Historiografi tradisional: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Arcuscloud (bicara | kontrib) ←Membuat halaman berisi 'Penulisan sejarah tradisional adalah penulisan sejarah yang dimulai dari zaman Hindu sampai masuk dan berkembangnya Islam di Indonesia.<ref name=":0">{{Cite jo...' |
k fix |
||
(8 revisi perantara oleh 6 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
== Zaman Hindu-Buddha ==
Tradisi tulis pada masa Hindu-Buddha berkembang dengan pesat sehingga tecipta 1000 buah naskah di seluruh nusantara. Berdasarkan isinya, bentuk-bentuk kesustraan pada masa Hindu-Buddha tersebut terdiri atas ''tutur'', (kitab keagamaan), ''castra'' (kitab hukum), ''wiracarita'' (cerita kepahlawanan), dan kitab-kitab cerita yang berisi ajaran [[keagamaan]], [[sejarah]] dan [[moral]]. Sampai dengan zaman [[Majapahit]] bahasa yang dipakai dalam naskah sejarah adalah [[bahasa Jawa kuno]]. Sesudah dalam naskah sejarah adalah bahasa Jawa tengahan. Berdasarkan bentuknya naskah sejarah zaman Hindu-Buddha terdiri atas ''gancaran'' (prosa), dan ''tembang'' (puisi). Tembang pada masa Jawa kuno disebut ''kakawin'' dan tembang pada masa Jawa tengahan disebut ''kidung''.<ref name=":1" />
Setelah bangsa Indonesia mengenal [[Aksara Pallawa|huruf Pallawa]] dan [[bahasa Sanskerta]] pertumbuhan dan perkembangan bahasa tulisan serta seni sastra berlangsung dengan cepat. Dengan dikenalnya aksara Pallawa atau sering juga disebut dengan huruf [[Pascapallawa]] nenek moyang bangsa Indonesia mampu mendokumentasikan pengalaman dalam kehidupannya.<ref name=":1" />
Terbitnya prasasti-prasasti dari kerajaan-kerajaan kuno, penggubahan karya sastra dengan berbagai judul, serta dokumentasi tertulis lainnya adalah berkat dikenalnya aksara Pallawa. Bahkan aksara Pallawa itu kemudian diubah oleh berbagai etnis Indonesia menjadi aksara Jawa kuno, Bali kuno, Sunda kuno, Lampung, Batak, dan Bugis Walaupun bahasa Sansekerta dan huruf Pallawa berpengaruh terhadap perkembangan [[bahasa]], [[tulisan]], dan [[seni sastra]] di Indonesia ,namun bahasa Sansekerta tidak pernah digunakan sebagai bahasa komunikasi antar kelompok masyarakat di Indonesia karena bahasa Sansekerta hanya digunakan para [[Brahmana]] dalam upacara keagamaan atau di lingkungan istana. Oleh karena itu, sebagai sarana komunikasi digunakan bahasa Melayu untuk berkomunikasi antar kelompok masyarakat di Indonesia. penggunaan bahasa Melayu sebagai bahasa komunikasi antar kelompok masyarakat di Indonesia diperkirakan dimulai sejak zaman [[kerajaan Sriwijaya]] pada [[abad ke-7]].<ref name=":1" />
Selain pada batu prasasti, media yang digunakan untuk menulis adalah [[daun lontar]] (''kropak''), [[lempengan perunggu]], [[lempengan emas]], [[lempengan perak]], [[nipah]], [[bambu]],
Pada masa kerajaan Kediri terjadi perkembangan di bidang penulisan sejarah. Pada masa itu, telah dihasilkan karya sastra dengan judul ''Arjuna Wiwaha'' yang ditulis oleh '''Empu Kanwa''' pada tahun [[1035]]. Kitab ''Arjuna'' Wihaha berisi kisah kehidupan [[Raja Airlangga]] yang dianggap sebagai tokoh Arjuna. Pada masa pemerintahan Jayabaya, Jayabaya pernah memerintahkan kepada '''Empu Sedah''' untuk mengubah ''kitab Bharatayudha'' ke dalam bahasa Jawa kuno. Karena tidak mampu menyelesaikannya maka penulisan ''kitab Bharatayudha'' tersebut dilanjutkan oleh '''Empu Panuluh'''. Dalam kitab tersebut Jayabaya disebut beberapa kali sebagai sanjungan kepada raja. ''Kitab Bharatayuda'' bertuliskan tahun ''candrasangkala'' yang berbunyi ''sangakuda suddha candrama'' atau tahun [[1079]] Saka (tahun 1157).<ref name=":1" />
