Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k fix
 
(19 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Februari 2023}}
{{hapus|a9}}
 
{{Infobox book
|name = Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu
|publisher = Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta
|preceded_by =
|oclc =
|congress =
|dewey =
|isbn = 978-602-6730-27-5
|pages = 98 (cetakan ke-1)
|media_type = Cetak (sampul tipis)
|release_date = Februari 2018 (cetakan ke-1)
|genre = Antologi puisi
|title_orig = Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu
|series =
|language = Bahasa Indonesia
|country = Indonesia
|cover_artist = Guh S. Mana dan Muhammad Rois Alfin Rizal
|author = Kedung Darma Romansha
|image_caption = Halaman sampul cetakan ke-1
|image = Berkas:Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu-1.jpg
|translator =
|followed_by =
}}
{{Judul miring}}
'''''Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu''''' adalah buku [[antologi puisi]] yang ditulis oleh [[Kedung Darma Romansha]], yangdan diterbitkan oleh Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta. Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar [[Taman Budaya Yogyakarta]] tanggal 25 Februari 2018. Buku ini berisi 33 [[puisi]] yang ditulis sepanjang tahun 2004–2017, yang diawali dengan judul ''Kereta Terakhir'' dan diakhiri dengan ''Kalau''. Tema di dalamnya meliputi persoalan sosial–politik, cinta, dan kuasa.
 
[[Suminto A. Sayuti]] yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para [[sastrawan]] terdahulu secara sistematis. Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun interaksi berkelanjutan antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Puisi-puisi dalam antologi ini mengungkapkan bahwa setiap “perjalanan” itu pasti ada awal dan akhir, serta ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan dan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi.
 
== Tema puisi ==
Buku antologi puisi ini diterbitkan oleh Rumah Buku dan Pustaka Senja Yogyakarta pada Februari 2018.''{{sfnp|Sayuti|Liliani|Kusmarwanti|p=392|ps=|2018}}''<ref name=":0">{{Cite web|title=Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu: Sepilihan Puisi|url=https://www.goodreads.com/book/show/39932490-masa-lalu-terjatuh-ke-dalam-senyumanmu|website=Goodreads|access-date=16 April 2022}}</ref> Peluncuran pertamanya dilakukan di ruang seminar Taman Budaya Yogyakarta tanggal 25 Februari 2018, yang dihadiri <u>+</u> 100 peserta dari berbagai komunitas dan pecinta [[sastra]]. Peluncuran itu turut dihadiri oleh [[Joko Pinurbo]], dimoderatori oleh [[Asef Saeful Anwar]], serta menghadirkan [[Teuku Rifnu Wikana]] dan [[Gunawan Maryanto]] yang tampil membacakan puisi-puisi karya Kedung dalam bukunya tersebut.<ref name=":1">{{Cite web|title=Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu|url=http://wartafeno.com/2018/03/02/masa-lalu-terjatuh-ke-dalam-senyumanmu/|website=Wartafeno|access-date=16 April 2022}}</ref>
 
Buku ini berisi 33 puisi yang ditulis sepanjang tahun 2004–2017, yang diawali dengan judul ''Kereta Terakhir'' dan diakhiri dengan ''Kalau''. Adapun kerangka utamanya terletak di dua puisi berjudul ''Kereta Utama'' dan ''Hujan Oktober.''<ref name=":1" />''{{sfnp|Romansha|2018||p=xvii–xviii|ps=}}'' Tema di dalamnya meliputi persoalan sosial–politik, cinta, dan kuasa.<ref name=":2" /> Jenis puisi lirik ini bercirikan adanya kalimat ''aku'' dan ''kau'' di dalamnya. Salah satu hal yang membuat puisi-puisi di dalamnya menarik adalah keambiguan dan ketaksaannya, misalnya tidak jelasnya rujukan kalimat ''kau''.''{{sfnp|Romansha|2018||p=1–12|ps=}}''
 
