Otto Djaya: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k fix
 
(16 revisi perantara oleh 8 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 10:
|othername =
|ethnicity = [[Sunda]]
|deathdate = 23 Juni {{death year and age|2002|1907}}
|death_date = {{Death date and age|2002|6|23|1916|10|6}}
|deathplace =
|yearsactive = 1941-2002
|organization=* [[Persagi|Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi)]].
* Sanggar Pelukis Rakjat.
* [[PETA|Pembela Tanah Air (PETA).]]
* [[BKR|Badan Keamanan Rakjat (BKR)]] Resimen III Divisi III
|occupation =* Guru
* Pelukis
Baris 29:
|influenced =
|website =
|education=* [[HIS|Hollandsch-Inlandsche School (HIS)]] Pandeglang.
* [[MULO|Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO)]] Bandung.
* [[Algemene Middelbare School]] Bandung
* [[PETA|Pembela Tanah Air (PETA)]] Bogor.
* [[Academie Voor Beeldende Kunsten]] Belanda.
|awards=* Asia Raya Prize Dalam Eksibisi Meijisetsu, 1943.
* Jasa Tiga Bintang Emas Pejuang Kemerdekaan RI (NPV atau Nomor Pokok Veteran: 8.20.585.)
}}
 
'''Otto Djaya''' atau lengkapnya '''Raden Otto Djaya Suntara''' merupakan pelukis handal asal [[Indonesia]] yang berkarya dalam beberapa jamanzaman: Mulai era Pemerintahan [[Hindia Belanda]], [[Jepang|Pendudukan Kerajaan Jepang]], [[Revolusi Nasional Indonesia|Revolusi Fisik]], [[Orde Lama]], [[Orde Baru]], sampai [[Era Reformasi|Jaman Reformasi.]] Meski ia bersikeras tidak mau terjebak dalam gaya-gaya klasik manapun, Otto adalah pelukis beraliran ekpresionis. Karya-karya lukisannya digemari dan diakui hingga mancanegara. Salah satu pengkoleksi karyanya adalah [[Presiden Indonesia|Presiden Republik Indonesia]] pertama, [[Soekarno|Ir. Soekarno]]. Otto merupakan seniman lukis sekaligus pejuang kemerdekaan.<ref name=":0">{{Cite book|title=Dunia Sang Otto Djaya, 1916 - 2002|last=Holst|first=Inge-Marie|publisher=|year=2016|location=|edition=3 Dalam Bahasa Indonesia}}</ref>.
 
== Riwayat Hidup ==
Raden Otto Djaya Suntara lahir di [[Rangkasbitung, Lebak|Rangkasbitung]], [[Kabupaten Pandeglang]] tanggal 6 Oktober 1916. Ia adalah anak kedua dari pasangan Raden Wirasandi Natadiningrat-Sarwanah Sunaeni. Di atasnya ada [[Agus Djaya|Agus Djaya Suminta]] (1913 – 1994) dan di bawah Otto adalah adik perempuannya, Neneng Khatidjah (1921-2010). Otto bukan berasal dari kalangan berada namun bukan juga dari golongan bawah. Ayahnya merupakan keturunan keluarga [[ningrat]] [[Banten]] yang bekerja pada [[Kawedanan|Bupati Wedana]] (atau kepala wilayah Pandeglang) yang notabene berada di bawah Pemerintahan Kolonial [[Hindia Belanda]]. Tugas ayahnya mengawasi hutan-hutan yang ada di Banten.<ref name=":0" />.
 
Otto menikah di usianya yang ke 35 tahun, umur “terlambat” untuk ukuran laki-laki Indonesia, apalagi di masa-masa itu. Pada tanggal 4 Juni 1951 ia secara resmi menikahi wanita asal [[Kota Semarang|Semarang]] bernama Titi Hernadi. Resepsi pernikahan menyusul kemudian pada tanggal 14 Juli 1951. Keduanya bertemu saat bekerja di perusahaan percetakan Bisnis Indonesia. Mereka tinggal di rumah sendiri di Jalan Bendo No.5, Candi Baru, Semarang, [[Jawa Tengah]].
Baris 47 ⟶ 48:
 
