Peradilan Islam di Malaysia: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
k fix
 
Baris 3:
{{nocat}}
 
Peradilan adalah suatu proses yang dijalankan di pengadilan yang berhubungan dengan tugas memeriksa, memutus dan mengadili perkara. Sedangkan pengadilan adalah badan atau instansi resmi yang melaksanakan sistem peradilan berupa memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Peradilan atau dalam bahasa arab diungkapkan dengan kata qadā’ berarti memutuskan, memberi keputusan, menyelesaikan. Menurut istilah adalah  suatu lembaga  pemerintahan/negara yang ditugaskan  untuk menyelesaikan/menetapkan  keputusan  atas setiap  perkara dengan adil berdasarkan hukum yang berlaku. Dengan demikian kalau peradilan Islam, maka yang dijadikan dasar adalah hukum Islam. Sedangkan pengadilan adalah tempat untuk mengadili suatu perkara dan orang yang bertugas mengadili suatu perkara disebut  qāḍi atau  hakim.
 
Sebagai  lembaga negara  yang  ditugasi untuk  menyelesaikan  dan memutuskan setiap perkara dengan adil, maka peradilan berfungsi untuk  menciptakan ketertiban   dan ketentraman   masyarakat   yang   dibina  melalui  tegaknya hukum. Peradilan  Islam  bertujuan pokok untuk menciptakan kemaslahatan umat dengan tegaknya hukum Islam. Untuk terwujudnya hal tersebut di atas, peradilan  Islam   mempunyai tugas  pokok yaitu; mendamaikan  kedua  belah  pihak yang  bersengketa, menetapkan sangsi dan menerapkannya kepada para pelaku perbuatan  yang melanggar  hukum, terciptanya amar ma’ruf nahi munkar, dapat melindungi jiwa, harta dan kehormatan masyarakat, serta menciptakan kemaslahatan umat dengan tetap tegak berdirinya hukum [[Islam]].
 
== Sejarah Peradilan Islam di Malaysia ==
Baris 12:
Di era Kesultanan Melayu Melaka (1400-1511), sistem peradilan Islam dijalankan oleh seorang sultan yang memegang monarki kerajaan. Posisi seorang sultan memainkan peran penting dalam kekuasaan legislatif, eksekutif, dan Mahkamah. Peradilan pada saat itu dikenal sebagai Pengadilan Balai terdiri dari ulama kadi sebagai penyelenggara yang berorientasi administrasi di Timur Tengah, sedangkan keputusan akhir masih dipegang oleh seorang sultan. Pada era ini, pengaruh kolonial Inggris di Tanah Melayu mulai merambah pada tahun 1786 oleh Sir Francis Light di Pulau Pinang dan Sir Stamford Raffles di Singapura. Dimasa Kesultanan Melayu lama (1511-1800), struktur istana Islam tidak jauh berbeda dengan Kesultanan Islam Melayu Melaka. Peran penasehat yang dilakukan oleh kadi (Hakim setempat) tidak lagi menonjol. Para ulama saat itu juga bisa menjadi penasehat dalam urusan syariah, karena itu wadah lembaga pada cara ini disebut sebagai "Mahkamah Masjid yang menyelesaikan perkara di surau-surau atau masjid."
 
Pada masa penjajahan Inggris (1800-1900). Sistem peradilan Islam di Malaysia dikenal dengan nama Kehakiman Kesultanan Melayu Abad Pertengahan. Di zaman ini, Posisi Mahkamah balai dihapuskan oleh kolonial Inggris. Namun, posisi sultan tetap dipertahankan dalam menentukan putusan pengadilan. Baru setelah itu fungsi penasehatan dilakukan oleh seorang mufti atau syekh yang memiliki kewenangan untuk menfatwakan dan merekomendasikan kebijakan suatu perkara. Finalisasinya tetap disampaikan oleh seorang  sultan sebagai penguasa. Pada masa inilah fungsi pengadilan adat mulai dijalankan dan diketuai oleh hakim yang ditunjuk oleh kesultanan. Baru pada tahun 1948, hierarki pengadilan di Malaysia sangat dipengaruhi oleh sistem peradilan kolonial Inggris. Pada tanggal 1 Februari 1948, Perintah Pengadilan tahun 1948 mulai berlaku dengan pembentukan negara-negara bagian Malaysia. Kedudukan Pengadilan Syari'ah juga merupakan institusi tingkat rendah dalam sistem hukum yang diberlakukan oleh pihak kolonial di Malaysia. Posisi pengadilan Syariah juga diberlakukan khusus hanya bagi warga negara Malaysia yang beragama Islam. Jabatan tertinggi tidak lagi ditempati oleh sultan, tetapi oleh Mahkamah Agung sebagai lembaga otoritas kolonial.
 
