Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
Tag: Suntingan perangkat seluler Suntingan peramban seluler Suntingan seluler lanjutan |
Rescuing 12 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5 |
||
(14 revisi perantara oleh 10 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
[[Berkas:Zuid-Molukkers demonstreren bij Indonesische Ambassade in Den Haag tegen schendi, Bestanddeelnr 933-7169.jpg|jmpl|Protes terhadap perlakuan
'''Hak menentukan nasib sendiri''' ({{lang-en|right to self-determination}}) adalah hak setiap orang untuk
▲[[Berkas:Zuid-Molukkers demonstreren bij Indonesische Ambassade in Den Haag tegen schendi, Bestanddeelnr 933-7169.jpg|jmpl|Protes terhadap perlakuan pemerintah Suharto terhadap Timor Timur, 1986]]
Istilah ''right to self determination'' atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum [[Timor Timur]] pada tahun 1999 dan perundingan [[Aceh]] yang kemudian melahirkan [[Otonomi Khusus]].<ref name=":12">{{Cite web|url=http://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|title=Hak Menentukan Nasib Sendiri, Alternatif Penyelesaian Konflik Rohingya Halaman all|last=Media|first=Kompas Cyber|website=KOMPAS.com|access-date=2017-12-10}}</ref> Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang [[Eropa]] pasca-[[Perang Dunia I]].<ref name=":0" /> Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan [[ideologi]] berbeda, yakni [[Vladimir Lenin]] (dari 1903 sampai 1917)<ref name=":2">http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|title=Lenin: 1914/self-det: 1. WHAT IS MEANT BY THE SELF-DETERMINATION OF NATIONS?|last=Lenin|first=V.I.|website=www.marxists.org|access-date=2017-12-07}}</ref> dan presiden [[Woodrow Wilson]] (pada 1918)<ref name=":2" />.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|title=SELF-DETERMINATION, INTERNATIONAL SOCIETY AND WORLD ORDER - [2003] MqLJ 3; (2003) 3 Macquarie Law Journal 29|website=www.austlii.edu.au|access-date=2017-12-06}}</ref> Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, [[14 Pokok Wilson]] menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,<ref name=":11">{{Cite journal|title=Self|url=http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|language=en|doi=10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873}}</ref> namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,<ref name=":4">{{Cite news|url=https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|title=Self-Determination Procedures|last=corissajoy|date=2016-07-13|newspaper=Beyond Intractability|language=en|access-date=2017-12-06}}</ref> dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di [[Eropa Tengah]] dan [[Eropa Timur]], dengan di [[Eropa barat]].<ref>Thomas D. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. 1.</ref> Berkembangnya negara-negara moderen di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.<ref name=":1" />▼
▲Istilah ''right to self determination'' atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum [[Timor Timur]] pada tahun 1999 dan perundingan [[Aceh]] yang kemudian melahirkan [[Otonomi Khusus]].<ref name=":12">{{Cite
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik moderen, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.<ref name=":11" /> Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan [[peraturan positif]] Hukum Bangsa-Bangsa ''(Law of Nations'').<ref>Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.</ref> Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”<ref>The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27.</ref>▼
▲Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-02-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20230205230011/https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|dead-url=no}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik
== Varian interpretasi ==
Baris 10 ⟶ 11:
# hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat [[otonomi]] dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
# hak sebuah unit politik di dalam suatu sistem federal seperti [[Kanada]], [[Chechnya]], [[Uni Soviet]], atau [[Yugoslavia]] untuk melepaskan diri dari federasi dan menjadi negara independen yang berdaulat.