== Pendidikan ==
Pada tahun 1923 Raden Wirasandi Natadiningrat memasukkan Otto di sekolah Belanda khusus Bumiputera ([[Hollandsch-Inlandsche School]]) di Pandeglang. Ketertarikannya terhadap seni lukis dimulai di sekolah tersebut. Tujuh tahun berikutnya Otto pergi ke [[Kota Bandung|Bandung]] untuk melanjutkan pendidikannya   di [[Meer Uitgebreid Lager Onderwijs|Meer Vitgebreid Lager Onderwijs]], atau sekolah dasar lanjutan selama tiga tahun berikut. Pendidikan formalnya berlanjut di [[Algemeene Middelbare School|Algemene Middelbare School]] Bandung pada tahun 1933. Otto lulus ketika ia berusia 20 tahun. Lalu dilanjutkan ke Sekolah Arjuna di Petojo, [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|Jakarta]]. Diperkirakan selama setahun ia bersekolah disana. Yang jelas Agus Daya sudah menjadi guru di sekolah ini selama periode tahun 1930 –1933.<ref name=":0" />.
 
Pada tanggal 9 Maret 1942 Hindia Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Dengan demikian secara resmi wilayah Indonesia jatuh ke tangan Jepang.<ref>{{Cite book|title=Serangan Umum 11 Maret 1949 Dalam Kaleidoskop Sejarah Perjuangan Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia|last=Hutagalung|first=Batara R.|publisher=LkiS|year=2010|isbn=979-1283-94-X|location=Yogyakarta|page=|edition=I}}</ref>. Meski sudah berkuasa penuh, negeri Sakura tersebut memandang perlu dibentuknya pasukan sukarelawan lokal untuk memperkuat kesatuan tentara yang ada. Inisiatif tersebut disambut hangat kaum nasionalis Indonesia. Pada tanggal 3 Oktober 1943 PETA ([[Pembela Tanah Air]]) resmi dibentuk. Jepang lalu mengumumkan perekrutan dan pelatihan prajurit bagi orang lokal untuk mengisi posisi perwira (Komandan Kompi) PETA. Beberapa bulan kemudian atau sekitar tahun 1944 Otto mendaftarkan diri. Selama 3 bulan Otto mendapatkan pendidikan militer ala Jepang, untuk kemudian lulus berpangkat [[Mayor]]. Ke depan Mayor Raden Otto Djaya Suntara terlibat langsung dalam revolusi fisik.  
 
Setelah Jepang menyerah kalah dari [[Sekutu|Pasukan Sekutu]] dan [[Indonesia|Republik Indonesia]] diproklamirkan, [[Amerika Serikat]] mengumumkan pengalihan tanggung jawab atas wilayah Indonesia kepada [[Inggris]] yang tak lain adalah sekutu Belanda juga. Sebulan setelah pasukan Inggris di [[Bandar Udara Internasional Kemayoran|Bandara Kemayoran]], Jakarta, Gubernur-Jenderal [[Hubertus Johannes van Mook|Hubertus van Mook]] kembali datang ke [[Jawa|Pulau Jawa]] dengan misi kembali membangun pemerintahan kolonial. Pada tanggal 13 Juli 1946 Komando Pasukan Sekutu [[Asia Tenggara]] secara resmi menyerahkan Indonesia kepada Belanda (kecuali Pulau Jawa dan [[Sumatra|Sumatera]]).
Baris 60 ⟶ 61:
 
== Pelukis dan Pejuang ==
Otto adalah veteran perang RI. Sebagai mantan prajurit PETA Otto menerima penghargaan jasa tiga bintang emas di era kepemimpinan [[Soeharto|Presiden Suharto]] (terdaftar dengan Nomor Pokok Veteran: 8.20.585<ref name=":3">{{Cite book|title=Ensiklopedi Tokoh Kebudayaan V|last=Ibrahim|first=Muchtaruddin|publisher=Departemen Pendidikan Nasional|year=2000|isbn=|location=Jakarta|page=|last2=Lismiarti|last3=Shalfiyanti|first3=|last4=Riama|first4=Espita|last5=Maryam Sanggupri Buchori|first5=Andi|last6=Haryono|first6=P. Suryo|last7=Wulandari|first7=Triana|last8=Gunawan|first8=Restu}}</ref>). Meski karirkarier militernya sangat singkat hanya dua tahun (1944-1946), Otto pernah terlibat langsung dalam pertempuran fisik. Yang unik dari dirinya adalah meski berstatus sebagai tentara Otto tetap produktif menghasilkan karya-karya lukisan.<ref name=":0" />.
 
