Hukum Sali: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Hungaria
 
(89 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Jugement de Childebert III accordant à l'abbaye de Saint-Denis la terre de Hodenc-l'Evêque dans l'Oise.jpg|jmpl|300px|Selembar surat keputusan Raja [[Kildebert III]]]]
'''Hukum Sali''' ({{lang-lat|Lex Salica}}) adalah [[Hukum sipil (sistem hukum)|kumpulan undang-undang hukum sipil]] [[orang Franka Sali]] yang disusun pada ''[[circa|ca.]]'' tahun 500 MasehiM oleh [[Clovis I|Klovis]], [[Daftar Raja orang Franka|raja orang Franka]] yang pertama. Meskipun ditulis dalam [[bahasa Latin]] atau menurut sejumlah ahli bahasa dalam [[bahasa PerancisPrancis|bahasa semi-PerancisPrancis]] menurut sejumlah ahli bahasa,<ref>{{Cite book|url=https://books.google.fr/books?id=vb0FAAAAQAAJ&|title=Lex Salica: The Ten Texts with the Glosses, and the Lex Emendata|last=Hessels|first=Jan Hendrik|publisher=John Murray|year=1880|isbn=978-1402146336|location=London|pages=438}}</ref> Hukum Sali juga memuat kata-sejumlah kata yang disebut-sebut oleh para ahli bahasa Belanda sebagai salah satu peninggalan tertulis paling tua dalam [[bahasa Belanda Kuno]], bahkan mungkin pula tertua kedua sesudah [[prasasti Bergakker]].<ref>{{cite web|url=http://www.kennislink.nl/publicaties/hoe-het-nederlands-is-ontstaan|title=Lees: Hoe het Nederlands is ontstaan|publisher=}}</ref> Hukum Sali menjadimerupakan hukum dasarasasi [[Suku Franka|orang Franka]] sepanjangpada [[Abad Pertengahan Awal|permulaanAwal Abad Pertengahan]], dan di kemudian hari mempengaruhi [[Hukum barat|tatanan hukum Eropa]]. Asas yang paling terkenal dari hukum kuno ini adalah pengecualian kaum perempuan daridalam hakaturan warispewarisan atas takhtajabatan, tanah, dan pusaka-pusaka warisan lainnya. PenegakanLembaga penegak Hukum Sali diselenggarakan olehadalah suatusebuah panitia yang ditunjuk langsung dan diberi kuasa oleh [[Daftar Raja orang Franka|Rajaraja orang Franka]]. Ada lusinan naskah Hukum Sali dari abad ke-6 sampai abad ke-8, dan tiga naskah emendasiHukum Sali teremendasi selambat-lambatnya dari abad ke-9 yang sintas sampai sekarang.<ref>{{harvnb|Drew|1991|page=53}}.</ref>
 
Hukum Sali merupakan kodifikasi hukum-hukum tertulis, baik [[hukum perdata]] semisal [[hukum Waris|hukum waris]], maupun [[hukum pidana]] misalnya hukuman atas tindak pidana [[pembunuhan]]. Hukum Sali mempengaruhi pembentukan tradisi [[hukum tertulis]] yang berlanjut sampai ke [[zaman modern]] di Eropa Barat dan [[Eropa Tengah]], khususnya di negerinegara-negerinegara swapraja dibagian [[Jerman]], [[PerancisPrancis]], [[Belgia]], [[Belanda]], sebagian [[Italia]], [[Austria-HongariaHungaria]], [[Rumania]], dan negara-negara di semenanjung [[Balkan]].
 
== Sejarah ==
[[Berkas:Salic Law.png|jmpl|[[KlovisClovis I|Raja Klovis]] mendiktekan ''Hukum Sali'' dikelilingi para senapatinya.]]
Kitab undang-undang Hukum Sali yang pertama disusun atas amanat raja segenap orang Franka yang pertama, [[Clovis I|Klovis I]] (''[[circa|ca.]]'' 466–511), dan terbit antara 507 dan 511.<ref>{{harvnb|Hinckeldey|Fosberry|1993|p=7}}.</ref> Klovis menunjuk empat orang pejabat<ref>{{cite book | title=History of languages: an introduction|trans-title=Sejarah bahasa-bahasa: suatu pengantar | first=Tore | last=Janson | location=Oxford | publisher=Oxford University Press | year=2011 | series=Oxford textbooks in linguistics | page=141}}</ref> dan menugasi mereka untuk mempelajari seluk-beluk hukum adat orang Franka, yang kala itu belum dituliskan,tertulis dan hanya dihafal oleh tetua-para tetua tertentu yang baru akan berkumpul dan bersidang bilamana ilmu dan kebijaksanaan mereka diperlukan. Aturan-aturanHukum hukumadat orang Franka diwariskan turun-temurun secara lisan, sehingga kitab undang-undangHukum Sali yang pertama ini dapat dikatakan benar-benar mencerminkan adat istiadat kuno orang Franka.<ref>{{harvnb|Drew|1991|p=20}}.</ref> AgarRaja-raja memerlukan undang-undang tertulis agar dapat memerintah secara lebih efektif, raja-raja dan penadbirannya perlu memiliki undang-undang tertulis. Nama dari naskah kumpulan hukum ini mengacu pada status Klovis selaku seorang raja dari [[Dinasti Meroving|wangsa Meroving]] yang mula-mula hanya memerintahberkuasa atas [[orang Franka Sali|orang-orang Franka Sali]] sebelum berhasil mempersatukan seluruh [[suku Franka]]. Hukum Sali juga berlaku atas [[orang Franka Ripuari]]; akan tetapi, karena hanya terdiri atas 65 judul, kitab undang-undang ini mungkin tidak mencakup hukum-hukum khusus orang Franka Ripuari.
 
