Teologi pembebasan dalam Islam: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
HsfBot (bicara | kontrib)
k Bot: nampak → tampak (bentuk baku)
k fix
 
(3 revisi perantara oleh 2 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 45:
Teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praktis daripada teologi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat leberatif dan menyangkut interaksi antara “apa yang ada” (is) da “apa yang seharusnya” (ought). Islam yang sekarang ini diwarnai dengan ketidakjelasan metafisiko-teologis (metaphysico-theological obfuscation) yang tampak dala formulasi teologisnya pada zaman pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Sebagaimana telah disebutkan di muka, Islam menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah yang menjadi pelopor terbentuknya kemapanan dan menentang nabi secara mati-matian demi mempertahankan status quo. Karakter ideologis Islam dan salah satu karakter dari agama-agama besar dunia adalah semangat anti status quo.
 
Bahwa Islam berorientasi praktis senyatanya disebut dengan tegas dan jelas di dal;am banyak ayat Al Qur’an. Seorang mujahidin (orang yang bersungguh-sungguh memperjuangakan kebenaran)  sangat di hargai di dalam Al Qur’an. “Tiadalah sama orang mukmin yang duduk saja di rumah, kecuali yang sakit, dan oarang yang berihad di jalan Allah dengan  harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “Allah menempatkan orang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajat lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah” (4:95).
 
Dengan demikian jelaslah bahwa jihad bukan  untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, namun dem kepentingan orang yang tertindas dan lemah. “Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan membela orang yangn tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata “Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dariMu!” (Al Qur’an, 4:75).
 
Jihad dalam Islam terutama  untuk  melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Kepentingan orang yang lemah selalu terngiang dalam benak Rasulullah dan sahabat-sahabat dekatnya. Abu Bakar, khalifah pertama, dalam pidato pertamanya setelah terpilihy menjadi khalifah, berkata, “Sekarang saya telah ditetapkan menjadi wali bagi kamu sekalian, meskipun saya tidak lebih baik dari kalian. Jika saya benar maka dukunglah saya, namun jika salah maka silahkan koreksi saya. Kebenaran adalah amanah, dan kebohongan adalah khiyanah. Siapa pun di antara kalian yang lemah, di mata saya kalian adalah kuat karena saya akan memenuhi hak-hak kalian sehingga hidup sejahtera, dan siapa di antara kalian yang kuat, di mata saya adalah lemah karena saya akan mengambil (yang kalian klaim) hak-hak kalian”.
 
Pernyataan tersebut ditekankan secara sangat jelas oleh Abu Bakar, yakni kebenaran, perlindungan terhadap kaum yang lemah dan penindasan noleh kelompok yang kuat. Beliau juga terbuka terhadap kritik, seandainya beliau melakukan kesalahan. Keinginan untuk berbuat baik, melindungi yang lemah dengan kekuasaan dan menganut prinsip pertanggungjawaban (accountability)merupakan hal yang mendasar dalam teologi pembebasan. Umar bin Khatab, khalifah kedua, selama masa pemerintahannya juga sangat berkompeten untuk  menghapuskan kemiskinan. Bahkan disebutkan, Umar pernah mengatakan jika ada seekor anjing mati di tepi sungai karenja kehausan, maka dirinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak.  Hal ini sejalan dengan ayat Al Qur’an, “Tiada sesuatu pun yang bergerak di muka bumi yang bukan karena rizki yang Allah berikan padanya” (11:6). Merupakan kehendak Allah bahwa seekor binatang pun tidak dibiarkan-Nya mati, apalagi manusia yang merupakan makhluk-Nya yang paling mulia.
 
Di sini kita lihat bahwa pada awal perkembangan Islam, sangat dicela jika sampai terjadi penderitaan di anatara anggota masyarakat. Nabi juga permah berdoa, “ Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekhufuran. “Dari perkataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nabi mengidentifikasikan antara penderitaanh, kemiskinan dan kekhufuran; ketiganya sangat tercela dan perlu dihyapuskan dari muka bumi. ''Kufr'' itu lawan dari iman (yang implikasinya sangat luas), dan penderitaan serta kemiskinanmerupakan masalah yang menyangkut moralitas dan budaya. Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (''fi-ahsan-i-taqwin''). Sehingga penderitaan dan kemiskinan betul-betul merupakan nagasi dari manusia sebagai sebaik-baiknya bentuk, yang akan menempatkannya ke tingkat yang paling rendah. Oleh karena itu, demi menegakkan kebenaran, teologi Islam harus berjuang atau berjihad nmelawan segala hal yang menyebabkan kemiskinan.
 
