Sanghyang Sasana Maha Guru: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan |
|||
(17 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Sasana Maha Guru.jpg|al=Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru|jmpl|Naskah Sanghyang Sasana Maha Guru]]
'''''Sanghyang Sasana Maha Guru''''' adalah naskah Sunda kuno yang ditulis dalam [[Aksara Sunda Kuno|aksara Sunda kuno]] menggunakan [[Bahasa Sunda Kuno|bahasa Sunda kuno]] dan [[Bahasa Jawa Kuno|Jawa Kuno]] pada lempiran daun [[lontar]]. Secara harfiah ''Sanghyang Sasana Mahaguru'' berarti "ajaran suci dari Maha Guru, yang berisi pedoman-pedoman hidup bagi para pengabdi darma (''sang sewaka darma'')."<ref name=":1">{{Cite journal|last=Gunawan|first=Aditia|title=(2011) Membaca Teks Sunda Kuna Sanghyang Sasana Maha Guru|url=https://www.academia.edu/5395489/_2011_Membaca_Teks_Sunda_Kuna_Sanghyang_Sasana_Maha_Guru|journal=Konferensi Internasional Budaya Sunda|language=en}}</ref> Teksnya berbentuk [[prosa]] tutur dengan 47 bagian penjelasan.<ref name=":1" /> Naskah ini sekarang disimpan di Layanan Koleksi Khusus kelompok Layanan Naskah Kuno, [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|Perpustakaan Nasional RI]] dengan nomor koleksi L 621 peti 15. Dalam pengkodean lama biasa disebut "kropak 621".<ref name=":0">{{Cite book|last=Gunawan|first=Aditia|date=2009|url=|title=Sanghyang Sasana Maha Guru dan Kala Purbaka: Suntingan dan Terjemahan|location=Jakarta|publisher=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|isbn=|pages=}}</ref>
== Pemerian Naskah ==
Naskah ini dilaporkan oleh Krom sebagai naskah yang berasal dari Bandung pemberian [[Daftar Bupati Bandung|Bupati Bandung]] [[Martanegara|R.A.A. Martagenara]] kepada
== Deskripsi Fisik Naskah ==
Dalam pengelolaan Layanan Koleksi Khusus kelompok Layanan Naskah Kuno, [[Perpustakaan Nasional Republik Indonesia|Perpustakaan Nasional RI]], naskah ''Sanghyang Sasana Maha Guru'' disimpan dalam peti kabinet nomor 15, sedangkan naskahnya diberi label L 621. Naskah disimpan dalam kotak karton khusus bebas asam. Secara umum naskah terdiri dari tiga bagian, yaitu dua buah [[bambu]] pengapit, seutas tali serat alami, dan 42 lempir [[lontar]] berisi tulisan. Tiga lempir lontar dianggap bukan bagian dari naskah ini, karena berbeda karakter aksara dan isinya.<ref name=":0" /> Ukuran daun lontar yaitu 34,3 x 3 cm, sedangkan ukuran ruang teksnya yaitu 32 x 2,6 cm. Aksara yang digunakan dalam naskah ini adalah [[Aksara Sunda Kuno|aksara Sunda kuno]] yang ditulis dengan cara digores menggunakan ''pisau pangot''. Jenis aksara pada naskah ini kemungkinan besar adalah apa yang disebut oleh [[Saleh Danasasmita|Danasasmita]] (1987)<ref name=":2" /> sebagai aksara Sunda kuno persegi, yaitu jenis aksara periode terakhir dari aksara Sunda.<ref name=":0" /> Teksnya masih bisa terbaca cukup jelas, walaupun pada beberapa bagian ada yang patah dan berlubang karena ngengat.<ref name=":0" /> Penomoran halaman menggunakan angka asli (Sunda kuno) mulai dari nomor 1 sampai 34, terletak di sebelah kanan teks setiap halaman ''verso''.<ref name=":0" />
== Perkiraan Waktu Penulisan ==
Berdasarkan analisis Aditia Gunawan (2009), jika naskah ''Sanghyang Sasana Maha Guru'' bukan salinan, maka kemungkinan ditulis sekitar awal abad ke-16, yaitu ketika [[Sri Baduga Maharaja]] menjadi raja [[Pakuan Pajajaran|Pajajaran]].<ref name=":0" /> Analisis demikian berdasarkan perbandingan penggunaan beberapa istilah seperti ''pangurang'', ''dasa'', ''calagara, upeti'' dan ''panggeres'' yang selaras digunakan pada naskah ''[[Sanghyang Siksa Kandang Karesian]]'' (ditulis/disalin 1418 Masehi) dan [[Prasasti Kebantenan|Prasasti Kabantenan]]. Istilah-istilah tersebut tercantum pada bahasan tentang ''Pancakapataka'' (bagian 15) teks ''Sanghyang Sasana Maha Guru''.
