Kerajaan Caruban Larang: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Bangpuralam (bicara | kontrib) ←Membuat halaman berisi ''''Kerajaan Cirebon Larang''' adalah sebuah kerajaan pra-Islam di wilayah Cirebon sekarang, yang berada di bawah Pakuan Pajajaran|Kerajaan Pajajaran...' |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler |
||
(13 revisi perantara oleh 9 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Kerajaan
Pada awal pembentukannya, hanya berstatus sebagai pakuwuan dan [[Mandala Muarajati]]. Daerah ini dibuka oleh Raden Walangsungsang (putra dari [[Sri Baduga Maharaja]], raja Kerajaan Sunda), setelah beliau meminta izin pada Ki Gedeng Tapa seorang penguasa
==Lokasi==
Lokasi
Tidak jauh dari lokasi
▲Lokasi Cirebon Larang tadinya merupakan kawasan hutan di wilayah Cirebon Pesisir yang biasa disebut Tegal Alang-Alang atau [[Lemahwungkuk, Cirebon|Lemah Wungkuk]]. Disana Raden Walangsungsang dibantu oleh 52 orang penduduk membuka tempat pemukiman pada tahun 1445 M.
== Sejarah ==
▲Tidak jauh dari lokasi Cirebon Larang, terdapat sebuah sungai yang cukup besar bernama Kali Kriyan, dimana banyak penduduk setempat yang mencari ikan di tempat itu. Perkampungan tersebut dihuni oleh berbagai suku campuran dari berbagai etnis, dan penduduk setempat kemudian mempercayakan Ki Danusela (adik pendeta [[Buddha]] Ki Danuwarsih) sebagai ''kuwu'', sedangkan Walangsungsang bertindak sebagai ''Pangraksabumi'' yaitu seorang yang memperhatikan dan memelihara kebaeradaan tanah pemukiman dengan gelar Ki Cakrabuana.<ref>Sulendranigrat, P.S. 1985. Sejarah Cirebon. Jakarta: Balai Pustaka</ref>
Sebelum Walangsungsang mendirikan pemukiman di
Penunjukan Ki Danusela sebagai [[kuwu]] pertama di
▲Sebelum Walangsungsang mendirikan pemukiman di Cirebon Larang, sebenarnya di sekitar wilayah tersebut telah berdiri pakuwuan (di bawah wilayah Kerajaan Singhapura) yang dipimpin oleh Ki Danusela. Tetapi dengan ilmu dan kecakapan dari Walangsungsang, pakuwuan tersebut semakin berkembang dan tertata rapi.
▲Penunjukan Ki Danusela sebagai kuwu pertama di Cirebon Larang, karena jabatan tersebut telah disandangnya sebelum Walangsungsang datang dan mendirikan pemukiman baru. Ketokohan Ki Danusela rupanya masih diperhitungkan dan dihormati oleh penduduk setempat maupun Walangsungsang sendiri.
Ki Danusela adalah adik dari Ki Gedeng Danuwarsih (mertua dari Walangsungsang). Istri Ki Danusela bernama Nyi Arum Sari dari Cirebon Girang. Dari pernikahannya itu, mereka dikaruniai seorang putri yang bernama Nyi Retna Riris.
Baris 16:
Selain diperintahkan untuk membuka lahan baru, pada tahun 1448 M, setelah selesai membangun tempat pemukiman baru yang semakin maju, Raden Walangsungsang pergi ke Tanah Suci Mekkah bersama adiknya, Nyai Larasantang. Tetapi istrinya Walangsungsang yang bernama Nyai Indang Geulis tidak diikut sertakan karena sedang mengandung.
Usai menunaikan ibadah haji, Walangsungsang sangat berbahagia karena Indang Geulis (istrinya) telah melahirkan seorang puteri yang kemudian diberi nama Nyai Pakungwati. Sedangkan anak dari pernikahannya dengan Nyi Rasa Jati antara lain
* Nyi Lara Konda
* Nyi Lara Sejati
Baris 22:
* Nyi Mertasinga
* Nyi Campa
* Nyi Rasa Melasih
Setelah Ki Danusela wafat, Walangsungsang akhirnya diangkat menjadi kuwu Cirebon Larang yang ke-2. Selanjutnya, untuk mengislamkan keluarga Ki Danusela, Walangsungsang menikah lagi dengan puteri dari Ki Danusela yang bernama Retna Riris (kemudian berganti nama menjadi Kancana Larang). Dari pernikahannya kali ini, Walangsungsang dikaruniai seorang putra yang bernama Pangeran Cerbon. (kemudian setelah dewasa menjadi kuwu di Cirebon Girang).
Pada saat menjabat sebagai kuwu, Raden Walangsungsang menunjukkan kecakapannya. Ia mampu memajukan wilayah itu, Cirebon Larang semakin berkembang melebihi ukuran sebuah desa. Saat itu wilayahnya banyak didatangi oleh para pendatang dari berbagai suku bangsa. Semakin banyak juga penduduk Cirebon yang beralih agama dari Hindu (pengaruh Pajajaran di pantai utara Jawa khususnya di [[Kota Cirebon|Cirebon]] dan sekitarnya) ke agama Islam. Untuk lebih menggiatkan penyebaran Islam kemudian Walangsungsang mendirikan Masjid Jalagrahan (masjid tertua di Cirebon) pada tahun [[1456]] M.<ref>Adeng. 1998. Kota dagang Cirebon sebagai bandar jalur sutra. Jakarta
Cirebon Larang beberapa tahun kemudian, sepak terjang yang dilakukan oleh Raden Walangsungsang mengenai penyebaran Islam diketahui oleh sang ayah yaitu Prabu Jayadewata (yang telah menjabat sebagai raja Pajajaran dengan gelar [[Sri Baduga Maharaja]]). Namun, tindakan penyebaran Islam itu tidak dipermasalahkan oleh Prabu Jayadewata.