Arogansi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum yang lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat bbanyak, diskriminasi kuli, bangsa atau jenis kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan, semua ini akan mengarah pada struktur sosio-ekonomi yang menindas, dan oloeh karenanya perlu dilawan dengan iman. Tanpa jihad untuk membebaskan semua itu, maka iman seseorang berjumlah sempurna. Dalam konteks ini, Ahmad Amin, seorang sarjana Islam Mesir, memberikan penafsiran terhadap kalimat syahadat ''la ilaha illallah:''
 
Orang yang berkeinginan memperbudak sesamanya berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah; orang yang berkeinginan menjadi tiran berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selain Allah; penguasan yang berkeinginan merendahkan rakyatnya berarti ingin menjadi Tuhan, padahal tiada Tuhan selaqin Allah. Kita menghargai setiap manusia apa pun keadaannya dan dari aman pun asalnya, asal bisa menjadi saudara bagi sesamanya. Demokrasi, sosialisme dan keadilan sosial dalam makna yang sesungguhnya akan dan semakin berjaya karena mengajarkan persaudaraan, dan ini merupakan salah satu konsekuensi dari kalimat syahadat, tiada Tuhan selain Allah.
 
 
Konsep pokok yang lain dalam teologi Islam adalah ''tawhid,'' yang dalam rangka mengembangkan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam perbudakan, harus dilihat dari perspektif sosial. ''Tawhid'' yang dianggap sebagai inti dari teologi Islam biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional, menafsirkan ''tawhid'' bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (''unity of mankind'') yang ntidfak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (''classless society''). Konsep ''tawhid'' ini sangat dekat dengan semangat Al-Quran untuk menciptakan keadilan dan kebijakan (''al-‘adl wa al’ahsan''). Selama dunia terbagi menjadi negara-negara berkembang di satu sisi, dan kelas yang menindas-tertindas di sisi yang lain, kesatuan manusia yang sebenarnya tidak mungkin dicapai. Maka dari itu, ''tawhid'' merupakan iman kepada Allah yang tida bisa ditawar-tawar di satu sisi, dan konsekuensinya adalah menciptakan struktur yang bebas eksploitas di sisi lain. Sehingga tawhid yang bermakna bagi masyarakat tidak dapat dilepas dari dua hal tadi.
 
Dalah teologi pembebasan, selain masalah sosio-ekonomi, juga dibicarakan masalah psiko-sosial yang teramat penting. Struktur sosial saat ini sangat menindas dan harus dirubah sehingga menjadi lebih adil dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yang seringkali meminta pengorbanan. Bagi manusia biasa, perjunagan ini tidaklah mudah, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Pada setengah perjuangan awal atau kurang, biasanya selalu diliputi dengan pesimisme dan kesabaran yang benar-benar kuat. Keyakinan, optimesme dan kesabaran merupakan hal yang fundamental dalam dakwah Islam. “Allah mencintaiorang-orang yang sabar,” kata Al-Qur’an. Namun demikian, ayat ini lebih banyak disalahartikan. Ayat itu direduksi menjadi kesabaran yang melenggangkan ''status quo'', padahal yang ditekankan adalah yang sebaiknya, yakni kesabaran itu dituntut pada saat berjuang untuk melakukan perubahan sosial. Kesabaran dalam menerima kondisi yang mapan merupakan candu yang menjadi ciri teologi Islam zaman pertengahan, sedangkan kesabaran yang ditunjukkan selama mengadakan perjuangan untuk menciptakan perubahan sosial, merupakan sebuah senjata psikologis yang sangat kuat dalam menghadapi segala kesulitan.
 