Masa lalu [[penyair]] telah membentuk puisi-puisi di dalamnya turut mewarnai kecenderungan kehidupannya saat ini. Melalui buku ini pula, Kedung mengisyaratkan bahwa sejarah masa lalu sesungguhnya indah.<ref name=":2">{{Cite web|title=Buku Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu|url=https://www.bukuindie.com/p/masa-lalu-terjatuh-senyumanmu/|website=Buku Indie|access-date=20 Februari 2022}}</ref> Kumpulan puisinya itu dan novelnya yang berjudul ''Telembuk (Dangdut dan Kisah Cinta yang Keparat)'' masuk lima besar Kusala Sastra Khatulistiwa dan buku rekomendasi ''Tempo'' tahun 2017.<ref>{{Cite web|title=Puisi-Puisi Kedung Darma Romansha|url=https://kantorbahasasultra.kemdikbud.go.id/berita-puisi-kedung-darma-romansha.html|website=Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara|access-date=16 April 2022}}</ref><ref>{{Cite web|title=Kedung Darma Romansha|url=http://festival.borobudurwriters.id/bio/kedung-darma-romansha/|website=Borobudur Writers and Cultural Festival|access-date=16 April 2022}}</ref>
 
Menurut Jokpin, kumpulan puisi ini adalah semacam perjalan dan penemuan jati diri penulisnya. Namun, dia tidak menguraikan apa pun untuk judulnya. Baginya, judul itu multimakna dan sebaiknya diterima begitu saja, seperti orang-orang lain yang mempunyai banyak masa lalu menyakitkan, biarkanlah tenggelam dalam "senyummu”.<ref name=":1" />
Baris 37 ⟶ 40:
Lebih lanjut, Jokpin mengomentari ''Kereta Terakhir'' yang bercerita tentang kerinduan. Seperti barisnya ''"''petugas melubangi rindu di karcismu", rindu juga sekali pakai dan harus diperbarui: seperti halnya tiket kereta yang juga sekali pakai. Dalam puisi lainnya, Jokpin menemukan kata-kata yang banyak dipakai, yaitu imaji basah, membasahi, menetes, melelah, dan kata basah; bukan sesuatu yang membeku. Dalam intereptasinya, rindu yang baik adalah rindu yang begitu menetes, meleleh, tidak tetap, sebab tidak ada rindu yang pasti dan kaku.<ref name=":1" />
 
Jokpin juga beranggapan jika Kedung mampu menghadirkan [[hujan]] dalam sudut pandang lain, bisa dibilang hujannya kaum [[Proletariat|proletar]]. ''Tentang atap dan kenangan bocor'' menunjukkan hujan kaum menengah ke bawah, berbeda halnya dengan hujan milik [[Sapardi Djoko Damono]] yang mengetuk-ngetuk. Kedung sendiri mengaku bahwa dia memang tipikal orang yang susah menulis puisi kalau tidak benar-benar ada momen puitis yang masuk ke dalam kepalanya.<ref name=":1" />
 
== Catatan pengantar ==
[[Suminto A. Sayuti]] yang memberikan catatan buku ini mengungkapkan jika puisi yang ditulis oleh Kedung pada dasarnya meneruskan tradisi yang sudah dibangun oleh para sastrawan terdahulu secara sistematis. Itu sah adanya. Seseorang boleh saja mengatakan jika Kedung secara sadar telah memosisikan para pendahulu sebagai “teks-teks parental”, yang darinya dia lantas membuka diri demi masuk ke dalam proses kreatif.''{{sfnp|Romansha|2018||p=x|ps=}}''
 
Sayuti beranggapan bahwa seseorang sering memerlukan situasi yang disebut ''anxiety of influence'' (kegelisahan pengaruh) melalui “salah-baca” dan “salah-tafsir”, yang disadari dan sudah dilakukan oleh para pendahulu, untuk memelihara keterjagaan kreativitasnya. Dalam konteks inilah, Kedung telah memilih dimensi kelampauan, “masa lalu” sebagai matriks utama keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini, seperti tampak dalam pilihan judul antologi. Kelampauan yang digeluti habis-habisan olehnya, tanpa harus menariknya secara linear ke masa kini atau ke masa depan secara eksplisit dalam masing-masing puisi. Ini dikarenakan manusia hanya mampu mempertanyakannya secara retoris, ''“''Masih adakah yang harus dibicarakan/selain kemurungan masa depan?/Lalu siapa yang telah menulisnya kemarin?''”'' (puisi: ''Musim yang Tiba-tiba Menepi di Sela-sela Bulu Matamu'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=x–xi|ps=}}''
 
Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun ''continual interplay'' (interaksi berkelanjutan) antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Itulah sebabnya, Kedung pun menulis: ''“''Begitulah puisi menangisi dirinya sendiri/seperti kau yang terbaring dalam ingatan yang mati” (puisi: ''Spasi'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
 
“Masa lalu” adalah kenangan yang tak mungkin kembali: “kenangan” yang hanya “berjejalan di gerbong ingatanmu” (puisi: ''Kereta Terakhir''), dan hanya “meranggas dalam hatiku” (puisi: ''September Gugur''). Inilah yang membuatnya sering menyakitkan, apalagi setelah menjadi sesuatu yang ''“''terjatuh ke dalam senyumanmu''”,'' bukan “kepadaku”. Memang ada upaya antara “kau/aku” untuk “mencipta masa lalu” (puisi: ''Dan Sunyi Berceracau Lewat Burung-Burung''), lalu “menyimpan… di saku celana” (puisi: ''Demi Waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku''), “seperti empat tahun lalu/kita pun basah mengingatnya” (puisi: ''Mei yang Basah''). Namun, “kenangan itu bocor” (puisi: ''Kenangan yang Bocor''), atau malah “tenggelam di jalan” (puisi: ''Sehabis Hujan'') sia-sia! Ketika “gerimis/kenangan menetes dari matamu”, yang tersisa dan menyergap adalah “sepi usia dalam senja” (puisi: ''Seketika Gerimis'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
 
Nukilan-nukilan puisi tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.<ref name=":3" /> Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai terminal keberangkatan oleh dirinya.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
 
Pemberdayaan alusi, seperti tampak pada penggunaan bahsa, nyanyian, parikan, dan atau cerita yang berakar pada budaya lokal dan ''sangkan-asal'' Kedung yang sebenarnya, yakni Indramayu, menandai dan menegaskan hal itu: ''“angin barat ngajar kitiran/angin kumbang ngajar layangan/wong mlarat dadi pikiran/kegembang dadi bayangan…/aih mak.../ana pribasane gabah wutah ning leleran/lakonono sabar lan nerima/wong sabar langka alane/malah dadi ning becike”'' (puisi: “Ke Kotamu”—untuk kawan-kawanku yang merantau ke Jakarta), ''“telembuk”'' (puisi: “Telembuk”), atau rujukan terhadap nama ''“Windardi”'' (puisi: ''“Ngundhuh Wohing Karma”'').
 
Namun, ''“… pergi meninggalkan sesuatu yang kau sebut masa lalu”'' (puisi: “Segelas Sunyi yang Dingin”), ke manakah sesungguhnya manusia pergi meninggalkan terminal keberangkatan itu, meninggalkan “masa lalu” itu, jika ternyata ''“tidak ada tempat berpulang bagi ingatan”'' karena ''“kita hanya menumpang di sini/singgah sebentar lantas pergi lagi'' (puisi: “Spasi”). Sementara itu, “masa lalu” tetap bertahan menjadi sesuatu ''“yang dingin”'' (puisi: “Barangkali Ada yang Ingin Kau Tanyakan”), bahkan ''“masa lalu bangkit/dari tubuhmu/bulan-bulan redup/hari pudar di musim yang lewat/dan waktu/meleleh di punggungmu”'' (puisi: ''‘Ngunduh Wohing Karma”''--- diambil dari kisah Dewi Windardi/Windradi dan Resi Gautama). Kita pun diingatakan oleh Kedung bahwa jika pun kita ''“ingin hidup bukan untuk masa silammu/karena kau bukan takdir kenanganku'' (puisi: “Cinta yang Lupa Ingatan”), kenyataannya: “kenangan” tetap merupakan sebuah ''“tempat segala kepalsuan/diciptakan”'' yang ibarratnya ''“seperti ciuman yang membekas dalam ingatan”'' (puisi: “Puisi yang Lahir dari Cerita Konyol”), ''“yang'' ''memutih di rambut/lalu rontok dan jatuh ke tanah”'' (puisi: “Kalau”), dan bersamaan dengannya: ''“usia menyulap kita jadi dongeng/dan tahu, masa jasad kita/mendekat keranda juga/tandas dilahap cerita-cerita yang selalu sama”'' (puisi: “Kepada D”). Oleh karena itu, di tengah ''“kendaraan bersliweran di jalan/mengangkut masa lalu/singgha sebentar lantas pergi meninggalkan sunyi”,'' kita pun menjadi perlu untuk ''“melamar kota ini/dengan masa depan”,'' walaupun ''“masa lalu”'' tetap ''“merangsek maju/mendekapku dengan kecemasan anak-anak/yang putus laying-layangnya/…/yang tersusun dari harapan dan kecemasan'' (puisi: “Magrib Menjemputku”). Betapapun Kedung bertolak dari “masa lalu” sebagai dimensi pertama waktu: kelampauan, bukan berarti bahwa dimensi waktu kekinian dan keakanan pun tidak terbawa serta karena secara hakiki ketiga dimensi waktu tidak pernah bisa dipisah-pisahkan.
 
