Kepanembahan Cirebon: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan
 
(22 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Orphan|date=Januari 2023}}
 
{{Infobox Former Country
| conventional_long_name = Kepanembahan Cirebon
Baris 14 ⟶ 16:
| p1 = Kesultanan Cirebon
| flag_p1 = Flag_of_Cirebon_Sultanate.jpg
| s1 = Kesultanan Kasepuhan
| flag_s1 = Bendera Kesultanan Kasepuhan.png
| s2 = Kesultanan Kanoman
| flag_s2 = Bendera Kesultanan Kanoman.png
| s3 =
| flag_s3 =
Baris 26 ⟶ 28:
| capital = [[Kota Cirebon]]
| common_languages = [[Bahasa Cirebon]] 1679-1773, [[Belanda]] 1679-1773
| government_type = [[Monarki]] ([[kesultanankepanembahan]])
| title_leader = [[Gusti Panembahan]]
| leader1 = Panembahan Wangsakerta
| year_leader1 = 1679 (Deklarasi Pakungwati - didirikannya Peguron Cirebon)<br><br>Panembahan Wangsakerta menuntut hak berkuasa secara politik<br><br> 1688 (Panembahan Wangsakerta resmi disetujui untuk menyandang gelar Gusti Panembahan Cirebon oleh Sultan Sepuh dan Sultan Anom)
| leader2 = Panembahan Muhammad Muhyiddin
| year_leader2 = 1725 - 1731
Baris 125 ⟶ 127:
Pada keesokan harinya tanggal 6 Januari 1681, diadakanlah upacara yang dihadiri oleh para penguasa Cirebon di alun-alun yang disertai tembakan meriam sebagai bentuk penghormatan, kemudian surat keputusan pemerintahan tertinggi Belanda yang dibawa dari Batavia pada tanggal 1 Januari 1681 tersebut dibacakan.<ref name=deviani/><ref name=Molsbergen/>
 
Pada tanggal 7 Januari 1681 dimulailah perundingan diantara [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] dan para penguasa Cirebon serta memaksa mereka untuk menyetujuinya<ref name=Dirjenbud/> dan pada malam harinya dicapailah kesepakatan untuk memberlakukan perjanjian antara Belanda dan Cirebon, Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon.<ref name=sartono1>Kartodihardjo, Sartono. 1988. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500 - 1900 (dari Emporium sampai Imperium). Jakarta: Gramedia</ref><ref>Roseno, Edi. 1993. Perang Kedondong 1818. Depok: Universitas Indonesia</ref>.

Pada tanggal 27 Februari 1681 dilakukanlah tindak lanjut berkenaan draf perjanjian 7 Januari 1681<ref name=slands1>van der Chijs, Jacobus Anne. 1882. Slands Archief Batavia 1602-1816). Batavia : Batavia Landsdrukkerij</ref>. Perjanjian tersebut kemudian ditandatangani oleh ketiga penguasa Cirebon<ref name=sartono1/>. Pada perjanjian tersebut Belanda diwakili oleh komisioner Jacob van Dijk dan kapten Joachim Michiefs,<ref name=henri>Chambert-Loir, Henri. Hasan Muarif Ambary. 1999. Panggung sejarah: persembahan kepada Prof. Dr. Denys Lombard. [[Jakarta]]: Yayasan Obor Indonesia</ref>.

Pada tanggal 31 Juli 1681 perjanjian 7 Januari 1671 tersebut kemudian diratifikasi<ref name=slands1/>.