.Al-Qur’an juga mengaskan bahwa konsep lain yang mendasar di dalam teologi tersebut adalah iman. Kata iman berasal dari kata ''amn'' yang berarti selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yakin. Iman yang sebenar-benarnya mengimplikasikan semua itu. Orang yang beriman pasti dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban, dan memiliki keyakinan terhadap semua nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Sekali lagi, iman kepada Allah mengantarkan manusia kepada perjuangan yang keras untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Iman membuat orang menjadi bisa dipercaya diandalkan dan cinta damai. Tanpa iman, pendapat seseorang menjadi kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya.
 
Tanpa dilatarbelakangi dengan iman, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya sendiri, dan akan memperbudak orang lain. “kata dan pola pikir itu berbahaya”,kata Erich Fromn,”karena bisa dengan mudah berubah menjadi kekuasaan yang kita sembah. Hidup itu sendiri harus dipahami dan dialami karena hidup itu mengalir, dan bersandarkan pada kebenaran.”[[# ftn2|[2]]] Itulah yang namanya keyakinan dengan segala implikasi nilainya yang membuat kata dan pola pikir menjadi bermanfaat, bukannya menjadi struktur yang menindas.
 
Dalam hal ini, harus diingat bahwa keyakinan cenderung brsifat irasional dan buta. Kita harus berhati-hati dengan namanya keyakinan. Akan tetapi, keyakinan yang Qur’ani tidak bersifat irasional dan buta. Al-Qur’an menekankan kesederajatan akal, intelek dan proses berpikir. Seringkali Al-Qur’an menyebut ''u’lil albab'' atau ''u’lil absar,'' yakni orang-orang yang berfikir atau mempunyai ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga mengajak manusia untuk memikirkan dan merenungkan alam semesta ini. Selain itu, keyakinan juga mensyaratkan adanya tujuan, dan kemudian Al-Qur’an jugta menegaskan bahwa alam semesta dan seisinya tidaklah diciptakan dengan sia-sia dan tanpa hukum yang jelas. Sebagaimana di dalam surat Ali Imran : 190-191, “Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Yakni orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan langit dan bumi. “Tuhan, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari siksa neraka.”
 
Menurut AL-Qur’an, seperti akan kita lihat nanti, kehidupan ini (''cosmos'') mempunyai akhir yang teleologis. Dengan lain perkataan, kehidupan ini ''value-oriented,'' dan hidup manusia harus mengarah pada tujuan tadi, dan ini harus diyakini sehingga prksis yang dijalaninya menjadi berarti. Al-Qur’an juga mengatakan ''Iman bi’l ghayb,'' yakni beriman kepada yang ghaib (2:3). Jika ayat ini ditafsirkan sesuai dengan semangat Al-Qur’an, maka ayat ini mengimplikasikan keyakinan kepada suatu potensi yang tak terbatas yang belum diaktualisasikan dan tidak telihat. Potensi ini tersimpan di alam semesta, yakni di dalam dan di luar diri manusia. Oleh karena itu, manusia harus yakin bahwa dirinya mampun mengembangkan potensi-potensi dan kreatifitas yang terletak di dalam dirinya dan tersembunyi dari pandangan umum tadi.
 
Tiada keyakinan akan berarti hilangnya makna dan kemudian akan menimbulkan keputusasaan. Keputusasaan ini akan berlangsung sampai akhir hayat, dan berarti tidak ada perubahan serta perkembangan. Manusia yang tidak mempunyai keyakinan akan kehilangan vitalitas dan hasrat hidup, dan tentu saja tidak mungkin berusaha untuk mencapai yang lebih baik dan melakukan perubahan. Inilah mengapa orang yang tidak memiliki keyakinan dan dirundung pesimisme dicela di dalam Al-Qur’an. Bagi teologi-teologi yang berorientasi pada perjuangan (''struggle-oriented'') dan semua teologi pembebasan berorientasi pada perjuangan pesimisme dan keputusan dianggap sebagai dosa. Al-Qur’an memerintahkan kepada orang-orang yang beriman, “Janganlah kamu berputus asa atau bersedih hati, karna kamu merupakan umat yang terbaik jika kamu benar-benar beriman” (3:139). Dan bagi orang-orang yang berusaha dengan sungguh-sungguh Allah menjanjikan, ‘Dan nabi-nabi Allah berperang di jalan-Nya bersama dengan sejumlah besar pengikutnya, tiada mereka bersedih hati karna berjuang di jalan Allah. Tiada mereka berputus asa dan menyerah. Dan Allah mencintai orang yang bersabar dan tabah’ (3:146).
 
