Jurnalisme media sosial: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Bot: Perubahan kosmetika
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 1 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(14 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{rapikan}}
'''Jurnalisme mediaMedia sosialSosial''' merupakan pelaporan berita yang dilakukan jurnalis melalui [[media sosial]]. Jurnalisme media sosial dikenal juga dengan istilah ''social media journalism''. Jurnalisme media sosial muncul karena [[khalayak]] sering mengakses media sosial. Para [[Wartawan|jurnalis]] mempublikasikan berita di media sosial supaya khalayak dapat menerima berita selagi mengakses media sosial.<ref>{{Cite journal|last=Burzynski|first=Bullard, Sue|date=2013|title=SOCIAL MEDIA AND JOURNALISM: WHAT WORKS BEST AND WHY IT MATTERS|url=http://digitalcommons.unl.edu/journalismfacpub/75/|journal=DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln|language=en}}</ref>
 
== Pengertian ==
'''Jurnalisme media sosial''' merupakan pelaporan berita yang dilakukan jurnalis melalui [[media sosial]]. Jurnalisme media sosial dikenal juga dengan istilah ''social media journalism''. Jurnalisme media sosial muncul karena khalayak sering mengakses media sosial. Para [[Wartawan|jurnalis]] mempublikasikan berita di media sosial supaya khalayak dapat menerima berita selagi mengakses media sosial.<ref>{{Cite journal|last=Burzynski|first=Bullard, Sue|date=2013|title=SOCIAL MEDIA AND JOURNALISM: WHAT WORKS BEST AND WHY IT MATTERS|url=http://digitalcommons.unl.edu/journalismfacpub/75/|journal=DigitalCommons@University of Nebraska - Lincoln|language=en}}</ref>
 
== Jurnalisme media sosial dan jurnalisme warga ==
Baris 9 ⟶ 7:
Kedua jenis jurnalisme itu dapat sama-sama menggunakan teknologi atau media online sebagai sarana dalam penyampaian informasi, yaitu dapat melalui ''website'' atau media sosial.
 
Letak pembeda paling dasar terletak pada kemampuan dari jenis jurnalisme tersebut, jurnalisme warga menurut Duffy, Thorson, dan Jahng merupakan seorang individu yang bukan ahli di bidang jurnalistik, namuntetapi dapat mencari dan mengolah berita yang kemudian dapat dipublikasikan. Sedangkan, jurnalisme media sosial merupakan seseorang yang ahli di bidang jurnalistik, yang kemudian membagikan kontennya melalui media [[Dalam jaringan dan luar jaringan|daring]].<ref>{{Cite news|url=https://journalism.missouri.edu/2010/07/citizen-journalism-vs-legacy-news-the-battle-for-news-supremacy/|title=Citizen Journalism vs. Legacy News: The Battle for News Supremacy - Missouri School of Journalism|date=2010-07-08|newspaper=Missouri School of Journalism|language=en-US|access-date=2018-11-13}}</ref>
 
== Karakteristik ==
Kegiatan jurnalisme media sosial yang memanfaatkan media sosial sebagai platform menunjukkan karakteristik-karakteristik jurnalisme yang interaktif. Menurut Hamna, karakteristik tersebut meliputi:<ref>{{Cite journal|last=Hamna|first=Dian Muhtadiah|date=2017-05-01|title=EKSISTENSI JURNALISME DI ERA MEDIA SOSIAL|url=http://journal.uin-alauddin.ac.id/index.php/jurnalisa/article/view/3090|journal=Jurnal Jurnalisa|language=en-US|volume=3|issue=1|doi=10.24252/jurnalisa.v3i1.3090|issn=2460-6766}}</ref>
 
* Aktualitas (''immediacy'') : Karakteristik tersebut merujuk pada konten berita yang meliputi peristiwa yang sedang terjadi dan disajikan aktual atau terkini.
* Transparansi (''transparency'') : Karakteristik ini merujuk pada penyajian berita yang tidak memanipulasi fakta, atau sudah melalui tahap verifikasi oleh jurnalis melalui narasumber berita.
* Jurnalisme Partisan : Karakteristik jurnalisme partisipan merujuk pada kegiatan jurnalisme yang melibatkan penonton untuk melakukan interaksi dalam sebuah pemberitaan melalui media sosial.
* Anonimitas (''anonymity'') : Karakteristik di atas merujuk pada kebebasan dalam menciptakan identitas dunia maya dalam sebuah media sosial. Karakteristik ini perlu untuk dihindari dalam jurnalisme media sosial dikarenakan jika sumber berita tersebut anonim, maka pada umumnya berita tersebut tidak dapat dipertanggungjawabkan.
* Saling berbagi konten (''sharing'') : Karakteristik ini merujuk pada fitur media sosial yang dapat menyebarkan konten-konten orang lain kepada khalayak yang luas. Selain itu, dalam jurnalisme media sosial, para jurnalis dapat membagikan berbagai macam konten berita.
 
== Pelaporan berita ==
Baris 30 ⟶ 28:
Jurnalis media sosial dapat mendapat data mentah berita dari berbagai sumber. Kantor berita merupakan salah satu sumber data berita. Kantor berita milik negara Indonesia, yaitu [[Lembaga Kantor Berita Nasional Antara|ANTARA]] menjadi acuan berita bagi wartawan di Indonesia. Cara pengumpulan berita seperti ini tidak hanya diterapkan dalam jurnalisme media sosial saja.
 