Demikian lebarnya pandangan-pandangan berlainan terkait situasi dalam suatu negara menyebabkan sulitnya menemukan definisi yang pasti mengenai hak menentukan nasib sendiri agar bisa digunakan sebagai alat hukum untuk menyelesaikan perselisihan.<ref name=":5" /> Kebingungan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri, yakni bersumber dari kegagalan mendefinisikan pihak yang berhak membuat klaim yang dimaksud dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional- orang perseorangan, kelompok, atau bangsa- dan seperti apa hak tersebut diberikan. Presiden Woodrow Wilson merupakan negarawan yang teridentifikasi paling dekat dengan prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":6">{{Cite web |url=https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2023-05-16 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230516103743/https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |dead-url=no }}</ref> Ia mempertimbangkan penerapan beberapa prinsip untuk mengakhiri perang dan mendasari era baru perdamaian dan keadilan.<ref name=":7">{{Cite news|url=http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|title=What Is Self-Determination? Using History to Understand International Relations|newspaper=E-International Relations|language=en-GB|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-01-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20230130231329/http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|dead-url=no}}</ref> Namun, istilah/prinsip menentukan nasib sendiri itu tidak muncul dalam ‘''Fourteen Points’'' (14 pokok) yang dikemukakannya mengenai hak minoritas di dalam negara yang lebih besar, dan ia juga tidak pernah menyebutkan pendirian negara baru yang independen.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri kemudian terdapat pula dalam [[piagam Atlantik]] dan [[proposal Dumbarton Oaks]].<ref name=":0" />
Menentukan nasib sendiri menjadi resmi secara hukum setelah tahun 1945, ketika prinsip ini dimuat dalam [[Piagam PBB]], meskipun prinsip ini diterapkan untuk negara yang sudah ada, dan bukan untuk kelompok orang atau kelompok bangsa.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri dalam piagam PBB berada dalam konteks pengembangan hubungan persahabatan antar negara-negara dan yang bersinggungan dengan prinsip persamaan hak. Konteks ini jelas berada di luar konteks negara, termasuk di dalamnya wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, sehingga orang/pihak yang dimaksud dalam konteks tersebut tentu belum mencapai pengertian apa yang disebut saat ini dengan [[swapraja]] atau daerah yang berpemerintahan sendiri.<ref name=":5" /> Meski demikian, menentukan nasib sendiri secara cepat berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak, terutama setelah deklarasi tahun 1960, ketika istilah tersebut digunakan untuk menandakan [[dekolonialisasi]]. Pada saat itu, penerapan menentukan nasib sendiri tetap pada wilayah, dan bukan pada kelompok orang.<ref name=":6" /> Dengan berlangsungnya proses dekolonialisasi, prinsip penentuan nasib sendiri yang definisinya dalam Piagam PBB bersifat samar-samar, semakin berkembang menjadi “hak” untuk menentukan nasib sendiri. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada dekade antara 1960 dan 1970 ketika sebagian besar negara jajahan meraih kemerdekaan.<ref name=":5" />
Baris 18 ⟶ 19:
=== Periode pertama ===
Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan [[Amerika Serikat]] dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945. [[John Stuart Mill]], di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi pergerakan nasional pada abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di [[Jerman]] dan [[Italia]]. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemecahan wilayah yang termasuk dalam [[kekaisaran Ottoman]] dan [[kekaisaran Austro-
[[Berkas:The Big Four, Paris peace conference.jpg|jmpl|"Empat Besar" (''the Big Four'') pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, [[David Lloyd George]] dari Inggris, Vittorio Emanuele Orlando dari [[Italia]], [[Georges Clemenceau]] dari [[Prancis]], Woodrow Wilson dari Amerika Serikat)]]
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.<ref name=":1" /><ref name=":7" /> Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.<ref name=":1" /> Namun pada Konferensi Perdamaian Paris (''Paris Peace Conference'') pada tahun 1919, [[kekuatan kolonial]] (''colonial powers'') terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang.<ref name=":7" /><ref>Manela, Erez. The Wilsonian Moment : Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007.</ref> Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip ''[[
[[Berkas:Čuvajte Jugoslaviju.jpg|jmpl|"Jaga/Lindungi Yugoslavia" (''Čuvajte Jugoslaviju''), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang [[Yugoslavia]] menarikan tarian bernama [[kolo]].]]
[[Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia]] (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh ''[[Entente Powers
=== Periode
[[Berkas:Nazi Holocaust by bullets - Jewish mass grave near Zolochiv, west Ukraine.jpg|jmpl|Sisa-sisa korban orang Yahudi setelah dieksekusi peluru oleh Nazi Jerman di dekat Zolochiv, [[Ukrania]] barat]]
Periode
# adanya ketegangan ekonomi dan politik yang menurunkan keinginan [[kekuatan Eropa]] untuk mempertahankan koloni/wilayah jajahan mereka.
# pertempuran [[perang dingin]] yang mengekspos [[kontradiksi]] klaim barat dalam membela kebebasan, tetapi pada saat yang sama mempertahankan kekuasaan di wilayah jajahan mereka.
