Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi
Konten dihapus Konten ditambahkan
(45 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan) | |||
Baris 1:
{{technical}}
[[Berkas:Religions.svg|jmpl|211x211px|Pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69}}).]]
'''Perenialisme agama''' adalah sebuah sudut pandang dalam [[filsafat agama]] yang meyakini bahwa setiap [[agama]] di dunia memiliki suatu kebenaran yang tunggal dan universal, serta menjadi dasar bagi semua pengetahuan dan doktrin religius. Gagasan ini sudah ada sejak zaman kuno dan dapat ditemui dalam berbagai agama dan filsafat dunia. Namun, sudut pandang gagasan tersebut bertentangan dengan [[saintisme]] dalam masyarakat [[sekuler]] modern. Istilah ''philosophia perennis'' (filsafat perenial) sendiri pertama kali digunakan oleh [[Agostino Steuco]] (1497–1548), yang mendasarkannya dari tradisi filosofis sebelumnya, yaitu dari [[Marsilio Ficino]] dan [[Giovanni Pico della Mirandola]].{{sfnp|Schmitt|1966||p=507|ps=}} Pada akhir abad ke-19, gagasan ini dipopulerkan oleh pemimpin masyarakat teosofis seperti [[H.P. Blavatsky]] dan [[Annie Besant]] dengan nama "kebijaksanaan agama" atau "kebijaksanaan kuno". Selanjutnya, gagasan ini dipopulerkan oleh [[Aldous Huxley]] pada abad ke-20 melalui bukunya berjudul ''The Perennial Philosophy'', serta juga tulisan dari para pemikir yang saat ini dikenal dengan nama mazhab tradisionalis.{{sfnp|Blavatsky|1997||p=7|ps=}}
[[Filsafat perenial]] ([[bahasa Latin]]: ''philosophia perennis'') dalam definisi teknisnya adalah pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada. [[Frithjof Schuon]] mengatakan “''The timeless metaphysical truth underlying the diverse religion, whose written source are the revealed scriptures as well as writtings of the great spiritual masters''”. Definisi yang lebih jelas dikemukakan oleh [[Aldous Huxley]], yang menyebutkan bahwa filsafat perenial adalah [[metafisika]] yang memperlihatkan suatu hakikat kenyataan ilahi dalam segala sesuatu, yaitu [[kehidupan]] dan [[pikiran]]; suatu [[psikologi]] yang memperlihatkan adanya sesuatu di dalam jiwa manusia identik dengan kenyataan illahi itu; serta [[etika]] yang meletakkan tujuan akhir manusia dalam pengetahuan yang bersifat [[imanen]] maupun [[transenden]] mengenai seluruh [[Keberadaan|eksistensi]]. Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.▼
==
▲
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam tradisi [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]]. Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua [[agama]] muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|69–70|p=75|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam [[filsafat agama]] yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>▼
Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}}[[Berkas:Encyclopedia of Religion.JPG|jmpl|211x211px|Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70}}).]]
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena [[pluralisme agama]] secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman. Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}▼
▲Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam
▲Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena [[pluralisme agama]] secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}} Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}
Keseluruhan ekspresi yang ditampilkan tidak menjadi sebuah [[paradigma]] tertutup, tetapi tetap terintegrasi dengan realitas yang menjamin keterkaitan antara berbagai aspek yang membentuk pluralitas. Dengan demikian, keberadaan setiap bagian dalam dirinya sendiri adalah sebuah keseluruhan yang membentuk suatu lingkaran yang tidak akan putus dan diilhami oleh Yang Kudus.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}
==
Semua agama bersifat parsial karena lahir dari konteks dan tradisi tertentu. Bentuk-bentuk agama apa pun tidak pernah mencapai
Marginalisasi agama juga disebabkan oleh cara pandang agama secara tekstual dan literer yang statis dan kaku, serta cenderung membuat para pengikutnya resisten terhadap berbagai perubahan sosial yang terjadi. Menurut kaum perenialis, filsafat ini membahas autensitas subtansi keberadaan agama yang bersumber dari realitas absolut dan yang berproses dalam kesadaran akal budi manusia yang historis. Psikologi primordial yang dimiliki manusia ini menginisiasi keterbukaan imanen
Dalam kaitannya dengan pengalaman beragama, doktrin
Setiap orang beragama
== Hakikat ==
▲Setiap orang beragama mesti memiliki cara pandang agama secara kontekstual yang bersifat adaptif dan responsif terhadap perkembangan sosial tanpa merelatifkan nilai-nilai luhur agama yang dianut. Psikologi primordialini menuntut tugas dan tanggung jawab dari manusia untuk mengakui manusia lain sebagai tuntutan etis yang mesti ada dalam setiap manusia.
