Student Hidjo: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Farras (bicara | kontrib)
kTidak ada ringkasan suntingan
Gaya: Perbaikan kata
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler
(11 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 3:
| title_orig =
| translator =
| image = [[File:Student Hidjo.jpg|200px]]
| caption = Sampul edisi Bentang tahun 2002
| author = [[Marco Kartodikromo]]
Baris 29:
Novel ini menggambarkan budaya pemuda baru Indonesia yang mengadopsi budaya dan bahasa Barat. Elemen tersebut dianggap Kartodikromo sebagai simile tambahan. Nilai-nilai [[budaya Jawa]] tradisional dan [[budaya Belanda]] diperbandingkan dan Kartodikromo berpendapat bahwa keduanya tidak bisa saling melengkapi. Nilai tersebut meliputi [[cinta romantis|cinta]] yang digambarkan di novel ini sebagai sesuatu yang hanya bisa ditemukan oleh orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan orang tradisional melihat pernikahan sebagai jalan mencapai [[mobilitas sosial]].
 
== Latar belakang ==
''Student Hidjo'' ditulis oleh [[Marco Kartodikromo]], seorang jurnalis dari [[Blora]]{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} yang memulai kariernya di [[Bandung]] dan sangat menentang kebijakan pemerintah [[Hindia Belanda]].{{sfn|Maier|1996|pp=186-187}} Selama beberapa tahun ia bekerja sebagai editor di harian ''Doenia Bergerak'' yang berpusat di [[Surakarta]];{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} kota ini kelak dijadikan latar novelnya.{{sfn|Maier|1996|p=185}} Ia menghabiskan lima bulan di Belanda{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} sejak akhir 1916 sampai awal 1917.{{sfn|Eneste|2001|p=143}} Sepulangnya ke Hindia Belanda, ia ditangkap oleh otoritas pemerintah Belanda karena "menyebarkan kebencian" dan dipenjara selama satu tahun di [[Weltevreden]], [[Jakarta|Batavia]] (sekarang Sawah Besar, Jakarta). Di penjara itulah Kartodikromo menulis ''Student Hidjo''.{{sfn|Maier|1996|p=195}}
 
Pada awal abad ke-20, pengenalan teknologi dan budaya Barat mengakibatkan fragmentasi dalam gaya hidup tradisional Jawa.{{sfn|Maier|1996|p=198}} Sementara itu, [[Politik Etis Belanda]], yang menjamin hak-hak dan kebebasan tertentu seperti [[hak pendidikan]] dan [[kebebasan pers]], menyebabkan kerusuhan masyarakat. Pengekangan pers yang lebih ketat setelah 1906 membuat ''Student Hidjo'' diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip" di sampulnya.{{sfn|Maier|1996|p=206}}
 
== Alur ==
Hidjo adalah seorang pemuda dari [[Surakarta]], [[Jawa Tengah]], yang bertunangan dengan Biroe sesuai keinginan ayahnya. Ayahnya, seorang pedagang bernama Raden Potronojo, meminta Hidjo pergi ke Belanda dan menuntut ilmu di sana. Ia berharap hal ini dapat menaikkan status keluarga, karena umumnya hanya keluarga [[priyayi]] yang mengirim anak-anaknya ke luar negeri untuk menuntut ilmu. Di sisi lain, administrator Belanda Willem Walter, yang memandang [[suku Jawa]] secara positif, bertunangan dengan seorang wanita Belanda bernama Jet Roos; Roos mengandung anaknya.
 
Baris 41:
Hidjo, yang semakin teralihkan dari studinya karena hubungannya dengan Betje, dipanggil pulang ke Hindia Belanda oleh keluarganya. Ia mengakhiri hubungannya dengan perempuan Belanda tersebut dan memberikan tabungannya sebagai permintaan maaf. Sepulangnya ke Surakarta, Hidjo menikahi Woengoe yang datang dari kelas keluarga yang lebih tinggi daripada Biroe. Dua tahun kemudian, Hidjo menjadi jaksa distrik Djarak. Sementara itu, Walter menikahi Betje dan menjadi asisten residen di Surakarta. Biroe menikahi saudara Woengoe, Wardojo, yang merupakan [[bupati]] di sana. Roos menikahi administrator daerah itu, Boeren.
 