Dalam konteks sebagai dikemukakan di atas, proyeksi masa lalu sebagai ''keberangkatan'' sekaligus mengisyaratkan makna ''kepulangan.'' Ada hubungan dialektis antara keduanya. Kedung memang tidak menyertakan salah satu tembang lisan pesisiran yang mengisyaratkan hal itu: ''“inyong gemiyen ora ana, siki dadi ana, mbesuk ora ana maning, padha bali maring rahmatullah”.'' Namun, diam-diam makna tembang pesisiran tersebut juga menyelinap dalam sebagian puisi yang ada dalam antologi ini.
 
'''Di Bulan April'''
 
'''Aku Duduk Menatapmu'''
 
sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku
 
bila aku istirah
 
aku kunyah laparku
 
bersama waktu yang tumbuh di tubuhku.
 
waktu menggelinding di setiap tikungan.
 
aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong.
 
bentuk wajahmu yang mulai pudar
 
o, masa depan yang gaib.
 
tangan-tangan ajaib
 
menggapaiku dalam kecemasan.
 
 
 
kesedihan keluar dari pori-poriku.
 
aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari
 
orang-orang berjalan miring
 
dan hari menjadi putih
 
lalu kulihat masa depan mengintipku
 
duduk menatap masa lalu
 
 
 
sejenak, aku ingin istirahat di sini
 
Sayuti beranggapan bahwa seseorang sering memerlukan situasi yang disebut ''anxiety of influence'' (kegelisahan pengaruh) melalui “salah-baca” dan “salah-tafsir”, yang disadari dan sudah dilakukan oleh para pendahulu, untuk memelihara keterjagaan kreativitasnya. Dalam konteks inilah, Kedung telah memilih dimensi kelampauan, “masa lalu” sebagai matriks utama keseluruhan puisi yang dihimpun dalam antologi ini, seperti tampak dalam pilihan judul antologi. Kelampauan yang digeluti habis-habisan olehnya, tanpa harus menariknya secara linear ke masa kini atau ke masa depan secara eksplisit dalam masing-masing puisi. Ini dikarenakan manusia hanya mampu mempertanyakannya secara retoris[[Retoris|retorik]], ''“''Masih“Masih adakah yang harus dibicarakan/selain kemurungan masa depan?/Lalu siapa yang telah menulisnya kemarin?''”'' (puisi: ''Musim yang Tiba-tibaTiba Menepi di Sela-selaSela Bulu Matamu'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=x–xi|ps=}}''
menikmati segelas kopi
 
Namun demikian, dapat dipahami jika hal itu memang dikehendaki secara sadar oleh Kedung agar para pembaca membangun ''continual interplay'' (interaksi berkelanjutan) antara diri dan puisi yang tengah dihadapi. Itulah sebabnya, Kedung pun menulis:, ''“''Begitulah“Begitulah puisi menangisi dirinya sendiri/seperti kau yang terbaring dalam ingatan yang mati”mati''” (puisi: ''Spasi'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
dan merampungkan setumpuk catatan
 
