Allah jang Palsoe: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Hanamanteo (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.3
 
(16 revisi perantara oleh 11 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 30:
Lakon panggung pertama Kwee Tek Hoay, ''Allah jang Palsoe'', ditulis sebagai tanggapan [[realisme (sastra)|realis]] terhadap teater [[bangsawan]] dan stambul. Pertunjukan perdananya sukses secara komersial, namun versi terbitannya merugi. Pada tahun 1930, meski dianggap sulit, lakon ini dipentaskan oleh sejumlah grup sandiwara Tionghoa. ''Allah jang Palsoe'' juga menginspirasi dua karya terakhir Kwee Tek Hoay, lakon panggung ''Korbannja Kong-Ek'' (1926) dan novel ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (novel)|Boenga Roos dari Tjikembang]]'' (1927). Tahun 2006, naskahnya diterbitkan kembali dengan ejaan baru oleh [[Yayasan Lontar]].
 
== Alur ==
Kakak beradik Tan Kioe Lie dan Tan Kioe Gie bersiap-siap meninggalkan rumah mereka di [[Cicurug|Cicuruk]] dan bekerja di kota: Lie hendak pergi ke [[Bandung]] dan bekerja di sebuah perusahaan di sana, sedangkan Gie pergi ke Batavia (sekarang [[Jakarta]]) dan menjadi [[tata cetak|penata cetak]]. Ketika mereka mengepak barang, tunangan Kioe Lie, Gouw Hap Nio, bertamu. Ia meninggalkan makanan ringan untuk ayahnya, petani miskin Tan Lauw Pe, sebelum pulang. Ayahnya berjanji mengasuh Pe ketika kedua putranya sedang merantau. Lie dan Gie sudah bersiap-siap, berpisah dengan ayahnya, dan berangkat ke stasiun kereta api.
 
Baris 43:
Dalam perjalanannya melewati Cicuruk, mobil Lie mogok. Ketika si pengemudi berusaha memperbaikinya, Lie berlindung di rumah terdekat dan mengetahui dari si pembantu bahwa rumah tersebut adalah milik Gie. Gie dan Lauw Nio telah membangun pertanian, taman, dan kebun luas dari hasil kerja keras mereka. Pendapatannya lebih dari cukup untuk memungkinkan hidup nyaman. Keduanya, yang terus menjadi dermawan (filantropis), berteman dengan tokoh-tokoh penting di daerah tersebut. Selain itu, Hap Nio sudah menikah dengan pengurus kebun yang tajir. Setelah Gie dan teman-temannya pulang dari bermain tenis, mereka menemukan Lie bersembunyi di bawah piano karena malu dilihat orang. Lie mengaku salah karena rakus. Ketika seorang polisi datang untuk menangkapnya, Lie mengaku telah meracuni Bing, lalu berlari ke luar dan menembak dirinya sendiri.
 
== Penulisan ==
[[FileBerkas:Henrik Ibsen by Gustav Borgen NFB-19778 restored.jpg|thumbjmpl|leftkiri|Gaya ''Allah jang Palsoe'' terinspirasi oleh realisme [[Henrik Ibsen]].]]
''Allah jang Palsoe'' ditulis oleh jurnalis [[Kwee Tek Hoay]]. Ia lahir dari pasangan pedagang tekstil [[Cina Indonesia|Tionghoa]] dan istri pribuminya.{{sfn|Sutedja-Liem|2007|p=273}} Ia dibesarkan di [[budaya Cina|budaya]] dan sekolah Cina yang berfokus pada modernitas. Pada saat pembuatan novelnya tersebut, Kwee Tek Hoay adalah pendukung aktif teologi [[Buddha]]. Ia juga sering menulis tentang pribumi Indonesia{{sfn|JCG, Kwee Tek Hoay}} dan merupakan pengamat sosial yang baik.{{sfn|The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers}} Ia sering membaca buku berbahasa Belanda, Inggris, dan Melayu, dan terinspirasi oleh buku-buku tersebut setelah menjadi penulis.{{sfn|Sidharta|1996|pp=333–334}}
 
