Kasipalli: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Han4299 (bicara | kontrib)
k Han4299 memindahkan halaman Ungkapan Kasipalli ke Kasipalli
k fix
 
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
×{{tanpa rujukan}}
'''Kasipalli''' ‘pemali({{lang-mak|ᨀᨔᨗᨄᨒᨗ|kasipalli}}, {{IPA-mak|ka.si.ˈpal.li}}) pemali atau tabu’'''tabu, merupakan ungkapan dalam bahasa Makassar yang dipengaruhi dari salah satu kepercayaan kepada kekuatan gaib  yang terkandung dalam kata-kata. Berdasarkan pendapat Malkies  (99:568), ''tabo or tabu for bidden or disapproved of, placed under basocial prohibition or ban.'' Malkies mengemukakan bahwa tabu berasal dari rumpun bahasa polinesia (Tongan). Pemali atau tabu berasal dari kata taboo yang berarti larangan atau tidak disetujui yang berada di bawah larangan sosial.
 
Harimurti Kridalaksana (993:207) menyatakan bahwa tabu adalah (1) yang larang baik karena kekuatan yang membahayakan (tabu positif) maupun karena kekuatan yang mencemarkan atau merusak kekuatan hidup seseorang (tabu negatif) sehingga ungkapan tabu dihindari dengan mempergunakan eufimisme, (2) larangan memakai kata-kata tertentu, karena takut atau demi sopan santun, misalnya orang tidak menyebut orang mati di depan keluarga byang belasungkawa. Moelliono (988:662) menyatakan bahwa pemali  adalah pantangan; larangan (berdasarkan adat dan kebiasaan). Hal yang sama diungkapkan oleh Aburaerah Arief (1995:  188) bahwa tabu adalah pantangan; pemali; terlarang; misalnya dalam kalimat.
 
''(1) Kasipalli taua ammempo ri pakkebuka punna sakramo alloa''
Baris 10:
(Pemali duduk di pintu bila mulai malam)
 
Berdasarkan pendapat di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa kasipalli  ‘pemali’ dalam bahasa Makassar dapat pula dinyatakan dengan kata takkuleai ‘tidak boleh’ yang menyatakan tidak boleh sama sekali disentuh, diucapkan, ataupun dikerjakan.
 
''(2) Kasipalli taua akkui gassingi akkiok tau alusuk''
Baris 18:
(Pemali orang bersiaul memanggil makhluk halus)
 
           Kata akkiok tau alusuk ‘memanggil orang halus’ merupakan salah satu pengaruh dari kepercayaan kepada makhluk gaib yang terkandung di dalamnya. Ungkapan kasipalli di atas sebenarnya dilarang bersiul, tetapi kalimat ini diasosiasikan dengan memanggil makhluk halus, malainkan akkui ‘bersiul’ tanpa diiringi dengan lagu atau irama dapat menimbulkan ketersinggungan.
 
== Faktor- faktor Timbulnya Penggunaan Kasipalli ==
Dalam bahasa Makassar maupun bahasa-bahasa lainnya penggunaan kasipalli ‘pemali’ biasanya dihubungkan dengan penggunaan kata-kata tertentu untuk menghindari bentuk-bentuk larangan atau tabu yang terasa kasar atau dapat menyinggung perasaan orang. Pemali muncul dengan adanya konsep kata yang bermakna menyinggung perasaan orang atau lawan bicara yang tik dapat diterima secara social  atau tidak menyenangkan.
 
     Pada saat tertentu dalam kehidupan sehari-hari hendaknya kita berhati-hati dalam mengucapkan suatu kata, jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Mangemba mengartikan pemali yang dikutip oleh Tahir (1996: 3) mengatakan bahwa kasipalli sautu larangan atau pantangan yang berhubungan dengan kepercayaan orang-orang tua kita dahulu dengan apa yang disebut dewata. Di samping itu, juga diartikan sebagai   suatu larangan atau pantangan untuk berbuat bsesuatu atau mengatakan sesuatu. Walaupun di antara  mereka beragama Islam  namun kepercayaan lama yang berhubungan dengan kata-kata tabu tetap mereka pertahankan.
 
Bila diperhatikan dengan teliti pola hidup masyarakat yang masih diwarnai dengan aturan-aturan yang bersifat larangan, maka kita tidak dapat melepaskan diri dari beberapa faktor yang sangat berpengaruh, seperti faktor lingkungan, faktor psikoligis, dan faktor sosial (Pateda, 1986 : 72).
Baris 31:
# Faktor Lingkungan
 
           Lingkungan merupakan salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap timbulnya penggunaan ''kasipalli'' “pemali”.
 
