Panjidur: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
menambah informasi
Tidak ada ringkasan suntingan
 
(12 revisi perantara oleh 7 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Panjidur''' atau '''Panjidor''', merupakan [[kesenian rakyat]] dari Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, [[Kabupaten Kulon Progo]].<ref name=":0">{{Cite web|url=https://budaya-indonesia.org/Kesenian-Panjidor|title=Kesenian Panjidor » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia|website=budaya-indonesia.org|access-date=2019-03-27}}</ref>. [[Seni tradisional|Kesenian tradisona]]<nowiki/>l ini berdiri pada tahun 1948. Sastrodiwiryo adalah inisiator dalam terciptanya kesenian Panjidur.<ref name=":0" />. [[Kesenian tradisional]] ini berwujudberupa [[Tari|tariantari]]an yang awalnya adalah kumpulan [[ragam gerak]] yang sederhana, tanpa hiasan-hiasan ragam gerak yang rumit dan diulang-ulang. [[Iringan musik]]nya sangat sederhana yang sederhanadikolaborasikan dengan lantunan [[syair]] atau ''singir'' yang berisikan kiasan-kiasan tentang nilai-nilai [[agama Islam]] dan [[Moral|nilai-nilai moral]]. Dahulu, kesenian ini berfungsi sebagai [[Dakwah|sarana dakwah]], namuntetapi pada tahun 1980 fungsi itu berubah menjadi [[Sosial|fungsi sosial]] dan [[Pertunjukan seni|seni pertunjukan rakyat]]. HalKarena iniperkembagan zaman tak bisa dipungkiridihindari, bahwahal perkembanganini zamanberpengaruh yangkepada semakinmasyarakat. majuyang akanlebih memberikanmendahulukan pengaruh kepada masyarakat. Aspekaspek-aspek [[estetika]] dan kebutuhan dinamika kesenian yang semakin tak terhindarkan, membuat kesenian tradisional ini harus beradaptasi dengan zaman. Pada tahun 1960, aktivitas kesenian tradisional ini sempat berhenti hingga tahun 1970, dikarenakan situasi politik di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1975, kesenian ini kembali hidup dengan gaya yang baru.
{{Sedang ditulis}}
Panjidur atau Panjidor, merupakan [[kesenian rakyat]] dari Dusun Jambon, Desa Donomulyo, Kecamatan Nanggulan, [[Kabupaten Kulon Progo]]<ref name=":0">{{Cite web|url=https://budaya-indonesia.org/Kesenian-Panjidor|title=Kesenian Panjidor » Perpustakaan Digital Budaya Indonesia|website=budaya-indonesia.org|access-date=2019-03-27}}</ref>. [[Seni tradisional|Kesenian tradisona]]<nowiki/>l ini berdiri pada tahun 1948. Sastrodiwiryo adalah inisiator dalam terciptanya kesenian Panjidur<ref name=":0" />. [[Kesenian tradisional]] ini berwujud [[Tari|tarian]] yang awalnya adalah kumpulan [[ragam gerak]] yang sederhana, tanpa hiasan-hiasan ragam gerak yang rumit dan diulang-ulang. [[Iringan musik]] yang sederhana dengan lantunan [[syair]] atau ''singir'' yang berisikan kiasan-kiasan tentang nilai-nilai [[agama Islam]] dan [[Moral|nilai-nilai moral]]. Dahulu, kesenian ini berfungsi sebagai [[Dakwah|sarana dakwah]], namun pada tahun 1980 fungsi itu berubah menjadi [[Sosial|fungsi sosial]] dan [[Pertunjukan seni|seni pertunjukan rakyat]]. Hal ini tak bisa dipungkiri, bahwa perkembangan zaman yang semakin maju akan memberikan pengaruh kepada masyarakat. Aspek-aspek [[estetika]] dan kebutuhan dinamika kesenian yang semakin tak terhindarkan, membuat kesenian tradisional ini harus beradaptasi dengan zaman. Pada tahun 1960, aktivitas kesenian tradisional ini sempat berhenti hingga tahun 1970, dikarenakan situasi politik di Indonesia. Kemudian setelah tahun 1975, kesenian ini kembali hidup dengan gaya yang baru.
== Rangkaian Pertunjukan ==
 