Al-Qur’an memerintahkan orang-orang yang beriman agar berkeyakinan, berjuang melawan ketidakadilan dan agar tidak berputus asa serta menyerah pasrah. Hal ini merupakan bagian yang paling mendasar dalam teologi pembebasan.
 
Kita telah banyak mengupas masalah “perjuangan” yang ditekankan oleh Kitab Suci Al-Qur’an. Seluruh usaha ini didasarkan pada jihad guna melakukan pembebasan, bukannya jihad untuk melakukan perang, sebagaimana sering dimaknai oleh orang yang tidak hati-hati dalam menangkap semangat teks suci tersebut. Kita telah mengutip sejumlah ayat Al-Qur’an untuk menjelaskan substansi tesis dalam teologi pembebasan ini. Selanjutnya kita akan membahas banyak aspek teologi yang penting yang sangat relevan dengan teologi pembebasan dalam Islam. Aspek ini bersifat sosial dan juga filosofis. Untuk memulainya, akan diajukan sebuah pertanyaan, apakah manusia dalam berbuat memiliki kehendak bebas atau tidak ? Selain itu, kita juga akan mebahas masalah hak milik, secara sosial dan personal.
 
Masa awal perkembangan Islam, yakni selama pemerintahan empat khalifah pertama, umat disibukkan dengan perjuangan untuk mempertahankan Islam dan juga menyebarluaskannya ke jazirah Arab. Selama periode tersebut, kajian, perdebatan dan pertanyaan-pertanyaan yang tajam dan cerdas tentang filsafat seperti yang telah disebutkan di atas tidak pernah muncul. Manusia dalam bekerja merasa yakin dapat meraih tujuan hidup dan menggapai masa depannya, manusia memahami dirinya bukan sebagai orang yang tidak berdaya dan ditentukan oleh pihak di luar dirinya. Kehendak Allah dimengerti sebagai puncak inspirasinya, kehadirannya (''innate'') dan kedalamannya (''interiorised''). Tema-tema ketidakberdayaan manusia, determinasi dan ketergantungan manusia hanya muncul ketika manusia dimanjakan oleh kekuasaan yang mapan, yang menguatkan ''status quo''.
 
Teologi Islam mulai bergulat dengan masalah kehendak bebas ''vis a vis'' ketundukan pada takdir (''pre-determinasi''), dimulai setelah munculnya pemerintahan Umayyah yang kuat dan mapan yang dipegang oleh Amir Mu’awiyah, musuh khalifah Ali. Amir Mu’awiyah dan pengikutnya menetapkan dan memperkokoh aturan yang bersifat dinastik yang sangat mereduksi semangat Islam, yakni semangat berdemokrsi. Orang-orang yang berseberangan dengan dinasti Umayyah, yakni kaum Syiah (pengikut Ali), dibunuh dengan cara-cara di luar batas perikemanusiaan. Jihad diserukan untuk melawan ''mustakbirin'' (orang yang sombong dan sangat kuat) untuk membebaskan kaum yang tertindas dan lemah (“Mengapa kamu tidak berperang di jalan Allah dan membela orang yang tertindas, laki-laki dan perempuan dan anak-anak yang berkata, “Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dari-Mu. “ 4:75), namun pada saat itu, jihad dikumandangkanuntuk melawan musuh-musuh Umayyah, dan untuk mengkonsolidasikan kekuasaan Amir.
 