           Kridalaksana (1993:128) mengemukakan bahwa lingkungan ''(enviromment)'' merupakan situasi sosial atau budaya tempat berlangsungnya penggunaan suatu bahasa tertentu. Hal yang sama dikemukakan oleh Padeta (1985:75) bahwa bahasa yang digunakan pada lingkungan masyarakat belum tentu akan sama maknanya dengan pemakaian bahasa pada lingkungan masyarakat lain.
 
           Berdasarkan pendapat diatas bila kita melihat kenyataan dalam pemakaian bahasa, baik itu dalam bahasa Indonesia maupun bahasa daerah terdapat sejumlah kata yang sama bentuknya. Namun, setiap kata tersebut memiliki makna yang berbeda pada setiap lingkungan masyarakat pemakainnya. Dalam masyarakat Makassar terdapat ungkapan ''kasipalli'' baik dalam bidang agama, bidang pertanian, bidang perekonomian, bidang kelautan, maupun bidang kegutanan.
 
           Salah satu hal yang menjelaskan makna ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ yang berlangsung dari situasi sosial dalam lingkungan seperti di bidang kehutanan sebagai berikut.
 
''(1) Kasipalli taua ammarrang-marrang ri romanga''
Baris 49:
2. Faktor Psikologi
 
           Psikologi mempelajari gejala kejiwaan yang tidak terlepas timbulnya penggunaan ''kasipalli''   ‘pemali’ dalam bahasa Makassar. Peristiwa jiwa dalam psikologi yang membuat seseorang atau sekelompok masyarakat bertindak sesuai dengan ucapan atau ungkapan ditentukan oleh beberapa unsur, misalnya pikiran, khayalan, dan perasaan. Salah satu contoh yang membuat orang bertindak karena adanya rangsangan melalui indera, kemudian dibawa ke otak melalui syaraf lalu di pikirkan, dirasakan dan setelah itu diungkapkan melalui sebuah kata.
 
           Keadaan jiwa seseorang yang demikian kompleks itu, dapat dilihat melalui tingkah laku seseorang , misalnya keadaan jiwa seseorang pada saat gembira, menangis,tertawa, atau sedih dan marah dapat mengeluarkan bahasa.
 
           Menurut Kridalaksana (1993 : 183) psikolinguistik mengungkapkan bahwa ilmu yang mempelajari hubungan antara bahasa dengan perilaku dan akal budi manusia disebut ilmu interdisipliner linguistik dengan psikologi. Sesuai dengan pendapat di atas maka ungkapan sebagai bagian dari bahasa berpengaruh terhadap ungkapan sebagai dari bahahsa berpengaruh terhadap ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ seseorang dalam hal menerima dan menanggapi sehingga dapat menghasilkan suatu bahasa. Untuk lebih jelasnya pemakaian kata ''kasipalli'' ‘pemali’ dalam hubungannya dengan faktor psikologi dapat dilihat pada contoh berikut.
 
(2) ''Kasipalli taua ammempo ri paklungang, puru-puruangi’''
Baris 61:
(pemali duduk di atas bantal, kudisan pantat kamu).
 
           Makna ungkapan kasipalli pada contoh di atas gassingi puru-puruang pajannu ‘kudisan pantat kamu’ mengandung arti bahwa perilaku anak-anak secara psikologis untuk menakut-nakuti, sehingga ada laranggan karena tidak pantas bantal itu di pakai sebagai tempat duduk.
 
     Contoh lain yang menyatakan ungkapan kasipali ‘pemali’ dalam hubungannya dengan faktor psikologis sebagai berikut.
 
(3) ''Kasipalli taua akbosi-bosi bambang allo,''
 
‘pemali orang hujan-hujan panas matahari, ''aklumaraki  setanga''. Berkeliaran  ia setan’.
 
     (pemali orang bermain-main hujan panas matahari, makhluk halus berkeliaran.)
 
Secara psikologi pemakaian kata ''aklumaraki setanga'' ‘Makhluk halus  berkeliaran’ mengandung arti bahwa perilaku anak-anak secara psikologi untuk menakut-nakuti, sehingga ada laragan atau tidak pantas bermain hujan-hujan karena dapat menimbulkan Penyakit.
 