Perjanjian persahabatan yang dimaksud adalah untuk memonopoli perdagangan di wilayah Cirebon diantaranya perdagangan komoditas kayu, beras, gula,<ref name=henri/> lada serta Jati sekaligus menjadikan kesultanan-kesultanan di Cirebon protektorat Belanda (wilayah dibawah naungan Belanda).<ref name=Dirjenbud>Tim Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1982. Sejarah Daerah Jawa Barat. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan</ref>
 
Perjanjian Belanda - Cirebon 1681 tersebut juga membatasi perdagangan, membatasi pelayaran penduduk dan memastikan [[Vereenigde Oostindische Compagnie]] memperoleh hak di sana<ref name=Blink/> Pada tahun yang sama juga kesultanan-kesultanan di Cirebon menegaskan kembali klaimnya atas wilayah-wilayahnya di selatan yaitu Sumedang, Galuh dan Sukapura kepada Belanda.<ref name="ninakota" />
Baris 131 ⟶ 139:
Semenjak [[kesultanan Cirebon]] dibagi menjadi dua kesultanan dan satu peguron, kisruh antara keluarga keraton tidak langsung selesai begitu saja, perihal hubungan berdasarkan derajat tertentu ([[bahasa Cirebon]]: ''pribawa'') dalam kekeluargaan di [[kesultanan Cirebon]] dahulu menjadi bahan pertikaian yang berlarut-larut hingga akhirnya pihak [[Belanda]] mengirimkan utusan untuk membantu menyeleseikan masalah tersebut yang oleh sebagian masyarakat dianggap sebagai ikut campurnya Belanda dalam urusan internal kesultanan-kesultanan di Cirebon.
 
Pada tahun 1681 ditunjuklah Letnan Benamin van der Meer sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.<ref name="mason" /> Jan Mulder dan van der Meer pernah memberikan laporan berkaitan dengan hubungan antara keluarga bangsawan di Cirebon, mereka menyebut bahwa Sultan Anom (Kartawijaya) masih terhitung sebagai kerabat [[kesultanan Banten]] sementara Pangeran Nasiruddin (Wangsakerta) sama sekali bukan kerabat [[kesultanan Banten]], menurut Sudjana (budayawan Cirebon) laporan dari Jan Mulder dan van der Meer tersebut sejalan dengan naskah ''wawacan'' yang selama ini beredar terbatas di kalangan para kerabat keraton Cirebon dimanadi mana dikisahkan bahwa Pangeran Kartawijaya (Sultan Anom) sesungguhnya berbeda ibu dengan Pangeran Martawijaya dan Pangeran Wangsakerta.<ref name="ekajati1" />
 
Pada tahun 1684 Belanda menunjuk Jacob Couper sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan Cirebon.<ref name="mason" />
Baris 170 ⟶ 178:
Pada tahun 1697 Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Syamsudin Martawijaya meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang putra, yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Adi Wijaya (Pangeran Arya Cirebon), kedua orang putera Sultan Sepuh kemudian saling bertikai memperebutkan tahta almarhum ayahnya, hal tersebut dikarenakan sebelum meninggal, Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya belum menunjuk penggantinya, Pangeran Depati Anom Tajularipin berpendapat bahwa ia berhak mewarisi tahta ayahnya dikarenakan dia adalah putera tertua, pendapat tersebut kemudian ditolak oleh Pangeran Adi Wijaya karena dia merasa yang lebih berhak, masalah ini kemudian dimediasi oleh Belanda dan terciptalah perjanjian 1699 yang isinya sama dengan perjanjian 1688 hanya saja ditambahkan klausul berkenaan dengan ''pribawa'' (derajat paling tinggi diantara keluarga besar kesultanan Cirebon) dan permasalahan warisan serta tahta Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya.<ref name="rosita" /> Pada perjanjian 1688 sebenarnya sudah dijelaskan mengenai klausul bahwa Pangeran Depati Anom (putera tertua Sultan Sepuh Syamsuddin Martawijaya) akan diserahkan tugas mengurus Cirebon yang artinya dia berhak akan tahta ayahnya, namun dengan timbulnya permasalahan ini membuat Pangeran Depati Anom akhirnya mengalah dan kekuasaan Sultan Sepuh dibagi dua kepada Pangeran Depati Anom dan Pangeran Adi Wijaya.<ref name="rifcky" /> Pangeran Adi Wijaya kemudian membentuk cabang keratonnya sendiri yaitu Kacirebonan awal<ref name="irianto" /> dengan gelar Pangeran Arya Cirebon.<ref name="rifcky" /> Perjanjian 1699 ditanda tangani oleh kedua belah pihak pada tanggal 4 Agustus 1699 di Batavia.<ref name="rifcky" />
 
