Hermeneutika feminisme: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
k fix |
||
(16 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{Tone|date=Juli 2021}}
Hermeneutika Feminisme adalah metode penafsiran
<ref name="bitread">{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2019|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=3}}
▲Hermeneutika Feminisme adalah metode penafsiran Alquran berbasis feminis, didasarkan pada prinsip kesetaraan dan keadilan gender.
▲<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2019|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=3}} </ref> Cara kerja metode ini, menggunakan langkah–langkah metodologis dan prinsip-prinsip teori hermeneutika moderen.<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2019|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=3}} </ref> Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran merupakan suatu metode alternatif untuk penafsiran Alquran, terutama untuk menafsirkan ayat-ayat gender. Tokoh-tokoh feminis Islam telah membuktikannya dengan melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, yaitu tafsir yang berkeadilan gender.<ref>{{cite book|last1=Hidayatullah|first1=Aysha A.|date=2014|title=[[Feminist Edges of The Qur’an]]|edition=ke-1|isbn=978-0199359578|pages=301}} </ref>
Hermeneutika Feminisme bercorak moral dengan meletakkan kesetaraan dan keadilan gender sebagai sandaran utama moralitas Islam. Hermeneutika feminisme bersifat kritis, dekonstruktif dan emansipatoris. terhadap produk tafsir dan persepsi terkait perempuan.
<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2018|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=108}}</ref> Sikap kritis dan dekonstruktif melahirkan isu isu yang bersifat emansipatoris.
'''Sejarah Hermeneutika Feminisme'''
Hermeneutika Feminisme muncul pada akhir abad ke 20, ketika timbul gerakan pembaharuan Islam di seluruh dunia muslim. Di akhir abad 20 ini kesetaraan dan keadilan gender menjadi isu yang cukup ramai pula diperbincangkan. Ketika ide kesetaraan dan keadilan gender dibawa masuk ke dalam ilmu tafsir Alquran, budaya patriarki yang melekat pada ilmu tafsir klasik menghasilkan tafsir bias gender.
Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengintrodusir hermeneutika Alquran berbasis feminis dapat dikategorikan dalam dua generasi. Generasi pertama adalah, Amina Wadud dan Musdah Mulia. Generasi kedua adalah, Asma Barlas, Aysha A. Hidayatullah dan Kecia Ali. Generasi pertama telah berjasa memunculkan penafsiran Alquran berbasis feminis. Generasi ini bekerja sebagai “Trailblazers”, karena dalam menghasilkan karyanya mereka berada di bawah tekanan yang luar biasa, mengalami dominasi kaum laki-laki. Karya mereka bernuansa melawan sistem patriarki dengan keras dan banyak memuat pengalaman personal yang menunjukkan bahwa mereka tertindas. Generasi ini terfokus pada karyanya masing-masing, tidak ada saling kutip mengutip dan mendiskusikan tema-tema yang mereka bahas dan tidak ada saling mendukung pandangan yang dikemukakan.▼
<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2018|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=3}}</ref> Para intelektual feminis Islam menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran. Para intelektual feminis Islam melakukan studi Alquran dan menafsirkan ayat-ayat Alquran dari perspektif feminis. Kritik terhadap bias gender dalam pandangan tafsir klasik melahirkan metode Hermeneutika Feminisme bagi penafsiran Alquran.