Pengetahuan filsafat ini merekonstruksi seluruh eksistensi yang ada di alam semesta dengan realitas absolut.<ref>{{Cite web|last=Nurchaliza|first=Angelina|date=19 April 2021|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://kabardamai.id/perenialisme-agama-agama-2/|website=Kabar Damai|access-date=5 Juli 2021}}</ref> Hal ini dikarenakan kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta pada dasarnya bersumber dari realitas ilahi.{{sfnp|Fuller|2010||p=156–158|ps=}} Sejak era [[Plotinos|Plotinus]], dalam bukunya berjudul ''The Six Eneals'', realisasi pengetahuan dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui ''soul/spirit'' (intelek), yang "jalannya" pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan
Contoh yang dapat
▲Pengetahuan filsafat ini merekonstruksi seluruh eksistensi yang ada di alam semesta dengan realitas absolut.<ref>{{Cite web|last=Nurchaliza|first=Angelina|date=19 April 2021|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://kabardamai.id/perenialisme-agama-agama-2/|website=Kabar Damai|access-date=5 Juli 2021}}</ref> Hal ini dikarenakan kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta pada dasarnya bersumber dari realitas ilahi. Sejak era [[Plotinos|Plotinus]], dalam bukunya berjudul ''The Six Eneals'', realisasi pengetahuan dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui ''soul/spirit'' (intelek), yang "jalannya" pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perennial ini sebagai bersumber dari Tuhan. Dasar-dasar teoritis pengetahuan tersebut, ada dalam setiap tradisi keagamaan yang otentik yang dikenal dengan berbagai konsep.
[[Berkas:Religion collage updated.jpg|jmpl|211x211px|Hakikat dari agama perenial adalah "mengikatkan manusia dengan Tuhannya". Kata ini sebenarnya biasa dan kerap didengar, tetapi menjadi verbal karena tidak adanya kesadaran perenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah demi kebajikannya sendiri ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=72}}).]]
▲Contoh yang dapat kita paparkan, dalam agama Hindu disebut Sanathana Dharma, yaitu kebijakan abadi yang harus menjadi dasar kontektualisasi agama dalam situasi apapun, sehingga agama senantiasa memanifestasikan diri dalam bentuk etis, dalam keluhuran hidup manusia. Pun dalam Taoisme, diperkenalkan konsep Tao, sebagai asas kehidupan manusia yang harus diikuti kalau ia mau alami sebagai manusia. Di Tiongkok, misalnya Taoisme berusaha mengajak manusia untuk berpaling dari dunia kepada Tao (jalan) yang dapat membawa manusia kepada penyucian jiwa dan kesalehan dalam bahasa Islam. Dengan Tao manusia dibawa kepada jati diri yang asli, yang hanya dapat dicapai dengan sikap wu-wei (tidak mencampuri) jalan semesta yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, Tao mengajak manusia untuk hidup secara alami (suci), yang dalam Islam dikenal dengan istilah fitrah. Begitu pun dalam agama Budha, diperkenalkan konsep Dharma yang merupakan jara untuk sampai kepada The Buddha-nature, atau dalam agama Islam disebut al-Din, yang berarti “ikatan’ yang harus menjadi dasar beragama bagi seorang Muslim. Inilah yang dalam filsafat abad pertengahan diistilahkan dengan sophia perennis, dan sebagainya.