Belanda atas dasar ''pribawa'' dengan berbekal perjanjian 1699 menentukan derajat paling tinggi (di antara seluruh keluarga besar kesultanan Cirebon) ditempati oleh Sultan Anom I Sultan Muhammad Badrudin Kartawijaya kemudian Pangeran Nasirudin Wangsakerta menduduki tempat kedua dan kedua putra almarhum Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Pangeran Depati Anom Tajularipin Djamaludin dan Pangeran Aria Cirebon Abil Mukaram Kamarudin<ref name="arsiparya">[https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Pangeran%20Arya%20Cirebon%20Kamaruddin Tim Arsip Nasional Republik Indonesia. 2013. Arsip Nasional - Surat Surat Diplomatik 1625-1812. ] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20220412170338/https://sejarah-nusantara.anri.go.id/id/search_letters/?ruler=Pangeran%20Arya%20Cirebon%20Kamaruddin |date=2022-04-12 }}[[Jakarta]] Arsip Nasional Republik Indonesia</ref> berada di tempat ketiga. Pangeran Arya Cirebon kemudian membentuk cabang kesultanan sendiri yang disebut Kacirebonan<ref name="irianto">Irianto, Bambang, Dyah Komala Laksmiwati. 2014. Baluarti Keraton Kacirebonan. [[Yogyakarta]]: Deepublish</ref>(pada era ini, kesultanan Kacirebonan yang dibentuk tidak sama dengan yang kemudian dibentuk oleh Pangeran Raja Kanoman pada tahun 1808).
 
==== Belanda menguasai politik Cirebon ====
Baris 178 ⟶ 186:
Pada tahun 1701, Belanda kemudian menunjuk seorang pedagang bernama Jacob Heijrmanns sebagai pejabat penghubung Belanda untuk wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon<ref name="mason" />
 
Pada tahun 1703 Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya wafat<ref name=bochari/>, maka dua tahun berikutnya yaitu pada tahun 1704 diadakan pengaturan urutan yang baru oleh Belanda. Panembahan Nasirudin Wangsakerta menempati derajat tertinggi (di antara seluruh keluarga besar [[kesultanan Cirebon]]), tempat kedua ditempati oleh kedua orang putra Sultan Sepuh I Sultan Sepuh Martawijaya yaitu Sultan Sepuh II Sultan Sepuh Tajularipin Djamaludin dan Sultan Kacirebonan I Sultan Cirebon Arya Cirebon Abil Mukaram Kamarudin dan tempat ketiga ditempati putra-putra Sultan Anom I Badrudin Kartawijaya yaitu Pangeran Raja Adipati Mandurareja Muhammad Qadirudin dan Pangeran Adipati Kaprabon yang mendirikan ''peguron'' [[Kaprabonan]] pada tahun 1696 sekaligus menjadi ''rama guru'' disanadi sana.
 
Kemudian Pangeran Raja Muhammad Qadirudin diresmikan sebagai Sultan Anom II keraton Kanoman dikarenakan saudaranya yaitu Pangeran Adipati Kaprabon yang merupakan putera pertama Sultan Anom I dari permaisuri keduanya yaitu Ratu Sultan Panengah memutuskan untuk memperdalam ajaran agama Islam dan menyerahkan kepemimpinan keraton Kanoman kepada adiknya Pangeran Raja Mandurareja Muhammad Qadirudin.<ref>{{Cite web |url=http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/down.php?id=33&lang=en |title=Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat - Sejarah Keraton Kaprabonan, Cirebon |access-date=2014-12-02 |archive-date=2015-09-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20150923215341/http://www.disparbud.jabarprov.go.id/wisata/down.php?id=33&lang=en |dead-url=yes }}</ref>
Baris 201 ⟶ 209:
 