Sesudah Malaysia merdeka dari kolonialisme pada tahun 1957, sistem pemerintahan berubah dari monarki menjadi negara federal, monarki konstitusional dan demokrasi parlementer ketentuan tersebut juga menyatakan Islam sebagai agama negara dengan tetap menghormati kebebasan beragama. Konstitusi ini menyediakan kerangka kerja bagi cabang pemerintahan eksekutif, parlementer, dan yudikatif.  Dalam hukum negara Malaysia, sistem peradilan terbagi dan disesuaikan dengan nilai-nilai yang ada di masyarakatnya. Sistem hukum Malaysia mengacu pada empat sumber, yaitu: hukum tertulis, hukum adat, hukum Islam dan hukum kebiasaan. Hukum kebiasaam mencakup hukum kebiasaan Inggris dan aturan kesetaraan yang ditetapkan oleh pengadilan Malaysia, yang berpotensi bertentangan dengan hukum tertulis serta penyusuaian kualifikasi dan keadaan setempat.
 
Dalam sistem hukum di Malaysia pasca kemerdekaan, keberadaan Mahkamah syari'ah telah diubah menjadi mahkamah negeri-negeri (federal). Sistem pengadilan pada dasarnya federal. Baik hukum federal dan negara bagian berlaku di pengadilan federal.  Hanya pengadilan syari'ah yang menggunakan sistem hukum Islam, bersama dengan pengadilan pribumi di Sabah dan Sarawak, yang berurusan dengan hukum adat. Pada 1980-an, pengadilan Syariah dipisahkan dari Mejelis Agama Islam, dan kekuasaan pengadilan Islam dibagi menjadi tiga tingkatan: Mahkamah rayuan Syariah, Mahkamah tinggi Syariah, dan Mahkamah rendah Syariah.
 
Reformasi hukum di Malaysia secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok gagasan, tradisional dan modern. Ciri utama pemikiran fikih tradisional di Malaysia adalah mengikuti mazhab Syafi'i. Merujuk pada kitab Ushul Fiqh yang ditulis oleh para ulama tradisional, terdapat tekanan yang jelas untuk berpegang pada empat mazhab pemikiran, khususnya mazhab Syafi'i. Terkait hukum Muamalah, kasus yang dibahas adalah pertunangan, perkawinan, hak dan kewajiban suami-istri serta perceraian dan rekonsiliasi. Adapun bidang muamalah berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, seperti riba, khiyar, penjualan, penjualan saham, mufis, hutang, gadai, suih, hiwalah, dan lain-lain termasuk dalam persoalan faraid. Ranah Jinayah atau 'uqubat membahas tiga macam hukum, yaitu hudud, qiyas dan ta'zir. Hudud adalah hukuman yang telah ditetapkan dalam hukum Syariah, seperti perzinahan, pencurian, pengkhianatan dan ketidaktaatan. Qiyas adalah hukum yang membalas bunuh diri karena membunuh atau membayar diyat sebagai kompensasi. Hukum syariah tidak secara jelas mengatur hukuman lain untuk Ta'zir, tetapi kebijaksanaan hakim-lah yang akan memutuskan. Meskipun fiqh islam melingkupi Munakat, Muamalah, jinayah, dan lainya, masalah yang mendominasi pemikiran reformis biasanya berkisar pada masalah ibadah. Jika bisa dikatakan, ijtihad mereka hanya terfokus pada aspek-aspek yang tidak ada sangkut pautnya dengan persoalan sosial dan ekonomi Islam pada umumnya.