▲Tokoh-tokoh feminis Islam yang mengintrodusir hermeneutika Alquran berbasis feminis
Generasi kedua muncul tahun 1990,
'''Tokoh Hermeneutika Feminisme'''
* [https://www.usfca.edu/faculty/aysha-hidayatullah Aysha A. Hidayatullah],karyanya ''[https://books.google.co.id/books/about/Feminist_Edges_of_the_Qur_an.html?id=b6v0AgAAQBAJ&redir_esc=y Feminist Edges of the Qur’an]'' (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir Alquran berbasis feminis. Aysha melakukan penyelidikan mendalam dan kritik radikal terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya. Aysha mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama. Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi. Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi. Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah. Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.▼
* [[Siti Musdah Mulia]] karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten. Dia bergerak dari ide ke aksi. Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir. Musdah telah lama menyadari bahwa perempuan terkurung dalam penjara teologis, karena bias gender dalam penafsiran Alquran. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh, Musdah melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, diantaranya menafsirkan ayat poligami dan menafsir ulang konsep nusyuz dalam ayat Alquran. Menurut Musdah, poligami menafikkan kemanusiaan perempuan. Penafsirannya terhadap konsep nusyuz adalah perintah Alquran hanya taat pada Allah SWT dan hormat pada suami. ▼
* [[:en:Asma_Barlas|Asma Barlas]] karyanya ''[[:en:"Believing_Women"_in_Islam|Believing woman in Islam: Unreading Patriarchal Interpretation of the Quran]] (2002). Tokoh yang berasal dari Pakistan dan menjadi perempuan pertama di Pakistan pada masa Ziaul Haq yang bekerja untuk pelayanan luar negeri ( foreign service ). Dalam melihat bagaimana Islam berbicara tentang perempuan, Barlas menggunakan dua argumen penting: argumentasi sejarah dan argumentasi hermeneutika. Yang dimaksud dengan argumentasi sejarah adalah pengungkapan karakter politik tekstual dan seksual yang berkembang di kalangan masyarakat Islam, terutama proses yang telah menghasilkan tafsir-tafsir di dalam Islam yang memiliki kecenderungan patriarkis. Sedangkan argumentasi hermeneutika dimaksudkan untuk menemukan apa yang ia sebut sebagai epistemologi egalitarianisme dan antipatriarchi dalam Alquran. Barlas menjelaskan karakter teks Alquran yang polisemik dan membuka pelbagai kemungkinan pemaknaan, sebagai kritik terhadap pola penafsiran yang reduksionis dalam kerangka patriarkis. Asma Barlas memunculkan epistemologi baru dengan menerapkan prinsip-prinsip hermeneutika berbasis feminis dalam penafsiran ayat-ayat Alquran. ''▼
* [[:en:Kecia_Ali|Kecia Ali]], karyanya ''[https://www.researchgate.net/publication/250014929_Sexual_Ethics_Islam_Feminist_Reflections_on_Quran_Hadith_and_Jurisprudence_by_Kecia_Ali_2005_Oxford_Oneworld_Publications_xxviii_217_pp Sexsual Etics & Islam: Feminist Reflectionson Qur’an, Hadith and Yurisprudence]'' (2012). Profesor Departemen Agama di Boston University ini telah menulis berbagai buku tentang gender dalam Islam yang fokusnya pada hukum Islam tentang perempuan. Kecia Ali membahas kekerasan seksual terhadap perempuan dan memperlihatkan adanya tabrakan antara moral dan hukum. Dia berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan merendahkan perempuan, maka itu perlu refleksi feminis atas Alquran dan Hadis. Kecia Ali melakukan refleksi feminis terhadap Alquran dan hadis serta hukum Islam,terutama mengenai pernikahan dan seksual serta masalah perbudakan dalam Islam. Dalam masalah perkawinan Kecia Ali membahas soal mahar, talak dan misoginis terhadap perempuan. Menurut Kecia Ali, pendekatan progresif terhadap teks Alquran tidak dapat terbatas pada presentasi selektif ayat ayat egaliter dalam isolasi dari konteks kitab suci yang luas. Pendekatan seperti ini akan sia-sia, karena argumen kesetaraan gender dibangun dengan menafsirkan ayat-ayat yang selektif. Disinilah metode yurisprudensi dapat ditawarkan. Karena para ahli hukum akan terkait dengan sumber teks dengan konteks sosial. Hukum yang dibangun memiliki sasaran tindakan penafsiran. Menurut Kecia Ali, pemahaman terhadap teks Alquran harus berubah setiap waktu sesuai perubahan sosial.▼
