Peristiwa Talangsari 1989: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Jonny tulung (bicara | kontrib)
Tidak ada ringkasan suntingan
Dewi naharia (bicara | kontrib)
Saat kejadian, wilayah Way Jepara termasuk bagian dari Lampung Tengah.
Tag: Pengembalian manual VisualEditor
 
(53 revisi perantara oleh 34 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Tragedi Talangsari 1989''' atau '''Peristiwa Talangsari 1989'''<ref>{{Cite web |url=http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2014-08-19 |archive-date=2016-03-05 |archive-url=https://web.archive.org/web/20160305012226/http://www.kontras.org/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf |dead-url=yes }}</ref> adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, [[Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur|Desa Rajabasa Lama]], [[Way Jepara, Lampung Timur|Kecamatan Way Jepara]], [[Lampung Timur|Kabupaten Lampung Timur]] (saat itu masuk [[Kabupaten Lampung Tengah]]). Peristiwa ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa [[Orde Baru]]. Aturan ini termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan [[Partai Golongan Karya|Golongan Karya]] serta UU No 8 tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan.<ref>{{Cite web|url=http://kontras.org/backup/pers/teks/Kasus%20Talangsari%20Lampung.pdf|title=Kasus Talangsari Lampung|last=KontraS|first=KontraS|date=|website=|access-date=11 Februari 2020}}</ref> [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia|Komnas HAM]] yang memegang mandat sesuai [https://www.komnasham.go.id/index.php/mandat/ Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM] membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa.<ref name=":0">{{Cite web|url=https://perpustakaan.komnasham.go.id/opackomnas/index.php?p=show_detail&id=10549&keywords=|title=Ringkasan Eksekutif Laporan Penyelidikan Pelanggaran HAM Yang Berat|last=Komnas HAM|first=Komnas HAM|date=2014|website=Perpustakaan Komnas HAM|publisher=|access-date=11 Februari 2020}}</ref> ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai "orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar.<ref>{{Cite web|url=https://www.idntimes.com/news/indonesia/sunariyah/kisah-supiah-hapus-trauma-kelam-di-dusun-talangsari-lampung/full|title=Kisah Supiah Hapus Trauma Kelam di Dusun Talangsari Lampung|last=|first=Sunariyah|date=10 Desember 2018|website=IDN Times|access-date=11 Februari 2020}}</ref>
{{noref}}
{{rapikan}}
'''Peristiwa Talangsari 1989''' adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, [[Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur|Desa Rajabasa Lama]], [[Way Jepara, Lampung Timur|Kecamatan Way Jepara]], [[Lampung Timur|Kabutapen Lampung Timur]] (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada [[7 Februari]] [[1989]].
 
== Latar Belakang ==
Dari sekian peristiwa berdarah di masa kepemimpinan Soeharto adalah peristiwa Talangsari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Lampung Timur<strong>.</strong>
Tragedi Talangsari 1989 Berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang adanya asas tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto menyebut prinsip tersebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan program [[Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila|Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4)]].<ref name=":0" /> Program P-4 banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu memiliki sikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Aturan tersebut memancing reaksi kelompok Islam di Indonesia termasuk yang terjadi di tragedi [[Peristiwa Tanjung Priok|Tanjung Priok 1984]], Barisan Jubah Putih<ref name=":0" /> di Aceh, dan kelompok Warsidi di Lampung.
 
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Peristiwa Talangsari Lampung menjadi kisah tragis yang dilupakan negara. Ratusan orang yang saat itu menjadi korban seakan tidak berhak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi, serta mendapatkan keadilan lewat penghukuman pelaku dan pemulihan hak-haknya. Bertahun-tahun, korban yang masih menderita atas peristiwa itu juga mengalami teror dan intimidasi dari pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan tersebut. Upaya damai lewat islah memberi dampak negatif terhadap hubungan antar sesama korban yang kemudian terpecah. Bergantinya pemerintahan juga tidak merubah sikap negara untuk mengusut tragedi ini. Negara justru terkesan berdiam diri dan pura-pura tidak mendengar suara korban.
 
Pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat yang ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di [[Way Jepara, Lampung Timur|Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah]]. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
<nowiki>******</nowiki>
 
Tewasnya Kapten Soetiman membuat [[Komando Resor Militer 043|Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung]] Kolonel [[A.M. Hendropriyono|AM Hendropriyono]] mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Kamis Malam, 9  Feb 1989, pukul 21.00,  Acara televisi favorit saat itu, Dunia Dalam Berita TVRI. Panglima ABRI Jenderal TNI Try Soetrisno berseragam lengkap, tampil bicara.
 