Selama 300 tahun berikutnya, kitabnaskah iniHukum Sali diperbanyak dengan cara tulis tangan dan diamendemen seperlunya, baik untuk menampung pasal-pasal yang baru diundangkan, untuk merevisi pasal-pasal yang telah diamandemendiamendemen, maupun untuk menghapus pasal-pasal yang sudah tidak berlaku. Tidak seperti karya cetak, pembuatan salinan dengan tulis tangan adalah tindakan perorangan, sehingga masingtiap-masingtiap salinan mencerminkan alam pikiran dan gayakemampuan sastra dari penyalinnya. Tiap-tiap naskah memuat sejumlah kesalahan tulis, perbaikan, isi, dan tata urutan tersendiri. Pasal-pasal dalam kitab undang-undang ini disebut "judul" karena masing-masing memiliki nama sendiri, yang umumnya diawali kata "''de''" (pasal, perihal). Masing-masing judul pun seringkalisering kali memiliki bagian-bagian tertentu yang juga diberi nama tersendiri yang sedikit banyak mengungkap asal-usul keberadaannya. Beberapa di antara nama semacam ini telah digunakan sebagai rujukan khusus, dan acap kali disebut dengan istilah yang sama bagi keseluruhan kitab, yakni "''lex''" (hukum).
 
=== Tahap Meroving ===
Dalam [[resensi]] Hukum Sali karya [[Johan Hendrik Caspar Kern|Hendrik Kern]], seluruh [[naskah]] yang sintas dikelompokkan menjadi lima rumpun menurut kemiripan isi dan perkiraan tarikh pembuatannya.<ref>{{harvnb|Kern|1880|loc=Prologue}}.</ref> Rumpun I adalah kumpulan naskah-naskah yang paling tua, terdiri atas empat naskah yang diperkirakan baru dibuat pada abad ke-8 dan ke-9 tetapi memuat 65 judul hukum yang diyakini telah disalin dari kitab asli terbitan abad ke-6.<ref>{{harvnb|Kern|1880|p=xiv}}.</ref> Selain itu, naskah-naskah Rumpun I juga memuat ''Malbergse Glossen'', "Glossa Malberg", ''({{lang-la|[[glossa]] [[marginalis]]''}}, (keterangan tentang arti kataglosarium yang ditulis dipada tepi halaman naskah) berupaberisi padanan istilah pengadilan pribumi untuk beberapa kata Latin. NamaIstilah ''Malbergse Glosse'' diambilberasal dari kata ''malbergo'', "bahasa sidang".<ref>{{harvnb|Young|Gloning|2004|p=56}}.</ref> Rumpun II, yang terdiri atas dua naskah, memiliki isi yang sama seperti naskah-naskah Rumpun I, akan tetapi memuat pula "interpolasi-interpolasi atau banyak tambahan yang tampaknya berasal dari zaman yang lebih kemudian".<ref>{{harvnb|Kern|1880|p=xv}}.</ref>
 
=== Tahap Karoling ===
Rumpun III dipecah menjadi dua bagian. Bagian pertama yang terdiri atas tiga naskah dari abad ke-8 sampai ke–9, memuat pembabaran Hukum Sali yang sudah diperluas menjadi 99 atau 100 judul. ''GlossaMalbergse Glossen'' Malberg tetap dipertahankan. Bagian kedua yang terdiri atas empat naskah tidak saja menghilangkan ''glossaMalbergse Glossen'', tetapi juga "memperlihatkan jejakbekas-jejakbekas dari upayaadanya usaha untuk membuat kalimat-kalimat dalam Hukum Sali menjadi lebih ringkas namun tetap berbobot".<ref name=Kernxvii>{{harvnb|Kern|1880|p=xvii}}.</ref> Naskah-naskah ini juga memuat sebaris pernyataan yang menunjukkan waktu pembuatannya: "pada tahun yang ke-13 dari masa pemerintahan raja kita yang maha mulia atas orang-orang Franka, Pipin".<ref name=Kernxvii/> Sebagian pasal dalam naskah-naskah ini diundangkan sesudah masa pemerintahan [[Pippin yang Pendek|Raja Pipin Si Pendek]] berakhir, tetapi dianggap sebagai hasil dari upaya emendasi Hukum Sali yang diprakarsai oleh Pipin, sehingga diberi nama ''Pipina Recensio'' (Pembetulanpembetulan Pipin).
 
Rumpun IV juga dipecah menjadi dua bagian: bagian pertama terdiri atas 33 naskah; bagian kedua terdiri atas satu naskah. Naskah-naskah dalam rumpun ini dicirikan oleh pemberian nama Latin kepada bagian-bagian tertentu yang berasal dari sumber yang berbeda-beda. Dua dari bagian-bagian semacam itu diperkirakan berasal dari 768 sampai 778, tetapi emendasi dalam naskah-naskah rumpun ini diyakini berasal dari 798, yakni menjelang akhir masa pemerintahan [[Karel yang Agung|Kaisar Karel Agung]]. Hukum Sali edisi emendasi ini bertajuk ''Lex Salica Emendata'' (Hukum Sali Teremendasi), atau ''Lex Reformata'' (Hukum Tereformasi), atau ''Lex Emendata'' (Hukum Teremendasi), dan tampak jelas merupakan hasil dari upayausaha reformasi hukum yang dilakukan pada masa pemerintahan RajaKaisar Karel Agung.<ref name="Kernxvii"/>
 
Kala itu wilayah [[Kekaisaran Romawi Suci]] meliputi sebagian besar kawasan barat Eropa Barat. Kaisar Karel Agung menambahkan pasal-pasal pilihantertentu yang diambildipilih dari kitab-kitab undang-undang suku-suku bangsa JermanikJermani yang mula-mula bukan bagian dari negeri[[Negeri Franka]]. Pasal-pasal pilihan ini ditambahkan ke dalam pasal-pasal yang sudah ada tetapi diberi judul tersendiri. SeluruhSegenap orang Franka di negeridalam wilayah [[Negeri Franka]] wajib tunduk pada kitakitab undang-undang yang sama, yakni kitab undang-undang hasil emendasi Kaisar Karel Agung yang tetap disebut ''Lex Salica''. Kitab undang-undang Jermaniksuku-suku Jermani lainlainnya yang menjadi sumber dari pasal-pasal tambahan ini adalah ''[[Lex Ripuaria|Lex Ribuariorum]]'' (Hukum orang Ripuari) atau ''Lex Ribuaria'' (Hukum Ripuari), ''Lex Alamannorum'' (Hukum orang Alemani), dan ''Lex Suauorum'' (Hukum orang Suebi). ''Lex Ribuaria'' adalah kitab undang-undang orang Franka Ripuari, sebuahsalah satu suku bangsa yang merdeka sebelum Klovis berkuasa. ''Lex Alamannorum'' adalah kitab undang-undang [[Alemanni|orang Alemani]], yang kala itu tunduk pada orang Franka. Di bawah kekuasan orang Franka, mereka wajib menaati undang-undang Franka, bukan undang-undang mereka sendiri. Dimasukkannya beberapa aturan hukum mereka ke dalam Hukum Sali tentu dimaksudkan sebagai suatu tindakan paliatif. Sementara ''Lex Suauorum'' adalah kitab undang-undang [[suebi|orang Suebi]] yang jauh lebih tua daripada ''Lex Alamannorum''.
 
