ada Dualisme di DIY'']
Baris 225 ⟶ 232:
# Joyokusumo dalam Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [''Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi''].
# Joyokusumo (2007) "Kraton, Otonomi Daerah dan Good Governance di DIY (tulisan bersambung)" ''Kedaulatan Rakyat''(23,24,26 Februari 2007).
 
# Kedaulatan Rakyat 03 Juli 2007 [''Kesitimewaan Tidak di UU 3/50 ; DIY Bukan Monarkhi Konstitusi''].
# Kedaulatan Rakyat 05 Juni 2007 [''Draft RUUK DIY Tak Minta Status Keistimewaan; Joyokusumo Tolak Konsep JIP''].
Baris 232 ⟶ 238:
# Kedaulatan Rakyat 20 September 2007 [''Hari Ini DPD Sahkan RUUK DIY ; Gubernur/Wagub DIY Dipilih Langsung''].
# Kedaulatan Rakyat 22 September 2007 [''Banyaknya Draft RUUK DIY; Memperkaya Materi Pembahasan''].
# Kedaulatan Rakyat 31 Agustus 2007 [''Sekjen Depdagri Pastikan : Pilkada DIY 2008 Gunakan UUK''].
# Kedaulatan Rakyat 26 Maret 2008 [''Jika Tak Sesuai Aspirasi; 'Sidang Rakyat' Tolak RUUK DIY'']
# Kedaulatan Rakyat 11 April 2008 [''DPRD Gelar Rapur Soal Jabatan Gubernur; PKS Bersiap Hadapi Pilgub'']
Baris 243 ⟶ 249:
# Kedaulatan Rakyat 2 September 2008 [''Kecewa Pada konsep Sebelumnya 'KRATON AJUKAN DRAF RUUK DIY'']
# Kedaulatan Rakyat 4 September 2008 [''DRAF RUUK DIY USULAN KELUARGA KRATON ; Sultan Tak Tahu Materinya'']
 
# Kompas 09 April 2007 [''Posisi Sultan Harus di Atas Gubernur''].
# Kompas 19 April 2007 [''Sultan Akan Ke Kancah Nasional : penolakan jadi gubernur lagi merupakan hasil pergulatan panjang''].
# Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007A [''Pernyataan Sultan, Sentilan bagi Masyarakat''].
# Kompas (Lembaran Daerah Yogyakarta) 09 April 2007B [''Ulang Tahun Ngarso Dalem yang Sarat Makna''].
Baris 255 ⟶ 260:
== Draf RUU Keistimewaan DIY ==
* {{id}} [http://www.legalitas.org/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Pemerintah/Depdagri (?)] file pdf (klik Data Baru atau Rancangan Peraturan lalu cari artikel RUU ttg Keistimewaan Prov. DI Yogyakarta atau RUU tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
* {{id}} [http://www.pemda-diy.go.id/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Usulan Pemprov DIY tahun 2001 (?)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20010124015200/http://www.pemda-diy.go.id/ |date=2001-01-24 }} (klik Produk Hukum lalu cari artikel Rancangan Undang-Undang Republik Indonesia Tentang Otonomi Pemerintahan Daerah Daerah Istimewa Yogyakarta dan Naskah Akademik Rancangan Undang-Udang Tentang Keistimewaan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta)
* {{id}} [http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/download/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Jurusan Ilmu Pemerintahan Fisipol UGM 10062007(?)] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20090409072317/http://bdardias.staff.ugm.ac.id/index.php/download/ |date=2009-04-09 }} file pdf. Naskah Akademik dari RUU versi Jurusan Ilmu Pemerintahan diterbitkan dalam bentuk Monograf oleh Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah UGM.
* {{id}} [http://jogja-istimewa.blogspot.com/ Draf RUU Keistimewaan DIY-Draf Versi Pemerintah tahun 2010 (?)] (klik artikel bulan maret 2011).
 
== Catatan kaki ==
{{Reflist|colwidth=30em}}
 
== Lihat pula ==
* [[Daftar provinsi di Indonesia sepanjang masa]]
* [[Sejarah pemerintahan daerah di Indonesia]]
* [http://www.outbound-jogja.com Sejarah Outbound di Jogja]
 
{{Topik Yogyakarta}}
Baris 272 ⟶ 268:
 
[[Kategori:Sejarah Yogyakarta| Sejarah Daerah Istimewa Yogyakarta]]
[[Kategori:Sejarah Indonesia berdasarkanmenurut provinsi|Yogyakarta]]