Candi Sawentar: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
JAnDbot (bicara | kontrib)
k removed link to a non-existing Commons category
Matabulanhari (bicara | kontrib)
 
(15 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
{{Infobox Historic building
|image=Candi Sawentar (Sawentar Temple) - panoramio.jpg
|caption = Candi Sawentar
|name=Candi Sawentar
|map_type= Indonesia
Baris 7:
|latitude=-8.06674
|longitude=112.206
|location_town= Desa Sawentar, Kecamatan Garum,Kanigoro [[Kabupaten Blitar]]
|location_country={{flag|Indonesia}}
|architect=
Baris 20:
|size= Luas dasar 9,53 X 6,86 meter, tinggi 10,65 meter
}}
'''Candi Sawentar''' terletak di [[Desa. Sawentar,Kec. Kanigoro, Kab. Blitar, Jawa Timur|Desa Sawentar]]. Desa ini secara administratif masuk wilayah Kecamatan Kanigoro, Kabupaten Blitar. Sejalan dengan adanya sistem pemerintahan otonomi daerah, segala pengelolaan dan tanggung jawab kelestarian Candi Sawentar dan lingkungannya berada pada pemerintah Kabupaten Blitar. Sedangkan secara teknis arkeologis Candi Sawentar menjadi tanggung jawab Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) [[Jawa Timur]] di [[Trowulan]].
 
Berkenaan dengan lokasi dan lingkungannya, sangat disayangkan bahwa akses jalan menuju Candi Sawentar lumayan sulit dilewati, karena jalan menuju candi ini berlubang-lubang. Candi Sawentar terletak kira-kira delapan kilometer dari jalan Raya [[Garum, Blitar|Garum]] jurusan [[Malang]]-[[Blitar]]. Secara geografis Candi Sawentar berada di sebelah timur lereng [[Gunung Kelud]]. Juga ditinjau dari topografi lingkungannya, kawasan Sawentar dikelilingi oleh sungai. Sungai yang paling dekat dengan situs Sawentar adalah Ngasinan yang saat ini sudah tidak berfungsi lagi. Sungai ini sekaligus menjadi pemisah antara Candi Sawentar I dan II. Data topografi tersebut menjadikan iklim sekitarnya termasuk dalam kategori tropis, dengan curah hujan 173 mm/tahun dan jumlah hujan rata-rata 124 hari/tahun.<ref>Ngadiono (2003), halaman 1</ref>. Iklim serta pantauan topografi inilah yang memberikan informasi bahwasanya wilayah situs Sawentar dan sekitarnya merupakan tanah yang subur.
 
Candi Sawentar tidak memiliki sistem zonasi. Untuk sementara ini zonasi yang terdapat dalam Situs Sawentar 1 sudah cukup baik, namun pada Situs Sawentar 2 masih butuh pemugaran dan penjagaan yang lebih tertata. Belum tertatanya Sawentar 2 karena masih dalam proses penelitian dan pengungkapan lagi oleh [[Balai Arkeologi Yogyakarta]].
Baris 33:
<blockquote>''“Ndan ring śaka tri tanu rawi ring wēsākā, śri nāthā mūja mara ri palah sābŗtya, jambat sing rāmya pinaraniran lānglitya, ro lwang wentar manguri balitar mwang jimbē”''</blockquote>
 
Artinya:
<blockquote>Lalu pada tahun [[saka]] Tritanurawi—1283 (1361 Masehi) Bulan Wesaka (April-Mei), Baginda raja memuja (nyekar) Ke Palah dengan pengiringnya, berlarut-larut setiap yang indah dikunjungi untuk menghibur hati, di Lawang Wentar Manguri Balitar dan Jimbe<ref>Riana (2009), halaman 302</ref></blockquote>.
 
Dari ulasan [[Kitab]] [[Negarakretagama]] di atas diketahui nama Lwa Wentar yang berada di dekat Jimbe dan [[Blitar]]. Pada saat ini hanya dijumpai satu wilayah yang memiliki toponimi sama dengan Lwa Wentar, yakni Sawentar, yang juga terdapat situs di wilayah tersebut. Bangunan candi ini dahulunya merupakan sebuah kompleks percandian, karena disekitarnya masih ditemukan sejumlah pondasifondasi yang terbuat dari bata, dan candi ini diduga didirikan pada awal berdirinya [[Kerajaan Majapahit]].
 