Pada masa kerajaan Majapahit, di hasilkan karya sejarah ''kitab Negarakertagama'' karangan '''Empu Prapanca''' pada tahun 1365 isi ''kitab Negarakertagama'' adalah
1)
2)
3)
4)
== Zaman Islam ==
Pada masa Islam, tradisi penulisan sejarah terus berlanjut. Tema-temanya sebagian ada yang disesuaikan dengan kebudayaan Islam, dan sebagian lainnya merupakan hasil ciptaan yang baru. Namun isinya menunjukan tradisi tulis yang menjadi dasar dimulainya tradisi sejarah. Tradisi tulis tersebut terkait dengan kebudayaan Hindu-Buddha, Islam atau sintesis dari kebudayaan tersebut. Hasil-hasil kesustraan Islam yang berkembang di daerah Jawa, sebagian besar merupakan perkembangan dari kesutraan zaman Hindu-Buddha yang disesuaikan dengan budaya Islam. Adapun jenis-jenis penulisan sejarah zaman Islam meliputi ''hikayat'' dan ''babad''.<ref name=":1" />
=== Hikayat ===
Hikayat merupakan bentuk karya sastra yang isinya berupa cerita atau dongeng yang
Beberapa contoh hikayat antara lain; ''Hikayat Aceh'', ''Hikayat Raja-Raja Pasai'', dan ''Sejarah Raja-Raja Riau''.<ref name=":1" />▼
▲Beberapa contoh hikayat antara lain; ''Hikayat Aceh'', ''Hikayat Raja-Raja Pasai'', dan ''Sejarah Raja-Raja Riau''.
=== Babad ===
Babad adalah cerita klasik yang menceritakan asal usul daerah, kerajaan dan cerita-cerita mengenai hal yang terjadi pada daerah atau kerajaan tersebut.<ref>{{Cite journal|last=Qur'ani|first=Hidayah Budi|date=2018-12-30|title=NILAI-NILAI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BABAD TANAH JAWA|url=http://ojs.badanbahasa.kemdikbud.go.id/jurnal/index.php/jentera/article/view/918|journal=JENTERA: Jurnal Kajian Sastra|volume=7|issue=2|pages=182|doi=10.26499/jentera.v7i2.918|issn=2579-8138}}</ref>
Beberapa contoh babad antara lain adalah:
a.
b.
c.
d.
e.
Selain kedua bentuk karya sastra tersebut masih terdapat beberapa jenis karya sejarah pada masa Islam yang tidak dapat digolongkan ke dalam jenis babad dan hikayat. Karya sejarah tersebut mengisahkan riwayat nabi atau para dewa. Misalnya ''Kitab Manikmaya'' yang menceritakan penciptaan alam semesta oleh Tuhan. kisah nabi Adam. nabi Ibrahim. dan nabi Ismail. Selain itu terdapat karya [[sastra]] berisi ajaran moral dan tuntunan hidup sesuai dengan agama dan adat. Misalnya ''Bustanussalatin'' (Taman Raja-Raja) dan ''Tajussalatin'' (Mahkota Semua Raja-Raja). ''Kitab Tajussalatin'' ditulis oleh '''Bukhari al Jauhari''' pada tahun 1630 di Aceh. ''Tajussalatin'' ditulis oleh Nuruddin Ar-Raniri atas perintah Sultan Iskandar II dari Aceh pada tahun 1638. ''Bustanussalatin'' mengisahkan riwayat para nabi sejak nabi Adam sampai nabi Muhammad, riwayat nabi Muhammad dan Khulafaur Rasyidin, sejarah bangsa Arab, [[Kekhalifahan Umayyah|masa dinasti Umayyah]] dan [[Abbasiyah]], sejarah raja-raja di Malaka dan Pahang serta raja-raja Aceh.
