Niat jahat genosida: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
EDIT TEKS
 
(30 revisi perantara oleh 4 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 1:
'''Genosida''' ialah Perbuatanperbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, [[ras]], [[Kelompok etnik|kelompok etnis]], kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok; mengakibatkan penderitaan [[fisik]] atau [[Budi|mental]] yang berat terhadap anggota kelompok; menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok; memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.<ref>{{Cite web|last=Widiadsih|first=Kezia Rahmameilani|date=2019-12-02|title=Penuntasan Pelanggaran HAM Yang Terhambat Oleh UU Pengadilan HAM Yang Perlu Direvisi|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/8msxa|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>

== Pengertian Genosida ==
Secara bahasa [[genosida]] berasal dari dua kata “''geno''” dan “''cidium''”. Kata ''geno'' berasal dari bahasa [[Yunani]] yang artinya “ras” sedangkan kata “''cidium''” asal kata dari bahasa Latinlatin yang artinya “membunuh”.<ref>{{Cite journal|last=Rivanie|first=Syarif Saddam|date=2020-09-28|title=Pengadilan Internasional dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme: Tantangan Hukum dan Politik|url=http://dx.doi.org/10.37276/sjih.v2i3.36|journal=Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum|volume=2|issue=3|pages=15–27|doi=10.37276/sjih.v2i3.36|issn=2721-8244}}</ref> Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain akibat [[Konflik|perselisihan]] dari [[Kelompok etnik|etnis]] atau [[budaya]] sering disebut sebagai kejahatan manusia pada [[hukum internasional]] yang mengarah pada perbuatan dalam bentuk [[pembunuhan]] secara massal terhadap [[Siksaan|penyiksaan]] pada anggota tubuh manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal tersebut akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada perbuatan yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini merupakan pembantainpembantaian besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materil ataupun immateril. Hal tersebut disebut sebagai kejahatan genosida. Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu negara.

Pengertian genosida dalam [[Konvensi Genosida|konvensi genosida]] tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok [[bangsa]], [[ras]], [[etnis]] atau [[agama]].<ref>{{Cite journal|last=Ariati|first=Nova|date=2020-11-28|title=KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.36085/jpk.v2i2.1177|journal=Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum|volume=2|issue=2|pages=197–218|doi=10.36085/jpk.v2i2.1177|issn=2622-3724}}</ref> Pandangan lain terkait dengan konsep ''gross violations of human rights'' ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan ''Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines)'' di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam [[Statuta Roma]], yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap [[kemanusiaan]], [[kejahatan perang]] dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.<ref>{{Cite book|last=Crawshaw|first=Ralph|date=9/10/2014|url=http://dx.doi.org/10.1163/ej.9789004164819.i-520.170|title=Essential Texts on Human Rights for the Police|publisher=Martinus Nijhoff Publishers|isbn=978-90-04-16481-9|pages=497–506|url-status=live}}</ref> Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “''gross violations of human rights and fundamental freedoms''” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “''simple''” dan pelanggaran HAM berat atau “''gross''”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.<ref>{{Cite journal|last=Dahniar|first=Dahniar|date=2017-05|title=Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government’s Policy|url=http://dx.doi.org/10.9790/0837-2205011940|journal=IOSR Journal of Humanities and Social Science|volume=22|issue=05|pages=19–40|doi=10.9790/0837-2205011940|issn=2279-0845}}</ref>

Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (''[[International Chamber of Commerce|ICC]]'') dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta [[tradisi]] yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, dimanadi mana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Parthiana|first=Wayan|date=1981-08-02|title=PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol11.no4.858|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=11|issue=4|pages=344|doi=10.21143/jhp.vol11.no4.858|issn=2503-1465}}</ref>
[[Berkas:Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg|al=Gambar. 1|jmpl|Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg]]
 
== Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional ==
Genosida merupakan [[Kejahatan]] [[Internasional]] ''(International Crimes)'' di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).<ref name=":0" /> Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam [[Mahkamah Pidana Internasional]] ''(ICC)'':
 
