Dyah Pitaloka Citraresmi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Membuat kembali artikel Dyah Pitaloka berdasarkan referensi yang lebih baik |
Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
||
(46 revisi perantara oleh 23 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
'''Dyah Pitaloka Citraresmi''' atau '''Citra Rashmi''' (
{{infobox royalty
|father = [[Linggabuana|Prabu Maharaja Linggabuana]]
|birth_date = 1340
|death_date = 1357
|death_place = Alun-Alun Bubat, [[Situs Trowulan|Wilwatikta Utara]], [[Kerajaan Majapahit]]
|mother = Dewi Lara Linsing
|place of burial = Astana Gede Kawali, [[Kawali]], [[Kerajaan Sunda Galuh]]
}}
== Lamaran
Hayam Wuruk, raja Majapahit,
Adapun pada sisi lain, menurut beberapa sumber lain yaitu Wim Van Zaten, seorang Antropologis dari Universitas Leiden Belanda dalam "The Poetry of Tembang Sunda" dan J Noorduyn dalam " Bujangga Manik's Journeys through Java : Topographical Data from An Old Sundanese Source" menyatakan saat itu Wilayah Jawa dipandang memiliki budaya dan lembaga pendidikan agama yang lebih tinggi oleh masyarakat Sunda, sehingga banyak masyarakat Sunda belajar ke Jawa dan mengadopsi beberapa aspek budaya jawa<ref name=":0">{{Cite web|date=2015-05-22|title=Perang Bubat dalam Memori Orang Sunda|url=https://historia.id/kuno/articles/perang-bubat-dalam-memori-orang-sunda-vJdVM|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2021-12-19|archive-date=2021-12-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20211219055953/https://historia.id/kuno/articles/perang-bubat-dalam-memori-orang-sunda-vJdVM|dead-url=yes}}</ref>. Dengan kondisi tersebut, sehingga menjadikan Putri Sunda ingin menikah dengan Raja Jawa sebagaimana di ungkapkan dalam [[Carita Parahyangan]] yakni ''"...Urang réya sangkan nu angkat ka Jawa, mumul nu lakian di Sunda..."'' yang terjemahannya adalah "... ''Awalnya mereka pergi ke Jawa, sebab putri tidak mau bersuami orang Sunda...".''
Pada tahun 1357 rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit setelah melayari Laut Jawa. Rombongan kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di bagian utara [[Trowulan]], Ibu Kota Majapahit. Mereka menantikan jemputan dari pihak Majapahit serta upacara kerajaan yang pantas bagi pernikahan agung ini. Akan tetapi [[Gajah Mada]], Mahapatih Majapahit, memandang kejadian ini sebagai kesempatan untuk menaklukan Sunda dibawah kemaharajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa sang putri tidak akan diangkat menjadi [[Ratu]] Majapahit, tetapi hanya menjadi selir sebagai persembahan untuk raja majapahit, sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit. Raja Sunda amat marah dan merasa dipermalukan oleh tuntutan Gajah mada ini.▼
Berbesar hati serta melihat perjodohan ini sebagai peluang untuk mengikat persekutuan dengan kerajaan Majapahit yang besar dan jaya, raja Sunda dengan suka cita memberikan restunya dan ikut pergi mengantarkan putrinya ke Majapahit untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk.
Akibat ketegangan ini terjadi pertempuran antara rombongan kerajaan Sunda melawan tentara Majapahit untuk ''bela pati'' membela kehormatan mereka di Lapangan Bubat. Meskipun memberikan perlawanan dengan gagah berani, rombongan kerajaan Sunda kewalahan dan akhirnya gugur dalam kepungan tentara Majapahit. Hampir seluruh rombongan Sunda dibunuh dengan kejam dalam tragedi ini.<ref>{{cite book | author= Drs. R. Soekmono,| title= ''Pengantar Sejarah Kebudayaan Indonesia 2'', 2nd ed. | publisher = Penerbit Kanisius | date= 1973, 5th reprint edition in 1988 | location =Yogyakarta| page =72 }} </ref> Tradisi dan kisah-kisah lokal menyebutkan bahwa dalam kesedihan dan hati yang remuk redam, Sang Putri melakukan [[bunuh diri]] untuk membela kehormatan dan harga diri negaranya.<ref>{{cite book | author= Y. Achadiati S, Soeroso M.P.,| title= ''Sejarah Peradaban Manusia: Zaman Majapahit''. | publisher = PT Gita Karya | date= 1988 | location =Jakarta| page =13 }} </ref> ▼
▲Pada tahun 1357 rombongan kerajaan Sunda tiba di Majapahit setelah melayari Laut Jawa. Rombongan kerajaan Sunda mendirikan pesanggrahan di Lapangan Bubat di bagian utara [[Trowulan]], Ibu Kota Majapahit. Mereka menantikan jemputan dari pihak Majapahit serta upacara kerajaan yang pantas
Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar "Prabu Wangi" ([[Bahasa Sunda]]: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian diberi gelar "[[Siliwangi]]" ([[Bahasa Sunda]]: Penerus Prabu Wangi). Tragedi ini sangat merusak hubungan antara kedua kerajaan ini yang berakibat permusuhan hingga bertahun-tahun kemudian. Hubungan kedua negara ini tidak pernah pulih kembali seperti sediakala.<ref name="end">{{cite book |last=Munoz|first=Paul Michel|title=Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula|publisher=Editions Didier Millet|date=2006|location=Singapore|url= |doi= |pages=279|isbn= 9814155675}}</ref> Sementara itu di kraton Majapahit, Gajah Mada menghadapi permusuhan dan ketidakpercayaan, karena tindakannya yang ceroboh bertentangan dengan kepentingan keluarga kerajaan Majapahit dan telah melukai perasaan Raja Hayam Wuruk.▼
Dari Pihak Kerajaan Majapahit memiliki dilema atas kedatangan calon permaisuri ini. Menurut catatan dari ''[[Pustaka Rajya Rajya i Bhumi Nusantara|Pustaka Rajyarajya]]'' yang berasal dari Cirebon & merupakan bagian dari [[Naskah Wangsakerta]] yang tersimpan di Museum Sejarah Sunda "Sri Baduga" di [[Bandung]]'','' Kakek Hayam Wuruk yaitu [[Raden Wijaya]] (penerus tahta kerajaan Sunda ke-26) adalah putra dari Rakyan Jayadarma yang menikah dengan [[Dyah Lembu Tal]]. Dimana Rakyan Jayadarma yang tewas diracun akibat perebutan kekuasaan, merupakan putra mahkota kerajaan Sunda dari Prabu Guru [[Darmasiksa]]. Sehingga Hayam Wuruk dianggap masih memiliki kekerabatan dekat dengan calon permaisuri. Hal ini menjadikan [[Gajah Mada]] menyampaikan kepada rombongan kerajaan Sunda bahwa perkawinan antara Hayam Wuruk dan Dyah Pitaloka tidak dapat dilaksanakan. Merasa dipermalukan, rombongan kerajaan Sunda pada akhirnya memilih berperang Majapahit demi menjaga kehormatan.