* [http://www.hermeneutikafeminisme.com/2016/01/24/promosi-doktor-bidang-filsafat-mardety/ Mardety], Karyanya ''[https://www.kompasiana.com/ahmadsahidin12/5d1461ec097f360fab0d25e2/ulasan-buku-hermeneutika-feminisme-reformasi-gender-dalam-islam HERMENEUTIKA FEMINISME REFORMASI GENDER DALAM ISLAM] (2018). Hermeneutika Feminisme yang ditawarkan Mardety merupakan hermeneutika Alquran. Tokoh-tokoh Islam kontemporer, seperti Hasan Hanafi, Fazlur Rahman, Muhammad Arkoun telah lebih dulu mengintrodusir hermeneutika Alquran, dan menawarkan berbagai hermeneutika yang berpihak kepada keadilan sosial, tapi belum ada metode hermeneutika yang berpihak kepada keadilan gender. Kemudian, muncul hermeneutika Alquran berbasis feminis dan berpihak kepada keadilan gender. Hermeneutika Feminisme disusun dengan memformulasikan pemikiran para tokoh feminis Islam yang melakukan kajian tentang hermeneutika Alquran berbasis feminis. Hermeneutika Feminisme merupakan hasil penelitian disertasi yang telah diuji dan sesuai dengan kaidah ilmiah. Berangkat dari bias gender dalam penafsiran Alquran yang membuat perempuan menjadi tawanan teologis, maka untuk membebaskan perempuan perlu reinterpretasi ayat-ayat Alquran. Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh masalah metodologis, untuk itu ditawarkan Hermeneutika Feminisme bagi Alquran.''▼
Aysha A. Hidayatullah tokoh feminis Islam yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir melalui karyanya Feminist Edges of the Qur’an (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir Alquran berbasis feminis. Aysha melakukan penyelidikan mendalam dan kritik radikal terhadap metode-metode penafsiran Alquran berbasis feminis dan pendekatannya. Aysha mengemukakan tiga metode penafsiran Alquran berbasis feminis <ref name="ReferenceA">{{cite book|last1=Hidayatullah|first1=Aysha A.|date=2014|title=[[Feminist Edges of The Qur’an]]|edition=ke-1|isbn=978-0199359578|pages=501}}</ref> yaitu: metode kontekstualisasi sejarah, intratekstualitas dan paradigma tauhid. Metode kontekstualisasi sejarah yaitu menafsirkan Alquran dengan memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul).<ref name="ReferenceA"/> Dengan metode ini dibedakan ayat-ayat partikular dan universal. Ayat-ayat partikular diterapkan untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal untuk semua manusia. Metode kontekstual historis meletakkan peran sejarah dalam melahirkan bias gender dan esensialisme biologis dalam tafsir klasik. Metode pembacaan intratekstual memperlakukan Alquran secara holistik, yaitu melacak bagaimana bentuk-bentuk linguistik yang digunakan di seluruh teks Alquran dan membandingkan ayat yang satu dengan lainnya dalam tema yang sama.<ref name="ReferenceA"/> Cara membaca Alquran dengan metode intratekstual, yaitu tidak membaca ayat-ayat tersebut satu persatu, tapi membaca ayat dalam tema yang sama secara keseluruhan dengan mengacu kepada prinsip Alquran yaitu keadilan untuk semua manusia. Paradigma tauhid berkaitan dengan konsep utama Islam, yaitu tauhid. Paradigma tauhid berarti keesaan Allah dan Allah tidak dapat dibagi dan dibandingkan. Dalam paradigma tauhid paham yang membedakan gender (seksisme) dapat dianggap pemberhalaan, karena semua manusia adalah khalifah di bumi.<ref name="ReferenceA"/> Bila perempuan dikatakan kapasitasnya tidak sempurna, maka hal ini jelas merupakan suatu kekeliruan memahami maksud Tuhan tentang manusia sebagai khalifah di bumi.<ref name="ReferenceA"/> Bila perempuan dipandang tidak sempurna, maka perempuan tidak bisa memenuhi perannya sebagai wali Allah.<ref name="ReferenceA"/> Dengan demikian paradigma tauhid merupakan dasar dari kesetaraan dan keadilan gender.
