Hak menentukan nasib sendiri: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Bot5958 (bicara | kontrib)
k →‎top: Hapus "Halaman all" dari judul di Kompas + genfixes
InternetArchiveBot (bicara | kontrib)
Rescuing 12 sources and tagging 0 as dead.) #IABot (v2.0.9.5
 
(5 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
[[Berkas:Zuid-Molukkers demonstreren bij Indonesische Ambassade in Den Haag tegen schendi, Bestanddeelnr 933-7169.jpg|jmpl|Protes terhadap perlakuan pemerintahan Presiden Soeharto terhadap [[Timor Timur]] di Belanda, 1986.]]
'''Hak menentukan nasib sendiri''' ({{lang-en|right to self-determination}}) adalah hak setiap orang untuk ara bebas menentukan kehendaknya sendiri, khususnya dalam hal prinsip mengenai status [[politik]] dan kebebasan mengejar kemajuan di bidang [[ekonomi]], [[sosial]], serta [[budaya]]. Kepentingan akan menentukan nasib sendiri, oleh sebab itu terletak pada adanya [[kebebasan]] dalam membuat pilihan.<ref name=":0">{{Cite web|url=http://www.unpo.org/article/4957|title=UNPO: Self-determination|website=www.unpo.org|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-06-08|archive-url=https://web.archive.org/web/20230608045316/https://unpo.org/article/4957|dead-url=no}}</ref> Namun demikian, dewasa ini, penggunaan menentukan nasib sendiri lebih mengacu pada hak untuk menentukan nasib politik. Namun dalam acuan tersebut, tidak ada kriteria hukum yang menjelaskan siapa orang/pihak yang dimaksud, atau kelompok mana yang dapat secara sah membuat klaim terhadap hak tersebut dalam kasus tertentu, yang menjadikannya salah satu di antara isu kompleks yang dihadapi para pembuat kebijakan.<ref name=":1">{{Cite web|url=https://web.archive.org/web/20080220083041/http://findarticles.com/p/articles/mi_gx5215/is_2002/ai_n19132482|title=Self-Determination {{!}} Encyclopedia of American Foreign Policy {{!}} Find Articles at BNET.com|date=2008-02-20|access-date=2017-12-06|archive-date=2015-10-16|archive-url=https://web.archive.org/web/20151016041019/http://findarticles.com/p/articles/mi_gx5215/is_2002/ai_n19132482|dead-url=unfit}}</ref>
 
Istilah ''right to self determination'' atau hak untuk menentukan nasib sendiri mendapat perhatian yang cukup besar di Indonesia pada proses penyelesaian konflik yang sangat sensitif, termasuk peristiwa referendum [[Timor Timur]] pada tahun 1999 dan perundingan [[Aceh]] yang kemudian melahirkan [[Otonomi Khusus]].<ref name=":12">{{Cite webnews|url=http://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|title=Hak Menentukan Nasib Sendiri, Alternatif Penyelesaian Konflik Rohingya|last=Media|firstwork=[[Kompas Cyber|website=KOMPAS.com]]|access-date=2017-12-10|editor-last=Sodikin|editor-first=Amir|date=2017-09-01|first=Agus|last=Suntoro|archive-date=2022-08-11|archive-url=https://web.archive.org/web/20220811111608/https://nasional.kompas.com/read/2017/09/01/23091381/hak-menentukan-nasib-sendiri-alternatif-penyelesaian-konflik-rohingya|dead-url=no}}</ref> Pada mulanya prinsip menentukan nasib sendiri merupakan pedoman dalam pembangunan ulang [[Eropa]] pasca-[[Perang Dunia I]].<ref name=":0" /> Ketika sistem Eropa terdahulu mulai hancur setelah berakhirnya Perang Dunia I, prinsip menentukan nasib sendiri mendapat pembelaan dari tokoh internasional yang memiliki landasan [[ideologi]] berbeda, yakni [[Vladimir Lenin]] (dari 1903 sampai 1917)<ref name=":2">{{Cite web |url=http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2023-05-23 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230523012714/http://etheses.lse.ac.uk/923/1/Knudsen_Moments_of_Self-determination.pdf |dead-url=no }}</ref><ref>{{Cite web|url=https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|title=Lenin: 1914/self-det: 1. WHAT IS MEANT BY THE SELF-DETERMINATION OF NATIONS?|last=Lenin|first=V.I.|website=www.marxists.org|access-date=2017-12-07|archive-date=2023-07-28|archive-url=https://web.archive.org/web/20230728192907/https://www.marxists.org/archive/lenin/works/1914/self-det/ch01.htm|dead-url=no}}</ref> dan presiden [[Woodrow Wilson]] (pada 1918)<ref name=":2" />.