Teologi pembebasan itu lebih menekankan pada praktis daripada teologi metafisis yang mencakup hal-hal yang abstrak dan konsep-konsep yang ambigu. Praksis yang dimaksud adalah sifat leberatif dan menyangkut interaksi antara “apa yang ada” (is) da “apa yang seharusnya” (ought). Islam yang sekarang ini diwarnai dengan ketidakjelasan metafisiko-teologis (metaphysico-theological obfuscation) yang tampak dala formulasi teologisnya pada zaman pertengahan, sebenarnya bersifat liberatif. Sebagaimana telah disebutkan di muka, Islam menjadi tantangan yang membahayakan para saudagar kaya Mekah yang menjadi pelopor terbentuknya kemapanan dan menentang nabi secara mati-matian demi mempertahankan status quo. Karakter ideologis Islam dan salah satu karakter dari agama-agama besar dunia adalah semangat anti status quo.
Bahwa Islam berorientasi praktis senyatanya disebut dengan tegas dan jelas di dal;am banyak ayat Al Qur’an. Seorang mujahidin (orang yang bersungguh-sungguh memperjuangakan kebenaran) sangat di hargai di dalam Al Qur’an. “Tiadalah sama orang mukmin yang duduk saja di rumah, kecuali yang sakit, dan oarang yang berihad di jalan Allah dengan harta dan jiwanya”. Kalimat selanjutnya, “Allah menempatkan orang berjihad dengan harta dan jiwanya sederajat lebih tinggi dari orang yang duduk saja di rumah” (4:95).
Dengan demikian jelaslah bahwa jihad bukan untuk mengedepankan kepentingan pribadi atau mempertahankan status quo, namun dem kepentingan orang yang tertindas dan lemah. “Mengapa kamu tidak berjuang di jalan Allah dan membela orang yangn tertindas, laki-laki, perempuan dan anak-anak yang berkata “Tuhan kami! Keluarkan kami dari kota ini yang penduduknya berbuat dzalim. Berilah kami perlindungan dan pertolongan dariMu!” (Al Qur’an, 4:75).
Jihad dalam Islam terutama untuk melindungi kepentingan orang yang tertindas dan lemah, atau untuk mempertahankan diri dari serangan musuh. Kepentingan orang yang lemah selalu terngiang dalam benak Rasulullah dan sahabat-sahabat dekatnya. Abu Bakar, khalifah pertama, dalam pidato pertamanya setelah terpilihy menjadi khalifah, berkata, “Sekarang saya telah ditetapkan menjadi wali bagi kamu sekalian, meskipun saya tidak lebih baik dari kalian. Jika saya benar maka dukunglah saya, namun jika salah maka silahkan koreksi saya. Kebenaran adalah amanah, dan kebohongan adalah khiyanah. Siapa pun di antara kalian yang lemah, di mata saya kalian adalah kuat karena saya akan memenuhi hak-hak kalian sehingga hidup sejahtera, dan siapa di antara kalian yang kuat, di mata saya adalah lemah karena saya akan mengambil (yang kalian klaim) hak-hak kalian”.
Pernyataan tersebut ditekankan secara sangat jelas oleh Abu Bakar, yakni kebenaran, perlindungan terhadap kaum yang lemah dan penindasan noleh kelompok yang kuat. Beliau juga terbuka terhadap kritik, seandainya beliau melakukan kesalahan. Keinginan untuk berbuat baik, melindungi yang lemah dengan kekuasaan dan menganut prinsip pertanggungjawaban (accountability)merupakan hal yang mendasar dalam teologi pembebasan. Umar bin Khatab, khalifah kedua, selama masa pemerintahannya juga sangat berkompeten untuk menghapuskan kemiskinan. Bahkan disebutkan, Umar pernah mengatakan jika ada seekor anjing mati di tepi sungai karenja kehausan, maka dirinya akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Tuhan kelak. Hal ini sejalan dengan ayat Al Qur’an, “Tiada sesuatu pun yang bergerak di muka bumi yang bukan karena rizki yang Allah berikan padanya” (11:6). Merupakan kehendak Allah bahwa seekor binatang pun tidak dibiarkan-Nya mati, apalagi manusia yang merupakan makhluk-Nya yang paling mulia.