Kekuasaan Umayyah yang dimulai dari Amir Mu’awiyah sebagai pendidinya mulai menyebarkan dogma pre-determinasi sebagai lawan dari kehendak bebas, dalam rangka untuk mempertahankan ''status quo'' yang mereka ciptakan. Sejak saat itu peham kehendak bebas dan pre-determinasi menjadi bahan diskusi yang intensif dalam teologi Islam, orang-orang yang beroposan dengan penguasa mendukung paham kehendak bebas, sedangkan yang sejalan dengan penguasa mendukung paham pre-determinasi. Dalam teologi Islam yang digunakan para teolog untuk menyebut paham kehendak bebas adalah ''ikhtiyar,'' dan untuk paham pre-determinasi adalah ''jabr,'' Menarik untuk dicatat bahwa istilah-istilah ini diciptakan oleh para teolog Mu’tazilah yang mendirikan sebuah kelompok intelektual Islam. Mereka juga dikenal sebagai ''al’adl wa al-tawhid.''
 
Di sini perlu diperjelas tentang pengertian dua istilah yang diperdebatkan itu. ''Jabr'' berkonotasi bahwa individu dan masyarakat itu tidak mempunyai kebebasan untuk berkehendak, sedangkan ''ikhtiyar'' bermakna pilihan untuk melakukan sesuatu. Orang yang mengikuti pendapat pertama disebut ''jabariyah'' dan yang ke dua disebut ''qadariyah.''
 
Berbedea dengan Mu’tazilah, Khawarij (orang-orang yang melepaskan diri) juga cenderung pada paham kehendak bebas dan revolusi. Mereka sangat menentang Imam ''al-jaur'' (penguasa tiran) dan manjadi oposisi bagi penguasa yang seperti itu dan melakukan perlawanan terhadapnya merupaka bagian integrasi dari teologi mereka. Mereka juga menentang aturan-aturan yang bersifat dinastik (''dynastic rule'') dan menyakini kesamaan hak diantara umat Islam, serta menegaskan bahwa syarat untuk menjadi pegawai pemerintahan tidak didasarkan pada kesukuan atau daerah asal. Sedangkan kaum Syiah yang juga dikenal dengan nama Zaidiyah juga mempunyai pendapat sendiri tentang kriteria imamah, yakni penguasa itu harus menyerukan jihad untuk melawan pihak yang besikap tirani atau kemapanan yang menindas. Keduanya, Khawarij dan Zaidiyah, banyak melakukan pemberontakan malawan dinasti Umayyah dan bahkan beberapa di antara mereka dibunuh. Zaidiyah ini, menarik untuk dicatat, berada di bawah pengaruh pendiri Mu’tazilah (kelompok para pemikir), Wasil bin Ata.
 
Imam Hasan, puta Ali tertua yang termasyhur, yang mana pemerintahan ayahnya diambilalih oleh Amir Mu’awiyah, terlibat secara aktif dalam pemberontakan melawan Amir dan dia menekankan pentingnya ikhtiyar. Dalam salah satu suratnya yang ditujukan kepada masyarakat Basrah, sebuah kota di Irak, dia mengatakan bahwa manusia itu berbuat menurut kehendaknya (''sani’i af alihi''), baik perbuatan buruk atau baik. Menurutnya, Allah tidak bertanggungjawab atas perbuatan manusia, Allah tidak memaksa manusia untuk berbuat sesuatu; jika Allah memaksakan kehendak-Nya pada manusia, maka pahala dan dosa tidaklah berlaku.
 
Ali, khalifah Islam keempat dan pemikir pada permulaan Islam, juga menganut paham kehendak bebas. Namun demikian, pandangan Ali ini lebh seimbang. Ketika dia ditanya apakah manusia itu mempunyai kehendak bebas atau tidak, Ali lantas meminta orang yang bertanya tersebut untuk mengangkat salah satu kakinya, dan kemudian mengangkat kedua kakinya, dan tentu saja orang tadi tidak bisa melakukannya. Kemudian Ali berkata bahwa manusia itu sebenarnya mempunyai kebebasan yang terbatas. Manusia memiliki kebebasan sampai batas tertentu dan juga ketergantungan pada kekuatan di mluar dirinya. Amun demikian, ketika ada seorang Arab bertanya Ali tentang ''qada'' dan ''qadar'' dalam kaitannya dengan pemberontakan yang dilakukan oleh musuhnya, Mu’awiyah, dia mengatakan bahwa manusia itu bertanggungjawab atas perbuatannya dan bhahwa nasib itu tidak ada, dan t6akdir bukanlah ketentuan final. Jika tidak demikian, maka konsep pahala dan dosa tidak berlaku karena Allah telah menentukan manusia untuk berbuat baik dan mecegahnya dari perbuatan buruk. Akan tetapi sesungguhnya, manusia itu mempunyai pilihan. (Lihat ''Nahj al-Balaghah,''Cairo, 1968:375).
 