<ref name=":3">{{Cite web|url=http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|title=SELF-DETERMINATION, INTERNATIONAL SOCIETY AND WORLD ORDER - [2003] MqLJ 3; (2003) 3 Macquarie Law Journal 29|website=www.austlii.edu.au|access-date=2017-12-06|archive-date=2021-02-25|archive-url=https://web.archive.org/web/20210225032516/http://www.austlii.edu.au/au/journals/MqLJ/2003/3.html|dead-url=no}}</ref> Pidato Lenin bersifat lebih universal, meskipun pada akhirnya kurang berpengaruh. Sebaliknya, [[14 Pokok Wilson]] menguraikan sejumlah prinsip berkenaan dengan menentukan nasib sendiri,<ref name=":11">{{Cite journal|title=Self|url=http://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|language=en|doi=10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|access-date=2017-12-07|archive-date=2022-11-27|archive-url=https://web.archive.org/web/20221127092447/https://opil.ouplaw.com/view/10.1093/law:epil/9780199231690/law-9780199231690-e873|dead-url=no}}</ref> namun hanya diterapkan untuk orang-orang Eropa,<ref name=":4">{{Cite news|url=https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|title=Self-Determination Procedures|last=corissajoy|date=2016-07-13|newspaper=Beyond Intractability|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-06-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20230609103926/https://www.beyondintractability.org/essay/self-determination|dead-url=no}}</ref> dimana gagasan menentukan nasib sendiri tersebut berkembang secara berbeda di [[Eropa Tengah]] dan [[Eropa Timur]], dengan di [[Eropa barat]].<ref>Thomas D. Musgrave, Self-Determination and National Minorities (New York: Oxford University Press, 1997), chr. 1.</ref> Berkembangnya negara-negara modern di Eropa, dan meningkatnya kesadaran nasional yang tengah populer di masa itu, meningkatkan status ‘menentukan nasib sendiri’ sebagai prinsip politik.<ref name=":1" />
 
Lingkup prinsip menentukan nasib sendiri dianalisis oleh dua kelompok ahli internasional yang ditunjuk oleh ''League of Nations'' ([[liga bangsa-bangsa]] – LBB) untuk memeriksa kasus [[pulau Aland]], wilayah yang secara budaya dan bahasa termasuk wilayah orang-orang [[Swedia]], dan wilayah tersebut menginginkan kembali bersatu dengan pulau induk Swedia daripada tetap menjadi bagian negara [[Finlandia]] yang baru merdeka dari [[kekaisaran Rusia]] pada Desember 1917.<ref name=":5">{{Cite web|url=https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|title=Legal Aspects of Self-Determination {{!}} Encyclopedia Princetoniensis|website=pesd.princeton.edu|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-02-05|archive-url=https://web.archive.org/web/20230205230011/https://pesd.princeton.edu/?q=node/254|dead-url=no}}</ref> Kelompok ahli yang pertama berpendapat bahwa menentukan nasib sendiri jelas tidak mendapat status hukum internasional karena meskipun prinsip menentukan nasib sendiri berperan penting dalam pandangan politik modern, terutama sejak Perang Dunia I, prinsip ini tidak ditemukan dalam perjanjian LBB.<ref name=":11" /> Pengakuan prinsip menentukan nasib sendiri pada sejumlah perjanjian internasional tertentu tidak dapat dianggap cukup untuk prinsip ini dapat diletakkan pada kaki yang sama dengan [[peraturan positif]] Hukum Bangsa-Bangsa ''(Law of Nations'').<ref>Report of the International Committee of Jurists entrusted by the Council of the League of Nations with the task of giving an advisory opinion upon the legal aspects of the Aaland Islands question, League of Nations Off. J., Spec. Supp. No. 3 (Oct. 1920) at 5.</ref> Kelompok ahli kedua mencapai simpulan yang hampir serupa dengan lingkup menentukan nasib sendiri kelompok pertama, mengistilahkannya sebagai “sebuah prinsip keadilan dan kebebasan yang diekspresikan dalam formula yang samar-samar dan umum, sehingga menimbulkan bermacam-macam interpretasi dan pendapat yang berbeda-beda.”<ref>The Aaland Islands Question, Report presented to the Council of the League by the Commission of Rapporteurs, League of Nations Doc. B.7.21/68/106 (1921) at 27.</ref>
 
== Varian interpretasi ==
Baris 11:
# hak suatu kelompok etnis, bahasa, atau agama untuk mendefinisikan ulang batas-batas wilayah mereka agar memperoleh kedaulatan nasional yang terpisah, atau lebih sederhananya mendapatkan derajat [[otonomi]] dan bahasa atau identitas agama yang lebih besar, di dalam sebuah negara yang berdaulat.