Di sini kita lihat bahwa pada awal perkembangan Islam, sangat dicela jika sampai terjadi penderitaan di anatara anggota masyarakat. Nabi juga permah berdoa, “ Aku berlindung kepada Tuhan dari kemiskinan dan kekhufuran. “Dari perkataan tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa nabi mengidentifikasikan antara penderitaanh, kemiskinan dan kekhufuran; ketiganya sangat tercela dan perlu dihyapuskan dari muka bumi. ''Kufr'' itu lawan dari iman (yang implikasinya sangat luas), dan penderitaan serta kemiskinanmerupakan masalah yang menyangkut moralitas dan budaya. Allah menciptakan manusia dalam sebaik-baik bentuk (''fi-ahsan-i-taqwin''). Sehingga penderitaan dan kemiskinan betul-betul merupakan nagasi dari manusia sebagai sebaik-baiknya bentuk, yang akan menempatkannya ke tingkat yang paling rendah. Oleh karena itu, demi menegakkan kebenaran, teologi Islam harus berjuang atau berjihad nmelawan segala hal yang menyebabkan kemiskinan.
Arogansi kekuasaan, ketidakadilan, penindasan terhadap kaum yang lemah, pengekangan terhadap aspirasi masyarakat bbanyak, diskriminasi kuli, bangsa atau jenis kelamin, penumpukan kekayaan dan pemusatan kekuasaan, semua ini akan mengarah pada struktur sosio-ekonomi yang menindas, dan oloeh karenanya perlu dilawan dengan iman. Tanpa jihad untuk membebaskan semua itu, maka iman seseorang berjumlah sempurna. Dalam konteks ini, Ahmad Amin, seorang sarjana Islam Mesir, memberikan penafsiran terhadap kalimat syahadat ''la ilaha illallah:''
Konsep pokok yang lain dalam teologi Islam adalah ''tawhid,'' yang dalam rangka mengembangkan struktur sosial yang membebaskan manusia dari segala macam perbudakan, harus dilihat dari perspektif sosial. ''Tawhid'' yang dianggap sebagai inti dari teologi Islam biasanya diartikan dengan keesaan Tuhan. Teologi pembebasan, berbeda dengan teologi tradisional, menafsirkan ''tawhid'' bukan hanya sebagai keesaan Tuhan, namun juga sebagai kesatuan manusia (''unity of mankind'') yang ntidfak akan benar-benar terwujud tanpa terciptanya masyarakat tanpa kelas (''classless society''). Konsep ''tawhid'' ini sangat dekat dengan semangat Al-Quran untuk menciptakan keadilan dan kebijakan (''al-‘adl wa al’ahsan''). Selama dunia terbagi menjadi negara-negara berkembang di satu sisi, dan kelas yang menindas-tertindas di sisi yang lain, kesatuan manusia yang sebenarnya tidak mungkin dicapai. Maka dari itu, ''tawhid'' merupakan iman kepada Allah yang tida bisa ditawar-tawar di satu sisi, dan konsekuensinya adalah menciptakan struktur yang bebas eksploitas di sisi lain. Sehingga tawhid yang bermakna bagi masyarakat tidak dapat dilepas dari dua hal tadi.