“Masa“''Masa lalu”lalu''” adalah kenangan yang tak mungkin kembali: “kenangan”kenangan yang hanya “berjejalan“''berjejalan di gerbong ingatanmu”ingatanmu''” (puisi: ''Kereta Terakhir''), dan hanya “meranggas“''meranggas dalam hatiku”hatiku''” (puisi: ''September Gugur''). Inilah yang membuatnya sering menyakitkan, apalagi setelah menjadi sesuatu yang ''“''terjatuh“terjatuh ke dalam senyumanmu''”senyumanmu”,'' bukan “kepadaku”“''kepadaku''”. Memang ada upaya antara “kau“''kau/aku”aku''” untuk “mencipta“''mencipta masa lalu”lalu''” (puisi: ''Dan Sunyi Berceracau Lewat Burung-Burung''), lalu “menyimpan…“''menyimpan… di saku celana”celana''” (puisi: ''Demi Waktu yang Berjatuhan di dalam Tubuhku''), “seperti“''seperti empat tahun lalu/kita pun basah mengingatnya”mengingatnya''” (puisi: ''Mei yang Basah''). Namun, “kenangan“''kenangan itu bocor”bocor''” (puisi: ''Kenangan yang Bocor''), atau malah “tenggelam“''tenggelam di jalan”jalan''” (puisi: ''Sehabis Hujan'') sia-sia! Ketika “gerimis“''gerimis/kenangan menetes dari matamu”matamu''”, yang tersisa dan menyergap adalah “sepi“''sepi usia dalam senja”senja''” (puisi: ''Seketika Gerimis'').''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
yang beleum kulunaskan.
 
Nukilan-nukilan puisi tersebut menunjukkan bahwa Kedung sejatinya hendak mengekspresikan dan memaknai secara reflektif pengalaman personalnya, tetapi dengan tetap menyisakan ruang bagi siapa saja yang membacanya untuk melakukan transpersonalisasi diri ke dalam pengalaman personal kreator.<ref name=":3" /> Berdasarkan nukilan-nukilan tersebut, tampak pula bahwa “masa lalu” telah dimaknai sebagai "terminal keberangkatan" oleh dirinya.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi|ps=}}''
tapi takdir memaksaku
 
Pemberdayaan alusi, seperti tampak padadalam penggunaan bahsa[[bahasa]], nyanyian[[lagu]], [[parikan]], dan atau cerita yang berakar padakepada budaya lokal dan ''sangkan-asal'' Kedung yang sebenarnya, yakniyaitu Indramayu, menandai dan menegaskan halpengalaman personalnya itu: ''“angin“Angin barat ngajar kitiran/angin kumbang ngajar layangan/wong mlarat dadi pikiran/kegembang dadi bayangan…/aih mak.../ana pribasane gabah wutah ning leleran/lakononolakonana sabar lan nerimanrima/wong sabar langka alane/malah dadi ning becike”'' (puisi: “Ke''Ke Kotamu'' – Kotamu”—untukuntuk kawan-kawanku yang merantau ke Jakarta), ''“telembuk”'' (puisi: “Telembuk”''Telembuk''), atau rujukan terhadap nama ''“Windardi”'' (puisi: ''“NgundhuhNgundhuh Wohing Karma”Karma''). ''{{sfnp|Romansha|2018||p=xi–xii|ps=}}''
untuk segera berkemas dari rindu
 
Namun, ''“… pergi meninggalkan sesuatu yang kau sebut masa lalu”'' (puisi: ''Segelas Sunyi yang Dingin''), ke manakah sesungguhnya manusia pergi meninggalkan terminal keberangkatan itu, meninggalkan “masa lalu” itu, jika ternyata ''“tidak ada tempat berpulang bagi ingatan”'' karena ''“kita hanya menumpang di sini/singgah sebentar lantas pergi lagi''"? (puisi: ''Spasi''). Sementara itu, “masa lalu” tetap bertahan menjadi sesuatu ''“yang dingin”'' (puisi: ''Barangkali Ada yang Ingin Kau Tanyakan''), bahkan ''“masa lalu bangkit/dari tubuhmu/bulan-bulan redup/hari pudar pada musim yang lewat/dan waktu/meleleh di punggungmu”'' (puisi: ''Ngunduh Wohing Karma –'' diambil dari kisah Dewi Windardi/Windradi dan Resi Gautama).''{{sfnp|Romansha|2018||p=xii|ps=}}''
mengusir hantu-hantu masa lalu
 