== Catatan penjelasan dalam bahasa Belanda Kuno ==
{{Lihat pula|Bahasa Belanda Kuno}}
 
CatatanGlosarium penjelasan dari kitabdalam undang-undangnaskah Hukum Sali (''Malbergse glossenGlossen'') memuat sepatah dua kata bahasa Belanda Kuno dan sejumlah kalimat lengkap tertua yang pernah ditulis orang dalam bahasa ituBelanda Kuno:<ref>{{cite book | title = Dutch: Biography of a Language | first = Roland | last = Willemyns | publisher = Oxford University Press | year = 2013 | isbn = 978-0-19-932366-1 | page = 41 }}</ref>
 
{| class="wikitable"
Baris 41:
Hukum Sali beserta tafsir-tafsirnya memberi gambaran tentang kehidupan masyarakat Franka. Pasal-pasal hukum pidana mengatur pembayaran ganti rugi dan pengenaan denda sebagai kompensasi atas cedera pada manusia serta kerusakan pada harta benda (misalnya [[perbudakan|budak belian]]), tindak pidana [[pencurian]], dan tindak pidana penghinaan tanpa sebab. Sepertiga dari denda yang dibayar adalah biaya perkara. Interpretasi yudisial dilakukan oleh [[juri|dewan juri]].
 
Hukum sipil menetapkan bahwa seorang individu secara sah berada di luar perlindungan hukum jika individu yang bersangkutan bukan anggota dari sebuah [[keluarga]]. Hak-hak para anggota keluarga juga diatur; misalnya, tanah harus dibagi rata kepada seluruh waris laki-laki yang masih hidup, berlawanan dengan asas [[primogenitur]] (hak kesulungan).
 
=== Suksesi agnatis ===
Salah satu asas hukum sipil adalah [[Patrilineal|suksesi agnatis]] (hak waris menurut garis nasab laki-laki) yang secara gamblang menafikan hak waris kaum perempuan atas tampukjabatan pemerintahanpenguasa atau [[feudum|tanah pertuanan feodal]]. Istilah "Hukum Sali" seringkalisering kali digunakan sebagai [[sinonim|sebutan lain]] bagi suksesi agnatis. Akan tetapi Hukum Sali tidak semata-mata mengatur hal-ikhwal warisan saja, karena kitab undang-undang ini adalah leluhur langsung dari sistem-sistem hukum yang kini berlaku di daratan Eropa.
 
Hukum Sali mengatur suksesi berdasarkan jenis kelamin. ''Suksesi agnatis'' berarti tampukjabatan pemerintahanpenguasa atau tanah kekuasaanfeodal dialihkan dari seorangsi pewaris kepada kerabat laki-laki dalam satu garis silsilahnasab patrilineal yang sama dengan si pewaris, misalnya saudara laki-laki, putra, atau kerabat laki-laki terdekat (misalnya kemenakan), termasuk pula kerabat laki-laki dari cabang-cabang silsilahnasab patrilineal yang bersumber dari leluhur laki-laki yang sama dengan si pewaris (misalnya sepupu jauh). Bentuk-bentuk utama dari suksesi agnatis adalah ''[[senioritas agnatis]]'' dan ''[[primogenitur|primogenitur agnatis]]''. Yang paling lazim digunakan adalah primogenitur agnatis, yakni pengalihan warisan dari si pewaris kepada putra sulungnyatertuanya yang masih hidup; jika si pewaris tidak berputra, maka warisan akan dialihkan kepada kerabat laki-laki terdekat dalam satu garis silsilahnasab patrilineal.
 
=== Hak waris kaum perempuan ===
{{Lihat pula|Terra salica}}
Sehubungan dengan hak waris ataspewarisan tanah, Hukum Sali menetapkan bahwa:
 
{{quote|Akan tetapi mengenai tanah Sali, tak sebidang tanah pun boleh diwariskan kepada seorang perempuan: malah seluruh tanah warisan harus turundiwariskan kepada kaum lelaki.<ref>Cave, Roy and Coulson, Herbert. ''A Source Book for Medieval Economic History'', Biblo and Tannen, New York (1965) hlm.&nbsp;336</ref>}}
 
atau menurut naskah lain:
 
{{quote|sehubungan dengan ''terra Salica'', tak sebidang tanah pun diwariskan kepada seorang perempuan tetapi seluruh tanah menjadi milik kaum lelaki yang masih terhitung adik-beradik.}}
 
Menurut tafsir orang Franka Sali, aturan ini hanya melarang kaum perempuan untuk mewarisi pusaka "Tanah Sali" warisanpeninggalan leluhur; larangan, inidan sama sekali tidak menghalangi kaum perempuan untuk mewarisi harta benda lain (misalnya [[harta benda pribadi]] si pewaris);. danBahkan pada masa pemerintahan Raja [[Kilperik I]] (''ca.'' 570), aturan ini diamandemendiamendemen agar anak perempuan boleh mewarisi tanah, jika si pewaris tidak memilikiada lagi anak laki-laki yang masih hidup sepeninggal si pewaris (amandemenamendemen ini, tergantung carapada penerapan dan penafsirannyatafsirnya, menjadidijadikan sebagai dasar dari hukum suksesiwaris Semi-Sali, atau hukum waris [[primogenitur|hak kesulungan]] yang mendahulukan laki-laki, atau punmaupun kedua-duanya).
 