3. Faktor Sosial
 
     Bahasa sebagai kenyataan sosial dalam teori Saussure (1996 ; 38 ) menyatakan bahwa kita tidak boleh memberikan penekanan yang memadai terhadap satu azas yang diberinya beban yang berat bahwa dalam menganalisis bahasa pada faktor sosial yang berkenaan dengan penggunaan objek material secara sosial. Sebagaimana yang telah dikatakan, suatu bahasa dapat diwujudkan dalam berbagai substansi tanpa mengubah sifat dasarnya. Bahasa sebagai sistem hubungan yang penting dan relevan sehingga pembeda dan hubungan-hubungan yang telah diberi makna oleo masyarakat.
 
     Menurut Nanncya Parrotitickerson dalam Pateda (1987:3) yang dimaksud dengan faktor-faktor sosial adalah faktor umur, kelamin, agama, perhatian, dan pekerjaan.
 
     Salah satu faktor sosial yang mengandung makna ''kasipalli'' ‘pemali atau pantangan atau larangan’ di dalam masyarakat Makassar adalah kurang perhatian sebagai berikut.
 
(4) ''Kasipalli taua punna niak tau mate ri ampik''
 
‘pemali orang kalau ada orang   meninggal di dekat ''ballaka nasikutu-kutui ri tukaka.''
 
Rumah lalu dia saling mencari kutu di tangga.’
Baris 91:
Makna ungkapan pada contoh di atas kata ''punna niak tau mate ri ampik ballak nakisikutu-kutui ri tukaka'' ‘kalau ada orang meninggal di dekat rumah lalu dia saling mencari kutu ditangga’ mengandung makna bahwa tidak lain untuk menghindari adanya kesan yang kurang perhatian atau kurang perasaan bersatu terhadap keluarga atau tetangga yang sedang belasungkawa.
 
           Faktor sosial yang menyatakan makna ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ yang sifatnya kerja sebagai berikut.
 
(5) ''Kasipalli taua anjama rarokeng.''
Baris 99:
(pemali orang bekerja seperti telur yang tidak dapat menetas.)
 
           Makna ungkapan pada contoh di atas kata ''anjama rarokeng'' ‘tidak menyelesaikan tugasnya atau pekerjaannya’ mengandung makna bahwa untuk menghindari adanya kesan yang tidak menyelesaikan pekerjaan, baik pekerjaan yang dilakukan dengan sukarela maupun pekerjaan kepentingan negara atau umum.
 
           Faktor sosial yang menyatakan makna ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ yang sifatnya taraf usia atau umur sebagai berikut.
 
(6) ''Kasipalli taua akkelong ri pallua''
Baris 109:
(pemali bernyanyi di dapur atau sementara masak).
 
           Makna ungkapan pada contoh kalimat diatas ''kasipalli taua akkelong ri pallua ‘''pemali orang bernyanyi di dapur’. Pemalinya ''buntingi tau toa'' ‘kawin (menikah) dengan orang tua’ berarti diperuntukkan ungkapan ini pada taraf usia atau umur khususnya untuk anak gadis yang perjodohannya  akan menikah dengan laki-laki yang umurnya sudah tua. Ungkapan ini mengandung makna bahwa untuk menghindari masakan hangus hingga menjadi hitam atau masakannya kebanyakan garam karena keasyikan menyanyi.
 
== Analisis Ungkapan ''Kasipalli'' dalam Bahasa Makassar ==
           Penelitian ungkapan ''kasipalli''   ‘pemali atau tabu’ tidak terlepas dari pembicaraan tentang makna. Pateda (1986:15) menyatakan bahwa ada tiga hal yang dicoba dijelaskan oleo filsuf dan linguistik sehubungan dengan usaha menjelaskan makna. Ketiga hal itu (a) menjelaskan makna kata secara alamiah, (b) mendeskripsikan makna kalimat secara alamiah, dan (c) apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi.
 
           Salah satu hal yang menjelaskan makna dari para filsuf yang relevan dengan ungkapan ''kasipalli''   ‘pemali atau tabu’ adalah mendeskripsikan makna kalimat. Contoh pemakaian ungkapan ''kasipalli'' dalam bahasa Makassar sebagai berikut.
 
(1) ''Kasipalli taua annganre ri pattongkok uring iareka ri''
Baris 126:
‘pemali orang menampi di depan pintu’
 
(pemali orang menampi di depan pintu).  
 