''Allah jang Palsoe'' adalah lakon panggung pertama besutan Kwee Tek Hoay{{sfn|Kwee|1930|p=99}} sekaligus drama panggung pertama berbahasa Melayu karya penulis Tionghoa menurut sejarawan [[Nio Joe Lan]].{{sfn|Nio|1962|p=151}} Alurnya didasarkan pada cerita pendek "The False Gods" karya [[E. Phillips Oppenheim]].{{sfn|Sumardjo|2004|p=140}} Karya enam bagian ini ditulis dalam [[bahasa Melayu Pasar]], ''[[lingua franca]]'' Hindia Belanda waktu itu. Sumardjo memuji pemakaian bahasa ini oleh Kwee Tek Hoay karena tertata dengan rapi.{{Sfn|Sumardjo|2004|p=142}}
 
Ketika ''Allah jang Palsoe'' ditulis, pertunjukan panggung sangat dipengaruhi [[sastra oral|oralitas]]. Teater-teater kontemporer seperti [[bangsawan]] dan stambul tidak memiliki naskah dan umumnya memiliki latar dan alur yang tidak realistis.{{sfn|Damono|2006|p=xxii}} Kwee Tek Hoay sangat tidak setuju dengan teknik semacam itu dan berpendapat "lebih baik menuturkan keadaan yang sebenarnya daripada menciptakan yang ada dalam angan-angan, meskipun lebih menyenangkan dan memuaskan para pembaca atau penonton tapi palsu dan dusta, bertentangan dengan keadaan yang benar."{{efn|Teks asli: "... lebih baek tuturkan kaadaan yang sabetulnya, dari padadaripada ciptaken yang ada dalem angen-angen, yang meskipun ada lebih menyenangken dan mempuasken pada pembaca atau penonton, tapi palsu dan justa, bertentangan dengan kaadaan yang benar.''"}}{{sfn|Damono|2006|pp=xvii, xvix}} Setelah mencerca pementasan lakon kontemporer yang hanya mengambil cerita-cerita yang sudah ada, Kwee Tek Hoay mengungkapkan harapannya bahwa suatu saat jenis teater Melayu Cina yang unik dapat dikembangkan.{{sfn|Kwee|1989|p=167}}
 
Dalam pengantar dramanya tahun 1926, ''Korbannja Kong-Ek'', Kwee Tek Hoay menulis bahwa ia terinspirasi oleh penulis lakon [[realisme (sastra)|realis]] Norwegia [[Henrik Ibsen]]. Ia membaca dan membaca ulang karya-karya Ibsen. Kritikus sastra indonesia [[Sapardi Djoko Damono]] menemukan tanda-tanda pengaruh Ibsen di ''Allah jang Palsoe''. Ia membandingkan [[pengarahan panggung]] ''[[Hedda Gabler]]'' dan ''Allah jang Palsoe'' dan menemukan kemiripan instruksi rinci di kedua drama tersebut.{{sfn|Damono|2006|pp=xvii, xvix}}
 
== Tema ==
Judul lakon ini mengacu pada uang{{sfn|Damono|2006|p=xxi}} dengan pesan [[didaktis]] tersirat bahwa uang bukanlah segalanya di dunia dan keinginan yang tidak terpuaskan akan mengubah seseorang menjadi "budak uang".{{Sfn|Sumardjo|2004|p=143}} Sepanjang dialognya, uang disebut sebagai Tuhan (Allah) yang palsu. Lie menjadi tokoh yang mendewakan uang sampai-sampai mengabaikan tugasnya dan baru menyadarinya ketika semua sudah terlambat. Gie, meski menjadi orang kaya, tetap tidak menuhankan uang, namun justru menjadi seorang dermawan dan berpegang pada nilai moral. Damono menulis bahwa permasalahan seperti ini lazim ditemukan di kalangan etnis Tionghoa waktu itu di Hindia Belanda dan tema ini akan membuat lakon ini digandrungi organisasi-organisasi sosial.{{sfn|Damono|2006|pp=xxi–xxii}}
 