# hak sebuah unit politik di dalam suatu sistem federal seperti [[Kanada]], [[Chechnya]], [[Uni Soviet]], atau [[Yugoslavia]] untuk melepaskan diri dari federasi dan menjadi negara independen yang berdaulat.
Demikian lebarnya pandangan-pandangan berlainan terkait situasi dalam suatu negara menyebabkan sulitnya menemukan definisi yang pasti mengenai hak menentukan nasib sendiri agar bisa digunakan sebagai alat hukum untuk menyelesaikan perselisihan.<ref name=":5" /> Kebingungan mengenai prinsip menentukan nasib sendiri, yakni bersumber dari kegagalan mendefinisikan pihak yang berhak membuat klaim yang dimaksud dalam dokumen-dokumen hak asasi manusia internasional- orang perseorangan, kelompok, atau bangsa- dan seperti apa hak tersebut diberikan. Presiden Woodrow Wilson merupakan negarawan yang teridentifikasi paling dekat dengan prinsip menentukan nasib sendiri.<ref name=":6">{{Cite web |url=https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |title=Salinan arsip |access-date=2017-12-06 |archive-date=2023-05-16 |archive-url=https://web.archive.org/web/20230516103743/https://www.usip.org/sites/default/files/pwks7.pdf |dead-url=no }}</ref> Ia mempertimbangkan penerapan beberapa prinsip untuk mengakhiri perang dan mendasari era baru perdamaian dan keadilan.<ref name=":7">{{Cite news|url=http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|title=What Is Self-Determination? Using History to Understand International Relations|newspaper=E-International Relations|language=en-GB|access-date=2017-12-06|archive-date=2023-01-30|archive-url=https://web.archive.org/web/20230130231329/http://www.e-ir.info/2014/04/17/what-is-self-determination-using-history-to-understand-international-relations/|dead-url=no}}</ref> Namun, istilah/prinsip menentukan nasib sendiri itu tidak muncul dalam ‘''Fourteen Points’'' (14 pokok) yang dikemukakannya mengenai hak minoritas di dalam negara yang lebih besar, dan ia juga tidak pernah menyebutkan pendirian negara baru yang independen.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri kemudian terdapat pula dalam [[piagam Atlantik]] dan [[proposal Dumbarton Oaks]].<ref name=":0" />
 
Menentukan nasib sendiri menjadi resmi secara hukum setelah tahun 1945, ketika prinsip ini dimuat dalam [[Piagam PBB]], meskipun prinsip ini diterapkan untuk negara yang sudah ada, dan bukan untuk kelompok orang atau kelompok bangsa.<ref name=":6" /> Prinsip menentukan nasib sendiri dalam piagam PBB berada dalam konteks pengembangan hubungan persahabatan antar negara-negara dan yang bersinggungan dengan prinsip persamaan hak. Konteks ini jelas berada di luar konteks negara, termasuk di dalamnya wilayah yang tidak memiliki pemerintahan sendiri, sehingga orang/pihak yang dimaksud dalam konteks tersebut tentu belum mencapai pengertian apa yang disebut saat ini dengan [[swapraja]] atau daerah yang berpemerintahan sendiri.<ref name=":5" /> Meski demikian, menentukan nasib sendiri secara cepat berkembang dari sebuah prinsip menjadi sebuah hak, terutama setelah deklarasi tahun 1960, ketika istilah tersebut digunakan untuk menandakan [[dekolonialisasi]]. Pada saat itu, penerapan menentukan nasib sendiri tetap pada wilayah, dan bukan pada kelompok orang.<ref name=":6" /> Dengan berlangsungnya proses dekolonialisasi, prinsip penentuan nasib sendiri yang definisinya dalam Piagam PBB bersifat samar-samar, semakin berkembang menjadi “hak” untuk menentukan nasib sendiri. Perkembangan ini mencapai puncaknya pada dekade antara 1960 dan 1970 ketika sebagian besar negara jajahan meraih kemerdekaan.<ref name=":5" />
