Fideisme: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
k Menambah Kategori:Kepercayaan menggunakan HotCat
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 2 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(11 revisi perantara oleh 5 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Fideisme''' (dari {{lang-la|fides}}, iman, percaya)<ref>Lihat [https://en.wiktionary.org/wiki/fides#Latin ''fides''] {{Webarchive|url=https://web.archive.org/web/20230410062835/https://en.wiktionary.org/wiki/fides#Latin |date=2023-04-10 }} di Wiktionary</ref><ref name="sep"/> adalah pandangan [[epistemologi|epistemologis]]s yang memahami bahwa [[iman|keimanan]] adalah suatu hal yang terpisah dari [[akal|nalar]]. Dalam artian lain, iman dinilai lebih tinggi ketimbang nalar dalam menentukan justifikasi atas kebenaran—nalar dinilai tak tepat atau tidak kompeten untuk dilibatkan dalam urusan keimanan.<ref name="sep">{{cite web
|title=Fideism
|last=Amesbury
Baris 5:
|website=The Stanford Encyclopedia of Philosophy
|date=2017
|url=https://plato.stanford.edu/archives/fall2017/entries/fideism/}}
|access-date=2017-10-27
</ref><ref>{{cite encyclopedia
|archive-date=2019-03-18
|archive-url=https://web.archive.org/web/20190318090124/https://plato.stanford.edu/archives/fall2017/entries/fideism/
|dead-url=no
}}</ref><ref>{{cite encyclopedia
|title=Fideism
|encyclopedia=Merriam–Webster.com
Baris 13 ⟶ 17:
</ref> Justifkasi kebenaran yang dimaksudkan fideisme tidak terbatas pada justifikasi kebenaran supernatural, melainkan dapat mencakup kebenaran natural.
 
Secara umum fideisme mempertahankan pemahaman bahwa upaya pembuktian rasional maupun pembuktian ilmiah atas hal ilahi dinilai sesat pikir atau tidak relevan sama sekali. Dalam sejarah perkembangannya, fideisme dapat berarti sebagai suatu formasi dan reaksi atas ketidakseimbangan pemikiran mengenai agama dan religiositas yang melulu bergantung terhadap intelektual dan mengabaikan intuisi.<ref name="plat">{{cite book
Dalam sejarah kefilsafatan, banyak [[teologi|teolog]] dan [[filsafat|filsuf]] mempersoalkan posisi yang tepat antara nalar dan iman untuk menemukan kebenaran atas [[keyakinan (religiositas)|keyakinan religius]], [[moral]]itas, dan kebenaran atas ide atau konsepsi [[metafisika|metafisis]]. Secara umum fideisme mempertahankan pemahaman bahwa upaya pembuktian rasional maupun pembuktian ilmiah atas hal ilahi dinilai sesat pikir atau tidak relevan sama sekali.
|title=Faith and Rationality
|chapter=Reason and Believe in God
|date=1984
|last=Platinga
|first=Alvin
|editor-last=Wolterstoff
|editor-first=N.
|publisher=University of Notre Dame Press}}
</ref>
 
Dalam sejarah kefilsafatan, banyak [[teologi|teolog]] dan [[filsafat|filsuf]] mempersoalkan posisi yang tepat antara nalar dan iman untuk menemukan kebenaran atas [[keyakinan (religiositas)|keyakinan religius]], [[moral]]itas, dan kebenaran atas ide atau konsepsi [[metafisika|metafisis]]. Secara umum fideisme mempertahankan pemahaman bahwa upaya pembuktian rasional maupun pembuktian ilmiah atas hal ilahi dinilai sesat pikir atau tidak relevan sama sekali.
 
== Definisi konsep ==
Istilah fideisme mencuat dan lekat konotasinya dengan pergerakan dan doktrin teologi [[Kristen]] di [[Eropa Barat]] yang berkaitan dengan masa [[revolusi Prancis]] dan pergerakan ilmiah [[abad pencerahan]].<ref name="poupard">{{cite encyclopedia
|title=Fideism
|last=Poupard
|first=Paul
|editor-last1=Nitti
|editor-last2=Strumia
|editor-first1=G.
|editor-first2=A.
|date=2002
|encyclopedia=Interdisciplinary Encyclopedia of Religion and Science
|doi=10.17421/2037-2329-2002-PP-01}}
</ref> Sebagai reaksi atas geliat [[rasionalisme]] [[Eropa]] dan perlahan memengaruhi teologi Kristen, fideisme pada mulanya berdiri sebagai suatu bentuk [[apologetika]] atas [[kredo]] teologi Kristen.<ref name="poupard"/> Akan tetapi, seiring perkembangannya, fideisme mulai mengalami penyesuaian dan reinterpretasi sehingga pemaknaannya bervariasi dan tidak ada suatu kesepakatan umum.
 