Ketika menjadi taruna saat mengikuti pelatihan militer PETA di [[Kota Bogor|Bogor]], waktu-waktu istirahatnya selalu diisi dengan melukis. Menurutnya, melukis adalah salah satu cara agar dirinya tetap "waras" di kamp pelatihan. Bukannya apa-apa, latihan fisik di PETA itu sangat keras. Selama tiga bulan para kadet digembleng fisiknya siang malam dan terisolasi dari dunia luar. Seusai latihan mereka tidak bisa melakukan apa-apa kecuali istirahat lalu tidur. Namun, Otto memaksakan diri menggunakan waktu-waktu istirahatnya dengan melukis dan melukis. Ternyata para serdadu Jepang meminati karya-karya indah Otto. Semua lukisannya laku terjual. Bahkan ada beberapa yang dibawa ke Jepang untuk kemudian dijual disana.
 
Pada tanggal 29 Agustus 1945 Mayor Otto Djaya datang ke Asrama Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam), Balai Muslimin Indonesia di Jakarta. Tidak diketahui dalam rangka apa ia datang ke sana. Yang jelas, sebelum kedatangannya ada himbauan dari Subianto Djojohadikusumo selaku Ketua Umum PP STI kepada sesama pengurus, A. Karim Halim, agar mahasiswa STI menuliskan berbagai semboyan revolusi di trem, kereta api, bus, tembok-tembok gedung, dan di berbagai tempat strategis lainnya. Singkatnya, mengetahui latar belakang Mayor Otto adalah pelukis, Karim memintanya untuk menuliskan berbagai semboyan revolusi seperti himbauan tadi.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://republika.co.id/berita/kolom/wacana/plrqwh385/henriette-roland-holst-dan-misteri-prabowo-baca-sajak|title=Henriette Roland Holst dan Misteri Prabowo Baca Sajak|last=Hakiem|first=Lukman|date=23 Januari 2019|website=republikaonline|access-date=7 April 2019}}</ref>.
 
Untuk diketahui Subianto Djojohadikusumo adalah salah satu pemuda yang mendatangi dan mendesak Bung Karno dan [[Mohammad Hatta|Bung Hatta]] pada tanggal 15 Agustus 1945 sore untuk segera memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia pada hari itu juga. Pertemuan dilakukan di halaman belakang Institut Koningin Wilhelmina, Jalan Pegangsaan Timur No. 15. Kelak, Pada tanggal 25 Januari 1946, Taruna Subianto Djojohadikusumo beserta adiknya Sujono Djojohadikusumo dan 35 taruna [[Akademi Militer Tangerang]] lainnya gugur dalam insiden perundingan perlucutan senjata dengan tentara Jepang di Hutan Lengkong, [[Kota Tangerang|Tangerang]].
Baris 70 ⟶ 71:
Atas permintaan STI itu Mayor Otto pun lantas setuju. Dilakukanlah aksi corat-coret seperti yang diminta, mulai dari pool trem di belakang Balai Muslimin, [[Stasiun Pasar Senen|Stasiun Senen]], [[Stasiun Gambir]], [[Stasiun Manggarai]], dan lain-lain. Penduduk Jakarta dibuat gempar dengan aksi tersebut. Dengan gembira mereka membaca slogan-slogan revolusi ditulis dalam [[Bahasa Indonesia]] maupun [[Bahasa Inggris|Inggris]]. Selanjutnya aksi corat-coret tersebut diikuti dan menyebar cepat ke berbagai kota besar di Pulau Jawa: Bogor, Bandung, [[Kota Cirebon|Cirebon]], dan Semarang.
 