Kesenian rakyat Panjidur, dengan latar belakang cerita ''[[serat menak]]'', bercerita tentang ''[[Amir Ambyah]]'' dalam lakon ini sering juga disebut [[Wong Agung Jayengrana.|''Wong Agung Jayengrana''.]] Mempunyai dua komandan prajurit andalannya, yakni ''Umarmaya'' dan ''Umarmadi''<ref name=":2">{{Cite web|url=https://budayajawa.id/kesenian-panjidor-yogyakarta/|title=Kesenian Panjidor Yogyakarta - Informasi Budaya Jawa Kesenian Panjidor Yogyakarta|date=2018-12-12|website=Informasi Budaya Jawa|language=id-ID|access-date=2019-03-27}}</ref>. Digambarkan ''Umarmaya'' dan ''Umarmadi'' sedang melatih prajuritnya dalam olah ketrampilan berperang. Uniknya, para [[prajurit]] yang sedang berlatih tersebut memakai kostum seperti [[Militer|tentara]], dengan pakaian [[celana hitam]], [[kain]], [[ikat pinggang]], [[kaos tangan]] warna putih, baju putih lengan panjang, lengkap dengan aksesori pangkat, topi pet, dan [[kacamata]] hitam. Secara [[Koreografi|koreografis]], ragam gerak para [[prajurit]] itu dikembangkan dalam struktur ragam gerak yang mempunyai [[simbol]] dan [[makna]]. Kesederhanaan pengembangan ragam gerak yang menyatu memberikan aksen-aksen semakin dinamis. [[Pola lantai]]<nowiki/>nya pun dikembangkan tidak lagi sejajar dan berbaris, tetapi bisa menjadi diagonal, lingkaran, pecah, dan rakit. Pengembangan [[properti]] senapan yang terbuat dari kayu itu tidak harus dalam posisi dibawa saja, tetapi bisa diputar seperti senapan, diangkat, diletakkan dalam posisi semua senapan bersandar, dan diberi aksen tembakan. Sedangkan untuk perlengkapan alat musiknya antara lain, [[Kendhang|kendang]], [[bedug]], [[rebana]], dan perkembangannya memakai [[Drumset|''drumset'']]. Dengan diiringi rampak tetabuhan musik ''hadrah'' yang bernuansa Islami. Alunannya terdengar lirih, namun terkadang juga bisa cepat dan keras beriringan mengikuti tabuhan rebana bersama jidor, dan stambul yang saling berganti. Jumlah penari, biasanya mencapai 20 orang, yang diperankan oleh laki-laki<ref name=":1">{{Cite web|url=https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2015/05/21/514/606495/tari-tradisional-panjidur-langen-kridotomo-simbol-semangat-juang-generasi-muda|title=TARI TRADISIONAL : Panjidur Langen Kridotomo, Simbol Semangat Juang Generasi Muda|last=Media|first=Harian Jogja Digital|date=2015-05-21|website=Harianjogja.com|access-date=2019-03-27}}</ref>. Kesenian Panjidor biasanya hanya tampil di malam hari. Panjidor bisa pentas semalam suntuk dalam sebuah lakon dengan jalinan cerita yang utuh. Untuk keperluan ini, mereka kerap menghadirkan beberapa penari perempuan sebagai daya tariknya. Untuk sekali tampil, kelompok ini biasa mematok harga sekitar 5-6 juta rupiah<ref name=":1" />. Pertunjukan ini dibagi menjadi tiga bagian<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sayuti|first=Suminto A.|last2=Ratmoko|first2=Suhari|date=2018|title=PERKEMBANGAN FUNGSI DAN BENTUK PENYAJIAN KESENIAN PANJIDUR LANGEN KRIDO TOMO DI DUSUN JAMBON DONOMULYO NANGGULAN KULONPROGO|url=http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/tari/article/view/13588|journal=Pendidikan Seni Tari - S1|language=id|volume=7|issue=2}}</ref>. Bagian pertama, seorang ''rois'' memberikan aba-aba kepada [[penari]] untuk melakukan penghormatan. Bagian kedua, bagian ini merupakan inti dari pertunjukan dimana terdapat salah satu penari yang mengalami ''intrance''. Kemudian pada bagian akhir ''rois'' kembali memberikan aba-aba kepada penari untuk memberikan salam penutup.
 