           Makna konteks ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau tabu’ pada contoh (1) di atas bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli taua annganre ri pattongkok uring iareka pattongkok kanre'' ‘pemali orang makan pada penutup panci atau penutup nasi’. Pemalinya ''niparek pattongkok sirik'' ‘dijadikan penutup malu’. Ungkapan ''niparek pattongkok sirik'' bukan jadi penutup malu melainkan bertanggung jawab untuk perbuatan orang lain. Maksudnya, si A yang berbuat aib sedangkan si B yang bertanggungjawab atas perbuatan si A.
 
             Makna konteks ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau tabu’ pada contoh (2) di atas bukan menunjuk pada konteks ''kasipalli taua attapi ri dallekang timunganga'' ‘pemali orang menampi di muka pintu’ melainkan tingkah laku di dalam rumah tidak sepantasnya menampi di depan pintu. Makna yang terkandung dari kedua contoh pemakaian ''kasipali'' ‘larangan atau tabu’ ini memang dilarang kalau memakai penutup panci dan penutup nasi, atau menampih di depan pintu, selain itu untuk menghindari adanya kesan yang kurang sopan. Pemakaian alat rumah tangga atau tidak memperdulikan tingkah laku kurang sopan, sehingga merupakan penggambaran terhadap manusia yang tidak berbudaya.
 
           Usaha untuk menjelaskan analisis ungkapan ''kasipalli'' ‘larangan atau tabu’ diatas dalam bentuk larangan adalah menggambarkan apa adanya atau mendeskripsikan keberadaannya berdasarkan maknanya.
 
== Ruang Lingkup Pemakaian Ungkapan ''Kasipalli'' ‘Pemali’ ==
           Ruang lingkup pemakaian ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ sampan saat ini sudah ada data yang akurat mengenai siapa saja dan pada usia berapa seseorang dapat disampaikan ungkapan dalam bentuk larangan. Apabila diperhatikan dan dicermati dengan seksama dari sumber perolehan ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau larangan’ dapat dipastikan bahwa mereka memenuhi syarat yang dapat menerima ungkapan tersebut adalah anak-anak, laki-laki atau perempuan yang sudah dewasa serta suami istri. Ungkapan ''kasipalli''   ‘pemali atau larangan’ diperkuat oleh keterangan dari beberapa orang informan yang bermukim di daerah Makassar. Ungkapan ini merupakan ucapan dari orang tua yang dinasihatkan atau dianjurkan kepada anak cucunya. Pantangan ini datangnya buka dari yang berkuasa, tetapi adalah semacam pesan dari ''pattautoanta'' ‘orang tua-tua dahulu’ agar jangan dilalui atau dilakukan. Jika dilakukan akan ada akibatnya kepada yang melanggarnya.
 
           Pada dasanya ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ yang disampaikan kepada anak-anak, laki-laki atau perempuan dan suami istri adalah hampir sama (maksudnya). Ucapan yang akan dikeluarkan atau sesuatu yang akan dikerjakan harus dipikirkan dahulu, jangan sampan ada pantangannya atau larangannya. Bentuk ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ yang di sampaikan oleh anak-anak sebagai berikut.
 
1. Tingkat Anak-Anak
 
           Pada umumnya orang-orang tua kita dari dahulu sampai saat ini masih menuturkan ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau larangan’ secara lisan kepada anak cucunya pada waktu-waktu tertentu. Seperti, pada waktu anak-anak ingin bermain atau melakukan apa saja.
 
           Ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ ini dapat berisi petuah atau nasihat yang tidak secara langsung mengungkapkan maksud atau maknanya kepada seorang anak. Maksud pengungkapannya agar anak-anak tidak melakukan atau melaksanakan apa yang ingin dikerjakan.
 
           Adapun kata-kata yang mengandung makna kata ''kasipalli'' ‘pemali’ yang berisi petuah atau nasihat diperuntukkan oleh tingkat anak-anak berikut.
 
(1) ''Kasipalli taua assidengek-dengek''
Baris 165:
(pemali orang bermain beras).
 