Keterlibatan Mayor Otto Djaya (beserta Agus Djaya) dalam pertempuran pertama kali ketika ia beserta pasukannya (Resimen III Divisi III plus masyarakat sipil Sukabumi) mendapat tugas menghadang Pasukan Sekutu (Inggris dan Belanda). Bulan Desember 1945, tentara Sekutu memasuki kawasan Sukabumi dalam rangka mengamankan jalan-jalan antara Bogor dan Sukabumi. Tidak berimbang, Sekutu bersenjata lengkap plus tank-tank amphibinya sedangkan pasukan Indonesia hanya menggunakan senjata pampasan dari pasukan Jepang yang telah menyerah. Pasukan Indonesia terjepit. Beruntung, berkat hujan deras dan kabut yang tebal, Resimen III Divisi III berhasil lolos dari kepungan Sekutu. Ribuan orang dinyatakan gugur dalam kontak bersenjata yang kemudian dikenal sebagai pertempuran [[Bojongkokosan, Parungkuda, Sukabumi|Bojong Kokosan]] itu.<ref name=":0" />.
 
4 Januari 1946 Sukarno dan Hatta pindah ke Yogyakarta untuk mendirikan pemerintahan sementara. Otto beserta seniman-seniman lainnya, termasuk Agus Djaya, hijrah mengikuti Presiden Sukarno. Misi mereka adalah mendukung revolusi dengan membuat propaganda lewat karya-karya seni. Di kota pelajar itu Otto dan Agus mendirikan Sanggar Pelukis Rakyat (SPR). SPR merupakan ide pelukis senior [[Affandi]] dan [[Hendra Gunawan (pelukis)|Hendra Gunawan]] yang juga mendapatkan sambutan positif dari Presiden Sukarno. Sanggar ini boleh dibilang memegang peranan penting atas perkembangan seni rupa di Indonesia. Banyak pelukis-pelukis SPR melukiskan potret-potret para pejuang revolusi maupun ketika mereka sedang bertempur di medan laga.
Baris 77 ⟶ 78:
 
== Inspirasi ==
Otto Djaya mulai tertarik pada seni lukis dan mempelajarinya saat ia bersekolah di Hollandsch-Inlandsche. Tahun 1928, atau ketika ia berusia 12, ia mulai mengikuti kelas seni pertamanya. Ketertarikannya itu berlanjut hingga ia bersekolah di Bandung, di Meer Vitgebreid Lager Onderwijs. Kala itu Otto melukis dengan gaya bebas sederhana. Otto melukis apa yang ia rasa dan ia lihat.<ref name=":0" />. Hal demikian mungkin membentuk Otto dewasa dalam karya-karyanya ke depan menjadi seorang pelukis bohemian, non-konformis, yang mendefinisikan refleksi dan estetika pribadinya sendiri.<ref name=":2" />.
 
Meski demikian, Otto merupakan pengagum pelukis Eropa kenamaan berdarah Yahudi [[Marc Chagall]] (1887-1985). Sebagai bentuk kekagumannya ia lalu pergi ke Paris untuk menemui idolanya tersebut. Otto mengakui bahwa ia mengagumi Chagall karena selera humornya dan cara dia menggambarkan realita sosial. Pengaruh Chagall dapat terlihat di lukisan-lukisan seorang Otto Djaya.<ref name=":0" />.
 
Karya-karya Otto sangat khas. Ia melukiskan hal-hal yang dekat dengan kehidupan nyata sehari-hari yang dituangkan dalam suanana yang sarkas sehingga menjadi lucu. Hal demikian mencerminkan jiwa kritisnya. Dalam lukisannya ia banyak menampilkan tokoh [[Panakawan|Punakawan]]. Karakteristik Otto lainnya adalah goresannya yang mendetail. Tubuh manusia maupun binatang ia gambarkan secara gamblang. Gaya lukisan model ini disebut lukisan figuratif, yang notabene dihindari oleh kebanyakan Orang [[Muslim]]. Gaya lukisan Otto pun ditengarai mirip dengan pelukis-pelukis asal Eropa yang tergabung dalam Cobra (Copenhagen, Brussels, and Amsterdam).<ref>{{Cite web|url=https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20161006122048-241-163684/otto-djaya-ruang-sempit-di-indonesia-dan-pengakuan-di-eropa?|title=Otto Djaya, Ruang Sempit di Indonesia dan Pengakuan di Eropa|last=Armenia|first=Resty|date=06 Oktober 2016|website=cnnindonesia|access-date=8 April 2014}}</ref>. Tidak bisa dipungkiri juga bahwa Agus Djaya, abang Otto, juga memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan gaya-gaya melukis Otto Djaya<ref name=":0" />
 