Baris 19:
 
=== Periode pertama ===
Periode pertama konsep menentukan nasib sendiri dimulai pada abad ke-19, bertahan hingga zaman pemerintahan [[Amerika Serikat]] dipimpin oleh presiden Woodrow Wilson, dan berakhir pada sekitar tahun 1945. [[John Stuart Mill]], di antara ahli yang lainnya, menyatakan bahwa keterkaitan antara etnisitas; bahasa; dan budaya pada satu sisi, dan status sebagai negara pada sisi lain, merupakan pijakan yang melatarbelakangi pergerakan nasional pada abad ke-19. Namun Hanum berpendapat, pergerakan nasional klasik pada periode tersebut bukanlah untuk memecah suatu kekuasaan, melainkan untuk menggabungkan kelompok-kelompok/bangsa-bangsa, seperti yang terjadi di [[Jerman]] dan [[Italia]]. Menentukan nasib sendiri sebagai kekuatan politik dalam masyarakat internasional merupakan fenomena yang baru muncul sebagai akibat dari perang dunia I, dan akibat pemecahan wilayah yang termasuk dalam [[kekaisaran Ottoman]] dan [[kekaisaran Austro-HongariaHungaria]]. Kelompok-kelompok nasional yang lebih kecil di dalam kekaisaran berkehendak menarik diri dan membagi wilayah mereka. Menentukan nasib sendiri setelah terdisintegrasinya kekaisaran Ottoman dan kekaisaran Austro-HongariaHungaria, dengan demikian, mengambil bentuk berupa pembagian/pemisahan diri daripada penggabungan teritorial.<ref name=":11" /><ref name=":6" />
 
==== Konferensi perdamaian ====
[[Berkas:The Big Four, Paris peace conference.jpg|jmpl|"Empat Besar" (''the Big Four'') pembuat keputusan utama dalam Konferensi Perdamaian Paris (dari kiri ke kanan, [[David Lloyd George]] dari Inggris, Vittorio Emanuele Orlando dari [[Italia]], [[Georges Clemenceau]] dari [[Prancis]], Woodrow Wilson dari Amerika Serikat)]]
Periode pertama setelah perang dunia I ini yang menyebabkan menentukan nasib sendiri menjadi terkemuka secara internasional, dimana prinsip menentukan nasib sendiri suatu bangsa berubah menjadi hak suatu bangsa untuk mendapatkan kemerdekaan.<ref name=":1" /><ref name=":7" /> Oleh sebab itu, dalam istilah umum, prinsip ini disederhanakan menjadi suatu kepercayaan bahwa setiap bangsa mempunyai hak untuk membuat negara sendiri dan menentukan pemerintahan mereka sendiri.<ref name=":1" /> Namun pada Konferensi Perdamaian Paris (''Paris Peace Conference'') pada tahun 1919, [[kekuatan kolonial]] (''colonial powers'') terlibat dalam sebuah perdebatan yang berujung pada suatu kesimpulan bahwa tidak mungkin menentukan nasib sendiri diberikan kepada semua orang.<ref name=":7" /><ref>Manela, Erez. The Wilsonian Moment : Self-Determination and the International Origins of Anticolonial Nationalism. Oxford; New York: Oxford University Press, 2007.</ref> Perwakilan kekuatan kolonial berpendapat bahwa pada saat itu, orang-orang jajahan harus dikecualikan dari proses karena belum memiliki kedewasaan dalam berpolitik. Menentukan nasib sendiri oleh sebab itu menjadi sebuah prinsip ''[[ad hoc]]'' (khusus) yang dapat diberikan hanya kepada negara-negara yang terkait dengan berakhirnya perang. Dengan demikian, pihak yang dapat menjalankan menentukan nasib sendiri ialah kelompok etnis yang dimobilisasi secara nasional selama abad ke-19 di bawah kekaisaran Austro-HongariaHungaria, [[kekaisaran Jerman]], kekaisaran Ottoman, dan kekaisaran Rusia.