== Riwayat penemuan dan perawatan ==
=== Candi Sawentar 1 ===
Awalnya candi ini tertimbun tanah dari bagian tengah hingga bawahnya. Pada tahun [[1915]] dan tahun [[1920]] – [[1921]] ''Oudheidkundige Dienst'' (Dinas Purbakala) [[Hindia Belanda]] melakukan penggalian pada bagian bawah candi yang tertimbun lahar [[Gunung Kelud]]. Diketahui Gunung Kelud yang dituliskan dalam prasasti Palah, merupakan tempat dari ''Sang Hyang Acalapati'' atau dewa gunung yang pada masa [[Kertajaya]] diagungkan agar tidak murka. Hal ini juga diketahui dari bukti dan catatan geografis yang mengatakan bahwa [[Gunung Kelud]] sering meletus. Dari sini dapat dipastikan bahwa situs-situs sekitar [[Gunung Kelud]] termasuk Sawentar tertimbun abu [[vulkanik]]. Pada saat ini jika kita amati Candi Sawentar berada di bawah permukaan tanah permukiman penduduk sekitarnya. Adapaun lapisan tanah yang bisa kita jumpai hasil bentukan dari vulkanik Gunung Kelud jika kita berada di tanah bagian selasar batur candi. Tanah asli pada saat candi ini dibangun adalah tanah yang berada di bawah selasar batur/kaki candi, bukan tanah yang menjadi pijakan rumah penduduk sekitar. Pada tahun 1992 - 1993 Candi Sawentar dipugar oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya (nama yang dipakai sejak 2011) [[Trowulan]], [[Jawa Timur]].<ref>Abbas (2001), halaman 39</ref>. Setelah dipugar, candi ini dijaga oleh juru pelihara (jupel) Bapak Sugeng Ahmadi (2000 hingga sekarang). Beliau ditemani oleh Mbak Punawati yang menjadi jupel 2. Perawatan dan pemeliharaan sebuah situs diserahkan pada dua instansi negara. Di Candi Sawentar untuk pengolahan wisata dan pengembangan situs diserahkan pada Dinas [[Kebudayaan]] wilayah Sawentar. Perawatan dan pemeliharaan situs ditangani oleh BPCB [[Trowulan]]. Bentuk perawatan yang dilakukan oleh BPCB Trowulan antara lain mengenai perawatan lingkungan dan penjagaan yang diembankan pada juru pelihara. Juga pendataan kemiringan dan kestabilan bangunan oleh arkeolog dan pegawai pusat. Untuk pengontrolan kemiringan dan kestabilan bangunan dilakukan ± dua tahun sekali.
 
=== Candi Sawentar 2 ===
Baris 67:
<blockquote>...Baginda di paguhan wafat di Canggu, dicandikan di Sabyantara. Baginda Hyang wafat dicandikan di Puri, Baginda di Jagaraga wafat, Seri ratu di Kabalan wafat, dijadikan menjadi satu di Sumêngka. Seri ratu di Padjang wafat, dicandikan menjadi satu di Sabyantara...<ref>Padmapuspita (1966), halaman 90</ref></blockquote>.
 
Dari kalimat diatas didapati kata Sabyantara. Hal inilah yang menjadi bukti kuat mengenai fungsi dari Candi Sawentar satu. Karena kata Sabyantara syarat dengan Sawentar. Mengapa demikian, harus ditinjau dari rumpun bahasa bahwasaanya aksen B dan W ini selalu bersinggungan. Dapat dijumpai pada perkembangan bahasa saat ini antara [[Jawa]] yang menyerap dari aksen [[Sanskerta]] dan [[Bahasa Indonesia]] yang banyak menyerap dari aksen [[Melayu]].<ref>Collins (2009), halaman 93</ref>. Huruf W pada Aksen Bahasa [[Sanskerta]] yang diserap oleh [[Jawa]], sering bersinggungan dengan huruf B pada bahasa [[Melayu]] yang diserap oleh [[Bahasa Indonesia]]. Menurut sumber tertulisnya, yakni Kitab [[Pararaton]], Sabyantara merupakan sebuah pendharmaan dari Bhre Paguhan. Maka pada ulasan kali ini dengan dibuktikan pada berita tertulis, menguatkan Candi Sawentar 1 merupakan pendharmaan dari ''Bhre Paguhan''.
 