Baris 36 ⟶ 37:
# kegiatan para aktivis dalam memperjuangkan [[hak asasi manusia]] yang mendapat perhatian luas internasional.
Pada tahun 1945, blok sekutu mengakui adanya dua kelemahan utama dalam konsep menentukan nasib sendiri dari yang diformulasikan setelah Perang Dunia I. Kelemahan pertama ialah norma etnis yang melekat pada konsep menentukan nasib sendiri, dan definisi orang-orang, yang dapat digunakan untuk mendukung praktik-praktik yang tidak boleh dilakukan. Kelemahan kedua ialah kurang terformulasikan dengan jelasnya konsep menentukan nasib sendiri setelah Perang Dunia I, sehingga menyebabkan digunakannya konsep tersebut sebagai instrumentalisasi berbahaya dan menciptakan fenomena yang belum pernah terjadi sebelumnya secara internasional.<ref name=":7" /> Di [[musim semi]] tahun 1945, [[Pihak Sekutu di Perang Dunia II|blok sekutu]] menghadapi tanggung jawab melakukan rekonstruksi pascaperang. Di antara tugas mereka ialah mengutuk dan memberikan penghukuman atas kejahatan sistematik terhadap populasi domestik yang dilakukan atas nama prinsip yang diakui secara internasional, menentukan nasib sendiri. Di dalam konteks yang tengah dihadapi oleh blok sekutu pada saat itu, satu hal yang jelas bagi mereka ialah peninjauan dan formulasi ulang yang harus dilakukan terhadap prinsip menentukan nasib sendiri. Oleh sebab itu, prinsip tersebut kemudian diformalkan dalam [[hukum internasional]] melalui inklusinya di dalam [[piagam PBB]].<ref name=":7" />
[[Berkas:UN charter logo.png|jmpl|Lambang yang ditampilkan di halaman depan Piagam PBB, 26 Juni 1945, yang kemudian diadopsi menjadi bendera PBB]]
Menentukan nasib sendiri di dalam PBB menempati posisi yang lebih penting dibandingkan di dalam organisasi pendahulunya, LBB,<ref name=":8"><nowiki>https://scholarship.law.duke.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=1&article=1957&context=dlj</nowiki>
Dalam proposal Dumbarton Oaks, pada artikel 1(2) dan artikel 55 tidak mengandung referensi apapun mengenai menentukan nasib sendiri. Proposal Dumbarton Oaks sesuai artikel 1(2) dirancang sederhana “untuk mengembangkan hubungan persahabatan di antara bangsa-bangsa dan mengambil langkah dalam memperkuat kedamaian internasional.” Pernyataan “berdasarkan penghormatan terhadap prinsip persamaan hak dan menentukan nasib sendiri orang-orang” ditambahkan untuk pertama kalinya di [[Konferensi San Fransisco]], pada saat empat kekuatan pendukung- [[Tiongkok]], [[Kerajaan Inggris]], Amerika Serikat, dan Uni Soviet- berkumpul.<ref name=":8" /> Disebutkan bahwa Uni Soviet menginisiasi penambahan yang muncul di artikel 1(2) proposal Dumbarton Oaks, yang mengandung referensi untuk “menentukan nasib sendiri orang-orang.” Dalam menjelaskan lingkup konsep tersebut, Tuan [[Molotov]] dilaporkan telah mengatakan dalam sebuah konferensi pers bahwa Uni Soviet “meletakkan kepentingan peringkat pertama” prinsip “persamaan dan menentukan nasib sendiri bangsa-bangsa” yang baru ditambahkan tersebut. Tujuan penambahan tersebut dituduh dapat “menarik perhatian populasi tertentu dari berbagai koloni dan wilayah-wilayah yang dimandatkan,” yang dapat membantu merealisasikan kepentingan mereka dengan segera.<ref name=":8" /><ref>Russell & Muther, A History of the United Nations Charter 810-811 (1958).</ref> Keempat kekuatan pendukung tidak meninggalkan penjelasan definitif mengenai pengertian menentukan nasib sendiri, ataupun konteks dalam kedua artikel yang mencantumkan konsep menentukan nasib sendiri. Namun demikian, komite yang mendiskusikan konsep tersebut telah mengatakan bahwa: berkenaan dengan prinsip menentukan nasib sendiri, ditekankan dengan kuat pada satu sisi bahwa prinsip ini menerangkan keinginan orang-orang dimanapun berada, dan oleh karena itu sudah seharusnya secara jelas disampaikan di dalam isi Bab; di sisi lain, dikatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri sesuai dengan tujuan piagam hanya sejauh apabila prinsip tersebut menyiratkan hak pemerintahan sendiri dari orang-orang, dan bukan hak untuk melepaskan diri (''secession'').<ref name=":8" /><ref>Doc. No. 343, I/1/16, 6 U.N. Conf. Int'l Org. Docs. 296 (1945).</ref>