# ''[[google:definition+of+the+jurisdiction+of+the+court&oq=The+jurisdiction+of+the+Court&aqs=chrome.9.69i57j0i19l3j0i19i22i30l6.14018j0j7&sourceid=chrome&ie=UTF-8|The jurisdiction of the Court]] shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.''
# ''The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of thetCharterhe United Nations.''<ref>{{Cite book|last=Victor.|first=Tsilonis,|date=2019|url=http://worldcat.org/oclc/1162637746|title=The Jurisdiction of the International Criminal Court|publisher=Springer International Publishing|isbn=978-3-030-21526-2|oclc=1162637746}}</ref>
Sesuai dalam jurisdiksi tersebut genosida masuk dalam Kejahatan Internasional. Kejahatan Internasional yang sesuai dalam jurisdisi ini, di antaranya:
# Kejahatan [[apartheid]]genosida;
# Kejahatan terhadap kemanusiaan;
# Kejahatan perang;
# Kejahatan agresi.<ref>{{Cite web|last=Prasetyo|first=Mujiono Hafidh|date=Oktober-November 2020|title=Kejahatan Genosida Dalam Perspektif Hukum Pidana Internasional|url=https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/9075/4630|website=https://ejournal2.undip.ac.id/index.php/gk/article/view/9075/4630|access-date=19/07/2021}}</ref>
Hukum pidana internasional sebagai cabang ilmu baru dalam sejarah perkembangannya tidak terlepas dan bahkan berkaitan erat dengan sejarah perkembangan hak asasi manusia.<ref>{{Cite web|last=Riski Wahyudi|first=Anak Agung Ngurah|date=1 februari 2021|title=Komparasi Penyelesaian Perkara Pidana Kejahatan Genosida yang
Terjadi di Rwanda dan Myanmar Ditinjau Dari Perspektif Hukum
Pidana Internasional|url=https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/31466/17391|website=https://ejournal.undiksha.ac.id/index.php/jkh/article/view/31466/17391|access-date=19/07/2021}}</ref> Kondisi penegakan HAM dari tahun ke tahun masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah, terutama menyangkut kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan. Tegaknya hak asasi manusia tidak dapat dilepaskan dari komitmen dan militansi sejumlah individu dan kelompok yang mendedikasikan hidupnya untuk menyadarkan orang lain akan hak-haknya. Sejauh ini, ketidakberdayaan negara menawarkan jaminan yang efektif terhadap pelanggaran hak asasi manusia telah memberi pelajaran kritis bahwa perjuangan tersebut tidak dapat dilakukan sendiri-sendiri.<ref>{{Cite journal|last=Nawawi|first=Asror|date=2018-08-20|title=KOMNAS HAM: SUATU UPAYA PENEGAKAN HAM DI INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.33019/progresif.v11i1.198|journal=PROGRESIF: Jurnal Hukum|volume=11|issue=1|doi=10.33019/progresif.v11i1.198|issn=2655-2094}}</ref> Hak asasi manusia, yakni hak-hak yang melekat pada manusia berdasarkan kodratnya. Jadi hak-hak yang dimiliki sebagai manusia dan HAM harus dipahami dan dimengerti secara universal. Memerangi atau menentang keuniversalan HAM berarti memerangi dan menentang HAM.<ref>{{Cite journal|last=Suryatni|first=Luh|date=2014-06-03|title=PANCASILA SEBAGAI IDEOLOGI NEGARA DAN HAK ASASI MANUSIA DALAM MENJAGA KEUTUHAN NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.35968/jh.v5i1.101|journal=JURNAL ILMIAH HUKUM DIRGANTARA|volume=5|issue=1|doi=10.35968/jh.v5i1.101|issn=2355-3278}}</ref> Instrument internasional dikenal sebagai Undang-undang HAM (''International Bill of Human Rights'') yang diyakini sebagai standard dan menjadi parameter penegakan hukum HAM di dunia. Hukum HAM internasional terdiri dari kumpulan aturan, prosedur dan lembaga-lembaga internasional yang dikembangkan untuk melaksanakan konsep ini dan memajukan penghormatan terhadap HAM di semua negara di seluruh dunia. Sekalipun hukum HAM internasional memusatkan perhatian pada aturan, prosedur dan lembaga, hukum itu secara khas juga mewajibkan sekurang-kurangnya sedikit pengetahuan dan kepekaan terhadap hukum dalam negara yang terkait dengan negara-negara di mana praktisi hukum mempunyai kepentingan khususnya, hukum nasional mengenai pelaksanaan perjanjian dan kewajiban internasional lain, perilaku hubungan internasional dan perlindungan yang diberikan oleh hukum domestik kepada HAM. Tentunya, sadar dengan eksistensi instrument internasional HAM, maka keterjaminan dan perlindungan HAM bagi masyarakat internasional menjadi agenda bersama, bukan justru didominasi oleh kepentingan sekelompok negara tertentu. Hal inilah yang belum menjelma kuat dalam kebijakan-kebijakan PBB. Peran strategis PBB dalam menciptakan keseimbangan kepentingan hidup dalam lalu lintas kepentingan masyarakat internasional. Penegakan HAM internasional diperankan oleh lembaga-lembaga internasional dan PBB masih menyisakan masalah implementatif yang signifikan.<ref>{{Cite journal|last=Primawardani|first=Yuliana|date=2017-07-27|title=Perlindungan Hak Masyarakat Adat dalam Melakukan Aktivitas Ekonomi, Sosial dan Budaya di Provinsi Maluku|url=http://dx.doi.org/10.30641/ham.2017.8.1-11|journal=Jurnal HAM|volume=8|issue=1|pages=1|doi=10.30641/ham.2017.8.1-11|issn=2579-8553}}</ref> Dalam kerangka hukum HAM internasional, khususnya pendekatan secara tradisional, negara masih merupakan komponen utama yang terlibat dalam proses ratifikasi dan/ atau adopsi terhadap perjanjian-perjanjian HAM internasional. Oleh karenanya melekat tanggungjawab di dalamnya, bahwa negara adalah subyek yang harus memastikan pemenuhan dan perlindungan HAM terhadap warga negara. Dalam konteks ini, ''UN Treaty Bodies'' melalui beragam perjanjian internasional yang mengikat negara-negara pihak, telah mengadopsi tiga kewajiban negara, yakni: pertama, kewajiban untuk melindungi (''obligation to protect''), kedua, kewajiban untuk memajukan (''obligation to promote''), dan ketiga, kewajiban untuk memenuhi (''obligation to fulfill'').
 