== Gaya ==
''Student Hidjo'' ditulis dalam [[bahasa Melayu]]. Saat novel ini ditulis, pemerintah kolonial Belanda sedang melakukan standardisasi bahasa Melayu. Bentuk standar tersebut dianggap terlalu kaku oleh Hendrik Maier, dosen [[Universitas Leiden]]. Akan tetapi, Kartodikromo tidak mau mengikuti standar tersebut. Menurut Meier, tidak seperti penulis yang memakai bahasa Melayu standar seperti [[Armijn Pane]] dan [[Haji Abdul Malik Karim Amrullah]] dengan nada "sedih", bahasa di ''Student Hidjo'' hanya menunjukkan "kebahagiaan, kesenangan, ketegangan" sang penulis yang "dipenuhi kemarahan".{{sfn|Maier|1996|p=192}}
 
Tsuyoshi Kato, pakar sastra Indonesia dari Jepang, melihat bahwa Kartodikromo, seperitseperti penulis Jawa lainnya, memilih untuk memakai kata "saya" saat menulis dari sudut pandang orang pertama, berbeda dengan penulis [[suku Minangkabau|Minangkabau]] yang memilih "hamba". Ia menulis bahwa "saya" lebih diutamakan ketimbang kata [[bahasa Jawa|Jawa]] karena kata tunjuk orang pertama memiliki beragam tingkatan kesopanan. Ia menulis bahwa melalui karya-karya seperti ''Student Hidjo'' dan ''Rasa Merdika'' (1924; Soemantri), penulis Jawa semakin memopulerkan kata ini. Kato berpendapat "saya" lebih aktif daripada "hamba" namun lebih "kontemplatif dan mencerminkan diri" ketimbang kata tunjuk "aku" dalam bahasa Jawa ''ngoko''.{{sfn|Kato|2003|pp=103-104}}
 
== Tema ==
Maier menulis bahwa nama-nama tokoh utama ''Student Hidjo'' harus dibaca secara [[alegoris]]. Nama Hidjo (hijau), Woengoe (ungu), dan Biroe (biru) menunjukkan keterkaitan antartokoh. Kartodikromo menyebutnya [[simile]] tambahan.{{sfn|Maier|1996|p=185}}
 
Baris 53:
Maier menulis bahwa novel ini menyertakan tema cinta: Cinta Hidjo untuk Woengoe, Betje, dan Biroe bersinggungan dengan cinta Walter untuk Roos, Woengoe, dan Betje. Ia juga melihat keberadaan tema [[mobilitas sosial]], yaitu ketika hubungan Hidjo dengan perempuan bangsawan didukung oleh ayahnya agar keluarganya mendapat posisi sosial yang lebih tinggi. [[Harga mempelai]] juga diangkat di novel ini; elemen tersebut menunjukkan bahwa seseorang bisa menjadi bangsawan melalui pernikahan jika ia memiliki uang yang cukup. Ia melihat bahwa menjelang akhir novel, cinta dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya dapat ditemukan orang-orang berpendidikan Belanda, sedangkan makna sosial-finansial dalam pernikahan masih mendominasi orang Jawa tradisional.{{sfn|Maier|1996|p=197}} Tokoh-tokohnya, meski semuanya tidak menikah karena cinta, pada akhirnya bahagia dengan pasangan mereka dan memiliki kehidupan yang nyaman.{{sfn|Kato|2003|p=96}}
 
== Rilis dan tanggapan ==
''Student Hidjo'' pertama diterbitkan tahun 1918 dalam bentuk serial di harian ''Sinar Hindia'' yang berpusat di [[Semarang]];{{sfn|Maier|1996|p=195}} Kartodikromo menjadi editor di sana.{{sfn|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}} Cerita ini kemudian dijadikan buku dan diterbitkan oleh Masman & Stroink, perusahaan asal Semarang, pada tahun 1919.{{sfn|Maier|1996|p=195}} Saat itu karya-karya berbau politik diterbitkan oleh penerbit kecil. Karya-karya terbitan [[Balai Pustaka]], penerbit milik pemerintah Hindia Belanda, cenderung bersifat apolitik.{{sfn|Latif|2008|p=127}}
 