Baris 60:
Pembaca lainnya lebih beragam. Sinolog Thomas Rieger mengangkat masalah identitas nasional Cina sambil menunjuk Gie sebagai pemuda yang "menguasai semua nilai [[Konfusianisme|Konfusianis]]", meninggalkan pekerjaannya alih-alih menunjukkan sikap pemaaf terhadap pemerintah kolonial Belanda hingga mengecewakan teman-teman Tionghoanya.{{Sfn|Rieger|1996|p=161}} Sinolog lainnya, [[Myra Sidharta]], melihat pandangan Kwee Tek Hoay terhadap wanita. Sidharta menulis bahwa penggambaran wanita ideal oleh Kwee tidak sepenuhnya dikembangkan di ''Allah jang Palsoe'', namun ia menganggap Houw Nio sebagai gambaran bagaimana wanita tidak bersikap sepantasnya: egois dan suka berjudi.{{sfn|Sidharta|1989|p=59}}
 
== Rilis dan tanggapan ==
[[FileBerkas:Allah jang Palsoe ad.jpg|thumbjmpl|Iklan lakon yang disertakan dalam cetakan ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (novel)|Boenga Roos dari Tjikembang]]'' tahun 1930]]
Walaupun awalnya dikritik karena tidak ada kostum yang menarik dan menekankan kostum sehari-hari, lakon ini mendapat tanggapan baik.{{sfn|Damono|2006|p=xviii}} Kwee Tek Hoay mencatat ada satu pertunjukan penggalangan dana untuk Tiong Hoa Hak Tong yang berhasil mengumpulkan 10.000 gulden. Pertunjukan penggalangan dana sering dilakukan di Hindia Belanda tahun 1910-an, terutama di kalangan masyarakat Tionghoa.{{sfn|Damono|2006|p=xviii}} Setelah pertunjukan usai, Kwee Tek Hoay mendapat banyak surat penggemar yang memaksanya untuk terus berkarya.{{sfn|Kwee|2002|p=2}} Grup sandiwara lain diizinkan mementaskan drama ini dan keuntungannya diteruskan ke cabang Tiong Hoa Hwe Koan di [[Bogor]].{{sfn|Kwee|1980|p=89}}
 
Baris 68:
Walaupun menurut sebuah iklan ''Allah jang Palsoe'' telah dipentaskan puluhan kali pada tahun 1930{{sfn|Kwee|1930|p=99}} dan populer di kalangan grup teater Cina,{{Sfn|Sumardjo|2004|p=140}} drama ini dianggap sulit dipentaskan. Kwee Tek Hoay menganggapnya sulit dipentaskan grup [[pribumi Indonesia|pribumi]]. Ketika grup teater Union Dalia Opera meminta izin untuk mementaskannya, ia malah menulis cerita baru untuk mereka. Cerita baru ini kelak menjadi novel terlaris Kwee Tek Hoay, ''[[Boenga Roos dari Tjikembang (novel)|Boenga Roos dari Tjikembang]]''.{{sfn|Kwee|2001|pp=298–299}} Karya Kwee Tek Hoay lainnya, ''Korbannja Kong-Ek'', terinspirasi oleh surat seorang penonton yang meminta lakon yang lebih nyaman dan didaktis secara moral.{{sfn|Kwee|2002|p=4}}
 