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut [[Kontras|Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras)]] menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung,<ref>{{Cite web|url=https://kontras.org/2019/07/26/resensi-buku-talangsari-1989-kesaksian-korban-pelanggaran-ham-peristiwa-lampung/|title=Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Peristiwa Lampung|last=|first=Fadilasari|date=|website=kontras.org|access-date=11 Februari 2020}}</ref> terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas Antipemerintah atau Islam [[Partai Komunis Indonesia|PKI]].
Kisah berawal dari seorang tokoh bernama Warsidi yang dicurigai aparat karena ingin membuat gerakan  untuk menjadikan Negara Islam di Indonesia.
 
== Keterlibatan Militer, Polisi, dan Pemerintahan Sipil ==
Aparat mencium aktivitas Warsidi dan  pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) dipimpin oleh Danramil Way Jepara  Kapten Soetiman mendatangi kediamannya untuk meminta keterangan kepada Warsidi beserta pengikutnya.Namun, kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan  perlawanan oleh pengikut Warsidi. Akibatnya, Kapten Soetiman tewas dan dikuburkan di Talangsari.Pemerintah langsung mengambil tindakan tegas dan mengirim tentara dari Korem Garuda Hitam tanggal 7 Februari 1989 yang saat itu dipimpin oleh Kol Hendropriyono.
Tragedi Talangsari disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran [[Hak asasi manusia|HAM]] berat masa lalu karena peristiwanya terjadi secara meluas dan sistematis yang berbeda dengan kejahatan biasa. [https://produk-hukum.kemenag.go.id/downloads/fdfde421decaab2f25e7aac03b227981.pdf Undang-undang No. 26 tahun 2000 pasal 9] tentang [[Pengadilan hak asasi manusia di Indonesia|pengadilan HAM]] menyebut bahwa penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas perintah atau komando dari atasan militer maupun non militer dapat dikategorikan sebagai kejadian yang terjadi secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
 
Pemerintah melontarkan banyak stigma terhadap aktivitas Jemaah kelompok Warsito dan mengambil tindakan represif untuk mengendalikan warga. Tanggal 5 Februari 1989, terjadi penculikan terharap 5 orang jamaah yang sedang ronda di Poskamling. Tanggal 6 Februari, pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kampung (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetieman (Danramil Way Jepara) menembaki warga Talangsari hingga pelurunya habis. Warga akhirnya melakukan perlawanan hingga Kapten Soetiman tewas.<ref name=":0" />
<strong>Harinya Selasa, 7 Februari 1989</strong>. Umat Islam baru saja membenahi salat subuh. Tiba-tiba terdengar tembakan, gencar menyiram bangsal pengikut Warsidi di dukuh yang masuk bilangan Way Jepara, Lampung Tengah itu. Pekik tangis pecah ke angkasa, bersama desing peluru.
 
Tanggal 7 Februari 1989, Kolonel AM Hendropriyono (Danrem Garuda Hitam Lampung) menyerbu desa Talangsari. Banyak korban berjatuhan dan ada warga yang bukan kelompok Warsidi jadi korbannya.
Danrem 043 Garuda Hitam Kol. Hendropriyono bersama lebih dari satu batalion pasukan infantri dibantu beberapa Kompi Brimob, CPM dan Polisi setempat mengepung dan menyerbu perkampungan Cihideung dengan posisi tapal kuda, marah bagai dirasuk dendam.
 
== Kelanjutan Kasus ==
Dari arah Utara (Pakuan Aji), Selatan (Kelahang) & timur (Kebon Coklat, Rajabasa Lama). Sementara arah barat yang ditumbuhi pohon singkong dan jagung dibiarkan terbuka. pasukan yang dilengkapi senjata modern M-16, bom pembakar (napalm), granat dan dua buah helikopter yang membentengi arah barat. Melihat penyerbuan terencana dan besar-besaran, dan tidak ada jalan keluar bagi jama’ah untuk meyelamatkan diri, jama’ah hanya bisa membentengi diri dengan membekali senjata seadanya. Tanpa ada dialog dan peringatan, penyerangan dimulai.
Tahun 2001, korban pelanggaran HAM Talangsari mendesak [[Komisi Nasional Hak Asasi Manusia]] untuk segera membentuk KPP HAM.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://kontras.org/wp-content/uploads/2020/02/KERTAS_POSISI_TALANGSARI_2006.pdf|title=Kertas Posisi Kasus Pelanggaran HAM Berat Talangsari|last=Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan|first=KontraS|date=|website=kontras.org|access-date=2 Maret 2020}}</ref> .Berdasarkan rekomendasi rapat paripurna tanggal 23 Februari dibentuk tim penyelidikan berdasarkan UU No. 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny Suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak hidup), Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan) dan Muhamad Farid (anak-anak). Tim mulai bekerja pada Akhir Maret hingga Awal April 2005. Setelah Komnas HAM turun lapangan pada Juni 2005, ditemukan adanya pelanggaran HAM berat.
 