Pilihan kata yang digunakan dalam rumusan hukum ini, maupun adat yang lazim berlaku sampai berabad-abad kemudian, tampaknya meneguhkan tafsir yang mengatakan bahwa warisan dibagi-bagikan kepada saudara-saudara dari mendiang pewaris. Dan, jika hukum ini dimaksudkan untuk mengatur alih kepemimpinan, maka dapat ditafsirditafsirkan sebagai hukum yang mewajibkan penerapan asas [[senioritas agnatis]] (pewarisan dari mendiangsi pewaris kepada kerabat laki-laki tertua mendiangdari si pewaris), bukan hakpenerapan kesulunganasas [[primogenitur]] langsung (pewarisan dari mendiangsi pewaris kepada putra tertua mendiangdari si pewaris).<!--
 
Dalam penerapannya oleh monarki-monarki turun-temurun di daratan Eropa semenjak abad ke-15, sebagai dasar bagi suksesi agnatis, Hukum Sali dianggap meniadakan seluruh kaum perempuan dari garis suksesi dan melarang pewarisan hak suksesi melalui perempuan mana pun. Sekurang-kurangnya ada dua tatanan suksesi turun-temurun yang merupakan penerapan langsung dan paripurna dari Hukum Sali, yakni tata suksesi [[senoritas agnatis]] dan tata suksesi [[primogenitur agnatis]].
In its use by Continental hereditary monarchies since the 15th century, aiming at agnatic succession, the Salic law is regarded as excluding all females from the succession as well as prohibiting the transfer of succession rights through any woman. At least two systems of hereditary succession are direct and full applications of the Salic Law: [[senoritas agnatis]] dan [[primogenitur agnatis]].
 
Tata suksesi yang disebut sebagai tata suksesi versi ''Semi-Sali'' menetapkan agar seluruh keturunan laki-laki dalam suatu keluarga diperhitungkan terlebih dahulu, termasuk keturunan laki-laki dari cabang-cabang garis nasab laki-laki keluarga itu yang tidak mewarisi harta atau gelar pusaka; namun jika semua garis nasab laki-laki tersebut sudah punah, maka kerabat perempuan terdekat (misalnya anak perempuan) dari ahli waris laki-laki terakhir adalah orang yang berhak menjadi ahli waris berikutnya. Ahli waris perempuan ini kelak akan digantikan oleh keturunan laki-lakinya mengikuti ketentuan tata urutan dalam Hukum Sali. Dengan kata lain, kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir "dianggap sama seperti seorang laki-laki" demi kepentingan pewarisan harta atau gelar pusaka. Tatanan semacam ini menimbulkan praktik penelusuran kerabat terdekat dari cabang-cabang garis nasab yang belum punah dalam suatu keluarga (sekurang-kurangnya pada tahap pertama) dan tidak lagi memperhitungkan kerabat-kerabat jauh (misalnya [[Sanksi Pragmatis 1713]] di Austria). Kerabat perempuan terdekat dapat saja adalah anak perempuan dari salah satu cabang nasab laki-laki yang relatif junior di antara cabang-cabang garis nasab laki-laki dalam sebuah keluarga, namun kerabat perempuan ini berhak menjadi ahli waris selaku anggota keluarga menurut garis nasab laki-laki, karena garis nasab laki-laki yang bersangkutan masih berkesinambungan; semua garis nasab perempuan yang masih ada dalam keluarga itu, meskipun jauh lebih senior, tidak lebih berhak menjadi ahli waris daripada si kerabat perempuan terdekat dari ahli waris laki-laki terakhir.
The so-called ''Semi-Salic'' version of succession order stipulates that firstly all-male descendance is applied, including all collateral male lines; but if all such lines are extinct, then the closest female agnate (such as a daughter) of the last male holder of the property inherits, and after her, her own male heirs according to the Salic order. In other words, the female closest to the last incumbent is "regarded as a male" for the purposes of inheritance/succession. This has the effect of following the closest extant blood line (at least in the first instance) and not involving any more distant relatives (see, for example: [[Pragmatic Sanction of 1713]] in Austria). Kerabat perempuan terdekat boleh jadi adalah anak dari salah satu cabang nasab yang relatif junior dari keseluruhan wangsa, namun tetap memiliki hak waris karena kedudukannya dalam garis nasab laki-laki, berkat masih terpeliharanya kesinambungan cabang nasabnya; any existing senior{{clarify|date=May 2017}} female lines come behind that of the closest female.
 
Semenjak Abad Pertengahan, muncul tatanan suksesi lain yang disebut tata suksesi kognatis promogenitur laki-laki, yang sesungguhnya memenuhi syarat-syarat Hukum Sali yang mula-mula, yakni hak suksesi juga diwariskan melalu garis nasab perempuan, tetapi para perempuan yang bersangkutan dikesampingkan demi mendahulukan putra-putra mereka. Sebagai contoh, warisan dari seorang pewaris yang hanya memiliki anak perempuan harus turun kepada salah seorang putra dari anak perempuannya, bilamana anak perempuan yang bersangkutan masih hidup. Contoh lainnya adalah, warisan dari seorang pewaris tanpa anak kandung harus turun kepada salah seorang putra dari saudara perempuan si pewaris, bilamana saudara perempuan yang bersangkutan masih hidup.
Semenjak Abad Pertengahan, we have{{clarify|date=May 2017}}{{Fix|text=where/when was this system used?}} another system of suksesi, yang dikenali sebagai kognatis promogenitur laki-laki, which actually fulfills apparent stipulations{{clarify|date=May 2017}} of the original Salic law: succession is allowed also through female lines, but excludes the females themselves in favour of their sons. For example, a grandfather, without sons, is succeeded by a son of his daughter, when the daughter in question is still alive. Or an uncle, with no children of his own, is succeeded by a son of his sister, when the sister in question is still alive.
 
