Muhammad Saleh Werdisastro: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambahkan kategori Tokoh dari Surakarta (HotCat) |
k Suntingan 180.254.4.56 (bicara) dibatalkan ke versi terakhir oleh Wagino Bot Tag: Pengembalian Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(43 revisi perantara oleh 28 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Infobox Officeholder
'''Muhammad Saleh Werdisastro''' lahir di [[Sumenep]], [[Madura]], [[15 Februari]] [[1908]]; meninggal di [[Yogyakarta]], [[1966]] adalah seorang pejuang perintis kemerdekaan yang sepanjang hayatnya mendirikan dan memimpin sekolah [[PHIS Soemekar Pangabru Sumenep]], merintis [[Muhammadiyah]] Sumenep, menjadi Ketua [[Hisbul Wathon]] (HW) Madura, aktivis [[Muhammadiyah]] dan [[Boedi Oetomo]], menjadi Ketua [[Komite Nasional Indonesia]] (KNI) Daerah Yogyakarta yang pertama. Serta tercatat sebagai salah satu pemimpin penyerbuan markas Jepang di Kota Baru, yang kemudian dikenal sebagai [[Pertempuran Kota Baru]]. ▼
|office = Wali Kota Surakarta
|order = ke-7
|term_start = 1 Oktober 1955
|term_end = 17 Februari 1958
|monarch =
|president = [[Ir. Soekarno]]
|governor = R. Boedijono
|lieutenant = [[-]]
|predecessor = [[K. Ng. Soebekti Poesponoto]]
|successor = [[Oetomo Ramelan]]
|name = Muhammad Saleh Werdisastro
|image = Mohammad-saleh-werdisastro.jpg
|imagesize = 200px
|caption =
|birthname =
|othername =
|religion = [[Islam]]
|nationality = [[Indonesia]]
|birth_date = {{birth date |1908|2|15}}
|birth_place = [[Sumenep]], [[Jawa Timur]], [[Hindia Belanda]]
|location =
|occupation =
|spouse = R. Ayu Masturah
|death_date = {{death date and age|1966|5|14|1908|2|15}}
|death_place = [[Yogyakarta]], [[Indonesia]]
|location =
|parents =
|party = [[-]]
|signature =
|website =
|facebook =
|facebookpage =
|twitter =
}}
▲'''Muhammad Saleh Werdisastro'''
Di samping itu,
== Biografi ==
=== Asal-Usul ===
Muhammad Saleh Werdisastro, putera asli Sumenep, lahir 15 Februari
=== Perjalanan Karier ===
Setelah menamatkan sekolahnya di [[Hogere Kweekschool (HKS)]] di [[Purworejo]] dan [[Magelang]] 15 Mei 1930, Muhammad Saleh diangkat menjadi guru [[Gouvernements HIS]] (Hollands Inlandse School), Sekolah Dasar 7 tahun di [[Rembang]], [[Jawa Tengah]]. Didorong rasa nasionalismenya yang tinggi, selama bekerja pada Pemerintah Hindia Belanda membuat dirinya tidak bahagia, karena sebenarnya bertentangan dengan kehendak hati nuraninya. Ia tidak ingin mengabdi kepada Pemerintah Kolonial. Setelah bertahan setahun, ia berhenti menjadi guru di HIS dan kembali ke kampung halamannya, Sumenep pada 1931.
Di Sumenep hanya ada satu sekolah HIS milik pemerintah kolonial Belanda khusus untuk anak-anak Belanda, bangsawan, kaum ningrat, anak priyayi atau anak-anak orang kaya. Ada keinginan yang luhur dalam jiwa Muhammad Saleh ingin mengadakan suatu perubahan serta inovasi dalam sistem pendidikan yang selalu mengutamakan anak-anak orang tertentu. Ia menginginkan dunia pendidikan dalam ruang lingkup dan intensitas
Walaupun harus menghadapi berbagai tantangan dan rintangan, dengan tekad bulat, Muhammad Saleh Werdisastro, mendirikan sekolah setaraf HIS yang dapat menampung anak-anak lapisan bawah. Bertempat di [[Karembangan]], Sumenep. [[HIS Partikelir (PHIS) Sumekar Pangabru]] dibuka, dipimpin langsung oleh Meneer Muhammad Saleh sendiri sebagai kepala sekolah.
Lahirnya PHIS 31 Agustus 1931 ternyata mendapat sambutan luar biasa dari masyarakat. Keberadaan PHIS tidak terbatas hanya menuntut ilmu saja, iapun berusaha menanamkan rasa kebangsaan kepada murid-muridnya misalnya melalui lagu-lagu yang mengandung nilai-nilai heroik dan patriotik sehingga sikap yang demikian dianggap tidak memihak kepada pemerintah kolonial, sehingga mendapat teguran langsung dari Residen Madura, karena murid-murid PHIS tidak mau menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, [[Wilhelmus (lagu)|Wilhelmus]]. Sebagai aksi perlawanan, Muhammad Saleh kemudian menghapus mata pelajaran menyanyi di sekolah PHIS.