== Catatan ==
{{notelist}}
 
== Referensi ==
{{reflist|30em}}
 
== Kutipan ==
{{refbegin|40em}}
* {{cite news
|url=http://www.thejakartapost.com/news/2000/05/26/chineseindonesian-writers-told-tales-life-around-them.html/
|title=Chinese-Indonesian writers told tales of life around them
|work=[[The Jakarta Post]]
|accessdate=14 Maret 2012
|archivedate=11 Maret 2013-03-11
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/6F2dtyZeg?url=http://www.thejakartapost.com/news/2000/05/26/chineseindonesian-writers-told-tales-life-around-them.html/
|ref={{sfnRef|The Jakarta Post 2000, Chinese-Indonesian writers}}
|date=26 Mei 2000
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|last=Damono
|first=Sapardi Djoko
|chapter=Sebermula Adalah Realisme
|pages=xvii–xxix
|title=Antologi Drama Indonesia 1895–1930
|language=Indonesia
|editor1-last=Yayasan Lontar
|editor1-link=Yayasan Lontar
|publisher=Yayasan Lontar
|year=2006
|location=Jakarta
|isbn=978-979-99858-2-8
|ref=harv
}}
* {{cite book
|title=Antologi Drama Indonesia 1895–1930
|language=Indonesia
|editor1-last=Yayasan Lontar
|editor1-link=Yayasan Lontar
|publisher=Yayasan Lontar
|year=2006
|location=Jakarta
|isbn=978-979-99858-2-8
|ref=harv
}}
* {{cite journal
|last=Kwee
|first=John
|title= Kwee Tek Hoay: A Productive Chinese Writer of Java (1880–1952)
|journal=Archipel
|year=1980
Baris 123 ⟶ 124:
|issue=19
|pages=81–92
|access-date=2013-09-12
|archive-date=2014-01-07
|archive-url=https://web.archive.org/web/20140107114517/http://www.persee.fr/web/revues/home/prescript/article/arch_0044-8613_1980_num_19_1_1526
|dead-url=no
}}
* {{cite book
|last=Kwee
|first=John
|chapter=Kwee Tek Hoay, Sang Dramawan
|language=Indonesia
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|editor-last=Sidharta
|editor-first=Myra
|isbn=978-979-416-040-4
|year=1989
|pages=166–179
|publisher=Sinar Harapan
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite bookweb
|last=Kwee
|first=John
|chapter=Kwee Tek Hoay, Sang Dramawan
|language=Indonesia
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|editor-last=Sidharta
|editor-first=Myra
|isbn=978-979-416-040-4
|year=1989
|pages=166–179
|publisher=Sinar Harapan
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
*{{cite web
|url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1555/Kwee-Tek-Hoay
|title=Kwee Tek Hoay
|language=Indonesia
|accessdate=11 Maret 2013
|archivedate=13 Maret 2013-03-11
|archiveurl=httphttps://www.webcitation.org/6F2fxZwj9?url=http://www.jakarta.go.id/web/encyclopedia/detail/1555/Kwee-Tek-Hoay
|work=Encyclopedia of Jakarta
|publisher=Pemerintah Kota Jakarta
|ref={{sfnRef|JCG, Kwee Tek Hoay}}
|dead-url=yes
}}
* {{Cite book
|title=Boenga Roos dari Tjikembang
|language=Melayu
|last=Kwee
|first=Tek Hoay
|year=1930
|publisher=Panorama
|location=Batavia
|ref=harv
}}
* {{Citecite book
|last=Kwee
|title=Boenga Roos dari Tjikembang
|first=Tek Hoay
|language=Melayu
|lastauthorlink=Kwee Tek Hoay
|chapter=Bunga Roos dari Cikembang
|first=Tek Hoay
|language=Indonesia
|year=1930
|pages=297–425
|publisher=Panorama
|title=Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
|location=Batavia
|volume=2
|ref=harv
|isbn=978-979-9023-45-2
|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia
|location=Jakarta
|year=2001
|editor1-first=Marcus
|editor1-last=A.S.
|editor2-first=Pax
|editor2-last=Benedanto
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Kwee
|first=Tek Hoay
|authorlink=Kwee Tek Hoay
|chapter=BungaKorbannya Roos dari CikembangKong-Ek
|language=Indonesia
|pages=297–4251–108
|title=Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
|volume=26
|isbn=978-979-9023-4582-27
|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia
|location=Jakarta
|year=20012002
|editor1-first=Marcus
|editor1-last=A.S.
|editor2-first=Pax
|editor2-last=Benedanto