Jelas bahwa dengan demikian, tatanan semacam ini telah memenuhi syarat Hukum Sali bahwasanya "tak sebidang tanah pun diwariskan kepada seorang perempuan tetapi seluruh tanah menjadi milik kaum lelaki". Tatanan ini dapat disebut tata suksesi ''Kuasi-Sali'' dan sepatutnya digolongkan sebagai tata suksesi primogenitur, kognatis, dan mendahulukan laki-laki.
Strictly seen{{clarify|date=June 2017}}, this fulfils the Salic condition of "no land comes to a woman, but the land comes to the male sex". This can be called a ''Quasi-Salic'' system of succession and it should be classified as primogenitural, cognatic, and male.-->
 
== Penerapan hukum alih kepemimpinansuksesi dan hukum waris ==
 
=== Di PerancisPrancis ===
Raja-raja [[wangsa Meroving]] membagi-bagi wilayah kekuasaannya secara merata kepada semua putra mereka yang masih hidup. Tindakan ini menjadi penyebab timbulnya berbagai sengketa dan bunuh-membunuh antarsaudara di kalangan kaum keturunan raja. Wangsa Karoling juga melakukan tindakan yang sama, namun wilayah kekuasaan mereka sudah bertaraf kekaisaran, sehingasehingga tidak dapat dibagi-bagi dan hanya dapat diwariskan kepada satu orang saja pada setiap masa pemerintahan. Primogenitur, yakni hak kesulungan atau asas pengistimewaan terhadap keturunan yang lahir lebih dulu sebagai ahli waris atas seluruh harta si pewaris, pada akhirnya muncul di PerancisPrancis pada masa pemerintahan raja-raja wangsa KapetCapet. Raja-raja wangsa KapetCapet yang terdahulu hanya memiliki satu orang ahli waris, yaitu putra tertua, yang [[Penobatan Raja PerancisPrancis#Pemahkotaan Pewaris|dinobatkan menjadi raja kecilmuda]] ({{lang-lat|rex iunior}}) selagi ayahnya masih hidup. Karena warisan tidak lagi dibagi-bagi secara merata, maka sebagai gantinya, putra-putra raja dari wangsa KapetCapet selain putra tertua dianugerahi [[apanase]], yakni daerah kekuasaan feodal di bawah suzeranitas raja. Hukum feodal memperbolehkan pewarisan pertuanan kepada anak perempuan jika tidak ada anak lelaki. Aturan ini juga diterapkan pada apanase-apanase terdahulu. Mengenai apakah hukum feodal ini juga diterapkan dalam pewarisan takhta Kerajaan PerancisPrancis, tak seorang pun yang tahu sampai dengan tahun 1316.
 
==== Tata suksesi pada 1316 ====
Selama jangka waktu yang benar-benar panjang, semenjak berkuasanya wangsa Capet pada 987 sampai dengan mangkatnya [[Louis X dari Prancis|Raja Louis X]] pada 1316, putra tertua yang masih hidup dari Raja Prancis akan naik takhta menjadi raja baru bilamana ayahnya mangkat. Selama waktu itu pula tidak pernah muncul kesempatan untuk menunjukkan apakah kaum perempuan ikut diperhitungkan atau tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta. Raja Louis X mangkat tanpa meninggalkan seorang putra, namun permaisurinya sedang mengandung. Adik mendiang raja, yakni [[Philippe V dari Prancis|Philippe, Bupati Poitiers]], memerintah sebagai wali. Philippe mengikat perjanjian dengan [[Eudes IV dari Bourgogne|Eudes IV, Adipati Bourgogne]], paman dari [[Juana II dari Navarra|Putri Jeanne]] (putri Raja Louis X dari permaisuri pertama), bahwa jika permaisuri kelak melahirkan seorang putra, maka sang putra akan segera dinobatkan menjadi Raja Prancis berikutnya, sementara jika ternyata seorang putri, maka Philippe akan terus memerintah selaku wali sampai putri-putri mendiang Louis X cukup umur untuk memerintah sendiri. Dengan demikian, terbukti bahwa anak perempuan berkesempatan untuk menjadi ahli waris takhta Kerajaan Prancis.
 
Kerajaan Prancis sempat merasa lega ketika permaisuri akhirnya melahirkan seorang putra, yakni [[Jean I dari Prancis|Jean I]]. Akan tetapi Jean hanya bertahan hidup selama beberapa hari. Philippe, yang melihat ada peluang bagi dirinya untuk menjadi raja, mengingkari janjinya pada Adipati Bourgogne dan mengatur agar dirinya diurapi menjadi [[Philippe V dari Prancis|Raja Philippe V]] di Reims pada bulan Januari 1317. [[Agnes dari Prancis|Putri Agnes]], anak perempuan Santo Louis, ibu Adipati Bourgogne, dan nenek dari Putri Jeanne, memperkarakan tindakan ini sebagai penyerobotan takhta, dan menuntut agar wakil-wakil dari segenap lapisan kawula Prancis bersidang demi menuntaskan perkara ini. Gugatan Putri Agnes diterima oleh Raja Philippe.
 
Suatu majelis yang terdiri atas para rohaniwan tinggi, kaum bangsawan, kaum borjuis kota Paris, dan para doktor Universitas Paris, yakni majelis yang disebut ''États généraux'' tahun 1317, bersidang pada bulan Februari. Raja Philippe meminta sidang majelis untuk menyusun argumen yang mengesahkan hak warisnya atas takhta Kerajaan Prancis. Sidang majelis memutuskan bahwa "kaum perempuan tidak boleh mewarisi takhta Kerajaan Prancis", dan dengan demikian membenarkan tindakan Raja Philippe sekaligus memustahilkan kaum perempuan menduduki takhta Kerajaan Prancis. Keputusan ini terus berlaku sampai monarki Prancis ditumbangkan. Kala itu, Hukum Sali belum dijadikan dasar: argumen-argumen yang diajukan sebagai pembenaran terhadap tindakan Philippe ini hanya didasarkan atas kedekatan Philippe dengan [[Louis IX dari Prancis|Santo Louis]]. Raja Philippe didukung oleh kaum bangsawan dan memiliki sumber-sumber daya yang dapat dimanfaatkan demi mewujudkan ambisi-ambisinya.
 