<ref name=":7" /> Dengan cepat, menentukan nasib sendiri bergulir menjadi isu [[etnis]]. Pemahaman kedaulatan menjadi berakar pada ide bangsa, dan bangsa secara spesifik terdefinisi menjadi istilah nasional-etnis (''ethno-national''). Selama konferensi perdamaian tersebut diketahui mustahil untuk menetapkan batas negara dari negara-negara yang baru terbentuk pascapemecahan area-area dalam kekaisaran tersebut.<ref name=":7" /> Konstitusi negara-negara baru yang berada di wilayah yang sebelumnya dimiliki oleh kekaisaran Eropa dinyatakan dalam basis persamaan [[warga negara]], dan mereka memiliki hak untuk menentukan nasib sendiri. Tetapi beberapa bulan setelah pembentukan negara secara resmi, otoritas domestik meletakkan prioritas kelompok-kelompok populasi berdasarkan identifikasi etnis masing-masing. Praktik-praktik diskriminasi seperti itu sering kali dibenarkan secara domestik atas nama menentukan nasib sendiri dan toleransi internasional, disebabkan karena formulasi yang ambigu dari prinsip hak minoritas.<ref name=":7" />
 
==== Praktik diskriminasi ====
[[Berkas:Čuvajte Jugoslaviju.jpg|jmpl|"Jaga/Lindungi Yugoslavia" (''Čuvajte Jugoslaviju''), variasi kalimat yang dianggap sebagai kalimat terakhir Raja Aleksander, dalam sebuah ilustrasi orang-orang [[Yugoslavia]] menarikan tarian bernama [[kolo]].]]
[[Kerajaan Serbia, Kroasia dan Slovenia]] (Kerajaan Yugoslavia) merupakan kasus yang menjadi simbol untuk praktik diskriminasi etnis. Terbentuk sehari sebelum Konferensi Perdamaian Paris, dan secara resmi dibentuk berdasarkan persamaan orang-orang yang berada di dalamnya, negara berbentuk kerajaan tersebut diakui oleh ''[[Entente Powers]]'' (aliansi informal) beberapa bulan kemudian dengan penandatanganan [[Perjanjian Saint-Germain-en-Laye (1919)|Perjanjian Saint-Germain]]. Serupa dengan perjanjian lain yang mengakui negara-negara baru antara tahun 1919 dan 1923, dokumen dalam perjanjian Saint-Germain secara simultan mengatur perlakuan terhadap minoritas di dalam Kerajaan.<ref>Djokic, Dejan. Pasic & Trumbic : The Kingdom of Serbs, Croats and Slovenes. London: Haus, 2010.</ref> Penandatanganan perjanjian sebagai persyaratan pengakuan internasional terhadap Kerajaan bersifat kondisional, yakni apabila otoritas nasional kerajaan dapat menjamin bahwa persamaan individu dalam pemerintahan, dan pengakuan kelompok etnis yang berbeda dapat dihormati. Namun demikian, sementara delegasi nasional mendeklarasikan bahwa kerajaan tersebut seperti halnya terdiri dari satu orang, tetapi dengan tiga nama- [[Serbia]], [[Kroasia]], dan [[Slovenia]]- sensus terakhir yang dilakukan [[Austro-HongariaHungaria]] pada tahun 1910 mengindikasikan bahwa di daerah yang termasuk wilayah negara baru tersebut, sekurangnya terdapat sembilan kelompok etnis berbeda yang hidup berdampingan disana.<ref name=":7" /> Setelah perpanjangan diskusi dalam konferensi perdamaian tersebut, pada akhirnya diputuskan bahwa empat minoritas diakui secara internasional, yaitu: orang-orang [[Bulgaria]], orang-orang [[Austria]], orang-orang [[HongariaHungaria]], dan “orang-orang [[Muslim]],” meski tetap tidak ada kejelasan mengenai bagaimana hasil seleksi itu dibuat.<ref name=":7" /> Hasil langsung pengakuan politik yang tidak seimbang itu berdampak pada sering dikecualikannya pihak minoritas yang tidak diakui secara internasional, dari keikutsertaan penuh mereka dalam komunitas politik nasional.<ref name=":7" /> Konferensi Perdamaian Paris hanya menciptakan lebih banyak subkelompok yang tidak diberikan negara mereka sendiri, dan secara formal hanya diberikan jaminan untuk menjaga budaya mereka. Pemenang Perang Dunia I mensyaratkan negara-negara baru di Eropa Tengah dan Eropa Timur menerima kondisi tersebut agar dapat diakui, tetapi menolak untuk menerima kewajiban tersebut untuk diri mereka sendiri.