Meskipun pergerakan fideisme umum ditemukan, akan tetapi, dalam sejarah pemikiran, tidak terdapat kesepakatan mengenai arti definitif atas fideisme itu sendiri. Umumnya, konsepsi fideisme selalu digunakan untuk mewakili himpunan atas pandangan-pandangan yang beragam. Pandangan yang beragam tersebut umumnya didasari oleh basis yang serupa, yaitu sebagai terma yang digunakan untuk membangun demarkasi yang diakibatkan tegangan dan konflik yang didasari keimanan, rasionalitas, dan tradisi yang ada.<ref name="caroll">{{cite journal
|title=The Tradition of Fideism
|first=Thomas D.
|last=Carroll
|journal=Religious Studies
|issue=44
|publisher=Cambridge University Press}}
</ref> Problem tersebut mengakibatkan pemaknaan umum terma fideisme menjadi kabur dan tidak disepakati. Akan tetapi, dapat dipahami bahwa tinjauan utama fideisme tak lain adalah kritik atas superioritas nalar ketimbang intuisi yang diaplikasikan dalam ranah religi. Meski basis pemahamannya serupa, fideisme dipahami secara beragam.
 
Salah satu pemahaman umum fideisme adalah menjadikannya sebagai pemaknaan tolak ukur kebenaran ilahiah. Dalam artian lain, fideisme dipahami sebagai traktat epistemologis mengenai kebenaran religius. Fideisme dipahami sebagai pandangan bahwa kebenaran yang dikandung pada praktik dan kepercayaan dalam [[agama]] mesti dipahami melalui iman. Sehingga, pembuktian kebenaran ilahiah melalui [[pembuktian empiris]] ataupun penalaran dinilai tidak relevan untuk membuktikan kebenaran religius.<ref>{{cite book
|title=Oxford Companion to Philosophy
|chapter=Fideism
|last=Quinn
|first=Philip
|editor-last=Honderich
|editor-first=T.
|edition=2
|publisher=Oxford University Press
|date=2005}}
</ref><ref name="Popkin">{{cite book
|title=Encyclopedia of Philosophy
|url=https://archive.org/details/encyclopediaofph06edwa
|chapter=Fideism
|last=Popkin
|first=Richard
|editor-last=Edwards
|editor-first=P.
|publisher=Macmillan
|date=1967}}
</ref>
 
Klaim tersebut umumnya dianut dalam berbagai bentuk oleh kebanyakan teolog dan [[anti-rasionalisme|anti-rasionalis]] sedari [[Santo Paulus]] hingga beberapa penganut [[neo-ortodoks]].<ref name="Popkin"/> Pemahaman semacam ini sepakat bahwa kebenaran ilahiah tak dapat ditopang maupun dibuktikan oleh pembuktian rasional, melainkan semestinya dipahami sebagai sesuatu yang hanya dapat dicapai melalui keimanan.<ref name="caroll"/>
 
== Ikhtisar ==
=== Søren Kierkegaard ===
Tulisan Søren Kierkegaard mengenai eksistensi Tuhan yang tak mungkin tergapai dan, karenanya, untuk mengimaninya tak perlu menggunakan justifikasi rasional adalah argumen fideistik di ranah eksistensialisme Kristen. Dalam ''Frygt og Bæven,'' Kierkegaard menceritakan pengorbanan Ibrahim atas Ishak yang dalam Perjanjian Baru aksi tersebut dinilai sebagai penampakan keimanan yang teguh. Akan tetapi, di mata lawan keimanan ini, aksi tersebut dapat dinilai sebagai hasil atas delusi yang gila. Kierkegaard menggunakan contoh ini untuk menjelaskan problem atas keimanan secara umum.<ref>{{cite book
|title=Christian Apologetics
|url=https://archive.org/details/christianapologe0000geis
|last=Geisler
|first=Norman
|publisher=Baker Book House
|date=1976}}
</ref> Kierkegaard berargumen bahwa keimanan atas inkarnasi Yesus atas Tuhan ke dalam bentuk manusia dinilai paradoksal, karena hal tersebut menyiratkan kesempurnaan tuhan diturunkan ke dalam bentuk manusia yang sederhana. Menurutnya, nalar tak cukup untuk memahami hal tersebut. Sehingga, untuk mengimani hal tersebut dibutuhkan "lompatan keimanan" untuk memahaminya.
 
=== William James ===
Psikolog dan filsuf pragmatisme William James mengenalkan konsep ''will to believe'' pada tahun 1896. Dependen terhadap karyanya mengenai teori kebenaran, James berpendapat bahwa pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan dengan religiositas hanya dapat dijawab dengan mempercayai doktrin religiositas terlebih dahulu. Sehingga, seseorang takkan dapat mengetahui apakah doktrin religius dapat benar-benar bekerja kecuali dengan benar-benar mengimani doktrin religius terlebih dahulu. Karena pengalaman religius dinilai tak dapat terlukiskan dengan "bahasa umum," maka tidak mungkin dilakukan diskursus koheren mengenai pengalaman religiositas dengan bahasa di luar konteks religiositas. Karena itu, keimanan religius tak dapat didiskusikan secara efektif menggunakan bahasa umum—nalar tak dapat mempengaruhi keimanan. Sebaliknya, keimanan dicapai dengan pengalaman spiritual, dan untuk memahami keimanan hanya dapat digapai dengan praktik religiositas itu sendiri.
 
== Referensi ==