'''Model Hermenutika Feminisme'''▼
Tokoh feminis Islam dari Indonesia yang mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir adalah Musdah Mulia melalui karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten.<ref name="PT. Elex Media Komputindo">{{cite book|last1=Mulia|first1=Musdah|date=2014|title=[[Kemuliaan Perempuan dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[PT. Elex Media Komputindo]] |location=Jakarta.|isbn=978-602-02-5326-8}}</ref> Di Indonesia, mengusung soal gender dalam kehidupan keberagamaan, tantangannya berat dan sensitivitasnya tinggi. Musdah menggugat bias gender dalam penafsiran Alquran dan membawa masuk ide kesetaraan dan keadilan gender dalam tafsir.<ref name="PT. Elex Media Komputindo"/> Musdah telah lama menyadari bahwa perempuan terkurung dalam penjara teologis, karena bias gender dalam penafsiran Alquran. Berangkat dari keyakinan bahwa manusia laki-laki dan perempuan adalah sama-sama khalifah fil ardh,<ref name="PT. Elex Media Komputindo"/> Musdah melakukan penafsiran Alquran berbasis feminis dan memproduk tafsir feminis, diantaranya menafsirkan ayat poligami dan menafsir ulang konsep nusyuz dalam ayat Alquran. Menurut Musdah, poligami menafikkan kemanusiaan perempuan.<ref name="PT. Elex Media Komputindo"/> Penafsirannya terhadap konsep nusyuz adalah perintah Alquran hanya taat pada Allah SWT dan hormat pada suami.<ref name="PT. Elex Media Komputindo"/>
Kecia Ali, Profesor Departemen Agama di Boston University telah menulis berbagai buku tentang gender dalam Islam yang fokusnya pada hukum Islam tentang perempuan. Melalui karyanya Sexsual Etics & Islam: Feminist Reflectionson Qur’an, Hadith and Yurisprudence (2012), Kecia Ali membahas kekerasan seksual terhadap perempuan dan memperlihatkan adanya tabrakan antara moral dan hukum.<ref name="Oneworld Publications">{{cite book|last1=Ali|first1=Kecia|date=2006|title=[[Sexual Ethics And Islam: Feminist Reflections on Qur'an, Hadith, and Jurisprudence]]|edition=ke-1|publisher= [[Oneworld Publications]]|location=Boston.|isbn=978-1851684564|}}</ref> Dia berpandangan bahwa ayat-ayat Alquran ditafsirkan dengan merendahkan perempuan, maka itu perlu refleksi feminis atas Alquran dan Hadis.<ref name="Oneworld Publications"/> Kecia Ali melakukan refleksi feminis terhadap Alquran dan hadis serta hukum Islam,terutama mengenai pernikahan dan seksual serta masalah perbudakan dalam Islam. Dalam masalah perkawinan Kecia Ali membahas soal mahar, talak dan misoginis terhadap perempuan. Menurut Kecia Ali, pendekatan progresif terhadap teks Alquran tidak dapat terbatas pada presentasi selektif ayat ayat egaliter dalam isolasi dari konteks kitab suci yang luas.<ref name="Oneworld Publications"/> Pendekatan seperti ini akan sia-sia, karena argumen kesetaraan gender dibangun dengan menafsirkan ayat-ayat yang selektif.<ref name="Oneworld Publications"/> Dia menawarkan metode yurisprudensi, karena para ahli hukum akan terkait dengan sumber teks dengan konteks sosial. Hukum yang dibangun memiliki sasaran tindakan penafsiran. Menurut Kecia Ali, pemahaman terhadap teks Alquran harus berubah setiap waktu sesuai perubahan sosial.<ref name="Oneworld Publications"/>
Pertama, didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan. Pengalaman/pandangan perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila Alquran ditafsirkan berdasarkan pengalaman laki-laki, maka persepsi laki-lakilah yang mempengaruhi posisi tafsir tentang perempuan.▼