Keinginannya untuk menimba ilmu agama secara mendalam selalu menjadi cita-citanya, melalui metode belajar membaca buku berbagai ilmu pengetahuan umum dan agama, juga memperdalam pengetahuan agamanya pada para Kyai Sumenep, bahkan sempat mondok di berbagai pesantren pada saat liburan sekolah, antara lain di [[Ambunten, Sumenep|Kecamatan Ambunten]], [[Guluk-Guluk, Sumenep|Guluk-Guluk]] dan di Pesantren Kyai Zainal Arifin Terate, Sumenep.
Setelah 10 tahun menyumbangkan tenaga, pikiran dan waktunya di PHIS Sumekar Pangrabu, pada 1 September 1941, M. Saleh menyerahkan jabatan kepala sekolah kepada Meneer Badrul Kamar, seorang pendidik yang dianggap cakap dan mumpuni untuk memimpin sekolah PHIS. Ia sendiri hijrah ke Jogyakarta dan tetap menjadi guru di [[Gesubsidiceerde Inheemse Mulo Muhammadiyah]], yang berlangsung sampai datangnya bala tentara Dai Nippon yang menduduki Indonesia.
Ketika terjadi pembentukan [[PETA]] (Pembela Tanah Air) suatu bagian dari kesatuan tentara Jepang, para prajurit sampai komandan, semuanya terdiri dari orang Indonesia. Pihak Jepang mengangkat tokoh-tokoh masyarakat dan agama untuk dijadikan Komandan PETA. Muh. Saleh terpilih menjadi komandan, bersama tokoh Muhammadiyah lainnya seperti [[Sudirman]] (kemudian menjadi Panglima Besar TNI setelah Indonesia merdeka), [[Muljadi Djojomartono]] (kelak menjadi Menko Kesra), serta tokoh-tokoh lainnya.
Muh. Saleh berhenti menjadi guru, setelah menempuh pendidikan Perwira Militer. Kemudian bertugas sebagai [[Dai Dancho]] (Komandan Daidan Batalyon Dai Ni Daidan di Yogyakarta bermarkas di Bantul dan bertanggung jawab atas pertahanan wilayah Yogyakarta bagian tengah (mulai dari puncak Gunung Merapi sampai ke pantai laut selatan). Pada saat itu, Muh. Saleh mendapat berita duka bahwa PHIS Sumekar Pangrabu Sumenep diambil alih oleh Jepang. Dengan derai air mata kesedihan
Pemerintah RI membentuk [[Komite Nasional Indonesia]] baik di pusat maupun di daerah. Sultan Yogyakarta [[Hamengkubuwono IX]] dan para pemuka masyarakat Yogyakarta mencari calon yang tepat dan mampu untuk menjadi Ketua KNI Yogyakarta. Untuk daerah Yogyakarta, dipimpin langsung oleh Sultan sendiri didampingi Ketua KNI. Secara bulat pilihan jatuh kepada Muhammad Saleh Werdisastro guna memegang tampuk kepemimpinan KNI di Yogyakarta. Sultan langsung mengirim telegram memanggil
Selanjutnya KNI Pusat pada akhirnya dilebur
Ada kisah yang patut diketahui dalam perundingan ini, yang cukup alot dan berlarut-larut. Rakyat merasa tidak sabar menunggu. Mereka berbondong-bondong mendatangi Gedung Negara dengan semangat perjuangan sambil berteriak ''”Pak Saleh keluar!”''. Tanpa gentar sedikitpun karena dirinya merasa benar dan merasa berpihak kepada rakyat, dengan sikap kesatria
Sebagai seorang muslim yang taat, Muh. Saleh selalu menjauhi syirik. Ia tetap menganggap kerisnya sebagai senjata dan benda biasa yang tidak mungkin dapat
Jepang ternyata ngotot tidak mau menyerahkan senjatanya. Dengan semangat patriotisme, rakyat Yogyakarta dipimpin antara lain oleh Muh. Saleh, menyerbu markas Jepang di Kota Baru, yang tercatat dalam sejarah sebagai [[
===
Pada clash kedua, Muh. Saleh ikut bergerilya mendampingi Panglima Sudirman di Yogyakarta, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Setelah penyerahan kedaulatan, Muh. Saleh mengundurkan diri dari Militer dengan pangkat letnan kolonel (Pada masa itu, Panglima TNI seluruh tanah Jawa dijabat A.H. Nasution masih berpangkat kolonel),
Tahun 1960, Muhammad Saleh diangkat menjadi residen [[Kedu]] sampai pensiun tahun 1965. Muh. Saleh yang mempunyai sifat pendidik dan sangat memperhatikan masalah pendidikan, pada tahun 1946 bersama rekan-rekannya mendirikan Universitas di Yogyakarta, yang sekarang dikenal sebagai [[Universitas Gadjah Mada]]; di samping turut memberikan sumbangan dalam berdirinya [[Universitas Surakarta]].