== Perkiraan Tempat Penulisan ==
Terdapat dua kemungkinan tempat penulisan naskah ini. Pertama, naskah ini mungkin ditulis di wilayah [[Jawa Timur]], dengan bersandar pada nama Desa Mahapawitra dan Gunung Jedang pada [[kolofon]]nya. Gunung Mahapawitra disebut pula sebagai tempat penulisan teks ''[[Sang Hyang Hayu]]''.<ref name=":3" /> Di dalam tradisi kesusastraan Jawa Kuno, Pawitra disebutkan dalam ''[[Tantu Panggelaran]]'' dan ''[[Nagarakertagama]]''.<ref name=":0" /> Gunung Jedong mungkin memiliki korelasi penyebutan di masa lalu dengan Candi Jedong, tetapi penyelidikan lebih lanjut diperlukan untuk memastikan kemungkinan ini.<ref name=":0" />
Kemungkinan kedua adalah Pawitra yang disebutkan oleh [[Perjalanan Bujangga Manik|Bujangga Manik]] ketika ia berada di puncak [[Gunung Papandayan]]. Tepatnya, yang dimaksud adalah ''tenggeran'' atau poros tapal batas di [[Pulau Panaitan|Panahitan]].<ref name=":0" /> Dari peninggalan artefak berupa arca Ganesha di puncak Gunung Raksa di Pulau Panaitan,<ref>{{Cite book|last=Hatmadji|first=Drs H. Tri|date=2007|url=https://books.google.co.id/books?id=yqCHCgAAQBAJ&pg=PA62&dq=gunung+raksa+arca&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjf4qvqzL_tAhVd_XMBHZfHDeUQ6AEwAHoECAUQAg#v=onepage&q=gunung%20raksa%20arca&f=false|title=Ragam Pusaka Budaya Banten|publisher=Direktorat Jenderal Kebudayaan|isbn=978-979-99324-0-2|language=id}}</ref> menjadi salah satu ciri bahwa di masa lalu tempat itu dianggap sakral.<ref>{{Cite book|last=W|first=Etty Saringendyanti|last2=Skober|first2=Tanti R.|date=2010|url=https://books.google.co.id/books?id=6R9PAQAAMAAJ&q=gunung+raksa+arca&dq=gunung+raksa+arca&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjf4qvqzL_tAhVd_XMBHZfHDeUQ6AEwBHoECAEQAg|title=Percandian di tatar Sunda masa Hindu Budha|publisher=Sastra Unpad Press|isbn=978-602-8795-06-7|language=id}}</ref> Di dalam teks ''[[Kawih Pangeuyeukan]]'', Panaitan disebut sebagai tempat yang berisi ''kabuyutan'' (tempat sakral).<ref>{{Cite book|last=Ruhimat|first=Mamat|last2=Gunawan|first2=Aditia|last3=Wartini|first3=Tien|date=2014|url=https://books.google.co.id/books?id=mo25rQEACAAJ&dq=kawih+pangeuyeukan&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi_-uiXzb_tAhUegUsFHa3MBVUQ6AEwAHoECAAQAQ|title=Kawih pangeuyeukan: tenun dalam puisi Sunda kuna dan teks-teks lainnya|publisher=Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Pusat Studi Sunda|isbn=978-979-008-685-2|language=id}}</ref> Kemungkinan lain adalah nama Gunung Jedong mirip dengan Gunung Jreding dalam teks ''Bujangga Manik,'' namun belum bisa dipastikan mengenai letak dan konteksnya secara pasti sehubungan dengan kolofon pada ''Sanghyang Sasana Maha Guru''.<ref name=":0" />
== Pembagian Bahasan ==
Keempat puluh tujuh bagian yang dibahas dalam teks ''Sanghyang Sasana Maha Guru'', beberapa di antaranya mengandung unsur bilangan tiga (''tri''), empat (''catur''), lima (''panca''), dan sepuluh (''dasa''), di samping menggunakan beberapa istilah khusus. Berikut ini poin-poin bahasan selengkapnya:<ref name=":1" />