=== Candi Sawentar 2 ===
Baris 86:
# Soko sarono (arang, batu bara)
# Soko glap (petir)
Surya memiliki nilai 1 karena surya berarti matahari. Dalam alam semesta ini matahari tentunya hanya ada 1.<ref>sajid (tahun?), halaman 7-15</ref>. Ulasan candra sengkala di atas yang akhirnya didapati angka tahun 1318 śaka (1396 [[Masehi]]). Hal inilah seperti yang dikatakan ''Baskoro Daru Tjahjono'' merupakan sebuah monumen peringatan. Memang sekilas bentuk Sawentar 2 bagian selatan hampir sama dengan candi Kama yang terdapat di Trawas [[Mojokerto]]. Sekilas dilihat memang ada keserupaan bentuk walau ukurannya tidak sama. Hanya pada candi Sawentar lebih kompleks temuannya sehingga diketahui dengan jelas fungsi dan sejarahnya.
 
Pendirian sebuah candi biasanya bertalian erat dengan peristiwa meninggalnya seorang raja. Hal ini dapat diketahui dari keterangan-keterangan yang termuat dalam kitab Nagarakrtagama dan kitab [[Pararaton]]. Candi didirikan untuk mengabadikan “dharma”nya dan memuliakan rohnya yang telah bersatu dengan dewa penitisnya. Misalnya: Candi Jago merupakan tempat pendarmaan Raja Wisnuwardhana, Candi Singasari dan Candi Jawi untuk memuliakan Raja [[Kertanegara]], dan [[Candi Simping]] untuk memuliakan Raja [[Kertarajasa]]. Namun selain sebagai tempat pendarmaan raja yang telah meninggal apakah tidak ada tujuan lain dalam pendirian suatu bangunan suci. Apakah tidak mungkin pula suatu bangunan suci didirikan untuk memperingati peristiwa-peristiwa penting yang telah terjadi dalam suatu kerajaan atau latar belakang naik tahtanya seorang raja tampaknya juga mengilhami pendirian suatu bangunan suci. Pemahatan relief ''“nagaraja anahut surya”'' di candi Sawentar II kemungkinan merupakan penggambaran adanya peristiwa atau upaya perebutan tahta kerajaan di kerajaan Majapahit. Pada masa pemerintahan Wikramadharma telah terjadi pertentangan keluarga, antara Wikramadharma yang memerintah wilayah bagian barat (Majapahit) dengan [[Bhre Wirabhumi]] yang memerintah wilayah bagian timur (daerah Balambangan). Di dalam serat [[Pararaton]] peristiwa itu disebut paregreg, yang mulai terjadi tahun 1323 saka. Tahun 1318 saka yang tersirat dalam sengkalan ''“nagaraja anahut surya”'' sangat dekat dengan mulai terjadinya peristiwa paregreg. Jadi kemungkinannya sebelum terjadi peristiwa paregreg telah didahului dengan peristiwa-peristiwa yang berkaitan dengan upaya perebutan tahta tersebut. Atau kemungkina angka tahun itu menunjuk tahun mulainya peristiwa paregreg. Kemungkinan tahun yang disebut oleh penulis [[Pararaton]] kurang tepat, mengingat penulisan [[Pararaton]] jauh setelah peristiwa itu berlangsung (sekitar abad XVII [[Masehi]]), sedangkan Candi Sawentar II yang memuat sangkalan ''“nagara anahut surya”'' berasal dari tahun 1357 atau 1358 saka (1435/1436 Masehi). Jadi candi Sawentar II didirikan oleh [[Suhita]] untuk memperingati peristiwa upaya perebutan tahta ''(paregreg)'' yang terjadi pada masa pemerintahan ayahnya.
 