== Pameran ==
 
'''6 Mei-6 Juni 1941'''. Otto Djaya dan 30 anggota [[Persatuan Ahli Gambar Indonesia|Persagi]] (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) menggelar Pameran di Gedung Kunstkring, [[Menteng, Jakarta Pusat|Menteng]], [[Kota Administrasi Jakarta Pusat|Jakarta Pusat]]. Mereka memamerkan 61 lukisan bertema pemandangan dan keseharian orang Indonesia. Pameran ini merupakan tonggak sejarah baru bagi seniman gambar Indonesia, khususnya seniman-seniman Persagi. Tidak mudah bagi pelukis [[Boemi Poetera|Bumiputera]] untuk berpameran di Kunstkring, bahkan sekedarsekadar diundang untuk melihat-lihat pameran. Pertama tentu saja karena politik diskriminasi penjajah, faktor lainnya adalah, kebanyakan pelukis Indonesia [[otodidak]], bukan lulusan akademi. Sebelumnya, proposal Agus Djaya dan [[S. Sudjojono]] untuk menggelar pameran berkali-kali ditolak.<ref name=":0" />.  
 
Gedung Kunstkring dibuka untuk pertama kali pada 17 April 1914. Gedung ini dijadikan pusat ekshibisi seni dan restoran mewah. Hingga awal 1939 banyak pergelaran seni digelar di Gedung Kunstkring (arti dalam bahasa Indonesianya Lingkaran Seni). Lukisan karya [[Pablo Picasso]] dan [[Vincent van Gogh]] pernah dipamerkan di sana. Tempat ini sekarang dimiliki Pemerintah Provinsi [[Daerah Khusus Ibukota Jakarta|DKI Jakarta]]. Kini disewa dan dikelola Grup Hotel Tugu dan Restoran.<ref>{{Cite web|url=https://travel.kompas.com/read/2014/04/21/1234223/Kunstkring.Jadikan.Menteng.Lebih.Bermakna|title=Kunstkring Jadikan Menteng Lebih Bermakna|last=Triana|first=Neli|date=21 April 2014|website=kompas online|access-date=9 April 2019}}</ref>.
 
Gedung Kunstkring didirikan atas prakarsa pecinta seni di [[Batavia]], Nederlandsch-Indische Kunstkring, atau Kelompok [[Seni rupa|Seni Rupa]] Murni Hindia Belanda. Yang boleh menjadi anggota adalah orang Eropa. Bumiputera boleh menjadi anggota dengan syarat dianggap memiliki pengaruh. Syarat lainnya, seniman itu setidaknya harus memiliki salah satu orang tua yang berkebangsaan Belanda. Setelah di Batavia, Kunstkring-Kunstkring lain bermunculan. Tahun 1942 Jepang menduduki Hindia Belanda, otomatis eksistensi Kunstkring terhenti.<ref name=":0" />.
 
'''20 November 1943'''. Poetera dan Keimin Bunka Shidosho menggelar empat belas pameran, dimana Otto terlibat di dalamnya. Otto memenangkan Asia Raya Prize pada eksibisi Meijisetsu.
Baris 95 ⟶ 96:
'''1944'''. Otto Djaya mengadakan eksibisi tunggal dengan tema “Semangat Keprajuritan dan Patriotisme”. Tema ini dipilih untuk menggambarkan perjuangan prajurit membela tanah air. Pameran digelar di pusat kebudayaan di Jakarta. Pameran ini merupakan salah satu dari sekian banyak pameran yang diselenggarakan oleh Keimin Bunka Shidoshu bagi para seniman Indonesia dan Jepang.
 
