Sistem Kangchu: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika |
k Moving from Category:Ekonomi pertanian to Category:ekonomika pertanian using Cat-a-lot |
||
(8 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:ChineseGambierSingapore.jpg|
'''Sistem Kangchu''' adalah sistem sosio-ekonomi [[organisasi]] dan administrasi yang dikembangkan oleh masyarakat imigran petani [[Tionghoa]] di [[Johor]]{{#tag:ref|"Johor" sebagai sebuah negara atau [[Kesultanan Johor|Kesultanan]] telah ada sejak abad ke-14. Sistem ini juga dipraktikkan di [[Singapura]] dan [[Riau]] ketika Kesultanan Johor memerintah wilayah ini. Negara bagian Johor kemudian menjadi bagian dari [[Federasi Malaya]] (kemudian [[Malaysia]]) sejak tahun 1957 dan seterusnya.|group=fn}} selama abad ke-19. Masyarakat Tionghoa membentuk perkumpulan tidak resmi (sama seperti organisasi [[Kongsi]] yang ditemukan di komunitas Tionghoa lainnya) dan memilih pemimpin yang berasal dari kalangan mereka sendiri. Di [[Tiongkok]], "Kangchu" ([[bahasa
Penggunaan istilah "Kangchu" meluas pada abad ke-19 setelah [[Emigrasi bangsa Tionghoa|imigran Tionghoa]] mulai menetap di sekitar Johor dan mendirikan perkebunan [[gambir]] dan [[lada]].{{#tag:ref|Spesies gambir dan lada yang ditanam di Singapura, Johor, dan negara-negara Melayu lainnya adalah ''Uncaria Gambir'' dan ''[[Lada hitam|Piper Nigrum]]''.<ref>Corfield & Corfield (2006), hlm. 175.</ref>|group=fn}} Kesejahteraan sosial dan ekonomi para imigran Tionghoa berada di tangan pemimpin [[Tionghoa Malaysia|Tionghoa setempat]], yang bertanggungjawab untuk mengelola perkebunan yang umumnya terletak di sepanjang bantaran sungai.<ref name="Ooi710">Ooi (2004), hlm. 710</ref> Asal
== Sejarah awal ==
Asal
Pada akhir 1820-an, imigran Tionghoa juga mulai berpaling ke [[Johor]] untuk mendirikan perkebunan gambir dan lada atas dorongan dari [[Temenggong]] Abdul Rahman dan penerusnya, Daing Ibrahim.<ref>Gambe (2000), pp. 82-3</ref> Setelah semakin banyaknya imigran Tionghoa yang mendirikan perkebunan gambir dan lada di Johor pada tahun 1840-an, Temenggong Ibrahim membentuk birokrasi yang beranggotakan para petinggi [[Melayu]] untuk mengawasi masalah-masalah administrasi di tubuh Kanchu.<ref>Hooker (2003), hlm. 108</ref> Ia mulai mengeluarkan izin resmi, yang dikenal dengan ''Surat Sungai'' dalam [[bahasa Melayu]]. Izin ini memungkinkan para pemimpin Kanchu untuk mendirikan perkebunan di sepanjang tepi sungai. Pada gilirannya, Kangchu diwajibkan untuk membayar [[pajak]] yang berasal dari keuntungan yang dihasilkan oleh perkebunan gambir dan lada. ''Surat Sungai'' ini juga mesti diperbarui dalam jangka waktu tertentu.<ref name="Ooi710"/>
== Abad ke-19 ==
Perkebunan gambir dan lada pertama kali muncul di Johor Selatan, terutama di Skudai. Lau Lib Keng, seorang imigran Tionghoa yang tinggal di Skudai, adalah orang pertama yang memperoleh ''Surat Sungai''; bagian tepi sungai disewakan kepada Lau untuk dimanfaatkan sebagai perkebunan gambir dan lada.<ref>Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1975), hlm. 11</ref> Sejak 1850-an dan seterusnya, lebih banyak imigran Tionghoa yang datang ke Johor, terutama ke kawasan hutan di Johor Selatan seperti [[Tebrau]], [[Plentong]], dan [[Stulang]], setelah terlebih dahulu dirambah untuk dijadikan perkebunan gambir dan lada.<ref name="Ahmad310">Ahmad & Liok, hlm. 310</ref> Saat putra Temenggong Ibrahim, [[Abu Bakar dari Johor|Abu Bakar]], menggantikan posisi ayahnya sebagai Temenggong Johor pada tahun 1862, kurang lebih sebanyak 37 ''Surat Sungai'' telah dikeluarkan untuk berbagai komunitas Kangchu, yang secara keseluruhan bertanggungjawab untuk mengelola sekitar 1.200 perkebunan gambir dan lada yang tersebar di wilayah tersebut.<ref>[[Radio Televisyen Malaysia]] (1987), hlm. 27</ref> Sebagian besar pemimpin komunitas Tionghoa juga menjadi anggota [[Triad (perkumpulan rahasia)|perkumpulan rahasia]], dan perang komunal