Dalah teologi pembebasan, selain masalah sosio-ekonomi, juga dibicarakan masalah psiko-sosial yang teramat penting. Struktur sosial saat ini sangat menindas dan harus dirubah sehingga menjadi lebih adil dengan perjuangan yang sungguh-sungguh, yang seringkali meminta pengorbanan. Bagi manusia biasa, perjunagan ini tidaklah mudah, karena membutuhkan kesabaran yang luar biasa. Pada setengah perjuangan awal atau kurang, biasanya selalu diliputi dengan pesimisme dan kesabaran yang benar-benar kuat. Keyakinan, optimesme dan kesabaran merupakan hal yang fundamental dalam dakwah Islam. “Allah mencintaiorang-orang yang sabar,” kata Al-Qur’an. Namun demikian, ayat ini lebih banyak disalahartikan. Ayat itu direduksi menjadi kesabaran yang melenggangkan ''status quo'', padahal yang ditekankan adalah yang sebaiknya, yakni kesabaran itu dituntut pada saat berjuang untuk melakukan perubahan sosial. Kesabaran dalam menerima kondisi yang mapan merupakan candu yang menjadi ciri teologi Islam zaman pertengahan, sedangkan kesabaran yang ditunjukkan selama mengadakan perjuangan untuk menciptakan perubahan sosial, merupakan sebuah senjata psikologis yang sangat kuat dalam menghadapi segala kesulitan.
.Al-Qur’an juga mengaskan bahwa konsep lain yang mendasar di dalam teologi tersebut adalah iman. Kata iman berasal dari kata ''amn'' yang berarti selamat, damai, perlindungan, dapat diandalkan, terpercaya dan yakin. Iman yang sebenar-benarnya mengimplikasikan semua itu. Orang yang beriman pasti dapat dipercaya, berusaha menciptakan kedamaian dan ketertiban, dan memiliki keyakinan terhadap semua nilai-nilai kebaikan dalam kehidupan. Sekali lagi, iman kepada Allah mengantarkan manusia kepada perjuangan yang keras untuk menciptakan masyarakat yang berkeadilan. Iman membuat orang menjadi bisa dipercaya diandalkan dan cinta damai. Tanpa iman, pendapat seseorang menjadi kosong dan tidak berakar pada kedalaman pribadinya.
Tanpa dilatarbelakangi dengan iman, kata-kata dan gagasan hanya akan berarti bagi dirinya sendiri, dan akan memperbudak orang lain. “kata dan pola pikir itu berbahaya”,kata Erich Fromn,”karena bisa dengan mudah berubah menjadi kekuasaan yang kita sembah. Hidup itu sendiri harus dipahami dan dialami karena hidup itu mengalir, dan bersandarkan pada kebenaran.”[[Teologi# pembebasan dalam Islam#%20ftn2ftn2|[2]]] Itulah yang namanya keyakinan dengan segala implikasi nilainya yang membuat kata dan pola pikir menjadi bermanfaat, bukannya menjadi struktur yang menindas.
Dalam hal ini, harus diingat bahwa keyakinan cenderung brsifat irasional dan buta. Kita harus berhati-hati dengan namanya keyakinan. Akan tetapi, keyakinan yang Qur’ani tidak bersifat irasional dan buta. Al-Qur’an menekankan kesederajatan akal, intelek dan proses berpikir. Seringkali Al-Qur’an menyebut ''u’lil albab'' atau ''u’lil absar,'' yakni orang-orang yang berfikir atau mempunyai ilmu pengetahuan. Al-Qur’an juga mengajak manusia untuk memikirkan dan merenungkan alam semesta ini. Selain itu, keyakinan juga mensyaratkan adanya tujuan, dan kemudian Al-Qur’an jugta menegaskan bahwa alam semesta dan seisinya tidaklah diciptakan dengan sia-sia dan tanpa hukum yang jelas. Sebagaimana di dalam surat Ali Imran : 190-191, “Sungguh dalam penciptaan langit dan bumi dan dalam pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang yang berpikir. Yakni orang yang berdzikir memuji Allah sambil berdiri, duduk dan berbaring, serta memikirkan penciptaan langit dan bumi. “Tuhan, tiadalah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau. Lindungilah kami dari siksa neraka.”
|