== FungsiRangkaian Pertunjukanpertunjukan ==
'''Periode Pertama'''<ref name=":3" />
 
Kesenian rakyat Panjidur, dengandisadur latar belakangdari cerita ''[[serat menak]]'', yang bercerita tentang ''[[Amir Ambyah]]'' dalam lakon ini sering juga disebut [[Wong Agung Jayengrana.|''Wong Agung Jayengrana''.]] Mempunyai dua komandan prajurit andalannya, yakni ''Umarmaya'' dan ''Umarmadi''.<ref name=":2">{{Cite web|url=https://budayajawa.id/kesenian-panjidor-yogyakarta/|title=Kesenian Panjidor Yogyakarta - Informasi Budaya Jawa Kesenian Panjidor Yogyakarta|date=2018-12-12|website=Informasi Budaya Jawa|language=id-ID|access-date=2019-03-27}}</ref>. Digambarkan ''Umarmaya'' dan ''Umarmadi'' sedang melatih prajuritnya dalam olah ketrampilanketerampilan berperang. Uniknya, paraPara [[prajurit]] yang sedang berlatih tersebut memakai kostum seperti [[Militer|tentara]], dengan pakaian [[celana hitam]], [[kain]], [[ikat pinggang]], [[kaossarung tangan]] warna putih, baju putih lengan panjang, lengkap dengan aksesori pangkat, topi pet, dan [[kacamata]] hitam. Secara [[Koreografi|koreografis]], ragamRagam gerak para [[prajurit]] itu dikembangkan dalammenjadi struktursuatu ragampola geraktari yang mempunyai [[simbol]] dan [[makna]]. KesederhanaanSehingga, pengembanganwalaupun sesederha, ragam gerak yang menyatutersebut memberikan aksen-aksen semakin dinamis. [[Pola lantai]]<nowiki/>nya pun dikembangkan tidak lagi sejajar dan berbaris, tetapi bisa menjadi diagonal, lingkaran, pecah, dan rakit. PengembanganKebutuhan p[[properti|roperti]], meliputi senapan yang terbuat dari kayu ituyang tidakbisa harusdibawa dalamdan posisi dibawa sajadiputar, tetapiserta bisa diputarmemberi sepertikesan senapan,tembakan diangkat, diletakkan dalam posisi semuaseperti senapan bersandar,yang dan diberi aksen tembakanutuh. Sedangkan untuk perlengkapan alat musiknya antara lain, [[Kendhang|kendang]], [[bedug]], [[rebana]], dan perkembangannya memakai ''[[Drumset|''drumset]]'']]. Dengan diiringi rampak tetabuhan musik ''hadrah'' yang bernuansa Islami. Alunannya terdengar lirih, namuntetapi terkadang juga bisa cepat dan keras beriringan mengikuti tabuhan rebana bersama jidor, dan stambul yang saling berganti. Jumlah penari, biasanya mencapai 20 orang, yang diperankan oleh laki-laki.<ref name=":1">{{Cite web|last=Media|first=Harian Jogja Digital|date=2015-05-21|title=Tari Tradisional: Panjidur Langen Kridotomo, Simbol Semangat Juang Generasi Muda|url=https://jogjapolitan.harianjogja.com/read/2015/05/21/514/606495/tari-tradisional-panjidur-langen-kridotomo-simbol-semangat-juang-generasi-muda|title=TARI TRADISIONAL : Panjidur Langen Kridotomo, Simbol Semangat Juang Generasi Muda|last=Media|first=Harian Jogja Digital|date=2015-05-21|website=Harianjogja.com|access-date=2019-03-27}}</ref>. Kesenian Panjidor biasanya hanya tampilditampilkan di malam hari. Panjidor bisa pentas semalam suntuk dalam sebuah lakon, dengan jalinanjalan cerita yang utuh. Untuk keperluan ini, mereka kerap menghadirkan beberapa penari perempuan sebagai daya tariknya. UntukHonorarium sekali tampil,untuk kelompok ini biasa mematok harga sekitar 5-6 juta rupiah.<ref name=":1" />. Pertunjukan ini dibagi menjadi tiga bagian.<ref name=":3">{{Cite journal|last=Sayuti|first=Suminto A.|last2=Ratmoko|first2=Suhari|date=2018|title=PERKEMBANGANPerkembangan FUNGSIFungsi DANdan BENTUKBentuk PENYAJIANPenyajian KESENIANKesenian PANJIDURPanjidur LANGENLangen KRIDOKrido TOMOTomo DIdi DUSUNDusun JAMBONJambon DONOMULYODonomulyo NANGGULANNanggulan KULONPROGOKulonprogo|url=http://journal.student.uny.ac.id/ojs/index.php/tari/article/view/13588|journal=Pendidikan Seni Tari - S1|language=id|volume=7|issue=2}}</ref>. Bagian pertama, seorang ''rois'' memberikan aba-aba kepada [[penari]] untuk melakukan penghormatan. Bagian kedua, bagian ini merupakan inti dari pertunjukan dimana terdapat salah satu penari yang mengalami ''intrance''. Kemudian pada bagian akhir ''rois'' kembali memberikan aba-aba kepada penari untuk memberikan salam penutup.
Kesenian Panjidur pada periode pertama berfungsi sebagai tuntunan, media [[dakwah]], dan syiar agama [[Islam]], sehinga dalam penyajiannya hanya menggunakan busana dan rias yang sederhana. Busana yang dipakai pada masa periode pertama yaitu celana hitam kain, baju putih, srempang, slepe dan topi (pet).
== Fungsi pertunjukan ==
 