[[Berkas:SelatJohor1879.jpg|
Tanaman perkebunan ini umumnya diekspor ke negara-negara lain dari [[Singapura]] dengan bantuan pedagang Tionghoa yang bermarkas di kota tersebut. Sejak 1860-an dan seterusnya, banyak Kangchu yang terlilit utang dan mulai menjual perkebunan mereka kepada para pedagang atau kepada Kongsi yang lebih besar,<ref name="Andaya140"/> atau yang dikenal oleh penduduk setempat dengan sebutan ''Tuan Sungai''. Kangchu
Setelah perkebunan gambir dan lada diperluas pada 1870-an, Kangchu yang lebih mapan dipercaya untuk mendirikan perkebunan yang lebih besar dan membuat kontrak dengan para pedagang Tionghoa yang berasal dari Singapura. Keuntungan yang dihasilkan oleh perkebunan ini menjadi penyumbang terbesar bagi perekonomian Johor,<ref name="Andaya140"/> dan turut membantu membiayai pembangunan infrastruktur Johor. Hubungan Abu Bakar dengan para pemuka Tionghoa juga sangat baik, dan ia telah menunjuk banyak warga Tionghoa untuk menduduki jabatan politik di Johor. Abu Bakar menunjuk dua pemimpin komunitas Tionghoa untuk menduduki kursi Dewan Negara Johor, kedua orang tersebut adalah seorang Kangchu dari [[Chaozhou]], Tan Hiok Nee, dan seorang kontraktor dari [[Taishan]], Wong Ah Fook, yang juga memiliki perkebunan gambir dan lada di [[Mersing]] pada tahun 1880-an.<ref name="Ahmad313">Ahmad & Liok (2003), hlm. 313</ref> Karena sebagian besar tanah di sepanjang tepi sungai di Johor Selatan sudah disewa oleh imigran Tionghoa sebelumnya, para imigran baru mulai bermigrasi ke arah utara pada 1870-an dan menggarap perkebunan gambir dan lada lebih jauh ke utara, terutama ke [[Yong Peng]], [[Batu Pahat]], [[Benut]], [[Endau]], dan [[Kota Tinggi]].<ref>Trocki (1979), pp. 134, 136, 158, 179</ref> Secara khusus, Abu Bakar terus mendorong imigran Tionghoa untuk mendirikan perkebunan di [[Muar]], tak lama setelah pemerintah kolonial Britania memutuskan untuk mendukung Abu Bakar ketimbang [[Tengku Alam Shah]] (putra sulung Sultan Ali) sebagai Sultan Johor, dan Britania memberikan Abu Bakar kontrol atas Muar.<ref>Royal Asiatic Society of Great Britain and Ireland (1966), hlm. 16</ref>
Baris 34:
| publisher = [http://www.nus.edu.sg/npu NUS Press]
| page = 130
| isbn = 978-9971-69-376-3 }}</ref> termasuk hak untuk memungut pajak atas nama Temenggong, serta menjamin kesejahteraan kuli Tionghoa yang tinggal di tanah tersebut. Kangchu umumnya diberi pengecualian pajak untuk hal-hal tertentu.<ref name="Ooi710"/> Beberapa Kangchu perkebunan juga bekerja sebagai pemilik toko dan pedagang untuk memenuhi kebutuhan Kangchu lain, dan Kangchu ini tidak dikenakan pajak penghasilan. Mereka juga diberi kebebasan untuk menjual [[daging babi]], [[candu]], dan [[alkohol]].<ref>Lim (2002), hlm. 79</ref> Kangchu terkadang memberikan sebidang tanahnya untuk dijadikan perumahan para kuli perkebunan, dan perumahan ini lambat laun berkembang menjadi pusat administrasi Kangchu. Wilayah-wilayah ini pada umumnya terletak di sekitar bantaran sungai, dan dikenal dengan sebutan ''Kangkar'' (secara harfiah berarti "kaki sungai", [[bahasa
== Lihat juga ==
* [[Muar]]
* [[Abu Bakar dari Johor|Sultan Abu Bakar]]
* [[Dato' Bentara Luar]] [[Muhamad Salleh bin Perang]]
* [[Kapitan
* [[Federasi kongsi]]
== Catatan kaki ==
Baris 90 ⟶ 91:
{{DEFAULTSORT:Kangchu System}}
[[Kategori:Pendirian tahun 1917]]
[[Kategori:
[[Kategori:Pertanian di Indonesia]]
[[Kategori:Pertanian di Malaysia]]
|