Pembaca juga diingatkan oleh Kedung jika kita ''“hidup bukan untuk masa silammu/karena kau bukan takdir kenanganku'' (puisi: ''Cinta yang Lupa Ingatan''), tetapi kenyataannya kenangan tetap merupakan sebuah ''“tempat segala kepalsuan/diciptakan",'' ibaratnya ''“seperti ciuman yang membekas dalam ingatan”'' (puisi: ''Puisi yang Lahir dari Cerita Konyol''), ''“yang'' ''memutih di rambut/lalu rontok dan jatuh ke tanah”'' (puisi: ''Kalau''), dan bersamaan dengannya ''“usia menyulap kita jadi dongeng/dan tahu, masa jasad kita/mendekat keranda juga/tandas dilahap cerita-cerita yang selalu sama”'' (puisi: ''Kepada {{sfnp|Romansha|2018||p=xii|ps=}}''
dan selekasnya pergi meninggalkan malam,
 
Oleh karena itu, di tengah ''“kendaraan bersliweran di jalan/mengangkut masa lalu/singgah sebentar lantas pergi meninggalkan sunyi”,'' kita pun perlu untuk ''“melamar kota ini/dengan masa depan”,'' walaupun “masa lalu” tetap ''“merangsek maju/mendekapku dengan kecemasan anak-anak/yang putus layang-layangnya/…/yang tersusun dari harapan dan kecemasan'' (puisi: ''Magrib Menjemputku''). Betapa pun Kedung berangkat dari “masa lalu” sebagai dimensi pertama waktu (kelampauan), bukan berarti bahwa dimensi waktu kekinian dan yang akan datang tidak terbawa serta. Ini dikarenakan ketiga dimensi waktu tidak pernah bisa dipisah-pisahkan secara hakiki.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xii–xiii|ps=}}''
bulan, dan gugusan kenangan
 
Dalam konteks sebagai dikemukakan di atasitulah, proyeksi masa lalu sebagai ''"keberangkatan''" sekaligus mengisyaratkan makna ''"''kepulangan"''.'' Ada hubungan dialektis antara keduanya. Kedung memang tidak menyertakan salah satu tembang lisan pesisiran yang mengisyaratkan hal itu: ''“inyong gemiyen ora ana, sikisaiki dadi ana, mbesuk ora ana maning, padha bali maring rahmatullah”.'' Namun, diam-diam makna tembang pesisiran tersebut juga menyelinap dalam sebagian puisi yang ada dalam antologi ini., seperti halnya puisi berikut.''{{sfnp|Romansha|2018||p=xiii|ps=}}''
yang melayang-layang di kepalaku.''Sanggar Suto, 2008-2012''
 
<blockquote>'''Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu'''<br><br>''sudah lama kugendong tahun-tahun di punggungku''<br>''bila aku istirah''<br>''aku kunyah laparku''<br>''bersama waktu yang tumbuh di tubuhku''<br><br>''waktu menggelinding di setiap tikungan''<br>''aku seret tahun demi tahun dengan hati yang kosong''<br>''bentuk wajahmu yang mulai pudar''<br>''o, masa depan yang gaib''<br>''tangan-tangan ajaib''<br>''menggapaiku dalam kecemasan''<br><br>''kesedihan keluar dari pori-poriku''<br>''aku melihat wajah-wajah buruh meleleh disengat matahari''<br>''orang-orang berjalan miring''<br>''dan hari menjadi putih''<br>''lalu kulihat masa depan mengintipku''<br>''duduk menatap masa lalu''<br><br>''sejenak, aku ingin istirah di sini''<br>''menikmati segelas kopi''<br>''dan merampungkan setumpuk catatan''<br>''yang belum kulunaskan''<br>''namun takdir memaksaku''<br>''untuk segera berkemas dari rindu''<br>''mengusir hantu-hantu masa lalu''<br>''dan selekasnya pergi meninggalkan malam, bulan, dan gugusan kenangan''<br>''yang melayang-layang di kepalaku''<br><br>''Sanggar Suto, 2008–2012''{{sfnp|Romansha|2018||p=36–37|ps=}}</blockquote>
 
YangLebih namanyalanjut, Sayuti berpendapat jika suatu perjalanan ''“kepulangan”“''kepulangan''”'' pasti adamemiliki awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan da nadadan pula terminal atau pelabuhan akhirkepulangan. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: “Fragmen''Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda”Juanda''), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tapitetapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya, penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' MengapaHal takini bisa? Karena,dikarenakan ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.{{sfnp|Romansha|2018||p=xiv–xv|ps=}}''
 