Pada tanggal 3 November 1705, Belanda mengeluarkan sebuah surat ketetapan agar digunakan aksara carakan Jawa sebagai aksara tulis, ketetapan ini menurut sebagian peneliti dikarenakan berkurangnya penggunaan aksara Sunda pada masyarakat setempat.<ref name=seta1>Mangintrk, Timothy Seta. 2016. Parahiyangan Guardian: Pengembangan Aplikasi Game Untuk Pembelajaran Interaktif Menggunakan Aksara Bahasa Sunda Berbasis Desktop. [[Kota Bandung|Bandung]]: Universitas Widyatama</ref> Pada wilayah kesultanan-kesultanan Cirebon surat ketetapan Belanda tersebut resmi berlaku setelah dikeluarkannya surat yang meratifikasi ketetapan Belanda tersebut oleh para penguasa Cirebon pada 9 Februari 1706,<ref name=seta1/> secara perlahan aksara Sunda dan juga Rikasara Cirebon digantikan oleh carakan Jawa, dalam sebuah naskah dari desa adat Gamel-Sarabahu di Cirebon dijelaskan bahwa hilangnya Rikasara Cirebon secara berangsur-angsur setelah dikeluarkannya surat ratifikasi kesultanan-kesultanan di Cirebon menemui titik puncaknya yang waktunya bertepatan dengan dikaburkannya sejarah Cirebon oleh Belanda yang dalam naskah peristiwa itu disebut {{cquote|"'''''... Kalpariksa jatining cirebon, Lebon pepeteng ... 8461//22//09'''''"}}<ref>Mujidiningrat, Raden Dulur Anom Rahadyan Ikhsanurud Daudi Akbar Guratpanuratrahsa Ahmad Elwangsih. 2018. Aksara Rikasara: Sebuah Peradaban yang Hilang. [[Cirebon]]: Desa Adat Gamel-Sarabahu</ref>
 
==== Pembuatan ''Picis'' (uang logam) Cirebon oleh keturunan Cina ====
 
Pada tanggal 1 Januari 1710 atas persetujuan Panembahan Cirebon I Nasiruddin, Sultan Sepuh II Pangeran Depati Anom Tajul Arifin, Pangeran Arya Cirebon dan Pangeran Raja Depati Kusuma Agung (wakil kesultanan Kanoman) serta ''kapiten'' Cina (pemimpin komunitas keturunan cina) dan Syahbandar Cirebon Tan Siang Ko maka pembuatan ''picis'' (uang logam) Cirebon diserahkan kepada masyarakat keturunan Cina sepeninggal Raksa Negara dan Pangeran Suradinata<ref name="Poespopicis" />
 
==== Penyeleseian masalah ''Pribawa'' ====
 
Belanda akhirnya mengambil langkah untuk menyeleseikan permasalahan akibat perkara ''Pribawa'' (derajat paling tinggi diantara keluarga besar) setelah terjadinya konflik keluarga pada tahun 1715 setahun setelah meninggalnya Pangeran Nasiruddin (Panembahan Cirebon I) dan pada saat meninggalnya Sultan Anom Alimuddin pada tahun 1733.<ref name=mason/> Belanda akhirnya pada tahun 1752<ref name=bochari>Bochari, Muhammad Sanggupri. Wiwi Kuswiah. 2001. Sejarah Kerajaan Tradisional Cirebon. [[Jakarta]] : Departemen Pendidikan Nasional</ref> (satu tahun sebelum meninggalnya Sultan Sepuh Raja Muhammad Djaenudin) memutuskan untuk menghentikan mekanisme pergeseran posisi peringkat diantara cabang-cabang dalam keluarga besar [[kesultanan Cirebon]] sekaligus menetapkan aturan agar pergantian penguasa diantara cabang-cabang keluarga [[kesultanan Cirebon]] dilakukan oleh putranya masing-masing<ref name=bochari/>
 