'''29 Agustus 1945.''' Mayor Otto Djaya diminta Mahasiswa STI (Sekolah Tinggi Islam) menulis semboyan-semboyan revolusi di tempat-tempat umum di sekitaran Jakarta. Aksi tersebut menuai sambutan baik oleh warga Jakarta. Aksi coretan Otto tersebut menular di kota-kota besar lainnya.<ref name=":1" />.
 
'''1946'''. Otto Djaya menggelar eksibisi solo di [[Museum Nasional Indonesia|Museum Nasional]] Jakarta sekembalinya dari medan perang, atau setelah ia memutuskan berhenti dari dinas kemiliterannya. Otto memamerkan karya-karya lukisnya dari garis depan medan pertempuran.  
 
'''20 Februari 1947'''. Karya Agus dan Otto Djaya digelar Kementerian Pendidikan Seni dan Ilmu Sains Republik di Museum di Koningsplein, Kings Square, Jakarta. Gubernur Jenderal van Mook hadir dan membeli beberapa lukisan mereka.<ref name=":4">{{Cite web|url=https://www.cnnindonesia.com/hiburan/20161006210601-241-163850/jejak-langkah-dan-sepak-terjang-otto-djaya|title=Jejak Langkah dan Sepak Terjang Otto Djaya|last=Indra|first=Rahman|date=07 Oktober 2016|website=cnnindonesia|access-date=8 April 2019}}</ref>.
 
'''10 Oktober 1947'''  Otto Djaya mengelar pameran tunggal di Belanda yang digelar di Amstelstroom Museum Stedelijk. 81 karyanya dipamerkan, baik yang dibuat di Belanda maupun ketika ia berada di Indonesia. 2 lukisan masing-masing dibuat tahun 1942-1943, 3 lukisan tahun 1944, 3 lukisan 1945, 51 lukisan tahun 1946, dan 22 lukisan yang dibuat tahun 1947.<ref name=":0" />.
 
DitahunPada tahun yang sama Otto dan Agus Djaya menggelar pameran di Galeri Barbizon di area Saint Germain, [[Paris]], [[Prancis|Perancis]]. Awalnya pameran akan digelar di Museum Seni Modern Paris, namun dibatalkan mengingat museum tersebut sedang ditutup untuk sementara waktu. Para pengunjung menyukai karya keduanya. Mereka menyebut Otto sebagai pendongeng cerita.
 
'''5 Maret - 4 April 1948.''' Beberapa pelukis termasuk Otto dan Agus menggelar pameran di Museum Stedelijk yang bertema “Amsterdamse Schilders Van Nu” (Pelukis-Pelukis Amsterdam Sekarang). Pameran ini menampilkan karya-karya ekspresi seni yang timbul pasca Perang Dunia II. Otto menampilkan 3 karyanya yakni, “Visite”, “Gewijd Avondmaal”, dan “Javaanse Danseres”. Masing-masing terjual seharga 300 [[Gulden Hindia Belanda|Gulden]], 150 Gulden dan 230 Gulden.
 
'''1949.''' Otto mengikuti Eksposisi Le Grand Prix de Peinture de Monaco di Monte Carlo dan menerima “Premiere Mention Honorabile“.<ref name=":4" />.
 
'''22 April 1950.''' Ini merupakan eksibisi perpisahan bagi Otto dan Agus. Diselenggarakan Sentral Budaya Internasional di [[Amsterdam]]. Eksibisi ini dibuka oleh Raden Djumhana (Deputi Komisaris Tinggi Republik Indonesia Serikat).<ref name=":0" />.
 
'''1951'''. Beberapa lukisan Otto Djaya yang disimpan di Belanda dipamerkan dalam acara [[Biennale]] di [[São Paulo|Sao Paulo]], [[Brasil|Brazil]]. Otto absen dalam acara tersebut. Adalah anggota Persagi, Kusnadi (1921-1990), yang bertanggung jawab menyeleksi lukisan-lukisan Indonesia untuk dipamerkan di sana. Pelaksanaan pameran menuai sukses besar.<ref name=":4" />.
 