Imam Hasan al-Bisri, seorang teolog yang tersohor pada zaman Umayyah, juga berpendapat, dalam suratnya kepada penguasa Umayyah, ‘Abd al-Malik ibn Marwan (685-728), bahwa seluruh umat Islam zaman dahulu (berarti temasuk semua sahabat Nabi dan orang-orang sebelum dinasti Umayyah berkuasa) menganut konsep ikhtiyar dan ''mas’uliyah'' (pertanggungjawaban atas perbuatannya). Dia juga menyebutkan secara jelas dalam surat tersebut bahwa konsep ''jabr'' berasal dari dan disebarluaskan oleh Umayyah. (Lihat ''Rasa’i al-Adl wa al-Tauhid.'' Vol. I, Cairo, 1971:83-84).
 
Kita lihat bahwa ajaran kehendak bebas dan pre-determinasi mendapat tempat yang sangat besar dai dalam teologi Islam. Mereka yang berjuang melawan penindasan dan eksploitasi mendukung ajaran kehendak bebas, sedangkan mereka yang menginginkan kemapanan memilih ajaran pre-determinasi dan percaya pada nasib dan takdir. Golongan Syi’ah, Khawarij dan Mu’tazilah, seluruhnya merupakan oposan dari pemerintahan Umayyah yang menindas dan eksploitatif, menganut ajaran kehendak bebas. Manusia bukan hanya sebuah mainan yang berada di tangan sang takdir, nasibnya tidak sepenuhnya ditentukan oleh Allah. Dan sejauh ini, menurut teologi pembebasan, manusia itu bebas dan bertanggungjawab atas perbuatannya. Manusia diciptakan Allah untuk menentukan nasibnya sendiri di dalam batas-batas (''hudud'') yant ditetapkan Allah atau untuk melewati batas-batas ini, dan dalam hal tanggung jawab, manusia adalah makhluk yang memiliki kehendak bebas. Jika konsep ''qada'' dan ''qadar'' diterima, maka manusia ditakdirkan untuk menerima sesuatu yang betentangan dengan yang seharusnya. Kebanyakan teolog yang pro kemapanan menolak konsep kehendak bebas dan mengnggap manusia sebagai sebuah wayang yang berada di tangan sang nasib.
 
Di balik semua perdebatan yang melibatkan para teolog dan intelektual pada saat itu, ada sebuah ''joke'' yang menarik. Ceritanya ada seorang jabariyah yang berasal dari Bagdad datang ke Basra yangt merupakan pusat golongan Mu’tazilah. Dia mengunjungi salah seorang tokoh Mu’tazilah yang terkenal, yaitu Abul Hudhail al-‘Allaf, dan bertanya kepdanya tentang nasib (dia mengira pertanyaannya itu tidak akan bisa dijawab oleh ‘Allaf). Katanya, “Siapakah yang menyebabkan dua orang berbuat zina ?”segera ‘Allaf menjawab, “Saudaraku, di Basrah mereka yang berzinah mengatakan bahwa yang menyebabkannya sehingga melakukan hal itu adalah mucikari, dan saya harap masyarakat Baghdad dapat menerima jawaban ini. “Mendengar jawaban ini, orang dari Baghdad itu merasa sangat malu dan hanya bisa terdiam.
 
Secara umum kaum Sufi menolak penguasa tiram yang sangat bersimpati pada orang-orang yang tertindas dan tersisih meskipun kaum Sufi itu tidak percaya pada usaha aktif untuk membebaskan mereka dan cenderung manarik diri dari keberusahaan serta menceburkan diri pada takdir. Namun demikian, rasa simpatinya pada kelompok yang tertindas itu telah menempatkannya di pihak yang menganut ajaran kehendak bebas. Sufi besar Muhiuddin Ibn ‘Arabi, pencetus ajaran ''Wahdat al-Wujud'' (Kesatuan Wujud), juga percaya pada kehendak bebas manusia. Dia membicarakan masalah ini secara panjang lebar dalam bukunya yang terkenal ''Fushush al-Hikam.''
 