=== Akhir Masa Jabatan ===
Muhammad Saleh Werdisastro mengakhiri kariernya sebagai pamong praja setelah pensiun sebagai Residen Kedu pada tahun 1964 dengan pangkat Gubernur. Dia pada akhir jabatannya sebagai residen sempat sakit dan dirawat di Rumah Sakit Tentara Magelang. Menurut tim dokter yang diketuai Brigjen TNI Parsono, Muhammad Saleh Werdisastro dinyatakan menderita sakit kanker lever dan usianya diperkirakan tidak lebih dari satu tahun.
Pada tahun 1965, dia sekeluarga pindah ke Yogyakarta untuk menjalani masa pensiun disertai saran dari Team Dokter agar banyak beristirahat. Namun, dia tidak mau berhenti berkarya. Kegiatan Majelis Tanwir Muhammadiyah, dakwah agama Islam, ceramah dan mengajar di universitas tambah ditingkatkan propaganda dan agitasi komunis PKI. Bahkan dia bersama teman-teman Muhammadiyah menerbitkan koran dengan nama [[Harian Mertju Suar]] Yogyakarta. Dia memang seorang pejuang yang penuh dengan ide-ide dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab. Pikiran-pikirannya cemerlang dan diusahakannya untuk menjadi kenyataan. Namun kegiatan-kegiatannya yang meningkat rupanya tidak didukung kesehatan badanya yang mulai digerogoti penyakit lamanya.
Muhammad Saleh Werdisastro jatuh sakit lagi dan pada tahun 1966 dia wafat karena penyakit kanker levernya kambuh lagi. Dia sempat beberapa hari dirawat di [[Rumah Sakit PKO Muhammadiyah]] Yogyakarta. Jenazahnya dimandikan oleh warga Muhammadiyah, dan kerandanya ditutup dengan kain berlambang Muhammadiyah. Warga Muhammadiyah benar-benar kehilangan dan berkabung. Jalan-jalan sekitar kediamannya penuh dengan warga Muhammadiyah berbaur dengan massa yang lain, jumlahnya ribuan yang hendak memberikan penghormatan terakhir kepada almarhum.
Ketika pihak militer meminta jenazah Muhammad Saleh Werdisastro untuk dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Semaki Yogyakarta karena almarhum memiliki Bintang Gerilya, pihak Muhammadiyah menolak karena Muhammad Saleh Werdisastro begitu besar jasanya kepada Muhammadiyah sehingga untuk menghormatinya, jenazah
Jalan Malioboro penuh dengan iring-iringan ribuan pelayat yang berjalan kaki. Toko-toko di sepanjang jalan yang dilalui jenazah banyak yang menyediakan minuman di depan tokonya untuk diminum para pelayat.
== Keluarga ==
Muhammad Saleh Werdisastro menikah dengan seorang gadis bernama [[R. Ayu Masturah]], putri seorang opsir Kesultanan Sumenep bernama [[R. Setjodipoero]]. Pasangan muda ini ternyata mempunyai keinginan untuk memajukan bangsanya. R. Ayu Masturah yang hanya lulusan Sekolah Angka Dua mendapat bimbingan sendiri dari suaminya Muhammad Saleh Werdisastro sehingga mampu sejajar atau wanita lainnya dalam pergaulan antar istri pejabat atau petinggi lainnya.
Sedang anak sulungnya bernama Muhammad Mansyur yang waktu itu berusia 15 tahun, dijemput anak buah ayahnya untuk bergabung bergerilya melawan penjajah Belanda keluar kota Yogyakarta. Dibidang pendidikan R. Ayu Masturah berprinsip bahwa anak-anaknya tidak lepas dari pendidikan Muhammadiyah. Karena itu anak-anaknya, pendidikan dasarnya disekolahkan pada Sekolah Rakyat Muhammadiyah. R. Ayu Masturah juga menampung kemenakan-kemenakannya dan kemenakan suaminya bahkan beberapa cucu untuk disekolahkan samapai tamat SMA atau setingkat. Untuk itu dia tidak segan-segan mengorbankan harta benda atau barang berharganya demi tercapainya pendidikan tersebut
Kemauan berkorban dan kegigihan dalam mendorong dan mem back up perjuangan suami di segala bidang, terutama dalam perjuangan menegakkan kemerdekaan Republik Indonesia, dijadikan alasan oleh keluarga besar Muhammad Saleh Werdisastro, terdiri dari anak dan menantunya yaitu
# Ir. [[Muhammad Mansur Werdisastro]] (beserta istri
# Kolonel TNI (Purn) Drs. [[Muhammad Ilyas Werdisastro]] (beserta istri
# DR. Drs. [[Muhammad Muhtadi Werdisastro]] (beserta istri
# [[Farida]], BA. (beserta suami
# Prof. DR. Ny. [[Badriyah Rifai]], SH (beserta suami
== Referensi ==
{{Wali Kota Surakarta}}
[[Kategori:Tokoh Madura]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Timur]]
[[Kategori:Tokoh Jawa Tengah]]
[[Kategori:Tokoh dari Sumenep]]
[[Kategori:Tokoh dari Surakarta]]
[[Kategori:Tokoh Muhammadiyah]]
[[Kategori:Politikus Indonesia]]
[[Kategori:Wali Kota Surakarta]]
[[Kategori:Penerima Bintang Gerilya]]
|