Selain itu, wartawan juga dapat memperoleh data dari berita-berita yang sudah beredar. Media sosial sendiri juga menjadi lahan jurnalis dalam mencari data. Rekaman video, foto, dan bentuk dokumentasi lainnya merupakan suatu data yang nantinya akan diolah jurnalis menjadi berita. Cara pengumpulan berita seperti membuat para wartawan tidak perlu terjun langsung ke lapangan.<ref name=":0">Siapera, Eugenia dan Andreas Veglis. (2012). ''The Handbook of Global Online Journalism''. West Sussex : Wiley-Blackwell</ref>
 
== Contoh kasus ==
Baris 48 ⟶ 46:
Dampak yang dirasakan audiens adalah peningkatan transparansi. Audiens bisa langsung menilai kebenaran berita tersebut. Audiens juga dapat langsung berinteraksi dengan media atau jurnalis mengenai berita yang disebarkan. Artinya, terjadi perubahan komunikasi, yang dulu hanya searah, kini menjadi dua arah. Audiens kini menjadi penikmat aktif, bukan penikmat pasif.
 
Di sisi lain, jurnalisme media sosial juga dapat memberi dampak negatif. Salah satunya berkaitan dengan transparansi. Meski berita dapat lebih cepat diperiksa kebenarannya, kehadiran media abal-abal membiaskan hal ini. Media abal-abal dapat dengan mudah masuk kepada pembaca melalui media sosial. Hal ini tentu berakibat buruk. Berita palsu hoaks mudah tersebar melalui media ini. Oleh karena itu, penting bagi pembaca untuk mengecek dan memastikan akun yang menyebarkan berita merupakan akun yang terpercayatepercaya.
 
Adanya jurnalisme media sosial juga dapat mengurangi anonimitas berita. Artinya, semua pembaca atau penonton tahu siapa yang menyebarkan berita. Apabila demikian, tentu tidak menutup kemungkinan berkurangnya berita bohong yang tersebar. Akan tetapi, kembali lagi pada pembaca apakah berita yang mereka nikmati merupakan berita dari sumber terpercayatepercaya atau tidak.
 
Di sisi lain, jurnalis pun tidak bisa membuat dan memuat berita bohong. Alasan utama ialah apabila jurnalis menyebarkan berita bohong, maka kredibilitasnya akan turun dan dipertanyakan. Selain itu, kredibilitas media di mana tempat jurnalis itu bekerja akan semakin dipertanyakan. Hal ini tentu akan merugikan jurnalis dan media itu sendiri. Lebih jauh lagi, hal ini didukung dengan komunikasi dua arah ketika jurnalis memanfaatkan jurnalisme media sosial.
Baris 57 ⟶ 55:
Seiring berubahnya era dari media konvensional menjadi media ''online'', semakin maraknya jurnalis warga. Kemunculan internet, semakin mempermudah jurnalis warga untuk membagikan kontennya ke khalayak luas, seperti dibantu dengan adanya media sosial. Namun, semakin banyaknya jurnalis warga juga mendorong semakin banyak bermunculan media palsu yang memproduksi berita palsu juga.
 
Menurut Ketua Dewan Pers, Yosep Adi Prasetyo ciri-ciri dari media palsu yaitu: menggunakan nama yang aneh-aneh, bisa juga menggunakan nama dan lambang institusi negara; media palsu tidak berbadan hukum; tidak mencantumkan nama penanggung jawab; tidak memiliki alamat redaksi yang jelas, kalaupun mencantumkan, alamat yang digunakan adalah alamat palsu; media hanya menerbitkan berita ketika ada momen tertentu saja, tidak secara berkala; tidak menggunakan bahasa yang baik dan benar; tidak memperhatikan kode etik jurnalistik.<ref>{{Cite news|url=https://beritagar.id/artikel/bincang/yosep-adi-prasetyo-media-abal-abal-akan-tersingkir|title=Yosep Adi Prasetyo: Media abal-abal akan tersingkir|last=Tobing|first=Sorta|date=2017-02-16|newspaper=https://beritagar.id/|language=en-ID|access-date=2018-11-13|archive-date=2018-11-13|archive-url=https://web.archive.org/web/20181113165654/https://beritagar.id/artikel/bincang/yosep-adi-prasetyo-media-abal-abal-akan-tersingkir|dead-url=yes}}</ref>
 
Dalam situs Kementerian Komunikasi dan Informasi Indonesia (2016) tercatat ada 43.000 situs media ''online'' yang beredar di internet, namuntetapi hanya 234 yang terverifikasi menurut syarat Undang-Undang Pers. Hal itu menunjukkan, sisanya merupakan media palsu yang belum terverifikasi dan masih dipertanyakan kredibilitas beritanya.<ref>{{Cite news|url=https://kominfo.go.id/content/detail/8745/kemenkominfo-ada-43-ribu-situs-media-abal-abal-di-indonesia/0/sorotan_media|title=Kemenkominfo: Ada 43 Ribu Situs Media Abal-Abal di Indonesia|last=KOMINFO|first=PDSI|newspaper=Website Resmi Kementerian Komunikasi dan Informatika RI|language=en|access-date=2018-11-13}}</ref>
 
Dampak dari adanya berita palsu pun juga beragam dan cenderung merugikan banyak pihak. Salah satu dampak terbesar dari adanya berita palsu dirasakan oleh anak-anak. Anak-anak cenderung menerima berita dari sumber manapun secara mentah-mentah tanpa diolah dan divalidasi terlebih dahulu. Menurut Joanne Orlando (2017) seorang pakar dari Western Sydney University mengatakan berita palsu bahkan dapat menjadi dasar pembenaran bagi anak-anak untuk melakukan tindakan yang membahayakan ataupun tindakan yang menyimpang lainnya.<ref>{{Cite news|url=https://www.abc.net.au/news/2017-06-26/how-to-navigate-internet-full-of-fake-news-the-conversation/8652330|title=How to help kids navigate fake news and misinformation online|date=2017-06-26|newspaper=ABC News|language=en-AU|access-date=2018-11-13}}</ref>