Apabila diamati dari makna penggambaran naga yang mengenakan mahkota, sangat mungkin hal itu merupakan simbolisasi seorang raja yang marah, dan digambarkan sedang berusaha menelan [[matahari]]. Sedangkan matahari yang dicaplok [[naga]] [[raja]] tersebut merupakan simbolisasi dari kekuasaaan [[Majapahit]] yang sedang dicabik-cabik untuk diruntuhkan. Sebab matahari yang digambarkan pada panil itu adalah “[[Surya Majapahit]]” yang merupakan lambang kebesaran [[Kerajaan Majapahit]]. Dengan demikian penggambaran ''“nagaraj anahut surya”'' adalah untuk menggambarkan adanya upaya-upaya untuk meruntuhkan kekuasaaan [[Majapahit]] melalui perebutan tahta oleh Wirabhumi terhadap kekuasaan Wikramawardhana yang oleh [[Pararaton]] disebut ''“paregreg”''. Jadi maksud pendirian bangunan suci Sawentar II adalah untuk memperingati peristiwa Paregreg yang telah terjadi 40 tahun lalu sebelum bangunan itu didirikan.<ref>Tjahjono (1999), halaman 72-74</ref>.
 
== Struktur candi ==
Baris 96:
Struktur Candi Sawentar merupakan bentuk dari bangunan masa [[Jawa Timur]] yang berkembang pada [[abad]] XII – XIII M., Karena bangunan yang berkembang pada [[abad]] VIII – X M didominasi oleh bangunan-bangunan [[candi]] di [[Jawa Tengah]], bentuknya tidak seperti itu. Bangunan candi masa [[Jawa Tengah]] cenderung gemuk dan buntak (tambun), sedangkan bangunan [[candi]] masa [[Jawa Timur]] berbentuk ramping dan tinggi. Candi sawentar juga memiliki kesamaan bentuk dengan candi Kidal dan candi bangkal, yang sama-sama berada di [[Jawa Timur]]. Hanya untuk Candi Bangkal memang sebagian besar terbuat dari batu bata dan bukan [[andesit]] layaknya [[Candi Kidal]] dan Sawentar 1.
 
Denah alas atau batur candi Sawentar 1 hampir mengarah ke bujur sangkar, berukuran panjang 9,53 m, lebar 6,86 m. Tinggi bangunannya 10,65 [[meter]].<ref>Abbas (2001), halaman 39</ref>. Berdasarkan sisa-sisa bangunan yang terdapat di sekitar halaman, Candi Sawentar memiliki pagar keliling dari batu dengan denah halaman hampir bujur sangkar. Halaman ini merupakan halaman pusat, karena pada umumnya bangunan candi memiliki 3 tingkatan bangunan. Bangunan candinya terbuat dari batu andesit dengan pola pasang tidak beraturan/acak.
 
Dahulu di depan candi terdapat sebuah bangunan tembok tepat di depan tangga pintu masuk ke ruang candi, sehingga posisinya menutupi tangga pintu masuk tersebut. Bagian pondasifondasi dari tembok pagar ini sekarang masih ada. Fungsi dari tembok itu diduga sebagai ''‘kelir’'' atau ''‘aling-aling’'' dari bangunan candinya. Maksud dari kelir atau aling-aling tersebut secara magis adalah sebagai penangkal atau penolak dari kekuatan gaib yang bersifat negatif/jahat. Dengan demikian tembok kelir atau aling-aling tersebut memiliki fungsi magis, yaitu magis perlindungan (protektif). Sisa pondasifondasi pagar seperti pada gambar dibawah ini (membujur, utara-selatan). Candi Sawentar sesuai dengan strukturnya dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian kaki, badan, dan puncak.
 