           Makna konteks ungkapan pada contoh di atas bukan menunjuk pada konteks ''kasipalli taua assidengek-dengek'' ‘pemali orang bermain dukung-mendukung’, pemalinya ''gassingi bukkuk'' ‘nanti bungkuk’ berarti punggung akan bengkok melengkung, melainkan dikhawatirkan anak-anak terjatuh. Pada contoh kalimat (2) bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli taua akkandasse ilalang ballak'' ‘pemali orang bermain simbang di dalam rumah’, pemalinya ''matei ammaknu'' ‘meninggal ibu kamu’ berarti berpulang (mati) ibu kamu, melainkan menghindari munculnya anak-anak kurang disiplin. Disiplin yang dimaksudkan di sini bagaimana anak-anak mengatur dirinya dalam beraktivitas sehari-hari. Ada waktu tertentu untuk bermain dan ada waktu untuk belajar. Kalau anak dibiasakan memanfaatkan waktu sebaik-baiknya maka anak tersebut akan mampu membagi pekerjaan dengan baik tanpa merasa berat dan tertekan. Pada contoh kalimat  (3) bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli taua akkarek-karena berasak'' ‘pemali orang bermain beras’ pemalinya ''akjari palukkaki'' ‘menjadi pencuri ia’ berarti akan menjadi maling sifatnya mengambil milik orang tidak dengan jalan yang sah, melainkan untuk menghindari beras terhambur.
 
           Ungkapan lain yang menyatakan larangan pada tingkat anak-anak sebagai berikut.
 
(4) ''Kasipalli taua appagiok-giok pakkebu''
Baris 180:
 
(pemali orang bermain hujan panas matahari).
 
 
2 Tingkat Dewasa
 
           Beberapa ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau larangan’ yang sering diucapkan oleh orang tua yang ditujukan pada tingkat dewasa, baik kaum laki-laki maupun perempuan. Pantangan ini datangnya bukan dari yang berkuasa, tetapi adalah semacam pesan dari orang –orang tua dahulu agar jangan dilalui. Jika dilalui akan ada akibatnya kepada yang melanggarnya. Beberapa contoh pantangan pada tingkat dewasa seperti berikut.
 
(1) ''Kasipalli taua lolo attontong iareka ammenteng''
 
‘pemali anak gadis berdiri di jendela atau berdiri ''ri timungang.''   Di pintu.
 
(pemali anak gadis berdiri di jendela atau di muka pintu).
Baris 204 ⟶ 203:
(pemali anak gadis bernyanyi di dapur atau sementara memasak).
 
           Makna konteks ungkapan pada contoh (16) diatas bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli tau lolo attontong iareka ammenteng ri timungang'' ‘pemali anak gadis berdiri dimuka jendela atau dimuka pintu’. Pemalinya ''anggappa garring'' ‘mendapat ia penyakit’ berarti memperoleh penderitaan yang mendatangkan rasa tidak nyaman pada tubuh, melainkan untuk menghindari penilaian tidak pantas anak gadis berdiri di muka pintu atau di muka jendela. Pada contoh (17) bukan menunjuk ''kasipalli tau rungka akkui'' ‘pemali anak muda bersiul’, pemalinya ''akkioki tau alusu'' ‘berarti mengajak mahkluk yang dianggap hidup di alam gaib yang berada diluar alam fisik seperti setan atau jin, melainkan untuk menghindari penilaian adanya kesan yang kurang sopan. ''Akkui'' ‘bersiul’ biasanya dipakai dalam kondisi tertentu, misalnya dalam keadaan bernyanyi sambil bersiul.
 
           Contoh kalimat (18) bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli taua lolo akkelong'' ‘pemali anak gadis bernyanyi di dapur’. Pemalinya ''buntingi tau toa'' ‘ia kawin (menikah) dengan orang tua’. Berarti di peruntukkan ungkapan ini khusus pada taraf usia anak gadis yang perjodohannya akan menikah dengan laki-laki yang umurnya sudah tua, melainkan untuk menghindari masakannya hangus hingga menjadi hitam atau masakannya kebanyakan garam karena keasyikan bernyanyi.
 
           Ungkapan lain yang menyatakan larangan pada tingkat dewasa sebagai berikut.
 
(4) ''Kasipalli tau loloa annganre akbasa-basa''
Baris 224 ⟶ 223:
a. Suami dan Istri
 
           Berbicara tentang ''kasipalli'' ‘pemali atau larangan’ antara suami dan istri, pada umumnya pantangan atau larangan yang harus dihindari. Alasannya supaya tidak menimbulkan rasa kurang senang atau perbuatan yang menghinakan, buruk dan keji. Umumnya tujuan para suami dan istri ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali’ itu adalah untuk sekedar mengingatkan jangan sampai pembicaraan itu cenderung lebih emosional sifatnya.
 
           Berikut ini ada beberapa ungkapan ''kasipalli'' ‘pemali atau atau larangan’ didalam kehidupan suami istri.
 
(6) ''Kasipalli taua accarita ri katinroang''
Baris 240 ⟶ 239:
(pemali orang bertengkar pada petang hari).
 
