Perempuan di Burundi: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Tidak ada ringkasan suntingan Tag: VisualEditor Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
||
(2 revisi perantara oleh pengguna yang sama tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[File:Batwa women in Burundi.jpg|thumb|Wanita [[Twa|Batwa]] dengan periuk tradisional. Di Komune Kiganda, [[Provinsi Muramvya]] pada Juli 2007.]]
Mengikuti rekomendasi
Namun, perempuan kurang terwakili dalam struktur kekuasaan. Fenomena [[kekerasan seksual]], khususnya terhadap perempuan dan anak, merupakan hal yang lumrah terjadi di Burundi.<ref name="lib.ohchr.org">http://lib.ohchr.org/HRBodies/UPR/Documents/Session3/BI/A_HRC_WG6_3_BDI_1_Burundi_E.pdf {{Bare URL PDF|date=March 2022}}</ref> ''Initiative for Peacebuilding'' mencatat dalam sebuah studi tahun 2010 tentang isu-isu gender di Burundi bahwa ada korelasi kuat antara area aktivitas militer yang intens dan tingginya kasus kekerasan seksual.<ref name="Countries">{{Cite web | url=https://www.amnesty.org/en/region/burundi/report-2011#section-21-11 | title=Countries}}</ref>
== Partisipasi politik ==
Baris 9:
Perempuan di Burundi mendapatkan hak untuk memilih pada tahun 1961. Pada saat perempuan di Burundi memiliki hak untuk memilih, hampir 80% perempuan di seluruh dunia telah memenangkan perjuangan untuk hak pilih.<ref name=":1">{{Cite journal |last1=Ramirez |first1=Francisco O. |last2=Soysal |first2=Yasemin |last3=Shanahan |first3=Suzanne |date=1997 |title=The Changing Logic of Political Citizenship: Cross-National Acquisition of Women's Suffrage Rights, 1890 to 1990 |url=https://www.jstor.org/stable/2657357 |journal=American Sociological Review |volume=62 |issue=5 |pages=735–745 |doi=10.2307/2657357 |jstor=2657357 |issn=0003-1224}}</ref>
Burundi telah mengalami banyak perubahan politik sejak kemerdekaannya dari [[Belgia]] pada tahun 1962. Kudeta yang gagal pada tahun 1993, kekerasan etnis antara [[Hutu]] dan [[Tutsi]], dan perang saudara semuanya dipengaruhi oleh dan mempengaruhi peran perempuan dalam politik.<ref name=":2">{{Cite journal |last=Vandeginste |first=Stef |date=2009 |title=Power-Sharing, Conflict and Transition in Burundi: Twenty Years of Trial and Error |url=https://www.jstor.org/stable/40607824 |journal=Africa Spectrum |volume=44 |issue=3 |pages=63–86 |doi=10.1177/000203970904400304 |jstor=40607824 |s2cid=55248839 |issn=0002-0397|doi-access=free }}</ref> Sementara di negara-negara lain di sekitar [[Afrika Sub-Sahara]], [[Perserikatan Bangsa-Bangsa]] memfasilitasi upaya demokratisasi pada 1990-an, upaya di Burundi difokuskan pada stabilisasi karena kekerasan dan ketidakstabilan setelah pemilu demokratis 1993.<ref>{{Cite journal |last=Curtis |first=Devon |title=The International Peacebuilding Paradox: Power Sharing and Post-Conflict Governance in Burundi |date=2013 |url=https://www.jstor.org/stable/23357148 |journal=African Affairs |volume=112 |issue=446 |pages=72–91 |doi=10.1093/afraf/ads080 |jstor=23357148 |issn=0001-9909}}</ref> Perempuan dan anak perempuan secara tidak proporsional merupakan kelompok yang paling terkena dampak selama [[perang saudara Burundi]]. Namun, selama ini perempuan juga mengambil lebih banyak peran dalam masyarakat daripada yang sebelumnya dianggap dapat diterima.<ref name=":4">{{Cite book |last=Falch |first=Ashild |title=Women's Political Participation and Influence in Post-Conflict Burundi and Nepal |publisher=Pace Research Institute Oslo (PRIO) |year=2010 |isbn=978-82-7288-350-7}}</ref>
Perempuan memainkan peran utama dalam upaya rekonsiliasi, kampanye kemanusiaan, dan negosiasi perdamaian.<ref>{{Cite journal |last=Idriss |first=Shamil |date=2000 |title=Who Can Prevent Genocide? Ask the Women of Burundi |url=https://www.jstor.org/stable/4066111 |journal=Agenda: Empowering Women for Gender Equity |issue=43 |pages=57–61 |doi=10.2307/4066111 |jstor=4066111 |s2cid=142755074 |issn=1013-0950}}</ref> Pada tahun 1993, ''Women for Peace'' didirikan di Burundi. Kelompok ini memperoleh momentum dan pengakuan internasional setelah bergabung dengan organisasi payung CAFOB (''Collectif des Associations et ONGs Féminines du Burundi''). Tonggak penting lainnya bagi perempuan di Burundi adalah Konferensi Perdamaian Perempuan Seluruh Partai Burundi, yang diadakan di [[Arusha]] pada Juli 2000, sebulan sebelum penandatanganan perjanjian damai Arusha. Konferensi ini menjadi tuan rumah bagi perempuan dari semua latar belakang ekonomi dan sosial yang berbeda dan memfasilitasi penyusunan inisiatif khusus gender untuk dimasukkan dalam perjanjian.<ref name=":5">{{Cite journal |last=Daley |first=Patricia |date=2007-06-01 |title=The Burundi Peace Negotiations: An African Experience of Peace–making |url=https://doi.org/10.1080/03056240701449729 |journal=Review of African Political Economy |volume=34 |issue=112 |pages=333–352 |doi=10.1080/03056240701449729 |s2cid=143580004 |issn=0305-6244}}</ref>