Banyak kendala dalam penyelidikan karena fokus para korban banyak yang terpecah belah karena sebagian ada yang melakukan islah dengan Hendropriyono sejak tahun 1999. Mantan jamaah Warsidi yang melakukan islah tersebut menghalangi warga lain yang ingin mencari keadilan lewat pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM. Selain itu, di Talangsari juga mulai ada pengajian yang digelar oleh orang Hendropriyono yang penceramahnya selalu menyuarakan larangan untuk mengungkap kasus Talangsari 1989.<ref name=":1" />
<strong>Pukul 07.00</strong> : Karena kekuatan yang tidak seimbang, pasukan yang dipimpin mantan menteri Transmigrasi berhasil menguasai perkampungan jama’ah dan memburu jama’ah. Dalam perburuan itu, aparat memaksa Ahmad (10 th) anak angkat Imam Bakri sebagai penunjuk tempat-tempat persembunyian dan orang yang disuruh masuk kedalam rumah-rumah yang dihuni oleh ratusan jema’ah yang kebanyakan terdiri dari wanita dan anak-anak. Setelah menggunakan Ahmad, aparat berhasil mengeluarkan paksa sekitar 20 orang ibu-ibu dan anak-anak dari pondok Jayus. Ibu Saudah, salah satu korban yang dikeluarkan paksa sudah melihat sekitar 80-an mayat yang bergelimpangan disana-sini hasil serangan aparat sejak pukul 05.30 tadi pagi.
 
Setelah Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung bersamaan dengan kasus pelanggaran HAM berat lain seperti Kasus 1965-1966, Penembakan Misterius 1982-1985, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998, pelanggaran HAM Trisakti , Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003. Namun, Kejaksaan agung menolak semua berkas tersebut karena dianggap kurang bukti formil dan materill.<ref>{{Cite news|url=https://nasional.tempo.co/read/583627/kejaksaan-agung-tolak-usut-tujuh-kasus-pelanggaran-ham|title=Kejaksaan Agung Tolak Usut Tujuh Kasus Pelanggaran HAM|last=Aditya|first=Reza|date=9 Juni 2014|work=[[Tempo.co]]|access-date=3 Maret 2020|editor-last=Hasugian|editor-first=Maria Rita|language=id}}</ref>
Setelah dikumpulkan ke-20-an ibu-ibu dan anak-anak dipukul dan ditarik jilbanya sambil dimaki-maki aparat “Ini istri-istri PKI”. Didepan jama’ah seorang tentara mengatakan “Perempuan dan anak-anak ini juga harus dihabisi, karena akan tumbuh lagi nantinya”.
 
20 Februari 2019 terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Deklarasi digelar di Dusun Talangsari Way Jepara Subing Putra III, Desa Rajabasa Lama, Labuhan Ratu, Lampung Timur. Dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi itu antara lain agar korban Talangsari tidak mengungkap lagi kasus tersebut karena dianggap sudah selesai oleh pemerintah dengan kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung.<ref>{{Cite web|url=https://www.voaindonesia.com/a/masyarakat-sipil-kritik-deklarasi-damai-talangsari-1989/4806717.html|title=Masyarakat Sipil Kritik "Deklarasi Damai" Talangsari 1989|last=Madrim|first=Sasmito|date=28 Februari 2019|website=www.voaindonesia.com|access-date=3 Maret 2020}}</ref> Deklarasi yang tak melibatkan korban sama sekali tersebut mendapat penolakan deri korban dan masyarakat sipil karena poin yang disebutkan dalam deklarasi damai berupa pembangunan fasilitas umum adalah hak warga negara pada umumnya dan bukan merupakan kompensasi khusus pada orang yang benar-benar menjadi korban.
<strong>Pukul 07.30</strong> : Tentara mulai membakar pondok-pondok yang berisi ratusan jama’ah dan anak-anak rumah panggung. dengan memaksa Ahmad menyiramkan bensin dan membakarnya. Dibawah ancaman senjata aparat, Ahmad berturut-turut diperintahkan untuk membakar rumah Jayus, Ibu Saudah, pondok pesantren dan bangunan-bangunan yang diduga berisi 80-100 orang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu-ibu banyak diantaranya yang masih hamil, remaja dan orang tua dibakar disertai dengan tembakan-tembakan untuk meredam suara-suara teriakan lainnya.
 