* Bagian kaki (''Upapitha'') disebut ''BHURLOKA'', gambaran dari alam manusia atau dunia manusia
Baris 104:
* Bagian puncak (''Cikhara'') disebut ''SWAHLOKA'', gambaran alam sorgawi atau kahyangan para dewa
 
Struktur bangunan candi, baik candi [[Hindu]] maupun candi [[Budha]] mengacu kepada gambaran gunung suci, yaitu [[Meru]]. Menurut mitologi [[Hindu]] dan [[Budha]] bahwa alam semesta atau jagat raya ini berpusat pada gunung Meru yang merupakan tempat tinggal para [[dewa]]. Oleh karena itu candi-candi dibangun sebagai usaha untuk menciptakan gunung Meru tiruan. Dengan demikian struktur bangunan candi harus sesuai dengan struktur Meru, yaitu ada kaki, lereng/badan, dan puncak. Karena sebuah gunung mengandung unsur flora atau fauna, maka hiasan-hiasan pada dinding candi juga mengandung unsur flora dan fauna. Disamping itu dihias dengan makhluk-makhluk ajaib penghuni sorga. Semuanya itu untuk menegaskan bahwa candi merupakan gambaran dari Meru tempat tinggal para dewa.<ref>Suwardono (2008), halaman 10-11</ref>.
 
Diskripsi masing-masing bagian Candi Sawentar adalah sebagai berikut :
 
 
==== Bagian Kaki ====
 
Kaki candi dibuat tinggi dengan sebuah penampil pada pintu masuk yang memiliki tangga. Bagian kaki ditopang oleh adanya alas yang berbentuk persegi panjang (mendekati bujur sangkar). Di bagian kaki candi di sisi utara, timur dan selatan, terdapat relief yang bermotif palang. Pada sisi barat terdapat tangga menuju pintu masuk. Pipi tangga berbentuk lengkungan dengan berujung kepala naga atau ular bermahkota, sekaligus sayap naga yang menutup pipi kanan kiri tangga masuk. ‘Kepala naga’ atau ‘ular bermahkota’, dalam [[mitologi]] [[Hindu]] dihubungkan dengan alam bawah, yaitu tanah air atau wanita. Di dalam mitos kesuburan, ular dianggap sebagai kekuatan hidup dan pelindung utama dari segala kekayaan yang terkandung di dalam tanah maupun air. Oleh karena itu wajarlah bahwa di Candi Sawentar, ia ditempatkan pada bagian bawah sebagai ‘lambang alam bawah’ dan berada di depan pintu masuk sebagai ‘kekuatan yang melindungi segala kekayaan/daya gaib yang terkandung di dalam tanahnya’.<ref>Sunaryo (2009), halaman 103</ref>.
 
==== Bagian Badan ====
[[Berkas:Dewa Surya.png|thumbjmpl|Salah satu relief yang merupakan gambaran Dewa Surya]]
[[Berkas:Kepala kalaa.jpg|thumbjmpl|Gambaran kala yang ada di candi Sawentar]]
Pada bagian badan candi, terdapat relief kepala kala. Ini berfungsi magis, yaitu berfungsi menakuti kekuatan jahat yang berada disekelilingdi sekeliling candi ([[banaspati]]). Kepala [[kala]] yang terdapat pada candi sawentar umumnya merupakan gambaran kelapal [[kala]] yang terdapat pada candi-candi hindu [[Jawa Timur]], dan sangat berbeda bentuk dengan kepala kala yang terdapat pada percandian [[Jawa Tengah]]. Hal ini dapat dilihat dari gambar dibawah ini. Tapi sangat disayangkan, karena kepala kala yang terdapat di atas pintu candi telah rusak. Dan seperti pada candi-candi [[Hindu]] lainnya, terdapat ruang induk yang dikelilingi oleh relung-relung. Dinding badan candi dihias dengan pelipit bawah, pelipit tengah, dan pelipit atas, yang dihias pula dengan hiasan lingkaran-lingkaran yang hampir serupa dengan yang ada pada kaki candi. Pada sisi barat terdapat pintu dengan penampil. Di kanan kiri pintu masuk terdapat relung kecil. Relung sebelah kiri pintu (utara) dahulunya berisi [[arca]] [[Mahakala]], sedangkan relung sebelah kanan pintu (selatan) dahulunya berisi [[arca]] [[Nandiswara]]. Mahakala adalah salah satu aspek Dewa [[Siwa]] sebagai ‘perusak’. Oleh karena itu bentuk [[Mahakala]] berwajah raksasa (demonis). Senjata yang dibawa adalah gada atau pedang. Atribut lainnya adalah ular, berambut gimbal. Sedangkan [[Nandiswara]] merupakan bentuk antropomorpic dari lembu ''‘Nandi’'' kendaraan [[Siwa]]. Oleh karena itu [[Nandiswara]] merupakan aspek [[Siwa]] juga. Bentuknya seperti manusia biasa, senjata yang dibawanya adalah [[trisula]] (senjata [[Siwa]]) yang menandakan bahwa dia masih dekat hubungannya dengan [[Siwa]].
 