Raja Philippe dapat menjinakkan Adipati Bourgogne dengan menikahkan Sang Adipati dengan putrinya yang juga bernama [[Jeanne III dari Bourgogne|Jeanne]], dengan embel-embel Kabupaten Artois dan Kabupaten Bourgogne (bukan Kadipaten Bourgogne) sebagai tanah warisan Sang Putri. Pada 27 Maret 1317, Adipati Bourgogne dan Raja Philip V menandatangani sebuah perjanjian di Laon yang memuat pernyataan pelepasan hak waris Putri Jeanne (anak perempuan Raja Louis X) atas takhta Kerajaan Prancis.
 
==== Tata suksesi pada 1328 ====
Raja Philippe pun mangkat tanpa meninggalkan putra, dan digantikan oleh saudaranya yang naik takhta menjadi [[Charles IV dari Prancis|Raja Charles IV]] tanpa tentangan. Raja Charles juga mangkat tanpa meninggalkan putra, namun juga meninggalkan permaisurinya dalam keadaan mengandung. Situasi ini menimbulkan krisis suksesi, sama seperti yang pernah terjadi pada 1316, sehingga kaum bangsawan mulai bersiap sedia, baik untuk memilih dan mengangkat seorang wali, maupun untuk memanfaatkan peluang menjadi penguasa berikutnya. Pada saat itu, sudah dimaklumi bahwasanya kaum perempuan tidak dapat mewarisi takhta kerajaan Prancis (meskipun belum ditetapkan secara tertulis).
 
Dengan penerapan asas agnatis, pihak-pihak berikut ini tidak diperhitungkan sebagai ahli waris takhta:
* Anak-anak perempuan dari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, termasuk anak yang sedang dikandung oleh [[Jeanne d'Évreux]], permaisuri mendiang Raja Charles, jika kelak terlahir perempuan;
* [[Isabella dari Prancis|Putri Isabelle]], saudari Raja Louis X, Raja Philippe V, dan Raja Charles IV, yang diperistri oleh penguasa Inggris, [[Edward II dari Inggris|Raja Edward II]].
 
Permaisuri mendiang Raja Charles IV melahirkan seorang anak perempuan. [[Isabella dari Prancis|Putri Isabelle]], saudari Raja Charles IV, mengklaim hak waris bagi putranya, [[Edward III dari Inggris|Raja Edward III]]. Prancis menolak klaim ini, dengan alasan bahwa "kaum perempuan tidak dapat mewariskan hak yang tidak dimilikinya", yakni penjabaran dari asas suksesi yang ditetapkan pada 1316. Wali raja, Philippe dari Valois, naik takhta menjadi Raja Philippe VI pada 1328. Philippe menjadi raja tanpa tentangan yang serius sampai ia berusaha merebut [[Gascogne]] pada 1337, sehingga memancing Raja Edward III untuk memaksa Prancis mengakui hak warisnya atas takhta Kerajaan Prancis.
 
==== Kemunculan Hukum Sali ====
Sejauh yang dapat dipastikan, Hukum Sali tidak secara eksplisit disebutkan pada 1316 maupun pada 1328. Hukum Sali telah terlupakan pada zaman feodal, dan penegasan bahwasanya takhta Kerajaan Prancis hanya boleh diwariskan kepada dan melalui garis nasab laki-laki menjadikannya unik dalam pandangan orang Prancis. Di kemudian hari, para hakim mengangkat kembali Hukum Sali yang sudah lama tak digunakan dan menafsir ulang isi hukum ini untuk membenarkan praktik suksesi yang terjadi pada 1316 dan 1328 dengan tidak saja melarang pewarisan kepada perempuan tetapi juga melarang pewarisan melalui garis nasab perempuan (''In terram Salicam mulieres ne succedant'').
 
Dengan demikian pada mulanya penerapan asas agnatis terbatas untuk suksesi jabatan penguasa Kerajaan Prancis. Sebelum wangsa Valois berkuasa, raja-raja wangsa Capet menganugerahkan apanase kepada semua putra selain putra tertua dan kepada semua adik laki-laki. Apanase-apanase milik para pangeran wangsa Capet ini kelak dapat diwariskan kepada anak cucu mereka, laki-laki maupun perempuan. Pada zaman wangsa Valois, apanase-apanase yang dianugerahkan kepada para pangeran ini, selaras dengan hukum suksesi monarki yang memberikan anugerah, hanya boleh diwariskan kepada keturunan laki-laki saja. Cabang nasab wangsa Capet lainnya, yakni garis nasab [[Montfort dari Bretagne]], mengklaim sebagai ahli waris yang sah atas jabatan penguasa Kadipaten Bretagne menurut garis nasab laki-laki. Klaim mereka ini didukung oleh Raja Inggris, sementara seteru-seteru mereka yang mengklaim sebagai ahli waris yang sah menurut garis nasab perempuan di Bretagne didukung oleh Raja Prancis. Keluarga Montfort pada akhirnya berjaya menjadi penguasa Kadipaten Bretagne melalui perang, tetapi harus tunduk di bawah suzeranitas Raja Prancis.
 
Hukum Sali sama sekali tidak dimaksudkan untuk mengatur segala macam tindakan pewarisan. Sebagai contoh, larangan pewarisan kepada anak perempuan tidak diterapkan dalam pewarisan harta bergerak – hanya tanah saja yang dianggap sebagai "harta pusaka orang Sali" — bahwa definisi legal dari "tanah Sali" pun masih diperdebatkan, sekalipun pada umumnya diartikan sebagai tanah-tanah ''[[fiscus]]'' kerajaan (tanah pertuanan pribadi raja). Beratus-ratus tahun kemudian, pada masa pemerintahan raja-raja dari [[wangsa Capet]] di [[Prancis]] dan rekan-rekan sejawat mereka di Inggris yang memiliki tanah di Prancis, barulah Hukum Sali dijadikan dasar untuk mengukuhkan atau menentang suksesi. Kala itu Hukum Sali sudah menjadi sesuatu yang dianggap anakronistik — sudah tidak ada lagi tanah-tanah pusaka Sali, karena monarki Sali berikut tanah-tanah kekuasaannya mula-mula muncul di daerah yang sekarang menjadi wilayah negara [[Belanda]].
 