# Kewajiban untuk melindungi HAM: negara dalam hal ini pemerintah harus memberikan jaminan perlindungan dan mencegah segala bentuk pelanggaran terhadap hak asasi manusia, baik yang dilakukan oleh negara maupun pelaku dari unsur non-negara, di antaranya massa intoleran, milisi dan / atau perusahaan. Contoh: negara melalui aparatur keamanan memberikan perlindungan terhadap setiap warga negara untuk tidak disiksa, tidak ditangkap dan ditahan secara sewenang-wenang, dll.
# Kewajiban untuk menghormati dan memajukan HAM: negara harus mengeluarkan regulasi, kebijakan ataupun peraturan yang tidak bertentangan dengan nilai, norma dan aturan hukum HAM. Contoh: negara tidak mengeluarkan atau memelihara kebijakan yang diskriminatif, semisal peraturan daerah yang melarang dan mengharamkan agama atau aliran tertentu, dll.
# Kewajiban untuk memenuhi HAM: negara harus melakukan tindakan nyata, yakni dengan mengalokasikan anggaran, menyusun program, dan membuat kebijakan-kebijakan dalam konteks menjamin pemenuhan hak asasi manusia setiap warga negara dapat berjalan dengan baik tanpa gangguan dan ancaman dari pihak manapun. Contoh: negara memberikan atau menyediakan pemulihan (reparasi) bagi setiap warga negara yang menjadi korban atau keluarga korban dari sebuah peristiwa pelanggaran HAM berat.<ref>{{Cite web|last=sitepu|first=Lopiga|date=2019-06-29|title=KASUS PELANGGARAN HAM di INDONESIA YANG MERAJALELA|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/h5jbf|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-19}}</ref>
 