Dinding sisi utara terdapat sebuah relung yang dahulunya berisi arca ‘''Durgamahisasuramardini''’, yaitu Dewi [[Parwati]] sebagai [[Durga]] sedang membinasakan seorang raksasa yang menjelma sebagai kerbau. Arcanya berbentuk figur seorang [[dewi]] yang berdiri di atas punggung kerbau.
Menurut cerita Hindu, seorang raksasa, yaitu Mahesasura merusak kahyangan para dewa. Para dewa terutama [[Brahma]], [[Wisnu]], dan [[Siwa]] marah melihat keadaan tersebut. Dari kemarahan mereka itulah muncul kekuatan baru yang terjelmakan dalam figur seorang dewi yang sangat cantik, yaitu [[Durga]].
 
Berikutnya kita berjalan menuju sisi Timur (bagian belakang candi). Di sini kita mendapatkan relung yang kosong. Dahulu di relung ini berisi [[arca]] [[Ganesa]]. Tanda-tanda dari [[Ganesa]], di dalam mandala percandian ia selalu digambarkan duduk. Sikap kakinya seperti duduknya anak balita. Bertangan dua, delapan, sepuluh, duabelas, atau enam belas. Berperut buncit sebagai tanda bahwa ia kaya akan ilmu pengetahuan. Bermata tiga (trinetra seperti ayahnya). Berselempang ular. Senjata yang dibawanya secara standart adalah kapak (parasu), tasbih (aksamala), gading (danta) nya yang patah, serta mangkuk berisi madu (modaka). [[Dewa]] [[Ganesa]] dipuji sebagai dewa ilmu pengetahuan, dewa pembawa keberuntungan, serta [[dewa]] ‘penghancur segala rintangan/gangguan jahat’ (''Vignavignecvara'').
 
Berikutnya adalah relung sisi selatan. Relung ini telah kosong tanpa arca. Dahulu di sini bersemayam arca [[Siwa]] Guru atau Siwa Mahaguru ([[Dewa]] [[Siwa]] sebagai seorang pertapa/yogi). Dalam anggapan lain ada yang menyebutnya arca [[Resi]] [[Agastya]]. Tanda-tanda dari arca ini digambarkan berwujud seorang pertapa tua dengan rambutnya yang disanggul. Kumis dan jenggot panjang meruncing, serta berperut gendut. Bertangan dua yang masing-masing membawa tasbih (aksamala) dan kendi amerta (kamandalu). Pada sandaran sisi kanan terdapat senjata ‘Trisula’. Senjata tersebut terkadang ditempatkan di sisi lengan kanannya, kadang pula tangan kanannya memegang tangkai [[trisula]].
Baris 132:
Bagian atap candi sebagian runtuh terutama pada puncaknya. Bentuk asli puncaknya berbentuk kubus, hal ini dapat diketahui karena bentuk asli puncak telah dikumpulkan bersama dengan puing-puing candi yang lain di dekat Candi Sawentar ini. Bagian atap candi terdapat relief bermotif meander, naturalis (tumbuh-tumbuhan), dan motif tumpal (lancip). Fragmen puncak diduga mirip dengan puncak dari [[Candi Kidal]] di Kabupaten [[Malang]] dan Candi Bangkal di Kabupaten [[Mojokerto]]. Yang memang struktur dari kaki hingga tubuh banyak memiliki kesamaan antara ketiga candi ini, jadi didugapula adanya kesamaan puncak, walaupun puncak dari ketiga candi tersebut sudah tidak utuh lagi.
 