Shakespeare mengklaim bahwa [[Charles VI dari Prancis|Raja Charles VI]] menolak klaim [[Henry V dari Inggris|Raja Henry V]] atas takhta Kerajaan Prancis berdasarkan aturan pewarisan Hukum Sali. Penolakan ini merupakan pemicu [[pertempuran Agincourt]]. Sesungguhnya konflik antara Hukum Sali dan hukum Inggrislah yang menjadi penyebab dari [[Klaim Inggris atas takhta Prancis|banyaknya klaim yang tumpang tindih]] antara pihak Prancis dan pihak Inggris atas takhta Kerajaan Prancis.
 
Lebih dari seabad kemudian, [[Felipe II dari Spanyol|Raja Spanyol, Felipe II]], mencoba mengklaim takhta Kerajaan Prancis bagi putrinya, [[Isabella Clara Eugenia]], yang dilahirkan oleh permaisuri Felipe II, seorang bangsawati dari wangsa Valois. Para kaki tangan Raja Felipe diperintahkan untuk "pandai-pandai menciptakan kesan" bahwa Hukum Sali hanyalah "karangan belaka". Akan tetapi andaikata "Hukum Sali" memang tidak diterapkan dalam tata suksesi Kerajaan Prancis, asas suksesi agnatis telah menjadi batu sendi dari tata suksesi Kerajaan Prancis; asas ini telah dipertahankan oleh Kerajaan Prancis dalam Perang Seratus Tahun melawan Inggris, dan telah diterapkan untuk menentukan orang-orang yang layak menjadi Raja Prancis selama lebih dua abad. Pengakuan kesahihan status raja dari [[Henry IV Dari Prancis|Henry IV]], Raja Prancis yang pertama dari wangsa Bourbons, semakin memperkukuh penerapan asas agnatis di Prancis.
 
=== Penerapan lainnyaHukum Sali di negara-negara Eropa lainnya ===
Dalam sejarah Eropa, pernah timbul sejumlah konflik bersenjata akibat penerapan maupun pelanggaran Hukum Sali. [[Perang Karlis]] berkobar di [[Spanyol]] sebagai akibat dari silang sengketa seputar kelayakan seorang ahli waris perempuan untuk menduduki takhta kerajaan. [[Perang Suksesi Austria]] dipicu oleh [[Sanksi Pragmatik 1713]] yang diundangkan oleh [[Karl VI, Kaisar Romawi Suci|Adipati Utama Austria, Karl VI]]. Adipati Utama Karl VI mewarisi jabatan penguasa Austria sebagai akibat dari penerapan Hukum Sali yang menafikan hak waris dari putri-putri abangnya, namun ia justru berusaha untuk mewariskan jabatannya itu kepada putri kandungnya, [[Maria Theresia dari Austria|Maria Theresia]]. Pewarisan jabatan Adipati Utama Austria dari ayah kepada anak perempuan ini merupakan salah satu contoh penerapan ''hukum semi-Sali''.
 
Tata suksesi di [[Kerajaan Italia (1861–1946)|Kerajaan Italia]] modern di bawah kekuasaan [[wangsa Savoia]] diatur menurut Hukum Sali.
 
Jabatan penguasa [[Kerajaan Bersatu Britania Raya dan Irlandia|Kerajaan Britania Raya]] dan jabatan penguasa [[Kerajaan Hannover]] terpisah sepeninggal Raja Britania Raya dan Hannover, [[William IV dari Britania Raja|William IV]], pada 1837. Kerajaan Hannover memberlakukan hukum semi-Sali, tetapi tidak demikian halnya dengan Kerajaan Britania Raya. Kemenakan perempuan Raja William, [[Victoria dari Britania Raya|Victoria]], naik takhta menjadi ratu atas Britania Raya dan Irlandia, namun jabatan penguasa Kerajaan Hanover diwariskan kepada adik Raja William IV, [[Ernst August, Raja Hannover|Ernest, Adipati Cumberland]].
 
Hukum Sali juga merupakan isu penting dalam [[Permasalahan Schleswig-Holstein]] dan memainkan suatu peran prosaik dari hari ke hari dalam pembuatan keputusan sehubungan dengan pewarisan dan pernikahan kalangan ningrat di [[Daftar negara bagian bersejarah di Jerman|negara-negara bagian Jerman]], misalnya di Kadipaten [[Sachsen-Weimar]]. Agaknya tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa kaum bangsawan Eropa senantiasa berhadapan dengan aturan Hukum Sali dalam segala urusan diplomasi, teristimewa bilamana merundingkan pernikahan, karena seluruh garis nasab laki-laki harus sudah punah terlebih dahulu sebelum sebuah gelar kepemilihan tanah dapat diwariskan (melalui pernikahan) ''kepada suami dari seorang perempuan''— para penguasa perempuan merupakan anatema (dianggap haram) di negara-negara bagian Jerman sampai ke Zaman Modern.
 
Demikian pula jabatan penguasa [[Kerajaan Belanda]] dan [[Luksemburg|Kadipaten Agung Luksemburg]] terpisah pada 1890, manakala [[Wilhelmina dari Belanda|Putri Wilhelmina]] naik takhta menjadi [[ratu]] pertama atas Negeri Belanda. Sisa-sisa pengamalan Hukum Sali tampak pada penyebutan resmi [[penguasa monarki|kepala monarki]] [[Belanda|Negeri Belanda]] sebagai 'Raja' ({{lang-nl|Koning}}), sekalipun yang sedang memerintah bergelar 'Ratu' ({{lang-nl|Koningin}}). Jabatan penguasa Kadipaten Agung Luksemburg beralih ke wangsa lain yang masih terhitung kerabat jauh agnatis dari [[Wangsa Oranye-Nassau|wangsa Oranje-Nassau]], yakni [[wangsa Nassau-Weilburg]]. Akan tetapi garis nasab laki-laki dari wangsa Nassau-Weilburg pun mengalami kepunahan setelah kurang dari dua dasawarsa berkuasa. Karena seluruh cabang garis nasab laki-laki dari wangsa Nassau telah punah, [[Guillaume IV dari Luksemburg|Adipati Agung Willem IV]] mengadopsi hukum suksesi semi-Sali agar jabatannya dapat diwarisi oleh putri-putrinya.
=== Penerapan lainnya di Eropa ===
 