=== Pangeran Wira Kusuma dan desa Taru Rasmi ===
 
Pangeran Wira Kusuma merupakan seorang pangeran yang sebelumnya merupakan penguasa wilayah yang berada dibawah kuasa [[kesultanan Kanoman]], beliau diberikan hak atas tanah dan masyarakatnya oleh [[kesultanan Kanoman]]<ref name=hoadleyprivi/>, beliau menikahi Raden Ajeng yang merupakan kerabat [[kesultanan Kanoman]], sebagai hadiah pernikahan Raden Ajeng diberikan sebagian tanah desa Taru Rasmi di mana beliau tinggal di sana dengan suaminya yaitu Pangeran Wira Kusuma<ref name=hoadleyprivi>Hoadley, Mason. 1977. The Javanese Royal Privilege of Sentana and Dutch Fiat. [[Ithaca]] : Cornell University</ref>
 
Pangeran Wira Kusuma kemudian mengalihkan dukungannya kepada Gusti Panembahan, implikasinya adalah beliau juga membawa serta tanah dan masyarakat yang selama ini berada dibawah kuasanya dan [[kesultanan Kanoman]] berpindah administrasi menjadi dibawah kuasa Kepanembahan Cirebon<ref name=hoadleyprivi/>
 
Permasalahan kemudian mengemuka apakah sebagian tanah desa Taru Rasmi (kemungkinan besar adalah desa Trusmi<ref name=hoadleyprivi/>) yang diberikan Sultan Anom kepada Raden Ajeng sebagai hadiah pernikahannya dengan Pangeran Wira Kusuma juga ikut berpindah administrasi atau tidak. Permasalahan ini kemudian diseleseikan dengan mengutip sebuah aturan adat pada masa lalu di mana tanah desa Taru Rasmi merupakan tanah yang tidak boleh dipindah tangankan administrasinya, sehingga sebagian tanah desa Taru Rasmi yang menjadi hadiah pernikahan tersebut tidak ikut berpindah administrasi ke Panembahan Cirebon dan tetap berada dibawah kuasa [[kesultanan Kanoman]]<ref name=hoadleyprivi/>
 
=== Penghapusan Kepanembahan Cirebon ===
 
Pada tanggal 1921 OktoberAgustus 17751760, duamenurut tahunketerangan setelahresmi meninggalnyadari Gusti Panembahan Muhammadyang Sabirin,masih Sultanberkuasa Sepuhpada danmasa Sultanitu Anom sepakat jika wilayah kuasa Gustiyaitu Panembahan Muhammad Sabirin dibagibahwa rataputera kepadasulungnya merekayaitu berdua,''Depati sementaraMas'' hartaakan almarhummenggantikannya Gustidengan gelar ''Panembahan yangCirebon'' bersifatjika pribadibeliau ataumeninggal dimilikidunia<ref secara pribadi diserahkan kepada putrinyaname=realia1882/>,<ref>1882Susanto, Zuhdi. Realia - Register op de Generale1997. ResolutienCirebon vansebagai hetBandar KasteelJalur BataviaSutra. [[LeidenJakarta]] : GualthDepartemen KolffPendidikan dan Kebudayaan Républik Indonesia</ref>.
 
Pada tanggal 19 Oktober 1775, dua tahun setelah meninggalnya Panembahan Muhammad Sabirin, Sultan Sepuh dan Sultan Anom sepakat jika wilayah kuasa Gusti Panembahan Muhammad Sabirin dibagi rata kepada mereka berdua, sementara harta almarhum Gusti Panembahan yang bersifat pribadi atau dimiliki secara pribadi diserahkan kepada putrinya<ref name=realia1882>1882. Realia - Register op de Generale Resolutien van het Kasteel Batavia. [[Leiden]] : Gualth Kolff</ref>
 
== Pengadilan ''Kerta'' ==
 
Pada proses pengadilan ''kerta'' pada institusi [[jaksa pepitu]], Kepanembahan Cirebon diwakili oleh dua orang jaksa<ref name=viswandro>Viswandro, Maria Matilda, Bayu Saputra. 2018. Mengenal Profesi Penegak Hukum. [[Bantul]] : Media Presindo</ref>
 
== Kediaman resmi ==