Hal yang membedakan genosida dari kejahatan berat lainnya adalah niat untuk memusnahkan (sebagian atau seluruhnya) kelompok ras, agama, nasional atau etnis. Hal yang membedakan kejahatan genosida adalah ''dolus specialis'' atau sebuah niat khusus untuk memusnahkan, secara keseluruhan ataupun sebagian, sebuah kelompok tertentu. Niat khusus ini yang menaikkan status kejahatan dari sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan menjadi kejahatan genosida, tanpa niat ini maka tidak ada genosida.<ref name=":1">{{Cite journal|last=Sidarto|first=Linawati|date=2015-07-01|title=Dewi Anggreini, Tragedi Mei 1998 dan lahirnya Komnas Perempuan. Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2014, 214 pp. ISBN: 978-979-709-809-4. Price: IDR 63,000 (soft cover).|url=http://dx.doi.org/10.17510/wacana.v16i2.389|journal=Wacana|volume=16|issue=2|pages=513|doi=10.17510/wacana.v16i2.389|issn=2407-6899}}</ref>
 
Genosida mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci (misalnya pembunuhan, kejahatan serius) dan bertujuan untuk menghancurkan, seluruh atau sebagian, bangsa, suku bangsa, ras atau kelompok agama. Kejahatan kemanusiaan mencakup aksi-aksi terlarang yang didaftar secara rinci, dilakukan sebagai bagian dari agresi menyeluruh atau sistematis terhadap setiap warga sipil. Aksi-aksi termasuk pembunuhan, pengusiran, pemerkosaan, perbudakan seksual, penghilangan paksa dan kejahatan apartheid.<ref>{{Cite journal|last=Aziz|first=Sari|date=2017-06-22|title=KEDUDUKAN PRINSIP KOMPLEMENTARITAS MAHKAMAH PIDANA INTERNASIONAL ATAS PEMBERIAN AMNESTI TERHADAP PELAKU KEJAHATAN INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol34.no3.1439|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=34|issue=3|pages=230|doi=10.21143/jhp.vol34.no3.1439|issn=2503-1465}}</ref>
 
PBB akhirnya mengeluarkan sebuah perjanjian sebagai usaha untuk mencegah dan menghukum kejahatan ini. Konvensi tentang pencegahan dan penghukuman kejahatan genosida, dicetuskan pada tanggal 9 Desember 1948, menyatakan bahwa genosida adalah sebuah kejahatan internasional, yang wajib dicegah dan pelakunya wajib dihukum. Pengadilan bagi pelaku genosida dapat dilakukan di negara di mana genosida itu terjadi, atau dalam sebuah pengadilan internasional. Jadi disinilah pertama kali konsep sebuah pengadilan pidana internasional terbentuk. (Dibutuhkan waktu 50 tahun dan ratusan ribu korban kezaliman dan peperangan, sampai akhirnya sebuah kesepakatan tentang mahkamah pidana terbentuk di Roma pada tahun 1998) konvensi ini juga mengkriminalisasi konspirasi untuk melakukan genosida, langsung dan hasutan ''public'' untuk melakukan genosida, percobaan genosida, dan keterlibatan dalam genosida. Negara-negara penanda tangan dapat meminta wewenang dewan keamanan menggunakan kekuatan militer untuk menghentikan genosida yang terjadi di negara lain. Karena kebanyakan negara telah meratifikasi konvensi ini, dan hukumnya telah diterapkan di pengadilan internasional dan domestik, maka konvensi genosida sudah dianggap menjadi bagian dari hukum kebiasaan internasional.<ref name=":1" />
# ''The jurisdiction of the Court shall be limited to the most serious crimes of concern to the international community as a whole. The Court has jurisdiction in accordance with this Statute with respect to the following crimes: (a) The crime of genocide; (b) Crimes against humanity; (c) War crimes; (d) The crime of aggression.''
# ''The Court shall exercise jurisdiction over the crime of aggression once a provision is adopted in accordance with articles 121 and 123 defining the crime and setting out the conditions under which the Court shall exercise jurisdiction with respect to this crime. Such a provision shall be consistent with the relevant provisions of the Charter of the United Nations.''<ref>{{Cite book|last=Victor.|first=Tsilonis,|date=2019|url=http://worldcat.org/oclc/1162637746|title=The Jurisdiction of the International Criminal Court|publisher=Springer International Publishing|isbn=978-3-030-21526-2|oclc=1162637746}}</ref>
 