<ref name=":4" /> Terobsesi oleh ide keseragaman nasional, negara-negara yang terbentuk setelah pemecahan kekaisaran itu mendirikan administrasi pemerintahan terpusat, dan melakukan [[denasionalisasi]] atau penghilangan hak kebangsaan terhadap orang-orang [[minoritas]].<ref>Claude, Inis. National Minorities an International Problem,. Cambridge: Harvard University Press, 1955.</ref> Selain itu, sebagaimana sejumlah [[petisi]] diterima oleh [[Liga Bangsa-Bangsa]] sejak tahun 1920an, praktik denasionalisasi tersebut sering kali disertai dengan penggunaan [[kekerasan]] oleh [[negara]] dan [[otoritas lokal]] sebagai bentuk [[intimidasi]]. Praktik-praktik diskriminasi telah dijadikan instrumen oleh pihak otoritas negara, dengan mengatasnamakan menentukan nasib sendiri dan hak minoritas.<ref name=":7" />
 
=== Periode kedua ===
Baris 73:
 
== Dalam hukum internasional ==
Menentukan nasib sendiri dalam hukum internasional mengambil dua bentuk. Satu bagian yakni mengembangkan hukum hak asasi manusia, yang disebutkan dalam gagasan memberikan kepada setiap individu kendali yang lebih besar atas kehidupan mereka. Bagian lainnya, yaitu bagian yang lebih mengundang perdebatan, melibatkan kelompok yang membuat klaim untuk mendirikan negara independen yang berkedaulatan.<ref name=":4" /><ref name=":9">Richard Falk, Self-Determination Under International Law: The Coherence of Doctrine Versus the Incoherence of Experience. In The Self-Determination of Peoples: Community, Nation, and State in an Interdependent World, ed. Wolfgang Danspeckgruber (Boulder: Lynne Rienner Publishers, 2002), 42-3.</ref> Atau dalam gagasan moderen mengenai hak menentukan nasib sendiri diusulkan adanya spektrum atau rentang dimana hak tersebut dapat diterapkan, yang dapat dibedakan menjadi menentukan nasib sendiri internal dan eksternal. Menentukan nasib sendiri internal mengacu pada variasi hak politik dan sosial, dan menentukan nasib sendiri eksternal mengacu pada kemerdekaan hukum penuh atau pemisahan diri untuk segolongan orang dari segi politik-hukum (''politico-legal'') yang lebih besar, misalnya negara.<ref>{{Cite web|url=https://www.law.cornell.edu/wex/self_determination_international_law|title=Self determination (international law)|last=Mamlyuk|first=Boris|date=2010-04-04|website=LII / Legal Information Institute|language=en|access-date=2017-12-06|archive-date=2017-09-06|archive-url=https://web.archive.org/web/20170906153402/https://www.law.cornell.edu/wex/self_determination_international_law|dead-url=no}}</ref> Namun demikian, klaim mendirikan negara dengan dalil menentukan nasib sendiri seperti yang diakui pada era 1960an, ditafsirkan sebagai hak menentukan nasib sendiri bagi wilayah kolonial untuk merdeka, atau menggunakan status lain yang mereka pilih atau inginkan. Etnis atau kelompok yang berbeda di dalam koloni tidak mempunyai hak untuk memisahkan diri dari orang-orang di wilayah yang sama dengan mereka secara keseluruhan.<ref name=":5" /> Hak untuk menentukan nasib sendiri terpisah dari hak untuk melepaskan diri dan membentuk negara merdeka, sebagaimana tidak ada hak untuk membentuk negara baru yang tercantum di dalam hukum internasional.<ref name=":6" />
[[Berkas:Flag of Quebec.svg|jmpl|Bendera Quebec]]
[[Berkas:Québec, Canada (bleu).svg|jmpl|[[Provinsi Quebec]] ditunjukkan dalam peta Kanada dengan warna biru]]