{{col|2}}
# ''Pancawedani'' (lima air sapu lidi)
# ''Siksa Kandang, Siksa Kurung, Siksa Dapur''
Baris 54 ⟶ 66:
# ''Rahasya Pandita'' (rahasia pendeta)
#''Sabda Padesa''
{{EndDiv}}
== Keterkaitan dengan Teks Lain ==
''Sanghyang Sasana Maha Guru'' memiliki keterkaitan cukup erat dengan beberapa teks yang telah diketahui sebelumnya, salah satunya dengan teks prosa ''[[Sanghyang Siksa Kandang Karesian]].''<ref>{{Cite book|last=Nurhamsah, Ilham,|url=https://www.worldcat.org/oclc/1161997235|title=Siksa kandang karesian : teks dan terjemahan : alih bahasa|location=Jakarta|isbn=978-623-200-212-8|others=Perpustakaan Nasional (Indonesia),, Masyarakat Pernaskahan Nusantara,|oclc=1161997235}}</ref><ref>{{Cite book|date=1981|url=https://books.google.co.id/books?id=0oSlGwAACAAJ&dq=siksa+kanda+ng+karesian&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwi2w_79wb_tAhXSgtgFHSnaBcgQ6AEwAnoECAAQAQ|title=Sanghyang Siksakanda ng Karesian: naskah Sunda kuno tahun 1518 Masehi|publisher=Proyek Pengembangan Permuseuman Jawa Barat|language=id}}</ref> beberapa penjelasan bagian seperti ''dasaindriya, siksa kandang, trikaya mandala parisuda,'' dan tiga unsur: ''bayu, sabda, hidep'' disebutkan dalam kedua teks dan saling melengkapi. Teks lain yang memiliki korelasi dengan ''Sanghyang Sasana Maha Guru'' adalah ''[[Sewaka Darma]]''.<ref name=":2">{{Cite book|date=1987|url=https://books.google.co.id/books?id=DLctAAAAMAAJ&q=sewaka+darma&dq=sewaka+darma&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjNqc7AwL_tAhUPWCsKHRGtBkcQ6AEwAHoECAAQAg|title=Sewaka darma (Kropak 408) ; Sanghyang siksakandang karesian (Kropak 630) ; Amanat Galunggung (Kropak 632): transkripsi dan terjemahan|publisher=Bagian Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan Sunda (Sundanologi), Direktorat Jenderal Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan|language=id}}</ref> Walaupun ''Sewaka Darma'' berbentuk [[puisi]], tetapi unsur penjelasan istilah dan ajarannya saling berhubungan erat. Misalnya dalam pencapaian menuju unsur ''bayu, sabda, hidep'' dan kelepasan jiwa. Pada bagian ke-38 di dalam ''Sanghyang Sasana Maha Guru'' disebutkan penjelasan ''Ndah Sang Hyang Hayu,'' yaitu makna [[Filosofis|filofofis]] dan [[magis]] dari setiap suku kata. Di sisi lain terdapat naskah ''[[Sang Hyang Hayu]]'' yang pada permulaan teksnya persis menyebutkan ungkapan itu.<ref name=":3">{{Cite book|last=Darsa|first=Undang Ahmad|date=1998|url=https://books.google.co.id/books?id=ZPEFtwAACAAJ&dq=sanghyang+hayu&hl=en&sa=X&ved=2ahUKEwjzveytwb_tAhVV6XMBHQmpB_0Q6AEwAHoECAAQAQ|title=Sang Hyang Hayu: kajian filologi naskah bahasa Jawa Kuno di Sunda pada abad XVI|language=id}}</ref>
==Referensi==
<references />
{{naskah Sunda kuno}}
[[Kategori:Naskah Sunda Kuno]]
|