== Teori Mengenai Kejahatan Genosida ==
Dalam pembahasan tindak kejahatan genosida ini dalam Hukumhukum Internasional menggunakan teori hak asasi manusia dan teori tanggungjawab negara karena genosida merupakan suatu pelanggaran HAM berat di mana negara-negara harus bertanggungjawab melindungi negaranya dari kejahatan tersebut:
 
# Teori Hak Asasi Manusia (HAM): Hak asasi manusia merupakan suatu tanggungjawab yang telah diserahkan dari negara berupa melindungi setiap hak asasi manusia dengan memperioritaskan kesamaan di depan hukum dan keadilan. Menurut [[Satjipto Rahardjo|Satjipto Raharjo]] mengatakan bahwa perlindungan hukum merupakan suatu pengayoman kepada HAM yang telah dirugikan oleh orang lain dan perlindungan tersebut diserahkan kepada masyarakat supaya bisa merasakan seluruh hak-haknya yang sudah diberikan oleh hukum.<ref>{{Cite journal|last=Sujatmoko|first=Andrey|date=2016-10-20|title=Hak atas Pemulihan Korban Pelanggaran Berat HAM di Indonesia dan Kaitannya dengan Prinsip Tanggung Jawab Negara dalam Hukum Internasional|url=http://dx.doi.org/10.22304/pjih.v3n2.a6|journal=PADJADJARAN Jurnal Ilmu Hukum (Journal of Law)|volume=3|issue=2|doi=10.22304/pjih.v3n2.a6|issn=2460-1543}}</ref> Perlindungan ini berhubungan kuat dengan harkat dan martabat manusia berdasarkan pada ketentuan hukum suatu negara. Jadi dapat disimpulkan bahwa perlindungan hukum merupakan hak mutlak yang dimiliki setiap manusia dan sebagai kewajiban bagi pemerintah untuk memenuhinya.
# Teori Tanggungtanggung jawab Negaranegara: Hukum Internasional mengenai tanggungjawab negara merupakan hukum internasional yang berdasar pada hukum kebiasaan internasional.<ref>{{Cite journal|last=Priyatno|first=Dwidja|last2=Aridhayandi|first2=M. Rendi|date=2018-06-07|title=Resensi Buku (Book Review) Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung: PT. Citra Aditya, 2014|url=http://dx.doi.org/10.35194/jhmj.v2i2.36|journal=Jurnal Hukum Mimbar Justitia|volume=2|issue=2|pages=881|doi=10.35194/jhmj.v2i2.36|issn=2580-0906}}</ref> Tanggung jawab negara mempunyai hak dan kewajiban dalam melindungi setiap warga negara yang ada di luar teritorial negaranya.<ref>{{Cite journal|last=Sefriani|first=Sefriani|date=2011|title=KETAATAN MASYARAKAT INTERNASIONAL TERHADAP HUKUM INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTI FILSAFAT HUKUM|url=http://dx.doi.org/10.20885/iustum.vol18.iss3.art6|journal=JURNAL HUKUM IUS QUIA IUSTUM|volume=18|issue=3|pages=405–427|doi=10.20885/iustum.vol18.iss3.art6|issn=0854-8498}}</ref> Secara universal, tanggungjawab negara ini muncul ketika suatu negara melaksanakan hal-hal berupa mengingkari perjanjian internasional, pelanggaran terhadap kedaulatan suatu wilayah negara lain, merusak hak milik atau wilayah negara lain, melakukan kekerasan dengan menggunakan senjata kepada negara lain, merugikan perwakilan diplomatik negara lain, atau melakukan kesalahan dalam memperlakukan warga negara asing.<ref>{{Cite journal|last=Nugraha|first=Satria|date=2019-06-19|title=Tanggung Jawab Negara dalam Penerapan Hukum Humaniter Internasional Studi Kasus Konflik Bersenjata Non-Internasional di Suriah dan Implikasinya Bagi Indonesia|url=http://dx.doi.org/10.29313/aktualita.v2i1.4683|journal=Aktualita (Jurnal Hukum)|volume=2|issue=1|pages=215–232|doi=10.29313/aktualita.v2i1.4683|issn=2620-9098}}</ref> Berkenaan dengan pelanggaran HAM, tanggung jawab negara pada hakikatnya diwujudkan dalam bentuk melakukan penuntutan secara hukum terhadap para pelaku (''bringing to justice the perpetrators'') dan memberikan [[Kompensasi|kompensansi]] atau ganti rugi terhadap korban pelanggaran HAM. Pertanggung jawaban atas perbuatan yang dilakukan individu tanpa melihat jabatan dan kedudukan individu tersebut. Prinsip tanggung jawab negara dan prinsip tanggung jawab pidana secara individual, sekarang ini merupakan prinsip-prinsip yang telah diakui (''recognized'') dalam hukum internasional.
 
== Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional ==
 
=== Metode PenyelesainPenyelesaian Kasus di Lingkup Hukum Internasional ===
Setiap sengketa internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai tersebut berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.<ref>{{Cite journal|last=Gautama|first=Sudargo|date=1978-12-02|title=HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG HIDUP|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol8.no6.808|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=8|issue=6|pages=629|doi=10.21143/jhp.vol8.no6.808|issn=2503-1465}}</ref> Istilah sengketa-sengketa internasional (''international disputes'') mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan [[korporasi]] serta badan-badan bukan negara di lain pihak.<ref>{{Cite journal|last=Johnson|first=D. H. N.|date=1965-10|title=Starke's Studies in International Law. By J. G. Starke. [London: Butterworths. 1965. 174 pp. £1 17s. 6d. net.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.4.1430|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=4|pages=1430–1430|doi=10.1093/iclqaj/14.4.1430|issn=0020-5893}}</ref> Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri negara-negara di jaman dulu.<ref>{{Cite web|last=Puspita|first=Lona|date=2018-12-05|title=MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DITINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/xdfyt|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-17}}</ref>
Dalam hal ini terdapat dua metode penyelesaian:<ref>{{Cite journal|last=Harun|first=Martin|date=2015-10-05|title=Yohanes Bambang Mulyono, Sejarah dan Penafsiran Leksionaris Versi RCL, Jakarta: Grafika KreasIndo, 2014, xv+257 hlm.|url=http://dx.doi.org/10.26551/diskursus.v14i2.53|journal=DISKURSUS - JURNAL FILSAFAT DAN TEOLOGI STF DRIYARKARA|volume=14|issue=2|pages=307–310|doi=10.26551/diskursus.v14i2.53|issn=2580-1686}}</ref>
 
# Penyelesaian dengan damai, ialah ketika pihak yang bersengketa sepakat dengan penyelesaian yang bersahabat. Penanganan kasus secara damai ini dilakukan secara internal oleh negara yang bertanggung jawab dalam sengketa dan dikawal oleh PBB.
# Penyelesaian dengan paksa atau kekerasan, ialah ketika jalan keluar yang diambil dengan menggunakan kekerasan. Solusi penyelesaian ini dilakukan jika penyelesaian secara damai tidak bisa dilakukan sehingga perlu upaya secara paksa atau kekerasan dengan jalur Mahkamah Pidana Internasional.
 
=== Kasus Kejahatan Genosida Terhadap Etnis Rohingnya di Barat Myanmar ===
[[Myanmar]] yang letaknya di kawasan Asia Tenggara, dalam sejarah dinamai dengan [[Burma]], terkhusus di kawasan [[Tentara Penyelamat Rohingya Arakan|Arakan]] secara objektif baru terjawab oleh para sejarawan. Banyaknya kontroversi yang ditimbulkan serta distorsi dikarenakan terdapatnya pengaruh kepentingan kelompok yang kuat. Pelanggaran HAM yang terjadi beberapa bulan yang lalu berkaitan dengan Burma menjadi tranding topik di mana perbuatan diskriminasi terhadap etnis muslim minoritas yang dikenal dengan Etnisetnis Rohingnya memiliki kesamaan juga dalam segi bahasa, agama serta etnis dari [[Bengali (blok Unicode)|Bengali]] yang menetap di kawasan [[Chittagong|Chitaggong]] anggapan banyak yang menyatakan bahwa muslim Bengali yang terletak di Arakan bermukim pada abad-19 dan ke-20 berbarengan dengan datangnya [[Kolonialisme|kolonial]] Inggris. Dari sanalah kemudian sebutan imigran gelap disematkan pada Etnisetnis Rohingnya akibat dari perang kemerdekaan beserta bencana topan tahun 1978 dan 1991, ada yang beranggapan Etnisetnis Rohingnya ingin mengukuhkan status kewarganegaraan mereka sebagai etnis pribumi.
 