* [[Amina Wadud|Aminah Wadud]] karyanya [https://www.kobo.com/us/en/ebook/qur-an-and-woman-rereading-the-sacred-text-from-a-woman-s-perspective ''Qur’an and Women, Rereading the Sacred Text from a Woman’s Perspective'' dan ''Inside The Gender Jihad, Woman’s Reform in Islam.''] ''Tokoh feminis Islam dan pejuang gender dari Amerika Serikat ini mengembangkan pemikirannya mengenai metodologi tafsir Alquran, dia merujuk pemikiran Islam kontemporer, seperti Fazlur Rahman. Wadud membongkar bias gender yang mewarnai tradisi tafsir Alquran selama ini. Dia membedah ayat-ayat dan kata kunci tertentu dalam Alquran yang membatasi peran perempuan baik secara individu maupun sosial. Ketika menemukan beberapa aspek kesetaraan dan keadilan gender dalam Alquran, Wadud melakukan reinterpretasi ayat-ayat gender dalam Alquran dari perspektif perempuan tanpa steriotype yang dibuat oleh kerangka interpretasi laki-laki. Wadud menggagas hermeneutika berbasis feminis yaitu metode penafsiran Alquran yang mengacu kepada ide kesetaraan dan keadilan gender dan menolak sistem patriarki.'' ''Wadud mengkritik tafsir klasik, baik metode, perspektif maupun isinya. Lalu menawarkan penafsiran Alquran yang bercorak holistik yaitu mempertimbangkan semua metode tafsir tentang berbagai persoalan kehidupan sosial, politik, budaya, moral dan agama dan perempuan serta memecahkan masalah secara komprehensif. Wadud memperlihatkan kaitan teoritis dan metodologis antara penafsiran Alquran dengan hal-hal yang memunculkannya (siapa dan bagaimana). Beberapa fokus yang menjadi konsentrasinya, yaitu apa yang dikatakan Alquran, bagaimana Alquran mengatakannya, apa yang dikatakan terhadap Alquran dan siapa yang mengatakan. Ditambah lagi dengan pengertian sekarang, yaitu apa yang belum dikatakan. Dengan hermeneutika berbasis feminis Wadud menafsir ulang ayat-ayat gender dalam Alquran dan menghasilkan tafsir yang berkeadilan gender.'' ''Tafsir berkeadilan gender tidak hanya dalam teks, tapi dipraktekkan dalam kehidupan sosial. Gebrakan Amina Wadud yang sangat terkenal adalah ketika Wadud menjadi imam dan khotib shalat Jumaat pada tanggal 18 Maret 2005 di sebuah gereja Anglikan, di Synod House, Manhattan, New York. Shalat Jumat ini dikuti lebih kurang seratus jamaah laki-laki dan perempuan. Dalam pandangan Wadud kepemimpinan dalam ibadah telah dijadikan sandaran bagi kepemimpinan di bidang politik, maka sandaran itu harus didobrak. ''
Kedua, berbingkai teori feminisme. Teori-teori feminisme yang berintikan ide kesetaraan dan keadilan gender menjadi bingkai untuk membangun hermeneutika feminisme. Bila hermeneutika kritis berbingkai teori kritis, maka Hermeneutika Feminisme berbingkai teori feminisme.▼
▲* [https://www.usfca.edu/faculty/aysha-hidayatullah Aysha A. Hidayatullah],karyanya ''[https://books.google.co.id/books/about/Feminist_Edges_of_the_Qur_an.html?id=b6v0AgAAQBAJ&redir_esc=y Feminist Edges of the Qur’an]'' (2014). Asisten Profesor Universitas San Fransisco ini menyajikan analisis komprehensif dari tafsir feminis kontemporer terhadap Alquran. Dia memadukan penafsiran Alquran berbasis feminis dari tokoh-tokoh feminis dan memberikan pengantar penting untuk bidang ilmu tafsir
▲* [[Siti Musdah Mulia]] karyanya Muslimah Sejati dan indahnya Islam menyuarakan Kesetaraan dan Keadilan Gender (2014). Profesor UIN Syarif Hidayatulah Jakarta ini dikenal sebagai pejuang kesetaran dan keadilan gender yang gigih dan konsisten.