Bagian puncak dari candi ini sebagaimana yang telah diulas dihiasi oleh motif suluran. Motif suluran ini bermakna tumbuh-tumbuhan yang melambangkan puncak dari gunung yang syarat dengan hutan dan tetumbuhan.<ref>Sunaryo (2010), halaman 159</ref>. Selain itu didapati pula motif Meander yang pada umumnya merupakan hiasan pinggir yang bentuk dasarnya berupa garis berluki atau berkelok-kelok. Kata meander berarti kelokan sungai, hiasan meander berasal dari Yunani dan perkembangannya di Cina hingga diserap di [[Nusantara]].<ref>Sunaryo (2010), halaman 22</ref>. Dan yang terakhir pada kemuncak Candi Sawentar didapati motif tumpal, yang memiliki dasar bentuk bidang segitiga. Bentuk segitiga ini biasanya membentuk deratan dengan bagian lancip di atas atau kebawah. Motif tumpal terpengaruh oleh Cina dan berasal dari wilayah pesisir.<ref>Sunaryo (2010), halaman 30</ref>. Tidak seperti halnya puncak candi gaya masa [[Jawa Tengah]], yang puncaknya merupakan pengulangan struktur di bawahnya. Puncak candi gaya masa [[Jawa Timur]] tidak berbentuk pengulangan struktur di bawahnya, tetapi terdiri dari tingkatan-tingkatan yang berbeda, yang makin ke atas juga semakin kecil.<ref>Mangunwijaya (1988), halaman 127</ref>.
 
=== Candi Sawentar 2 ===
[[Berkas:Sawentar2.jpg|thumb|Sisa Candi Sawentar 2]]
[[Berkas:Candi-sawentar2.jpg|thumb|Dua buah batur empat persegi pajang berjajar membujur utara-selatan pada Candi Sawentar 2]]
Candi Sawentar II adalah situs bangunan [[candi]] pada masa [[Hindu]]-[[Buddha]] yang ditemukan didukuh Centong, desa Sawentar, Kecamatan Kanigoro, [[Kabupaten Blitar]], Provinsi [[Jawa Timur]]. Situs ini berjarak kurang lebih 100 meter dari lokasi candi Sawentar I, tepatnya sebelah selatan candi sawentar I. Lokasi situs candi Sawentar II berada di sekitar pasar Desa Sawentar. Penemuan yang didapat dari situ candi sawentar dua yang pertama yaitu sebuah batu candi yang terbuat dari batu [[andesit]] berwarna agak keputihan. Batu ambang candi berukuran panjang 73 cm, lebar 36 cm, dan tebal 20 cm. Batu ini memiliki angka tahun dan hiasan kepala [[kala]] pada kedua sudutnya. Batu candi berukuran panjang 24 cm, lebar 23 cm dan tebal 17 cm.
 
Baris 142 ⟶ 140:
 
Berikutnya yang ditemukan adalah sebuah kompleks candi, kompleks itu berbentuk struktur bangunan dari batu [[andesit]] yang berupa dua batur empat persegi pajang berjajar membujur utara-selatan. Di tengah-tengah batur itu terdapat sebuah lantai yang terbuat dari bata. Di sebelah barat batur terdapat dua buah struktur bangunan bata yang kemungkinan berdenah bujur sangkar. Dan di sebelah timur terdapat dinding yang tertimbun tanah membujur dari utara ke selatan, dan mungkin itu adalah sebuah pagar.
Selanjutnya bulan Oktober 2000 berhasil diketahui pula bahwa halaman candi ini dibagi menjadi dua halaman. Denah pagar berbentuk empat persegi panjang melintang utara-selatan dengan ukuran 38,80 × 29,70 m2. Halaman bagian utara terdapat gugusan bangunan berupa batur-batur dan pondasifondasi [[miniatur]] [[candi]], halaman ini berukuran 29,70 × 21,30 m2. Sedangkan halaman selatan belum ditemukan gugusan bangunan, halaman ini berukuran 29,70 × 17,50 m2.
 