|ref=harv
}}
* {{citeCite book
|title=Sastera Indonesia-Tionghoa
|last=Kwee
|language=Indonesia
|first=Tek Hoay
|oclc=3094508
|authorlink=Kwee Tek Hoay
|ref=harv
|chapter=Korbannya Kong-Ek
|publisher=Gunung Agung
|language=Indonesia
|location=Jakarta
|pages=1–108
|author1=Nio
|title=Kesastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia
|first1=Joe Lan
|volume=6
|year=1962
|isbn=978-979-9023-82-7
|publisher=Kepustakaan Populer Gramedia
|location=Jakarta
|year=2002
|editor1-first=Marcus
|editor1-last=A.S.
|editor2-first=Pax
|editor2-last=Benedanto
|ref=harv
}}
* {{Citecite book
|last=Rieger
|title=Sastera Indonesia-Tionghoa
|first=Thomas
|language=Indonesia
|chapter=From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia's Peranakan-Chinese Literature
|oclc=3094508
|title=Identity in Asian Literature
|ref=harv
|pages=151–172
|publisher=Gunung Agung
|editor1-first=Lisbeth
|location=Jakarta
|editor1-last=Littrup
|author1=Nio
|year=1996
|first1=Joe Lan
|isbn=978-0-7007-0367-8
|year=1962
|location=Surrey
|publisher=Curzon Press
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=RiegerSidharta
|first=ThomasMyra
|chapter=Bunga-Bunga di Taman Mustika: Pandangan Kwee Tek Hoay Terhadap Wanita dan Soal-soal Kewanitaan
|chapter=From Huaqiao to Minzu: Constructing New Identities in Indonesia's Peranakan-Chinese Literature
|language=Indonesia
|title=Identity in Asian Literature
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|pages=151–172
|editor-last=Sidharta
|editor1-first=Lisbeth
|editor-first=Myra
|editor1-last=Littrup
|isbn=978-979-416-040-4
|year=1996
|year=1989
|isbn=978-0-7007-0367-8
|pages=55–82
|location=Surrey
|publisher=CurzonSinar PressHarapan
|location=Jakarta
|ref=harv
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=Sidharta
|first=Myra
|chapter=Bunga-Bunga di Taman Mustika: Pandangan Kwee Tek Hoay, Terhadap Wanita dan Soal-soalPengarang KewanitaanSerbabisa
|language=Indonesia
|pages=323–348
|title=100 Tahun Kwee Tek Hoay: Dari Penjaja Tekstil sampai ke Pendekar Pena
|title=Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia
|editor-last=Sidharta
|publisher=Grasindo
|editor-first=Myra
|location=Jakarta
|isbn=978-979-416-040-4
|year=19891996
|editor1-first=Leo
|pages=55–82
|editor1-last=Suryadinata
|publisher=Sinar Harapan
|editor1-link=Leo Suryadinata
|location=Jakarta
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=SidhartaSumardjo
|first=MyraJakob
|title=Kesusastraan Melayu Rendah
|chapter=Kwee Tek Hoay, Pengarang Serbabisa
|language=Indonesia
|publisher=Galang Press
|pages=323–348
|location=Yogyakarta
|title=Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia
|ref=harv
|publisher=Grasindo
|year=2004
|location=Jakarta
|isbn=978-979-3627-16-8
|year=1996
|editor1-first=Leo
|editor1-last=Suryadinata
|editor1-link=Leo Suryadinata
|ref=harv
}}
* {{cite book
|last=SumardjoSutedja-Liem
|first=JakobMaya
|chapter=De Roos uit Tjikembang
|title=Kesusastraan Melayu Rendah
|language=IndonesiaBelanda
|pages=269–342
|publisher=Galang Press
|title=De Njai: Moeder van Alle Volken: 'De Roos uit Tjikembang' en Andere Verhalen
|location=Yogyakarta
|trans_title=''Njai'': Ibu Semua Orang: 'De Roos uit Tjikembang' dan Cerita-Cerita Lainnya
|ref=harv
|publisher=KITLV
|year=2004
|location=Leiden
|isbn=978-979-3627-16-8
|year=2007
}}
|ref=harv
*{{cite book
|last=Sutedja-Liem
|first=Maya
|chapter=De Roos uit Tjikembang
|language=Belanda
|pages=269–342
|title=De Njai: Moeder van Alle Volken: 'De Roos uit Tjikembang' en Andere Verhalen
|trans_title=''Njai'': Ibu Semua Orang: 'De Roos uit Tjikembang' dan Cerita-Cerita Lainnya
|publisher=KITLV
|location=Leiden
|year=2007
|ref=harv
}}
{{refend}}
{{Authority control}}
 
[[Kategori:Lakon tahun 1919]]
[[Kategori:Lakon Indonesia]]
[[Kategori:Sastra Tionghoa Melayu]]
 
{{Link GA|en}}