Dengan demikian,
▲Oleh karena itu, jika disebut perennial religion, itu artinya ada hakikat yang sama dalam setiap agama, yang dalam istilah sufi kerap diistilahkan dengan religion of the heart, meskipun terbungkus dalam wadah/jalan yang berbeda. Ini sejalan dengan apa yang dikatakan Sri Ramakrisna, seorang suci dan filsuf India abad ke-19 bahwa, “Tuhan telah menciptakan berbagai agama untuk kepentingan berbagai pemeluk, berbagai waktu dan berbagai negeri. Semua ajaran merupakan jalan . sesungguhnya seseorang akan mencapai Tuhan, jika ia mengikuti jalan manapun, asal dengan pengabdian yang sepenuh-penuhnya.”
▲Dengan demikian, hakekat dari gama perennial adalah, “mengikatkan manusia dengan Tuhannya.” Kata ini sebetulnya biasa dan kerap didengar. Tetapi, sebagaimana diuraikan Rahman, karena tidak adanya kesadaran perennial, ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah, demi kebiakannya sendiri. Religion, yang berasal dari kata religio, yang berarti to bind with God. Istilah ini, hakikatnya mengatasi aspek institusional dari agama termasuk komunitas, sistem simbol, ritus pengalaman religious, dan sebagainya yang kini telah menjadi arti sempit dari agama itu sendiri, (BMR, 2001:88).
▲Berangkat dari pemahaman di atas, memungkinkan kita untuk mencapai: kesatuan transenden agama-agama” atau istilah asli yang digunakan Frithjof Schuon adalah The Transcendent Unity of Religion. Namun, yang mesti kita pahami pula, bahwa kesatuan agama-agama ini hanya berada pada level “esoterik” dalam bahasa Huston Smith, “esensial” dalam istilah Baghavas Das, atau “transenden” istilah yang digunakan oleh Schuon dan Seyyed Hossein Nasr, selain oleh pengikut setia filsafat perennial sendiri. Oleh karena itu, kesatuan agama-agama tidak terjalin pada ranah eksoterisme (lahitiah). Inilah yang kerap disalahpahami oleh kalangan atau kelompok yang selalu mengkritik konsep pluralisme agama yang dipahaminya sebagai kesamaan atau penyamaan agama-agama, termasuk dalam hal ajaran, syariat, atau ritualnya. Jadi, yang menandakan adanya kesatuan agama-agama itu “hanya’ pada level esensi atau subtansi ajaran, bukan pada level tata cara ibadah, syariat, atau manhaj dalam berteologi.
* Pertama, meskipun ada berbagai macam cahaya (merah, kuning, hijau, hitam, dan sebagainya),
▲Mari kita simak metapor yang tepat untuk menggambarkan kesatuan agama-agama yang kerap digunakan oleh kaum perennialis. Jika esoterisme adalah cahaya, sehingga setiap agama menangkap cahaya itu dalam berbagai warna (sebagai agama-agama) dan berbagai “daya terang” ada yang terang biasa, dan ada juga yang redup samar. Tentu ini perumusan doktrin metafisikanya. Tetapi dari sudut pandang filsafat perennial, adanya aneka warna cahaya berikut “daya terangnya” tidaklah penting. Ada dua alasan, sebagaimana dikemukakan Budhy Munawar Racman:
* Kedua,
▲Pertama, meskipun ada berbagai macam cahaya (merah, kuning, hijau, hitam, dan sebagainya), tetapi semua itu tetap dinamakan cahaya. Jadi, kalau agama itu otentik, tetap ada core yang sama. Kesamaan ini ada pada tataran esoterik, bukan pada ranah eksoterik.