Ibn ‘Arabi percaya pada konsep pertanggungjawaban manusia atas perbuatannya. Dalam perdebatan ini, dia mengatakan bahwa Allah mempunyai pengetahuan yang luas, namun tidak berarti pengetahuan-Nya itu membatasi perbuatan manusia. Allah telah memberikan kebebasan kepada manusia dan memberikan petunjuk, bukan menentukan segalanya. Menurut Ibn ‘Arabi, pengetahuan Allah hanya bersifat mengetahui, tidak menakdirkan. Pengetahuan Allah harus dipahami bahwa Dia mengetahui apa yang akan terjadi dengan makhluk-makhluk-Nya ketika mereka melakukan suatu perbuatan, dan adalah pilihan mereka sendiri manakala mereka melakukan perbuatan tersebut. Oleh karena itu, menurut ibn ‘Arabi, pengetahuan yang (telah) dimiliki Allah ntidak melahirkan ketentuan yang membatasi manusia. Dia mengutip ayat Al-Qur’an, “Bukannya kami yang menyengsarakan mereka, namun mereka yang nmenganiaya diri sendiri”. Ibn ‘Arabi menyakatan secara terbuka bahwa manusia itu bebas dan bertanggung jawab atas tindakan-perbuatannya. Dengan pasti ia katakan bahwa manusialah yang mengatur dan melaksanakannya, bukannya yang ''Haqq''. (Lihat ''Fushush al-Hikam,''Cairo, 1964:82).
 
Teologi pembebasan memandang konsep pre-determinasi dalam perspektif yang proporsional.; biasanya dalam teologi yang tradisional, ketundukan kepada Allah mengimplikasikan penyerahan diri secara pasif kepada kemauan Allah. Namaun demikian, sebenarnya jika dilakukan penelitian yang cermat terhadap teks Al-Qur’an tidak akan menghasilkan kesimpulan yang tegas. Allah itu Maha Kuasa, namun bukan berarti bahwa manusia itu tidak mempunyai kebebasan atau tidak mempunyai inisiatif. Maksudnya kata-kata Allah Maha Kuasa adalah bahwa dia berkuasa membuat hukum alam dan memberikan kebebasan kepada manusia untuk mengikutinya. Hukum Allah itu merupakan kerangka nilai yang bermuara pada kemajuan dan kesehatan sosial, bebas dari struktur sosio-ekonomi yang menindas, meningkatkan harkat kemanusiaan dan tidak memberi tempat kepada para penindas dan eksploitator. Allah menciptakan setiap manusia dengan inisiatif untuk berbuat dengan mengaktualisasikan potensi dirinya. Ketundukan kepada Allah tidak berarti menghilangkan keinginan manusia untuk melakukan perbuatan baik dan mencegahnya dari perbuatan tercela. Sebenarnya, Al-Qur’an memerintahkan manusia untuk melakukan kebaikan dan menghindari keburukan. Jika ketundukan kepada Allah diartika sebagai penyerahan diri dan tiadanya keinginan, mengapa Allah memerintahkan manusia untuk berbuat kebaikan dan melarangnya dari tindakan yang merusak kemanusiaan.
 
Al-Qur’an justru mendesak manusia untuk terus berusaha meningkatkan harkat kemanusiaan, menghapuskan kejahatan dan mengakhiri penindasan serta eksploitasi. Al-Qur’an tidak menghendaki adanhya kejhatan dan fitnah di muka bumi ini. Dalam rangka memperjuangkan kebenaran ini, manusia bebas berbuat sesuai dengan konteks lingkungannya. Al-Qur’an dan As-Sunnah membimbing manusia ke jalan yang benar. Mengikuti Sunnah Nabi tidak berati, sebagaimana disebutkan dalam teologi tradisional, menirunya secara mekanis. Mengikuti sunnah berarti menggali makna dan menangkap semangatnya dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan kehidupan yang ruwet dan kompleks sesuai dengan kemampuannya.
 
== Lihat pula ==