'''=== Periode Kedua'''<refPertama name=":3" />==
Kesenian Panjidur pada periode pertama berfungsi sebagai tuntunan, media [[dakwah]], dan syiar agama [[Islam]], sehinga dalam penyajiannya hanya menggunakan busana dan rias yang sederhana. Busana yang dipakai pada masa periode pertama yaitu celana hitam kain, baju putih, srempang, slepe dan topi (pet).<ref name=":3" />
 
=== Periode Kedua ===
Periode kedua kesenian Panjidur telah mengalami sedikit perkembangan. Fungsi dari kesenian Panjidur pada periode kedua ini telah bergeser atau berkembang dari dakwah syiar agama islam[[Islam]] menjadi hiburan.<ref name=":3" />
 
'''=== Periode Ketiga'''<ref name=":3" />==
Periode ketiga sampai sekarang kesenian Panjidur selain besrfungsiberfungsi sebagai media [[dakwah]], juga berfungsi sebagai hiburan.<ref name=":3" />
 
== Isi Ceritacerita ==
Periode ketiga sampai sekarang kesenian Panjidur selain besrfungsi sebagai media dakwah juga berfungsi sebagai hiburan.
Cerita utamanya adalah permusuhan antara ''Wong Agung Jayeng Rana'' yang beragama [[Islam]] dengan Prabu Nursewan yang belum memeluk agama Islam.<ref name=":2" />. Sehingga cerita yang melatarbelakangi banyak berasal dari kisah kepahlawankepahlawanan atau heroisme, penaklukan perang oleh pasukan paserbumi sebagai prajurit [[perang]] dalam kesenian Panjidor.
 
== Isi Cerita ==
Cerita utamanya adalah permusuhan antara ''Wong Agung Jayeng Rana'' yang beragama [[Islam]] dengan Prabu Nursewan yang belum memeluk agama Islam<ref name=":2" />. Sehingga cerita yang melatarbelakangi banyak berasal dari kisah kepahlawan atau heroisme, penaklukan perang oleh pasukan paserbumi sebagai prajurit perang dalam kesenian Panjidor.
 
== Referensi ==