'''25 Februari-15 Maret 1952.''' Sebuah eksebisi diadakan di Galeri John Heller, jl. 47 East 108, [[New York]], USA. Memamerkan lukisan-lukisan Indonesia Modern: Karya Otto, “Dream of Maya” dan “Dream”,   karya Affandi, "Emiria Sunassa", karya Hendra, S. Sudjojono, Sudyardjo dan Zaini. Galeri Heller merupakan salah satu galeri yang paling aktif dan dianggap penting di Amerika Serikat pada tahun 1952.<ref name=":0" />.
 
'''27 Maret 1952.''' Beberapa institusi kebudayaan di Bogor menggelar eksibisi tunggal bagi Otto Djaya.
Baris 159 ⟶ 160:
'''24 Juni-7 Juli 1999.''' 35 lukisan karya Otto Djaya dipamerkan dalam sebuah eksibisi tunggal di [[Museum Benteng Vredeburg]], Yogyakarta. Semua karya Otto ludes terjual.
 
'''30 September-9 Oktober 2016'''. [[Galeri Nasional Indonesia]] mengadakan pameran karya-karya lukis Otto Djaya bertajuk "100 Tahun Otto Djaya". Diinisiasi oleh Inge-Marie Holst dan Hans Peter Holst (pasnaganpasaggan suami-istri pengagum dan kolektor lukisan-lukisan Otto Djaya). Pameran ini digelar di Gedung A Galeri Nasional Indonesia dan diperlihatkan sekitar 200 karya almarhum Otto Djaya.<ref name=":2">{{Cite web|url=http://galeri-nasional.or.id/newss/062-100_tahun_otto_djaya_1916__2002|title=Press Release : 100 Tahun Otto Djaya (1916 - 2002)|last=|first=|date=|website=galerinasional|access-date=7 April 2019}}</ref>.
 
== Akhir Hayat ==
Titi Hernadi lebih dahulu meninggalkan suaminya pada tanggal 12 November 1990. Sepeninggal istrinya itu, Otto tinggal berdua dengan anak ketiganya Asoka Kusuma Djaya. Empat tahun sepeninggal Titi, Otto dan Asoka memilih pindah ke [[Kota Depok|Depok]], sekaligus membangun sebuah studio lukis di sana. Asoka bertindak sebagai kurator merangkap pengelola bagi acara-acara ayahnya. Asoka sama seperti Otto, seorang seniman jebolan [[Institut Kesenian Jakarta]] Cikini.
 
Pada tanggal 10 Agustus 1995 Otto Djaya terkena serangan [[strok]]e, atau sesaat sebelum pembukaan pameran lukisan karya-karya Otto di Gedung B Galeri Nasional Indonesia Jakarta, menyambut 50 Tahun Proklamasi RI. Pasca stroke, Otto sulit berbicara, apalagi bergerak. Selama enam bulan Otto mendapatkan rehabilitasi medis. Ternyata stroke tidak bisa membuat Otto beristirahat melukis. Otto adalah tipe orang yang pantang menyerah.<ref name=":0" />. Karena tidak sanggup berjalan jauh, Otto mengkonsumsi koran, menonton televisi dan film yang bagus-bagus. Dia enggan menonton sinetron.<ref name=":3" />.
 
Sebagai bukti keproduktifannya pasca serangan Stroke, Otto menggelar pameran di Galeri Cipta II [[Taman Ismail Marzuki]]. 23 dari 50 lukisan Otto merupakan karya-karya terbarunya. Asoka tinggal mendampingi ayahnya di Depok hingga Otto Djaya menyusul Titi Hernadi dan Agus Djaya. Mayor (Purn.) Raden Otto Djaya Suntara akhirnya tutup usia pada bulan 23 Juni 2002 dalam umurnya yang ke-86 tahun. Pelukis sekaligus pejuang kemerdekaan itu dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum Tanah Kusir.
Baris 170 ⟶ 171:
== Referensi ==
<references />
{{sedangAuthority dituliscontrol}}
 
[[Kategori:Pelukis Indonesia]]
[[Kategori:Alumni Institut Kesenian Jakarta]]