== Ciri-ciri Historiografi Tradisional ==
Baris 53 ⟶ 51:
=== Bersifat Istana-sentris ===
Istana sentris artinya kisah sejarah tradisional hanya berisi kehidupan raja atau keluarga kerajaan yang berdiam di istana tersebut.<ref name=":1" />
=== Bersifat Religio-magis ===
Religiomagis artinya kisah sejarah tradisional selalu dihubungkan dengan kepercayaan mengenai hal-hal yang bersifat [[gaib]]. [[Raja]] atau pemimpin kadang-kadang juga digambarkan sebagai seorang yang sakti dan memiliki hubungan dengan makhluk-makhluk gaib atau dewa-dewa setempat yang menguasai kekuatan alam gaib.<ref name=":1" />
=== Bersifat Regio-sentris ===
Bersifat region-sentris berarti banyak dipengaruhi daerah misalnya oleh-oleh cerita gaib atau cerita-cerita dewa di daerah sekitar.<ref name=":1" />
=== Bersifat Feodalistis-aristokratis ===
Bersifat feodalistis aristokratis, artinya yang dibicarakan hanyalah kehidupan kaum bangsawan feodal tidak ada sifat kerakyatannya. historiografi tersebut tidak memuat riwayat kehidupan rakyat tidak membicarakan segi segi rakyat.
=== Memperkuat Legitimasi Penguasa ===
Di dalam kisah historiografi tradisional, para pujangga istana menyusun silsilah yang menghubungkan raja dengan dinasti-dinasti sebelumnya atau dengan para nabi dan dewa. Misalnya dalam ''hikayat Melayu,'' raja-raja Melayu selalu dikaitkan dengan Raja Iskandar Zulkarnain yang turun di bukit Siguntang. Tujuan pemberian silsilah tersebut ialah untuk memperkuat legitimasi kekuasaan raja sebagai keturunan dari raja-raja terdahulu. Namun isi tulisan tersebut tidak didukung oleh fakta sejarah.<ref name=":1" />
Upaya penciptaan legitimasi ini terutama bertujuan agar aja tetap dihormati, dipatuhi, disegani dan dijunjung tinggi. Itulah sebabnya maka historiografi tradisional cenderung banyak mitosnya. Misalnya raja dianggap sangat sakti karena raja dianggap penjelmaan atau titisan dewa dan apa yang dikatakan raja serba benar, sehingga ada ungkapan ''Sabda pandhita ratu datan kena wowali'' apa yang diucapkan raja tidak boleh berubah sebab raja adalah segalanya.<ref name=":1" />
Dalam konsep kepercayaan Hindu bahwa raja adalah titisan dewa sehingga segala ucapan dan tindakannya adalah benar. Kepercayaan semacam ini juga terus berlanjut selama zaman madya (Islam). Misalnya, adanya ungkapan ''wewenang murbawisesa'' juga mengandung suatu pengertian bahwa raja ada adalah mandataris Tuhan karena diberi wewenang menjalankan kekuasaan atas nama Tuhan. Karena menerima (menjalankan) kekuasaan dari atau atas nama Tuhan maka kekuasaannya bersifat suci dan tidak boleh diganggu gugat (absolut).
== Referensi ==
<references />
[[Kategori:Historiografi| ]]
|