Korban yang terhimpun dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari Lampung (PK2PTL) didampingi oleh [[Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan|KontraS]] dan [[Amnesti Internasional Indonesia]] melaporkan perihal deklarasi tersebut pada [[Ombudsman Republik Indonesia]]. Pada tanggal 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi.<ref>{{Cite news|url=https://nasional.tempo.co/read/1283319/ombudsman-deklarasi-damai-kasus-talangsari-maladministrasi|title=Ombudsman: Deklarasi Damai Kasus Talangsari Maladministrasi|last=Arigi|first=Fikri|date=13 Desember 2019|work=[[Tempo.co]]|access-date=3 Maret 2020|editor-last=Kurniawati|editor-first=Endri|language=id}}</ref> Dengan adanya pernyataan tersebut, maka korban Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya atas keadilan dan kebenaran dari negara.
Sambil membakar rumah-rumah tersebut, Purwoko (10 th) dipaksa aparat untuk mengenali wajah Warsidi dan Imam Bakri diantara mayat-mayat jama’ah yang bergelimpangan. Mayat Pak War dan Imam Bakri ditemukan setelah Purwoko hampir membolak-balik 80-an mayat.
 
==== Referensi ====
<strong>Pukul 09.30</strong> : Setelah ditemukan, kedua mayat tersebut kemudian diterlentangkan di pos jaga jama’ah dengan posisi kepala melewati tempat mayat tersebut diterlentangkan (mendenga’-leher terbuka-). Tak berapa lama, seorang tentara kemudian menggorok leher kedua mayat tersebut.
{{reflist}}
 
{{Lembaran hitam Indonesia}}
<strong>Pukul 13.00</strong>  : Kedua puluhan ibu dan anak-anak tadi kemudian berjalan kaki sekitar 2 Km untuk dibawa ke Kodim 0411 Metro .
{{Bencana di Indonesia tahun 1980an}}
 
<strong>Pukul 16.00</strong> : Hendropriyono mengintrogasi ibu-ibu tersebut dengan pertanyaan-pertanyaan: Ikut pengajian apa? Apa yang diajarkan? Gurunya siapa? Dan menerangkan bahwa jama’ah Warsidi batil karena menentang Pancasila dan mengamalkan ajaran PKI.
 
<strong>Pukul 17.00</strong> : Jama’ah kemudian dimasukan kedalam penjara. Sementara di Sidorejo pada pagi harinya atas informasi, Sabrawi, supir bis Wasis, aparat bersama warga mengepung rumah Zamjuri. Bersama Zamzuri ada 8 orang jema’ah yaitu: Munjeni, Salman Suripto, Soni, Diono, Roni, Fahrudin, Isnan dan Mursalin Karena dituduh perampok oleh aparat, terjadilah bentrok dengan Polsek Sidorejo. Serma Sudargo (Polsek Sidorejo), Arifin Santoso (Kepala Desa Sidorejo) tewas. Dipihak jama’ah, Diono, Soni dan Mursalin tewas.sedangkan Roni terluka tembak.
 
<strong>Kamis, 9 Februari 1989 Pukul 08.40</strong> : Jama’ah yang marah mendengar kebiadaban dan penahanan jama’ah di Kodim 0411 Metro tersebut menyerbu Kodim dan Yonif 143. Dalam penyerbuan itu, 6 orang jama’ah tewas. Sedangkan dipihak aparat pratu Supardi, Kopda Waryono, Kopda Bambang Irawan luka-luka terkena sabetan golok. 1 sepeda motor terbakar dan kaca depan mobil kijang pick up pecah.
 