           Makna konteks ungkapan pada contoh (6) di atas bukan menunjuk pada konsep ''kasipalli taua accarita ri katinroang'' ‘pemali orang bercerita di tempat tidur’. Pemalinya ada dua kemungkinan yang bisa terjadi pertama ''niak tau ampilangeri'' ‘ada orang yang mendengarkan’ pembicaraan (rahasia) yang kedua ''kana tanisanna-sanna'' ‘perkataan yang tak disangka’ berarti pembicaraan rahasia yang tidak boleh diungkap kembali atau diulang kembali yang dapat menimbulkan kemarahan sang suami. Maksud ungkapan diatas melainkan untuk mempergunakan waktu beristirahat dan melepaskan lelah setelah bekerja disiang harinya. Pada contoh kalimat (7) bukan menunjuk ''kasipalli taua akbeserek ri sakrak alloa'' ‘pemali orang bertengkar pada petang hari’. Pemalinya ''tena nanggappa anak'' ‘tidak mendapat hasil keturunan (anak)’, melainkan pada saat petang hari seluruh anggota keluarga berkumpul di rumah setelah seharian melaksanakan segala aktivitas masing-masing. Dalam rumah tangga diharapkan saling membimbing, saling menasihati agar tercipta kedamaian dan ketentraman didalam kehidupan rumah tangga. Kedua belah pihak sama-sama aktif menciptakan kerja sama, saling mengisi kekurangan  dengan penuh kasih sayang dan tanggung jawab.
 
Ungkapan yang menyatakan larangan khusus istri yang sementara hamil (mengandung) sebagai berikut.
Baris 262 ⟶ 261:
(pemali orang hamil tidur pagi hari).
 
          
 
Pada contoh kalimat (8) bukan menunjuk ''kasipalli tau anngerang battang takkuleai accala-calla ‘''pemali orang hamil tidak boleh mencela-cela’, pemalinya ''ammoterek mae ri katte'' ‘kembali pada kita sendiri’, berarti dapat membawa celaka kepada diri sendiri,melainkan untuk menghindari munculnya rasa emosi, atau perasaan tidak enak, perasaan kecewa (kurang puas) terhadap lawan bicara. Contoh kalimat (9) bukan menunjuk ''kasipalli tau akjeknek lipak'' ‘pemali orang mandi memakai sarung’. Pantangannya ''gassingi mate allurang'' ‘nanti meninggal karena melahirkan’, melainkan kalau mandi memakai sarung di khawatirkannya sarungnya lepas akhirnya merasa malu. Contoh kalimat (10) bukan menunjuk ''kasipalli tau anngerang battang tinro barikbasak'' ‘pemali orang hamil tidur pagi hari’, pemalinya ''kurang dalleki'' ‘kurang rezeki’ berarti belum cukup segala seuatu yang dipakai memelihara kehidupan yang diberikan oleo Tuhan, melainkan pada pagi hari anggota keluarga masing-masing melaksanakan segala aktivitas.
Baris 268 ⟶ 267:
b. Ungkapan Yang Diucapkan Secara Umum
 
           Ungkapan yang diucapkan secara umum, yaitu bukan hanya berlaku bagi segolongan dan tidak berlaku bagi golongan yang lain. Adapun hal-hal yang mengandung makna kata ''kasipalli'' ‘pemali atau larangan’ yang berisi petuah atau nasihat yang di peruntukkan oleh seluruh golongan sebagai
 
''(11) Kasipalli taua ammempo ri timungang''
Baris 282 ⟶ 281:
(pemali orang tidur tertelungkup).
 
           Makna konteks ungkapan pada contoh (11) diatas menunjuk pada konsep ''kasipalli taua ammempo ri timungang'' ‘pemali orang duduk di depan pintu’. Pemalinya ''natabaki kana'' ‘dikena dia kata’ maksudnya sering ditimpa kesusahan, melainkan tidak pantas kita duduk didepan pintu, karena pintu tempat untuk masuk keluarnya sesuatu.
 
           Contoh (12) kalimat di atas menunjuk pada konsep ''kasipalli taua attinro ammopang'' ‘pemali orang tidur tertelungkup’. Pemalinya ''natulai ammakna'' ‘diharapkan ibunya meninggal’. Maksudnya dia doakan supaya orang tuanya cepat meninggal, melainkan kalau kita tidur tertelungkup kita akan sesak nafas.
 
[[Kategori:Budaya Sulawesi Selatan]]
[[Kategori:Sastra Makassar]]