Perenialisme agama: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
FarhBot (bicara | kontrib)
k Bot: PUEBI ("atmosfir" menjadi "atmosfer")
 
(Satu revisi perantara oleh satu pengguna lainnya tidak ditampilkan)
Baris 7:
 
Diskursus mengenai [[filsafat]] ini kembali mengemuka di [[Indonesia]] sejak 20 tahun terakhir. Sebelumnya, mereka yang pernah mempelajari tema [[filsafat]] di sebuah jurusan filsafat, tidak mengenal materi ini. Kalau toh mengenal, hanya sepintas lalu saja dan tidak secara mendalam dibahasnya. Filsafat ini nyaris tidak pernah diperkenalkan dalam karena merupakan sebuah ''pseudo philosophy'' (filsafat semu), sebagaimana pernah disinggung oleh [[Budhy Munawar Rachman]], sehingga para ahli filsafat pada era modern ini tidak membicarakannya sama sekali dan menjadikannya sebagai sebuah [[Perspektif (visual)|perspektif]]. Filsafat tersebut sebenarnya populer di kalangan [[Zaman Baru]]. Secara metodologis, pandangan perenial membawa harapan terhadap tradisi dialog antarumat beragama karena melalui metode ini diharapkan umat beragama tidak saja menemukan ''transcendent unity of religion'', tetapi juga mendiskusikannya secara lebih mendalam.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}}[[Berkas:Encyclopedia of Religion.JPG|jmpl|211x211px|Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat perenial, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70}}).]]
Secara etimologis, filsafat ini dikenal dengan filsafat perenialisme (bahasa Latin: ''philosophia{{efn|Selain dari teoremanya tentang segitiga siku-siku, banyak yang tahu tentang diri Phytagoras – belakangan para pengikutnya cenderung menisbahkan penemuan mereka sendiri kepada gurunya – tetapi mungkin dialah yang menemukan istilah ''philosophia'', "cinta hikmah". Filosofi bukanlah sebuah disiplin rasional yang dingin, melainkan pencarian spiritual yang akan mengubah pencarinya ({{harvnb|Armstrong|2011|pp=121}}).}} perenialis''), yang berarti "kekal", "selama-lamanya", dan "abadi". Konsep perenial bisa diartikan juga sebagai ''Imago Dei'' (pandangan [[Kekristenan|Kristen]]), ''Dharma'' (dalam agama [[Agama Hindu|Hindu]] dan [[Agama Buddha|Buddha]]), atau ''Tao'' dalam pandangan [[Taoisme]].<ref>{{Cite web|last=I’anati|first=Elivia|date=3 Oktober 2020|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://peacenews.yipci.org/perenialisme-agama-agama/|website=Peace News|access-date=6 Juli 2021|archive-date=2021-07-09|archive-url=https://web.archive.org/web/20210709182955/https://peacenews.yipci.org/perenialisme-agama-agama/|dead-url=yes}}</ref> Filsafat ini berbicara tentang Tuhan, Wujud yang Absolut, dan sumber dari segala wujud. Tuhan Yang Maha Besar adalah satu, sehingga semua agama muncul dari Yang Satu – prinsipnya sama karena datang dari sumber yang sama.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=69–70|ps=}} Filsafat tersebut adalah sebuah sudut pandang dalam filsafat agama yang meyakini bahwa setiap agama di dunia sesungguhnya memiliki suatu kebenaran tunggal dan universal. Filsafat itu juga meyakini bahwa semua pengetahuan dan doktrin religius, apa pun itu dan tanpa kecuali, pasti bermuara kepada titik temu realitas yang satu dan tertinggi.<ref>{{Cite web|last=Portal Informasi Indonesia|date=7 Maret 2019|title=Siwa-Buddha, Sebuah Praktik Filsafat Perenialisme|url=https://indonesia.go.id/ragam/budaya/kebudayaan/siwa-budha-sebuah-praktik-filsafat-perenialisme|website=Portal Informasi Indonesia|access-date=5 Juli 2021}}</ref>
 