<strong>Dua minggu kemudian</strong> : Tahanan ibu-ibu di Kodim dipindahkan ke Korem 043 Gatam. Di Korem, Hendropriyono memerintahkan anak buahnya untuk melepas paksa jilbab-jilbab ibu-ibu jama’ah sambil berkata “tarik saja, itu hanya kedok”. Penangkapan sisa-sisa anggota jama’ah oleh aparat dibantu masyarakat oleh operasi yang disebut oleh Try Sutrisno Penumpasan hingga keakar-akarnya; Penangkapan para aktivis islam di Jakarta, Bandung, solo, Boyolali, mataram, Bima & dompu melalui operasi intelejen yang sistematis yang banyak diantaranya sama sekali tidak mengetahui kejadian.
 
<nowiki>*****</nowiki>
 
Jumlah korban simpang-siur. Menurut versi tentara, korban tewas 27 orang. Tapi sejumlah lembaga swadaya masyarakat menghitung 246 korban tewas. Pemerintah memburu jaringan kelompok ini ke Jakarta dan Jawa Tengah. Beberapa pengikut tertangkap, dijebloskan ke bui.
 
Seperti tragedi kemanusiaan lainnya, suara korban Talangsari baru didengar setelah Soeharto jatuh, 21 Mei 1998. Korban dan aktivis kemanusiaan menuntut pemerintah segera mengadili pelaku penembakan.
 
Pada Juni 2001, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) membentuk tim ad hoc untuk menyelidiki kasus ini. Hasilnya tak jelas. Belakangan, Komnas membentuk tim penyelidikan. Tim ini terjun ke lapangan mewawancarai korban, keluarga korban, dan sejumlah pelaku. Penyelidikan itu selesai pada pertengahan Mei 2006.
 
Penyelesaian kasus ini berkelok. Hasil kerja tim masih harus memasuki tahap analisis hukum. Pada tahap ini akan ditilik apakah tragedi Talangsari masuk kategori pelanggaran berat atau ringan. Hasil analisis itu pun harus dirapatkan lagi di pleno Komnas HAM.
 
Jika pleno menilai tidak terdapat pelanggaran berat hak asasi manusia, kasus ini cukup diselesaikan lewat peradilan umum. Tapi, jika terdapat pelanggaran berat hak asasi, penyelesaiannya bisa lewat dua pintu: Undang-Undang No. 26/2000 tentang Peradilan Hak Asasi Manusia, atau justru cukup lewat Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).
 
Jalan berliku itu diprotes sejumlah aktivis hak asasi manusia dan korban Talangsari. Ahmad Fauzi Isnan, yang divonis 20 tahun penjara, berharap Komnas HAM bisa menyelesaikan kasus ini. Tentara yang terlibat, katanya, kini sudah jadi petinggi, malah berambisi menjadi penguasa. “Dengan segala cara, mereka akan berusaha agar tidak disebut penjahat perang,” katanya.
 
Sejumlah korban lain berharap pemerintah segera menuntaskan kasus ini. “Kami mendesak pemerintah segera membawa kasus ini ke pengadilan. Jangan berlama-lama,” kata Azwir Kaili, ketua keluarga korban Talangsari.
 
Hendropriyono sendiri lebih memilih jalur damai. Pada Februari 2000, ketika menjabat Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), ia mengundang 80 korban dan keluarga korban ke rumahnya di Jakarta, membahas jalur islah. Jalur damai ini ditentang sejumlah korban. Belakangan, beberapa korban yang ikut islah malah menarik diri. Kini kasus ini masih di tahap analisis hukum di Komnas HAM.
 
<nowiki>********</nowiki>
 
<strong><em>Kini Mesuji ……..</em></strong>
 
<strong><em>“Kita telah melawan, Nak, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya..”</em> ~ </strong>Bumi Manusia, Pramoedya Ananta Toer~
 
 
 
Sumber rujukan <ref name="sumber">Miller, E: "Matahari", http://serbasejarah.wordpress.com/2011/12/30/jejak-soeharto-dulu-talangsari-kini-mesuji/.<ref name="sumber"/>
 
==== Referensi ====
<references/>
 
== Kelanjutan ==
Sejak [[reformasi]] bergulir pada 1998, atas dorongan dari [[AM Hendropriyono]] kepada Presiden [[BJ Habibie]], seluruh tahanan politik kasus ini akhirnya dibebaskan.
{{Sejarah-stub}}
 
[[Kategori:Indonesia dalam tahun 1989]]
[[Kategori:Lampung]]
[[Kategori:Kabupaten Lampung Timur]]
[[Kategori:Sejarah Lampung]]
[[Kategori:Pelanggaran hak asasi manusia]]
[[Kategori:Gerakan mahasiswa]]
[[Kategori:Unjuk rasa]]
[[Kategori:Orde Baru]]