== Rujukan dalam karya sastra ==
* [[William Shakespeare|Shakespeare]] menjadikan Hukum Sali sebagai salah satu sarana alur cerita (''plot device'') dalam drama ''[[Henry V (drama)|Henry V]]''. Dalam drama ini dikisahkan bahwa PerancisPrancis menjadikan Hukum Sali sebagai dasar untuk menafikan hak waris Henry V atas takhta Kerajaan PerancisPrancis. Drama ''Henry V'' bermula dengan adegan [[Uskup Agung Canterbury]] dimintai pendapat mengenai apakah penuntutan hak waris itu dapat dibenarkan kendati bertentangan dengan Hukum Sali. Sang Uskup Agung menjawab, "'''''tanahTanah Salique'''''" itu adanyaletaknya di negeriNegeri Jerman, di antara batang air [[Sungai Saale|Sala]] dan batang air [[Elbe|Elba]]". Jawaban ini menyiratkan bahwa Hukum Sali adalah hukum Jerman, dan bukan hukum PerancisPrancis. Pembenaran dari Sang Uskup Agung, yang sengaja dibuat sedemikian rupa sehinggaoleh Shakespeare agar terkesan bebal dan bertele-tele oleh Shakespeare (untuk keperluan komedi dan rekayasa politik), jugaitu pun sebenarnya keliru, karena [[orang Franka Sali]] menetap di daerah hilir Sungai [[Rhein]] dan Sungai [[Skaldis]], yang sekarang ini termasuk dalam wilayah [[Flandria]] di negeri PerancisPrancis.
* Dalam novel ''[[Royal Flash]]'', karya [[George MacDonald Fraser]], sang jagoan, [[Harry Flashman]], saat menikahi AdipatniAdipati Putri Irma, dihadiahi harta pusaka yang menjadi hak pendamping adipatnikepala negara, dan "Sang AdipatniAdipati Putri malah jauh lebih beruntung lagi"; sang jagoan yang merasa dicurangi pun berpikir, "Dulu pernah aku sadari, dan kini pun kembali aku sadari, bahwa Hukum Sali adalah suatu gagasan hebat yang terkutuk".<ref>G. M. Fraser (2006) ''Royal Flash'', hlm.&nbsp;172, Grafton paperback.</ref>
* Dalam novelnya, ''Waverley'', Sir [[Walter Scott]] mengutip "Hukum ''Salique''" dalam penjabaran cerita sehubungan dengan permintaan-permintaan yang diajukan si tokoh utama, yakniuntuk diberi seekor kuda besertadan seorang pemandu untukjalan yang dapat mengantarnya ke Edinburgh. {{quote|Si nyonya rumah, seorang pekerja ulet yang sopan dan pendiam, datang untuk menanyakan apa yang ia inginkan untuk disajikan sebagai santapan malamnya, tetapi menolak untuk memberi jawaban perihal kuda dan pemandu; karena Hukum ''Salique'', tampaknya, berlaku pula atas kandang-kandang kuda di penginapan Kaki Dian Emas.|Bab XX1X}}
 
== Lihat pula ==
Baris 90 ⟶ 126:
 
== Rujukan ==
'''CatatanKutipan'''
{{reflist|3}}
 
'''Daftar PustakaKepustakaan'''
* {{cite book | ref=harv | last=Cave | first=Roy | last2=Coulson | first2=Herbert | title=A Source Book for Medieval Economic History | url=https://archive.org/details/sourcebookformed0000cave | publisher=Biblo and Tannen | location=New York | year=1965}}
* {{cite book | ref=harv | last=Drew | first=Katherine Fischer | title=The laws of the Salian Franks (Pactus legis Salicae) | location=Philadelphia | publisher=University of Pennsylvania Press | year=1991 | id={{ISBN|0-8122-8256-6}}/{{ISBN|0-8122-1322-X}}}}
* {{cite book | ref=harv | title=Criminal justice through the ages: from divine judgement to modern German legislation | first=Christoph | last=Hinckeldey | last2=Fosberry | first2=John (Translator) | series=Schriftenreihe des Mittelterlichen Kriminalmuseums Rothenburg ob der Tauber, v. 4 | year=1993 | origyear=1981 | location=Rothenburg ob der Tauber (Germany) | publisher=Mittelalterliches Kriminalmuseum}}
* {{cite book | ref=harv | first=Hendrik (Contributor) | last=Kern | editor-first=J.H | editor-last=Hessels | title=Lex Salica: the Ten Texts with the Glosses and the Lex Emendata | url=https://archive.org/details/lexsalicatentex03kerngoog | location=London | publisher=John Murray | year=1880}}
* {{cite book | editor-first=Craig | editor-last=Taylor | title=Debating the Hundred Years War. "Pour ce que plusieurs" (La Loy Salique) and "A declaration of the trew and dewe title of Henrie VIII" | url=https://archive.org/details/debatinghundredy0000unse | series=Camden 5th series | location=Cambridge | publisher=Cambridge University Press | year=2006 | isbn=0-521-87390-8}}
* {{cite journal | ref=harv | first=Craig | last=Taylor | title=The Salic Law and the Valois succession to the French crown | journal=French History | volume=15 | year=2001 | pages=358–377 | doi=10.1093/fh/15.4.358}}
* {{cite journal | ref=harv | first=Craig | last=Taylor | title=The Salic Law, French Queenship and the Defence of Women in the Late Middle Ages | journal=French Historical Studies | volume=29 | year=2006 | pages=54–564}}
Baris 107 ⟶ 143:
* [http://www.leges.uni-koeln.de/en/lex/lex-salica/ Informasi mengenai ''Hukum Sali'' dan tradisi pembuatan naskahnya di situs jejaring ''{{lang|la|Bibliotheca legum regni Francorum manuscripta}}''], sebuah basis data naskah-naskah hukum sekular Karoling (Karl Ubl, Universitas Köln, Jerman).
 
{{DEFAULTSORT:Sali, hukum}}
[[Kategori:Bahasa Belanda Kuno]]
[[Kategori:Hukum]]