Selain itu, filsafat perenial membahas fenomena [[pluralisme agama]] secara kritis dan komprehensif. Filsafat ini menelusuri akar-akar kesadaran religioisitas seseorang atau kelompok melalui simbol-simbol, ritus dan pengalaman keberagaman.{{sfnp|Hidayat |Nafis|2003|p=39–40|ps=}} Elemen-elemen religiositas yang partikular tidak diberi ruang dalam filsafat ini, tetapi perenialisme secara holistik tidak menegasikan keberadaan pluralitas beragama karena agama dalam seluruh dimensinya tetap mempunyai keunikan dan ekspresi yang dihasilkan dalam pengalaman dengan realitas absolut.{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=70|ps=}}
Baris 27:
Pengetahuan filsafat ini merekonstruksi seluruh eksistensi yang ada di alam semesta dengan realitas absolut.<ref>{{Cite web|last=Nurchaliza|first=Angelina|date=19 April 2021|title=Perenialisme Agama-Agama|url=https://kabardamai.id/perenialisme-agama-agama-2/|website=Kabar Damai|access-date=5 Juli 2021}}</ref> Hal ini dikarenakan kehidupan manusia dan keberadaan alam semesta pada dasarnya bersumber dari realitas ilahi.{{sfnp|Fuller|2010||p=156–158|ps=}} Sejak era [[Plotinos|Plotinus]], dalam bukunya berjudul ''The Six Eneals'', realisasi pengetahuan dalam diri manusia hanya bisa dicapai melalui ''soul/spirit'' (intelek), yang "jalannya" pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritual-ritual, simbol-simbol, dan sarana-sarana yang memang diyakini sepenuhnya oleh kalangan perenial ini sebagai bersumber dari Tuhan.{{sfnp|Fuller|2010||p=155|ps=}} Dasar-dasar teoretis pengetahuan tersebut ada di dalam setiap tradisi keagamaan yang autentik dikenal dengan berbagai [[konsep]].{{sfnp|Rachman|2001||p=86|ps=}}
 
Contoh yang dapat dipaparkan dalam agama Hindu disebut ''Sanathana Dharma'', yaitu kebijakan abadi yang harus menjadi dasar kontektualisasi agama dalam situasi apa pun, sehingga agama senantiasa memanifestasikan diri dalam bentuk etis keluhuran hidup manusia. DemikanDemikian halnya dalam Taoisme, diperkenalkan konsep ''Tao'' sebagai asas kehidupan yang harus diikuti apabila ingin menjadi manusia sesungguhnya. Taoisme di [[Tiongkok]] berusaha mengajak manusia untuk berpaling dari dunia kepada ''Tao'' (jalan) yang dapat membawa manusia kepada penyucian jiwa – dan kesalehan dalam bahasa [[Islam]]. Manusia dengan ''Tao'' dibawa kepada jati diri asli yang hanya dapat dicapai dengan sikap ''wu-wei'' (tidak mencampuri) jalan semesta yang sudah ditetapkan. Dengan demikian, Tao mengajak manusia untuk hidup secara alami atau suci – dalam Islam dikenal dengan istilah [[fitrah]]. Adapun dalam agama Buddha diperkenalkan konsep ''Dharma'' yang merupakan ajaran untuk sampai kepada ''The Buddha-nature –'' dalam Islam disebut ''al-Din'', yang berarti "ikatan" yang harus menjadi dasar beragama bagi seorang [[muslim]]. Hal inilah yang diistilahkan dengan ''philosophia perennis'' pada [[Abad Pertengahan]].{{sfnp|Nurcholish|Dja'far|2015|p=71|ps=}}
 
[[Berkas:Religion collage updated.jpg|jmpl|211x211px|Hakikat dari agama perenial adalah "mengikatkan manusia dengan Tuhannya". Kata ini sebenarnya biasa dan kerap didengar, tetapi menjadi verbal karena tidak adanya kesadaran perenial, padahal hal ini menjadi dasar kehidupan beragama sebagai jalan alamiah demi kebajikannya sendiri ({{harvnb|Nurcholish|Dja'far|2015|p=72}}).]]