Pendapat hukum menghasilkan jawaban yang bervariasi atas pertanyaan sifat alami prinsip menentukan nasib sendiri. Beberapa pendapat menyatakan bahwa prinsip menentukan nasib sendiri merepresentasikan sebuah perkembangan baru dalam hukum internasional.<ref name=":8" /><ref>Wright, International Law and the United Nations 49 (1960).</ref> Pendapat lainnya mengatakan bahwa prinsip tersebut tidak berarti lebih daripada deklarasi aturan yang sudah ada dalam hukum internasional.<ref name=":8" /><ref>Lachs, The Law in and of the United Nations, 1 Indian J. Int’l. L. 429, 432 (1961).</ref> Terlepas dari kedua pandangan tersebut, tersisa fakta bahwa menentukan nasib sendiri merupakan bagian dari Piagam PBB dan mempunyai signifikansi hukum yang mendalam terhadap dunia politik moderen.<ref name=":8" />
Transformasi besar terjadi pada tahun 1950an ketika delegasi dari negara dunia ketiga yang telah independen menggunakan PBB sebagai arena politik untuk menegakkan perkara menentukan nasib sendiri untuk orang-orang yang masih berada di bawah pemerintahan kolonial.<ref name=":7" /> Perang dingin turut memberikan dampak pula dengan batas tertentu terhadap proses dekolonialisasi.<ref name=":3" /> Dengan berakhirnya perang dingin, semakin banyak negara yang menagih hak untuk menentukan nasib sendiri, yang berarti mereka menginginkan negara bangsa mereka sendiri, atau beberapa tingkat otonomi di dalam negara bangsa lainnya.<ref name=":4" /> Pergerakan tersebut mengimbangi keinginan negara induk koloni, tetapi tetap memerlukan hingga sepenuh dekade, atau selama keseluruhan periode negosiasi ''UN Covenants on human rights'' (perjanjian PBB mengenai hak asasi manusia) untuk dapat mewujudkannya. Selama dekade tersebut, negara-negara pascakolonial berusaha mencangkok “hak menentukan nasib sendiri” menjadi norma hak asasi manusia.<ref name=":7" /><ref>Reus-Smit, Christian. Individual Rights and the Making of the International System, Cambridge: Cambridge University Press 2013.</ref>
Pada gilirannya, kelompok elit pribumi di dalam koloni mengatur untuk menangkap bahasa [[hak asasi manusia]] dalam menjustifikasi klaim mereka mengenai menentukan nasib sendiri dan persamaan. Pencapaian ini termaktub dalam ''1960 General Assembly’s Resolution 1514'' (resolusi 1514 majelis umum 1960), yang meminta penghentian kolonialisme. Selain permintaan menentukan nasib sendiri dan hak asasi manusia, Resolusi 1514 juga bermuara pada pembentukan serangkaian negara baru di [[Asia]] dan [[Afrika]].<ref name=":7" /> Naskah terkemuka pertama pada era [[Pascakolonialisme (hubungan internasional)|pascakolonialisasi]],<ref name=":5" /> sekaligus dokumen yang paling penting dalam mempromosikan hak untuk menentukan nasib sendiri, dan juga salah satu dokumen yang memberikan indikasi jelas mengenai makna menentukan nasib sendiri selama periode
# menentukan nasib sendiri hanya merujuk pada dekolonialisasi, dengan kolonialisme merupakan satu-satunya bentuk interferensi yang dapat menjamin pengaplikasian prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":3" />
# tidak diterapkan pada orang-orang, tetapi pada wilayah.
Baris 55 ⟶ 56:
# menentukan nasib sendiri tidak mengizinkan penarikan/pemisahan diri; melainkan integritas teritorial dari negara yang sudah ada, dan diasumsikan untuk wilayah jajahan.