Dengan demikian, filsafat
▲Kedua, walaupun cahaya memiliki daya terang yang beragam, tetapi semua cahaya (juga agama) akan mengantarkan manusia pada Sumber Cahaya itu (yakni Tuhan), yang sekalipun ada yang tipis dan remang-remang. Sebab jika ia terus menelusuri cahaya itu, ia akan tetap sampai kepada Sumbernya. “Sampai pada Sumber” inilah yang paling penting dalam agama. Karena itu, hakikat agama adalah Adanya sense of the absolute pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus-menerus adanya “Yang Absolute” pada diri manusia, sehingga ia merasakan terus-menerus adanya “Yang Absolute” pada dirinya. Kehadiran “Yang Absolute” inilah yang senantiasa mengawal manusia berada dalam jalan “kebenaran”-Nya, jalan suci yang diajarkan oleh semua agama.
{{cquote|''Hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam); (sesuai) fitrah Allah disebabkan Dia telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan dalam ciptaan Allah. (Itulah) agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui''
▲Pada arah ini pula, manusia merasakan makna simbolik kehadiran Sang Pemilik Kehidupan. Wujud hakikat agama itu, sejatinya merupakan pengetahuan, sekaligus pula kebijaksanaan. Istilahnya Sopgia, kata orang bijak dari Yunani Kuno; atau spientia menurut istilah orang suci Kristiani abad pertengahan; dan dalam ungkapan tradisi Hindhu; dan al-ma’rifah atau al-hikmah menurut konsep Sufi. Itu sebabnya, hakikat agama kerap disebut sebagai scientia sacra yang berarti pengetahuan suci atau divine knowledge. Pengetahuan ini dialami bukan sekedar diyakini berasal dari “Alam Surgawi,” yang kemudian diturunkan sebagai wahyu dengan berbagai cara/metode. Oleh karena itu, sekali lagi, harmoni (kesatuan agama-agama) berada dalam “langit Illahi” (esoterik, transenden), buka dalam “atmosfir bumi” (ekseteris), yang kerap memantik perdebatan.
––––– Al-Qur'an [[Surah Ar-Rum]] ayat ke-30|}}
Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam, yang selanjutnya membuat kebenaran dan kesesatan menjadi terbuka di lingkup langit kearifan.{{sfnp|Kuswanjono|2006||p=42–44|ps=}} Keduanya mungkin saja terjadi dalam sikap seseorang atau suatu kelompok tertentu yang seakan berada di posisi paling atas, sehingga yang lain diklaim berada di bawah. Secara teoretis, pendekatan perenial memberikan harapan, tetapi belum secara luas dipahami dan diterima, kecuali oleh kalangan terbatas. Pendekatan ini mampu mewarnai cakrawala berpikir seseorang dalam memandang agama di tengah keberadaan agama-agama atau keyakinan milik orang lain.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=74|ps=}}
▲Dengan demikian, filsafat perennial menguraikan keanekaragaman “jalan keagamaan” yang ada dalam kenyataan historis setiap agama, mestinya bisa diterima dengan lapang dada dan toleransi. Sebab pada hakekatnya, ajaran (perennial) Tuhan seperti Tuhan itu sendiri hanya satu, tapi diungkapkan dengan banyak nama dan ajaran yang diturunkan melalui para Nabi dan Rasul. “Yang Satu” ini dalam perspektif parennial adalah “Yang Tidak Berubah,” merupakan pesan dasar dari filsafat parennial, yang dalam terminologi Islam al-din-u ‘l-nashihah (“agama itu pesan/nasihat”). Pesan ini tersurat dalam Q.S, al-Rum (30):30.