Penelitian tahap IV yang dilakukan pada bulan Septermber 2004 berhasil membuka 9 buah parit gali (P.30 – P.38). Penelitian yang difokuskan untuk mencari gugusan bangunan lain dan pintu masuk ke halaman candi hanya berhasil menemukan gugusan candi lain. Gugusan bangunan candi lain itu ditemukan di halaman selatan pada kuadrant timur laut juga. Di halaman selatan ini ditemukan dua buah bangunan berbentuk kubus berjajar utara selatan dengan hiasan relief binatang kuda di masing-masing dindingnya. Bangunan di selatan masih agak utuh, sedangkan yang di utaranya tinggal separuh. Pintu masuk ke halaman candi belum berhasil ditemukan. Penelitian berlanjut hingga tahap V dan VI masing-masing pada tahun [[2005]] dan [[2006]].
Baris 151 ⟶ 149:
 
=== Huruf berkalimat ===
Batu yang bertiluskan huruf jawa kunakuno tersebut juga ditemukan di makam Kanigoro. Batu ini diduga ditempatkan pada ambang pintu bangunan. Huruf yang terdapat pada batu tersebut terbalik tata polanya karena batunya memang terbalik saat meletakkan. Jika ingin membacanya kita harus memutar 180º. Huruf tersebut berbunyi “''ita cangkaha ya hala''” yang berarti sombong itu ya jelek/buruk.
Kata-kata tersebut merupakan sebuah pesan moral yang bisa jadi berhubungan dengan sejarah candi tersebut. Dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk mengungkap hal ini, berkaitan dengan raja siapa atau pendharmaan dari siapakah dan apa fungsinya bangunan pada kompleks makam Kanigoro tersebut.
 
Baris 168 ⟶ 166:
* Huyler, Stephen P. 1999. Meeting God, Elements Of Hindu Devotion. London: Yale University Pers.
* Lutfi, Ismail. 1991. Telaah Prasasti Palah Dalam Hubungannya dengan Candi Panataran. Yogyakarta: Skripsi Arkeologi FS UGM.
* Mangunwijaya. 1988. Wastucitra (Pengantar ke Ilmu Budaya Bentuk Arsitektur Sendi-Sendi Filsafatnya Beserta Contoh-Contoh Praktis). Jakarta :PT. Gramedia.
* Ngadiono. 2003. Candi Penataran. Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Propinsi Jawa Timur.
* Padmampuspita, ki J. 1966. Pararaton. Yogyakarta: Taman Siswa.
Baris 178 ⟶ 176:
* Soekmono, R. 1974. Candi Fungi dan Pengertiannya. Depok: Dist FS UI.
* Sulaiman, Setyawati. 1980. Pengembangan Seni Arca Kuno di Indonesia. Dalam Analisis Kebudayaan Tahun 1 No. 1 Hal. 50-59. Jakarta: Balai Pustaka.
* Sunaryo, Aryo. 2010. Ornamen Nusantara, Kajian Khusus Tentang Ornamen Indonesia. Semarang : Effhar Offset Semarang.
* Suwardono. 2008. Candi Kidal. Malang.
* Tim Nasional Penulisan Sejarah Indonesia. 2010. Sejarah Nasional Indonesia. Zaman Kuno. Jakarta: Balai Pustaka.
Baris 187 ⟶ 185:
== Pranala luar ==
* http://candi.perpusnas.go.id/temples/deskripsi-jawa_timur-candi_sawentar
* http://nahini.com/2014/11/07/29-candi-menawan-di-indonesia/ {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20150626163159/http://nahini.com/2014/11/07/29-candi-menawan-di-indonesia/ |date=2015-06-26 }}
* http://www.tripmondo.com/indonesia/east-java/centong-satu/picture-gallery-of-centong-satu
 
{{Candi Hindu Indonesia}}
 
{{bangunan-stub}}
 
[[Kategori:Kanigoro,Candi BlitarHindu]]
 
[[Kategori:Candi Hindu|Sawentardi Jawa Timur]]
[[Kategori:Candi di Jawa Timur|Sawentar]]
[[Kategori:Kanigoro, Blitar]]
[[Kategori:Candi di Jawa Timur|Sawentar]]