Sedangkan pada bagian lain, menurut seorang Arkeolog Indonesia bernama Agus Aris Munandar yang menafsirkan dari kisah ''Panji Angreni (1801)'' menyatakan bahwa ayahanda Hayam Wuruk yang bernama Krtawarddhana (suami dari Tribhuwanatunggadewi) berkeberatan dengan pernikahan tersebut, terlebih Hayam Wuruk telah dijodohkan dengan Indudewi, anak Rajadewi Maharajasa yang bekedudukan di Daha (Kediri). Sehingga Krtawarddhana memerintahkan Gajah Mada untuk membatalkan pernikahan tersebut<ref>{{Cite web|date=2015-05-22|title=Drama Bubat dan Panas-Dingin Hubungan Majapahit-Sunda|url=https://historia.id/kuno/articles/drama-bubat-dan-panas-dingin-hubungan-majapahit-sunda-DnE7B|website=Historia - Majalah Sejarah Populer Pertama di Indonesia|language=id-ID|access-date=2021-12-19|archive-date=2021-12-19|archive-url=https://web.archive.org/web/20211219041629/https://historia.id/kuno/articles/drama-bubat-dan-panas-dingin-hubungan-majapahit-sunda-DnE7B|dead-url=yes}}</ref>.
==Referensi==▼
{{reflist|2}}▼
Selain kedua hal tersebut diatas, sebuah informasi yang masih dipelajari sumbernya menyatakan bahwa Mahapatih Gajah Mada memandang peristiwa ini sebagai kesempatan untuk menaklukan Sunda dibawah kemaharajaan Majapahit, dan bersikeras bahwa Sang Putri dipersembahkan untuk Raja Majapahit, sebagai tanda takluk Kerajaan Sunda di bawah kekuasaan Majapahit{{Citation needed}}. Raja Sunda amat murka dan memilih melawan Majapahit demi menjaga kehormatan.
==Lihat Juga==▼
{{portal|Indonesia}}▼
*[[Kidung Sunda]]▼
*[[Pararaton]]▼
*[[Kerajaan Sunda]]▼
== Gugur ==
▲Akibat ketegangan ini terjadi pertempuran
▲Menurut tradisi, kematian Dyah Pitaloka diratapi oleh Hayam Wuruk serta segenap rakyat Kerajaan Sunda yang kehilangan sebagian besar keluarga kerajaannya. Oleh masyarakat Sunda kematian Sang Putri dan Raja Sunda dihormati dan dipandang sebagai suatu keberanian dan tindakan mulia untuk membela kehormatan bangsa dan negaranya. Ayah Sang Putri, Prabu Maharaja Lingga Buana disanjung dan dihormati oleh masyarakat Sunda dengan gelar "Prabu Wangi" ([[Bahasa Sunda]]: Raja yang memiliki nama yang harum) karena tindakan heroiknya membela kehormatan negaranya melawan Majapahit. Keturunannya, raja-raja Sunda yang kemudian, diberi gelar "[[Siliwangi]]" (
Kisah Putri Dyah Pitaloka dan Perang Bubat menjadi tema utama dalam [[Kidung Sunda]]. Catatan sejarah mengenai peristiwa Pasunda Bubat disebutkan dalam [[Pararaton]], akan tetapi sama sekali tidak disinggung dalam naskah [[Nagarakretagama]] yang merupakan sumber primer UNESCO The Memory of the World Register for Asia/Pasific dan memiliki informasi lebih kuat, karena [[Nagarakretagama]] ini ditulis tahun 1365 (periode kekuasaan Hayam Wuruk). Menurut beberapa sejarawan termasuk Aminuddin Kusdi menyebut bahwa [[Kidung Sunda]] digunakan sebagai sumber sejarah sekunder ataupun tersier, karena berbagai fakta sejarah didalamnya tidak sesuai dengan sumber-sumber lain yang lebih kredibel seperti Prasasti. Disamping melihat periode penulisan Kidung Sunda pada abad ke - 19 yang merupakan masa munculnya beberapa karya sastra kontroversial.<ref name=":0" />
▲{{portal|Indonesia}}
▲* [[Kidung Sunda]]
▲* [[Pararaton]]
▲* [[Kerajaan Sunda]]
▲== Referensi ==
▲{{reflist|2}}
[[Kategori:Tokoh Hindu Indonesia]]
[[Category:Orang Sunda]]▼
[[
|