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung sepertinya kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, meskipun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis: ''Masa Lalu Terjatuh ke dalam Senyumanmu.'' Tak masalah. Hal terpenting adalah makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini mampu diisyaratkan oleh [[diksi]] dan [[kolokasi]] yang tidak jatuh kepada kekenesan estetik semata,<ref name=":3">{{Cite web|title=Masa Lalu Melulu|url=https://basabasi.co/masa-lalu-melulu/|website=Basabasi|access-date=16 April 2022}}</ref> atau sebaliknya, tidak jatuh menjadi [[khotbah]] yang menggurui.{{sfnp|Romansha|2018||p=xv|ps=}}
Yang namanya perjalanan ''“kepulangan”'' pasti ada awal dan akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan da nada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, penyair tidak lain adalah seorang pejalan, yakni pejalan yang menjejakan kakinya ''“dari Veteran sampai Juanda”'' (puisi: “Fragmen Jakarta, Dari Veteran Sampai Juanda”), yang ''“selalu banyak kemungkinan dalam pilihan”,'' dan tetap yakin bahwa ''“hidup dan kematian sama-sama gaibnya/tapi Tuhan memberkati kita/untuk meminjamkan tanggannya/merumuskan dan menentukan jalan/di buku kita masing-masing.'' Itulah sebabnya penyair memandang bahwa ''“perjalanan ini tidak biasa/bagi laki-laki yang biasa-biasa saja”.'' Mengapa tak bisa? Karena, ''“kau-aku sama-sama tak berdaya dan tak percaya/bahwa takdir punya rencana lain untuk kita/kita dipertemukan oleh ketidakmungkinan/sebab kewajaran hanya ada dalam pikiran”.''
 
Akhirnya, jika benar hakikat puisi adalah menyairkan kehidupan, bagi Kedung agaknya: kehidupan yang telah, sedang, dan akan dirambah memang beresensikan “sebuah perjalanan”, betapapun judul antologi yang dipilih mengesankan suasana romantis:  ''Masa Lalu Terjatuh ke Dalam Senyumanmu.'' Tak masalah. Yang penting, makna “perjalanan” yang bertolak dari dimensi waktu dalam puisi-puisi yang dihimpun dalam antologi ini, mampu diisyaratkan oleh diksi dan kolokasi yang tidak jatuh pada kekenesan estetik semata.<ref name=":3">{{Cite web|title=Masa Lalu Melulu|url=https://basabasi.co/masa-lalu-melulu/|website=Basabasi|access-date=16 April 2022}}</ref> Atau sebaliknya, tidak jatuh menjadi khotbah yang menggurui. Kemampuan Kedung melepaskan diri dari jeratan semacam itu, menjadikan proyeksi dan dialektika[[dialektik]] makna perjalanan terkomunikasikan dalam dan melalui puisi-puisi yang berstruktur sederhana. Puisi-puisi dalam antologi ini mampu berbicara bahwa “perjalanan” itu pasti ada awal dan ada akhir, ada terminal atau pelabuhan pemberangkatan, dan ada pula terminal atau pelabuhan akhir. Ada masa lalu yang ditinggalkan, masa kini yang dirambah, dan masa depan yang dituju atau dibayangkan. Jadi, Kedung, seperti halnya penyair-penyair lain, tidak lain adalah seorang “perjalanan“pejalan budaya,” yakni perjalananpejalan yang sedang berupaya membangun lintasan kreatifnya sendiri yang idiosinkratik melalui puisi. Apakah lintasanLintasan yang kini dibangundibangunnya Kedungberpulang menjadikepada lintasandirinya yang kokohsendiri, atau sebaliknya. Semuanya berpulang kepada Kedung:yaitu menulis lagi, atau hanya puas sampai di sini.{{sfnp|Romansha|2018||p=xv–xvi|ps=}}
 
== Daftar puisi ==
Baris 154 ⟶ 103:
* ''Bulan Gendut itu Menatapmu.''
* ''Pada Bulan April, Aku Duduk Menatapmu.''
* ''Ruang Tunggu.''{{sfnp|Romansha|2018||p=25–38|ps=}}''
 
=== ''Sepasang Gelas Kosong'' ===