Kato menulis bahwa novel ini "biasa saja dalam hal aktivisme radikal", tetapi imajinasinya tak tertandingi jika dibandingkan dengan ''[[Sitti Nurbaya]]'' (1922; [[Marah Rusli]]), ''[[Salah Asuhan]]'' (1927; [[Abdoel Moeis]]), dan ''Rasa Merdika''.{{sfn|Kato|2003|p=121}}
 
==Referensi Catatan ==
 
{{notes
| notes =
 
{{efn
| name = A
| Original: "... ''jang mengerti Bahasa Belanda.''"
}}
 
}}
 
== Referensi ==
;Catatan kaki
{{reflist|colwidth=30em}}
Baris 65 ⟶ 77:
{{refbegin|colwidth=30em}}
* {{cite book
| last = Eneste
| first = Pamusuk
| year = 2001
| title = Buku Pintar Sastra Indonesia
| publisher = Kompas
|edition=ke-3
| location = Jakarta
| isbn = 978-979-9251-78-8
| ref = harv
}}
* {{cite book
| last = Kato
| first = Tsuyoshi
| editor1-last = Siegel
| editor1-first = James T.
| editor2-last = Kahin
| editor2-first = Audrey R.
| year = 2003
| language = Inggris
| title = Southeast Asia over three generations : essays presented to Benedict R. O'G. Anderson
| chapter = Images of Colonial Cities in Early Indonesian Novels
| edition =
| series =Studies on Southeast Asia
| volume = 36
| publisher = Cornwell University
| location = Ithaca
|pages=91–124
| isbn = 978-0-87727-735-4
| url = http://books.google.ca/books?id=Jv-gP_UkMWgC
| ref = harv
}}
* {{cite book
| last = Latif
| first = Yusuf
| year = 2008
| language = Inggris
| title = Indonesian Muslim intelligentsia and power
| publisher = Institute of Southeast Asian Studies
| location = Singapura
|url=http://books.google.ca/books?id=FLR3uqRr-1oC
| isbn = 978-981-230-471-1
| ref = harv
}}
* {{cite journal
| last = Maier
| first = Hendrik M. J.
| date = Juni 1996
| language = Inggris
| accessdate = 13 April 2012
| archivedate =13 April 2012-04-13
| archiveurl =http https://www.webcitation.org/66smhAk1A?url=http://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/56589/1/KJ00000131914.pdf
| url = http://repository.kulib.kyoto-u.ac.jp/dspace/bitstream/2433/56589/1/KJ00000131914.pdf
| title = Phew! Europeesche beschaving! Marco Kartodikromo's Student Hidjo
| trans_title = Phew! European Civilization! Marco Kartodikromo's Student Hidjo
| journal = Southeast Asian Studies
| volume = 34
| issue = 1
| pages = 184–210
| location = Kyoto
| ref = harv
| dead-url = no
}}
* {{cite news
| last = Yuliati
| first = Dewi
| date = 10 Februari 2008
|accessdate = 13 April 2012
|archivedate =13 April 2012-04-13
|archiveurl =http https://www.webcitation.org/66sia066l?url=http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/10/nas11.htm
|url = http://www.suaramerdeka.com/harian/0802/10/nas11.htm
| title = Marco Kartodikromo, Jurnalis yang Terlupakan
| work = Suara Merdeka
| location = Semarang
| ref = {{SfnRef|Yuliati 2008, Marco Kartodikromo, Jurnalis}}
|dead-url = yes
}}
}}
{{refend}}
 
[[CategoryKategori:Novel tahun 1918]]
[[CategoryKategori:Novel yang awalnya diterbitkan dalam bentuk serial]]
[[CategoryKategori:Novel berbahasa Melayu]]