Ki Gedeng Tapa ([[Kerajaan Singhapura]]) meninggal dunia, Raden Walangsungsang kemudian meneruskan tugas untuk mengatur Pelabuhan Muara Jati dan menyatukan wilayah Kerajaan Singhpura dengan wilayah pakuwuan
Harta warisan yang berlimpah dari Ki Gedeng Tapa kemudian digunakannya untuk membuat sebuah keraton yang bernama Keraton Pakungwati<ref>{{Cite news|url=https://travel.kompas.com/read/2013/03/29/15391187/Kanoman.Sejarah.yang.Luka.|title=Kanoman, Sejarah yang Luka...
Wilayah
Setelah acara penobatan dilangsungkan, Rajasengara
Meski saat itu Cirebon Kerajaan Larang merupakan bagian dari wilayah besar Kerajaan Pajajaran yang
== Cikal-bakal berdirinya Kesultanan Cirebon ==
Syarif Hidayatullah aktif mengajar Islam di dukuh Babadan. Disana ia bertemu dengan Nyai Babadan (
Setelah Nyai Babadan meninggal, Syarif Hidayatullah kemudian menikah lagi dengan Nyimas Pakungwati (puteri Raden Walangsungsang) dan Nyai Lara Baghdad (puteri sahabat Syekh Datuk Kahfi).
* Pangeran Bratakelana atau Pangeran Gung Anom (kemudian menikah dengan Ratu Nyawa, putri dari [[Raden Patah]], [[Kesultanan Demak|Sultan Demak]]).
* Pangeran Jayakelana (kemudian menikah dengan Nyi Ratu Pembaya, putri dari [[Raden Patah]]).
Syarif Hidayatullah mengajarkan agama Islam di Banten, Bupati Kawunganten (salah satu bawahan Pajajaran di wilayah Banten Pesisir) yang bernama Arya Surajaya (anak sulung dari Surasowan -raja Banten Pesisir), menerima dengan terbuka pada agama Islam. Kemudian adiknya yang bernama Nyai Kawunganten (anak bungsu dari Surasowan) diperistri oleh Syarif Hidayatullah. Dari perkawinan dengan Nyai Kawunganten yang masih cucu dari Prabu Jayadewata tersebut lahirlah Ratu Winaon dan Pangeran Sabakingkin (kelak dikenal sebagai Maulana Hasanuddin) pendiri [[Kesultanan Banten]].
Syarif Hidayatullah kembali ke Cirebon pada tahun [[1479]] M, setelah melakukan penyebaran Islam di wilayah [[Banten]]. Sementara itu, setelah Raden Walangsungsang makin mampu meningkatkan kekuatannya dalam memimpin wilayah Cirebon Larang, dia ingin wilayahnya bebas berdaulat, mandiri tidak lagi di bawah kekuasaan Pajajaran. Karena itu, beliau mengirim keponakannya (Syarif Hidayatullah) untuk pergi ke [[Kesultanan Demak]]
Raden Walangsungsang mengharapkan Syarif Hidayatullah bisa menyerap ilmu pengetahuan dari Raden Patah bila kemungkinan Cirebon bisa menjadi kerajaan yang mandiri. Di Demak, selain belajar ilmu pemerintahan dari Sultan Agung, Syarif Hidayatullah juga berguru pada Sunan Ampel.
Selain belajar ilmu pemerintahan, di sana Syarif Hidayatullah menikah lagi dengan Nyi Tepasari (putri dari Ki Ageng Tepasan yaitu pembesar [[Majapahit]] yang pro Raden Patah). Dari pernikahannya kali ini, beliau dikaruniai dua orang anak yaitu
* Nyi Mas Ratu Ayu (kemudian menikah dengan Pangeran Sabrang Lor atau Sultan Demak ke-2),
* Pangeran Mohamad Arifin (kemudian dikenal sebagai Pangeran Pasarean).
Sepulangnya dari Demak,
Sri Baduga Maharaja berkuasa, sangat kharismatik, disegani serta dihormati oleh seluruh rakyat barat Jawa. Sehingga Raden Walangsungsang pun mungkin merasa segan untuk memerdekakan diri dari kekuasaannya saat itu. Tetapi setelah tahta Pajajaran turun pada [[Surawisesa]] (saudara seayah Raden Walangsungsang), maka [[Pakuan Pajajaran|Kerajaan Pajajaran]] dan Kerajaan Cirebon Larang dianggap sederajat. Sejak itulah, status Cirebon Larang yang tadinya hanya sebuah kerajaan bawahan Pajajaran kini berubah menjadi [[Kesultanan Cirebon]] yang merdeka.<ref>{{Cite book|url=http://books.google.co.id/books?id=j9ZOKjMxVdIC&lpg=PA78&dq=suma%20oriental&pg=PA72#v=onepage&q=suma%20oriental&f=false|title=Runtuhnya kerajaan Hindu-Jawa dan timbulnya negara-negara Islam di Nusantara|last=Muljana|first=Slamet|date=2005|publisher=PT LKiS Pelangi Aksara|isbn=9789798451164|language=id}}</ref>
Baris 61 ⟶ 62:
== Referensi ==
<references />
[[Kategori:Kerajaan Tarumanagara| ]]
[[Kategori:Kerajaan di Nusantara|Tarumanagara]]
|