▲* [[:en:
▲* [[:en:
▲* [http://www.hermeneutikafeminisme.com
Ketiga menggunakan metode kontekstualisasi sejarah. Metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya ayat atau wahyu (asbab al-nuzul). Metode ini bertujuan untuk membedakan ayat-ayat partikular, yaitu ayat-ayat untuk mendefinisikan situasi dan kondisi masyarakat Arab Abad ke 7 dan ayat universal yaitu ayat-ayat untuk semua manusia.▼
Bias gender dalam penafsiran Alquran disebabkan oleh masalah metodologis.<ref name="Oxford University Press">{{cite book|last1=WAdud|first1=Amina|date= june 10, 1999|title=[[Qur'an and Woman: Rereading the Sacred Text from a Woman's Perspective Paperback]]|edition=Reprint edition|publisher=[[Oxford University Press]]|location=Inggris.|isbn=978-0195128369}}</ref> Metode tafsir klasik mengandung ketimpangan makna dan menggambarkan relasi gender yang tidak adil.<ref name="Oxford University Press"/> Disinilah Hermeneutika Feminisme sebagai salah satu alternatif metode penafsiran Alquran dapat ditawarkan.<ref name="Oxford University Press"/>
Keempat, menggunakan metode intratekstualitas. Penerapan metode intratekstualitas,dimaksudkan untuk mengembangkan sebuah kerangka berdasarkan pemikiran sistematis untuk mengkorelasikan beberapa ayat yang membicarakan tema yang sama agar tampak pertalian yang sesuai dengan ayat-ayat Alquran, daripada menerapkan makna sekaligus terhadap satu ayat.▼
Hermeneutika Feminisme disusun dengan memformulasikan pemikiran para tokoh feminis Islam mengenai metodologi tafsir Alquran.<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2018|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=8}}</ref> Formulasi model Hermeneutika Feminisme dapat dijelaskan dalam 5 skema yaitu :<ref>{{cite book|last1=Mardinsyah|first1=Mardety|date=2018|title=[[Hermeneutika Feminisme Reformasi Gender dalam Islam]]|edition=ke-1|publisher=[[bitread]]|location=Jakarta.|isbn=978-602-0721-72-9|pages=94-106}}</ref>
Kelima, paradigma tauhid. Untuk memperoleh penafsiran yang adil terhadap perempuan, kita harus kembali kepada inti ajaran Alquran yaitu tauhid sebagai kerangka paradigma penafsiran Alquran. Konsep tauhid mengakui keesaan Allah, keunikan-Nya dan tidak terbagi (indivisibility) Tauhid merupakan metode kunci dalam hermeneutika feminisme bagi penafsiran Alquran dan merupakan doktrin mengenai keesaan Tuhan yang tidak terbandingkan. Dengan paradigma tauhid akan terlihat secara jelas, perbedaan Alquran dengan penafsirannya. ▼
▲Pertama, didasarkan pada pengalaman/pandangan perempuan. Pengalaman/pandangan perempuan dalam penafsiran Alquran merupakan satu hal penting. Bila
▲Kedua, berbingkai teori feminisme.
▲Ketiga menggunakan metode kontekstualisasi sejarah. Metode kontekstualisasi historis, yaitu memperhatikan konteks waktu dan latar belakang turunnya
▲Keempat, menggunakan metode intratekstualitas. Penerapan
▲Kelima, paradigma tauhid.
== Referensi ==
{{Reflist}}
'''Lihat Pula'''
Baris 51 ⟶ 59:
* [[Feminisme]]
* [[Hermeneutika]]
{{Authority control}}
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:Ilmu]]
|