Pada tahun 1993, Burundi memiliki perdana menteri wanita pertama, [[Sylvie Kinigi]].<ref>{{Cite journal |last1=Perkins |first1=Susan E. |last2=Phillips |first2=Katherine W. |last3=Pearce |first3=Nicholas A. |title=Ethnic Diversity, Gender, and National Leaders |date=2013 |url=https://www.jstor.org/stable/24461673 |journal=Journal of International Affairs |volume=67 |issue=1 |pages=85–104 |jstor=24461673 |issn=0022-197X}}</ref> Namun, perempuan masih sangat kurang terwakili dalam pemerintahan Burundi sampai tahun 2005; Kinigi adalah pengecualian, bukan norma. Pada tahun 2001, perempuan mengisi 15% posisi menteri, 9% [[Majelis Nasional Burundi|Majelis Nasional]], dan 18% [[Senat (Burundi)|Senat]].<ref name=":4" />
Pada 2017, Burundi menempati peringkat ke-25 di dunia dalam perwakilan parlemen wanita. Penelitian menunjuk pada aktivis perempuan dan pekerjaan mereka yang mendorong keterwakilan setelah perang sipil negara sebagai memainkan peran kunci dalam peningkatan signifikan perwakilan perempuan di negara ini.<ref name=":6">{{Cite book |last1=Alexander |first1=Amy C. |url=https://books.google.com/books?id=vyU_DwAAQBAJ |title=Measuring Women's Political Empowerment across the Globe: Strategies, Challenges and Future Research |last2=Bolzendahl |first2=Catherine |last3=Jalalzai |first3=Farida |date=2017-11-16 |publisher=Springer |isbn=978-3-319-64006-8 |language=en}}</ref>
=== Kuota gender legislatif ===
Representasi perempuan dalam pemerintahan di [[Afrika]] meningkat tiga kali lipat dari tahun 1990 hingga 2010. Studi menunjukkan bahwa peningkatan dramatis dalam representasi di benua ini dapat dikaitkan dengan pembukaan politik, liberalisasi politik, tekanan internasional, dan munculnya perempuan dalam posisi kekuasaan setelah konflik besar di suatu negara.<ref name=":7">{{Cite book |url=https://www.jstor.org/stable/j.ctvfjcxvh |title=Holding the World Together: African Women in Changing Perspective |date=2019 |publisher=University of Wisconsin Press |doi=10.2307/j.ctvfjcxvh |jstor=j.ctvfjcxvh |isbn=978-0-299-32110-9|s2cid=242928968 }}</ref>
Sebelum tahun 1970-an, hanya lima negara bagian yang menerapkan kuota gender untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam pemerintahan. Pada 2011, lebih dari 100 negara, termasuk Burundi, menerapkan kuota gender dalam pemerintahan mereka. Kuota gender dapat mengambil bentuk yang berbeda; kursi yang dicadangkan, kuota legislatif untuk calon, atau kuota sukarela untuk partai politik. Dikatakan bahwa kuota gender sering diadopsi karena tekanan internasional, alih-alih menjadi tanda modernisasi, itulah sebabnya mereka terlihat terutama di negara-negara berkembang.<ref name=":3">{{Cite journal |last=Bush |first=Sarah Sunn |date=2011 |title=International Politics and the Spread of Quotas for Women in Legislatures |url=https://www.jstor.org/stable/23016105 |journal=International Organization |volume=65 |issue=1 |pages=103–137 |doi=10.1017/S0020818310000287 |jstor=23016105 |s2cid=155022117 |issn=0020-8183}}</ref> Namun, penelitian lain di lapangan menunjukkan tidak ada pola sistematis dalam hal adopsi karena kuota gender muncul di negara-negara dengan karakteristik politik, budaya, dan ekonomi yang beragam.<ref>{{Cite journal |last1=Krook |first1=Mona Lena |last2=O'Brien |first2=Diana Z. |date=2010 |title=The Politics of Group Representation: Quotas for Women and Minorities Worldwide |url=https://www.jstor.org/stable/27822309 |journal=Comparative Politics |volume=42 |issue=3 |pages=253–272 |doi=10.5129/001041510X12911363509639 |jstor=27822309 |issn=0010-4159}}</ref>
Dalam [[Konstitusi Burundi|Konstitusi Republik Burundi]] tahun 2005, pasal 129, 164, dan 182(2) menetapkan kuota gender di negara bagian. Kuota gender legislatif Burundi menetapkan bahwa minimal 30% kursi harus dipegang oleh perempuan di Parlemen, termasuk Majelis Nasional dan Senat, dan di Cabang Eksekutif. Jika hasil pemilu tidak memenuhi minimal 30% kursi yang diduduki oleh perempuan, menurut undang-undang pemilu, Administrasi Pemilu menambahkan kandidat dari kelompok yang kurang terwakili yang menerima setidaknya 5% suara.<ref name=":0">{{Cite web |title=Burundi 2005 Constitution - Constitute |url=https://www.constituteproject.org/constitution/Burundi_2005?lang=en |access-date=2022-04-18 |website=www.constituteproject.org |language=en}}</ref>
=== Dampak politik ===
|