[[Berkas:Africa independence dates.svg|jmpl|Tahun kemerdekaan negara-negara Afrika]]
[[Euforia]] umum yang menimbulkan opini publik internasional sedemikian halnya sehingga menandakan tahun 1960 sebagai “tahun Afrika,” tidak terjadi dengan cara yang sama di antara beberapa negara yang baru terbentuk. Ketika negara bekas jajahan menarik batas komunitas politik mereka, diskriminasi
Menentukan nasib sendiri merupakan prinsip yang menyebabkan berakhirnya sejumlah kekaisaran, yang pertama terjadi di Eropa, dan kemudian di wilayah kolonial, selanjutnya pada konstitusi kemerdekaan di berbagai negara.<ref name=":7" /> Untuk beberapa kasus, karena adanya norma tidak campur tangan (''non-interference'') selama perang dingin,<ref name=":7" /><ref>Glanville, Luke. Sovereignty and the Responsibility to Protect: A New History, 2014.</ref> bila kekerasan terjadi setelah kemerdekaan, hal tersebut secara fundamental menjadi masalah domestik. Prinsip menentukan nasib sendiri, meski demikian, terdapat pula dalam artikel pertama perjanjian PBB mengenai Hak Sipil dan Hak Politik tahun 1966- walaupun dokumen tersebut telah dinegosiasi di sepanjang tahun 1950an, dan sekali lagi definisi menentukan nasib sendiri tidak sepenuhnya tepat.<ref name=":7" /><ref>Nowak, Manfred. UN Covenant on Civil and Political Rights : CCPR Commentary. Kehl [u.a.]: Engel, 1993.</ref>
=== Periode
Periode
Pada periode
Sementara waktu perdebatan atas menentukan nasib sendiri dianggap telah berakhir, pemisahan Yugoslavia membawa kembali klaim nasional menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas kepada dunia internasional. Menentukan nasib sendiri pada kasus pemisahan Yugoslavia diformulasikan untuk mengesahkan negara-negara baru, dan juga untuk menjustifikasi praktik pembersihan etnis secara fisik dan administratif.<ref name=":7" /> Meskipun PBB telah mendorong pemerintahan ideal yang tidak bergantung pada etnis setelah Perang Dunia II, etnisitas sebagai kategori identifikasi tidak pernah benar-benar hilang dari [[Balkan]].<ref name=":7" /><ref>Stiks, Igor. “A Laboratory of Citizenship: Nations and Citizenship in the Former Yugoslavia and Its Successor States.” 2009.</ref> Menentukan nasib sendiri mengandung konflik antara dua komponen di dalamnya yang saling bersaing.<ref name=":3" /> Setelah hampir setengah abad, pada kenyataannya, etnisitas tetap menjadi permasalahan yang berkaitan dengan pengakuan politik nasional.<ref name=":7" /> Setelah berakhirnya perang dingin, bentuk disintegrasi merupakan hasil yang diambil untuk kasus menentukan nasib sendiri antara Uni Soviet dan Yugoslavia.<ref name=":3" /> Dengan kematian [[Josip Broz Tito]] pada tahun 1980 dan diikuti dengan krisis yang berakhir dengan pemecahan Yugoslavia, dunia menemukan keberlanjutan klaim menentukan nasib sendiri atas nama etnisitas. Di samping itu, klaim tersebut juga dibuat secara tepat di area dimana pada tahun 1919, para penggagas Konferensi Perdamaian Paris mencoba memberikan jaminan pada proses transisi dari kekaisaran menuju negara-bangsa. Perbedaannya ialah, ketika pada tahun 1990an para pemimpin yang baru memproklamirkan diri menyampaikan klaim menurut perspektif mereka sendiri, sedangkan pada tahun 1919 klaim yang dibuat tidak ditoleransi secara internasional. Dengan kata lain, upaya mengonstitusikan negara-etnis bangsa diterima sebagai suatu penyimpangan dari ide liberal mengenai hak asasi manusia dan status negara yang sah.<ref name=":7" />
[[Berkas:Yugoslavia ethnic map.jpg|jmpl|Map etnik Yugoslavia berdasarkan data sensus 1991]]
Baris 72 ⟶ 73:
== Dalam hukum internasional ==
Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum
[[Berkas:Flag of Quebec.svg|jmpl|Bendera Quebec]]
[[Berkas:Québec, Canada (bleu).svg|jmpl|[[Provinsi Quebec]] ditunjukkan dalam peta Kanada dengan warna biru]]
Baris 90 ⟶ 91:
|dekolonialisasi; eliminasi pemerintah asing (contoh: [[Indonesia]], [[India]], [[Tunisia]])
|-
|Orde
|pemisahan diri oleh satuan federal dalam hubungannya dengan pemerintah pusat (contoh: Slovenia, Kroasia, [[Bosnia dan Herzegovina]], [[Slovakia]], [[Kashmir]], dan [[Quebec]])
|-
|Orde
|satuan unit administratif (contoh: Chechnya, Kosovo, [[Dagestan]])
|-
|Orde
|komunitas atau bangsa asli (contoh: [[Cree]], [[Navajo]], [[Zapatistas]])
|-
Baris 104 ⟶ 105:
|pilihan status kolonial [[Falkland|kepulauan Falkland]]
|-
|Orde
|pilihan [[federalisme]]
|-
|Orde
|pilihan hukum pemerintah menjamin dan melindungi hak atas akses, partisipasi, dan persamaan
|-
|Orde
|pilihan pengaturan [[jaminan fidusia]] diberikan oleh kedaulatan wilayah tradisional, sebagai usaha untuk mempertahankan hak tradisional menyakralkan teritori (termasuk berburu dan mencari ikan) dan cara hidup orang-orang asli dan minoritas
|}
|