== Lihat pula ==
{{Portal|Filsafat}}
* [[
* [[Perenialisme pendidikan]]
* [[Pluralisme agama]]
== Catatan ==
Baris 58 ⟶ 60:
== Rujukan ==
{{reflist|2}}
== Daftar pustaka ==
{{refbegin|2}}
'''Buku'''
* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2011|title=Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-979-4335-89-5|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Armstrong|first=Karen|year=2019|title=Sejarah Tuhan: Kisah Pencarian Tuhan dalam Agama-Agama Manusia|location=Bandung|publisher=Mizan|isbn=978-602-4410-48-3|page=|ref={{sfnref|Armstrong|2019}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Blavatsky|first=Helena Petrovna|year=1997|title=The Key to Theosophy|location=Mumbay|publisher=Theosophy Company|isbn=
978-091-1500-07-3|page=|ref={{sfnref|Blavatsky|1997}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Darwin|date=2015|title=Filsafat dan Cinta yang Menggebu|location=Yogyakarta|publisher=The Phinisi Press|isbn=978-602-7250-62-8|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Darwin|2015}}}}
* {{Cite book|last=Davies|date=2012|title=Membaca Pikiran Tuhan: Dasar-Dasar Ilmiah dalam Dunia yang Rasional|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9483-87-4|pages=|url-status=live|ref={{sfnref|Davies|2012}}|first=Paul}}
Baris 73 ⟶ 77:
* {{Cite book|last=Nurcholish|first=Ahmad|year=2015|title=Agama Cinta: Menyelami Samudra Cinta Agama-Agama|location=Jakarta|publisher=Elex Media Komputindo|isbn=978-602-0265-30-8|page=|ref={{sfnref|Nurcholish|Dja'far|2015}}|url-status=live|last2=Dja'far|first2=Alamsyah Muhammad}}
* {{Cite book|last=Pals|first=Daniel L.|year=2011|title=Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif|location=Yogyakarta|publisher=Ircisod|isbn=978-602-9789-08-9|page=|ref={{sfnref|Pals|2011}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Rachman|first=Budhy Munawar|year=2001|title=Islam Pluralis: Wacana Kesetaraan Kaum Beriman|location=Jakarta|publisher=Raja Grafindo Persada|isbn=978-979-8321-60-3|page=|ref={{sfnref|Rachman|2001}}|url-status=live}}
* {{Cite book|last=Sujarwa|first=|year=2001|title=Manusia dan Fenomena Budaya: Menuju Perspektif Moralitas Agama|location=Yogyakarta|publisher=Pustaka Pelajar|isbn=978-979-9075-69-7|page=|ref={{sfnref|Sujarwa|2001}}|url-status=live}}
'''Buku lama'''
* {{Cite book|last=Hidayat|first=Komaruddin|year=2003|title=Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perenial|location=Jakarta|publisher=Gramedia Pustaka Utama|isbn=|page=|ref={{sfnref|Hidayat|Nafis|2003}}|url-status=live|last2=Nafis|first2=Muhammad Wahyudi}}
* {{Cite book|last=Wora|first=Emanuel|year=2006|title=Perenialisme: Kritik Atas Modernisme dan Postmodernisme|location=Yogyakarta|publisher=Kanisius|isbn=|page=|ref={{sfnref|Wora|2006}}|url-status=live}}
'''Jurnal'''
* {{Cite journal|last=Schmitt|first=Charles B.|year=Desember 1966|title=Perrenial Philosophy: From Agostino Steuco to Leibniz|url=https://www.jstor.org/stable/2708338|journal=Journal of the History of Ideas|volume=27|issue=4|pages=|doi=|issn=0022-5037|ref={{sfnref|Schmitt|1966}}}}
{{refend}}
== Pranala luar ==
* [http://www.worldwisdom.com/public/slideshows/view.aspx?SlideShowID=41 Definisi Filsafat Perenial]
* [https://koran.tempo.co/read/ide/115326/keniscayaan-perenialisme-dan-teologi-baru Keniscayaan Perenialisme dan Teologi Baru]
* [http://www.cutsinger.net/pdf/perennial_philosophy_and_christianity.pdf ''Perennial Philosophy and Christianity'']
* [http://www.jcrt.org/archives/04.3/livingston.pdf ''Religious Pluralism and the Question of Religious Truth in Wilfred C. Smith'']
* [https://web.archive.org/web/20091208001357/http://harmonist.us/2009/05/the-end-of-philosophy/ ''The End of Philosophy'']
{{Authority control}}
Baris 84 ⟶ 103:
[[Kategori:Diskriminasi]]
[[Kategori:Filsafat]]
[[Kategori:
[[Kategori:Sosiologi]]
[[Kategori:Sosiologi agama]]
[[Kategori:Spiritualitas]]
[[Kategori:Teologi]]
[[Kategori:WikiFilsafat]]
|