Adapun suku terbesar di antaranya [[Burma]], [[Chin]], [[Kachin]], [[Arakan]], [[Shan]], Kayah, [[Mon]], dan Karen di mana para akademisi dan juga pemerintah menetapkan ada 135 suku yang terdapat di Burma meski demikian tidak ada data yang menjelaskan suku minoritas terkait dengan batasan wilayah serta garis keturunannya, sedangkan presentase data kependudukan etnis di Burma, sebagai berikut:
Baris 30 ⟶ 54:
# Serta Etnis Mon, Arakan, Chinn, Kachinn, Karenn, Rohingnya, Kayann, Cina, India, Danuu, Akhaa, Kokang, Lahuu, Nagaa, Palaung, Pao, Tavoyann, dan Waa sekitar 5%.
 
Dimana Etnisetnis Rohingnya yang tinggal di Barat Myanmar tepatnya di kawasan Arakan merupakan orang muslim. [[PBB]] menjelaskan bahwa banyak Etnisetnis Rohingnya yang menerima kekerasan dan diskriminasi termasuk kelompok minoritas yang teraniaya di dunia, dan akhirnya banyak dari etnis ini yang pindah ke tempat lebih aman seperti di kawasan [[Bangladesh]] jiran dan juga Thai Myanmar. Terdapat beberapa reaksi yang timbul dari Etnisetnis Rohingnya yakni tetap menetap di kawasan Myanmar atau menjadi pengungsi di kawasan yang lebih aman, seperti juga telah diketahui bahwasannya kejahatan genosida ini merupakan kejahatan serius yang sifatnnya mendunia karena juga masuk ke lingkup [[International Chamber of Commerce|ICC]] yang mana kejahatan genosida ini mengancam keberadaan suatu etnis bertujuan untuk memusnahkan etnis, agama dan juga ras pada suatu kelompok tertentu.
 
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnisetnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnisetnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hakhak Asasiasasi Manusiamanusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>
Apa yang telah dilakukan pemerintah Myanmar ini terhadap Etnis Rohingnya merupakan suatu tindakan yang melanggar HAM berat. Yang pada akhirnya anggota kelompok Rohingnya yang mencoba bertahan mengalami perlakuan-perlakuan kekerasan yang tidak manusiawi dan terus mengalami penindasan serta tidak diakuinya mereka sebagai penduduk Myanmar, sehingga menciptakan konflik yang besar di negara Myanmar yang melibatkan pemerintah Myanmar dengan Etnis Rohingnya, ini kemudian membuat Etnis Rohingnya mendapat status ''Stateless Person''.
 
==== Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Daridari Perspektif Hukum Pidana Internasional ====
Kejahatan genosida ini sebenarnya sudah lama terjadi yang diawali dengan pembunuhan pada tahun 1938 oleh penduduk penganut Buddha terhadap Etnis Rohingnya, serta penangkapan pada Tahun 1970 secara besar-besaran terhadap Etnis Rohingnya, dan diberlakukannya undang-undang kewarganegaraan pada tahun 1982 secara struktural membuat Etnis Rohingnya menjadi ilegal.
Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional harus diselesaikan melalui badan peradilan apabila secara perdamaian tidak bisa menyelesaikannya. Kejahatan-kejahatan seperti yang termuat dalam ICC yang berhubungan dengan persoalan internasional secara menyeluruh, bisa dihukum. Oleh karena itu pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dinilai sangat penting bagi penuntutan kejahatan internasional di waktu yang akan datang (Iswadi, 2014: 2). Pengaturan Mahkamah Pidana Internasional di dalam Statuta Roma ialah tertuang pada Pasal 125 ayat 2 dan 3, Pasal 126 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 2, Pasal 3 ayat 2.<ref>{{Cite journal|last=Siswanto|first=Heni|date=2016-04-19|title=PEMBANGUNAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGEFEKTIFKAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA KORUPSI|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no1.584|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=9|issue=1|doi=10.25041/fiatjustisia.v9no1.584|issn=2477-6238}}</ref> Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.<ref>{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014-08-03|title=PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088|journal=Yustisia Jurnal Hukum|volume=3|issue=2|doi=10.20961/yustisia.v3i2.11088|issn=2549-0907}}</ref> Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di Negaranegara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan Etnisetnis Muslimmuslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnisetnis Muslimmuslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara [[diplomasi]], apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.<ref>{{Cite web|last=Nugroho|first=Fahry|date=2021-06-07|title=PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/wnhd4|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>
 
=== Kasus konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat ===
Perbuatan-perbuatan deskriminasi ini telah di dapatkan Etnis Rohingnya sejak pada tahun 1938 yang mengakibatkan terbunuhnya 30.000 orang Etnis Rohingnya pada tanggal 26 Juli. Dan terus berulang pada tahun 1942, 1968, 1992, serta puncaknya pada 2012, yang mana pemerintah Myanmar pada tahun 1982 meresmikan UU Burma ''Citizenship Law'' yang mendiskriminasikan Etnis Rohingnya.
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
 
Seperti halnya konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat, kesenjangan perlakuan aparat birokrasi dan aparat hukum terhadap suku asli Dayak dan Suku Madura menimbulkan kekecewaan yang mendalam yang meledak dalam bentuk konflik-konflik horizontal. Masyarakat Dayak yang termarjinalisasi semakin terpinggirkan oleh kebijakan-kebijakan yang diskriminatif yang mengeksploitasi kekayaan alam mereka. Sementara penegakan hukum terhadap salah satu kelompok tidak berjalan sebagaimana mestinya. Kasus yang terjadi ini menunjukkan sulitnya penegakan hukum dan hak asasi manusia di Indonesia.
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak Etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap Etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan Hak Asasi Manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>
 
Dalam berkomunikasi penduduk yang heterogen ini menggunakan bahasa Indonesia atau Melayu sebagai bahasa sehari-hari. Tetapi karena tingkat pendidikan mereka rendah, kebanyakan mereka memakai bahasa daerahnya masing-masing. Dengan demikian seringkali ditemui kesalahpahaman di antara mereka. Terlebih jika umumnya orang Madura berbicara dengan orang Dayak, gaya komunikasi orang Madura yang keras ditangkap oleh orang Dayak sebagai kesombongan dan kekasaran.
=== Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana Internasional ===
Secara umum terdapat dua sarana penyelesaian yang pertama secara litigasi yaitu penyelesaian perkara melalui jalur peradilan atau di depan hakim dan juga yang kedua dengan sarana non-litigasi yang diartikan penyelesaian di luar pengadilan menggunakan bantuan mediator, ini merupakan upaya yang dapat digunakan untuk menyelesaikan perkara secara Internasional yang dihadapi negara-negara yang mengalami sengketa. Penyelesaian perkara dengan jalur non-litigasi yaitu:
 
Orang Dayak yang ramah dan lembut merasa tidak nyaman dengan karakter orang Madura yang tidak menghormati atau menghargai orang Dayak sebagai penduduk lokal yang menghargai hukum adatnya. Hukum adat memegang peranan penting bagi orang Dayak. Tanah yang mereka miliki adalah warisan leluhur yang harus mereka pertahankan. Seringkali mereka terkena tipu daya masyarakat pendatang yang akhirnya berhasil menguasai atau bahkan menyerobot tanah mereka. Perilaku dan tindakan masyarakat pendatang khususnya orang Madura menimbulkan sentimen sendiri bagi orang Dayak yang menganggap mereka sebagai penjarah tanah mereka. Ditambah lagi dengan keberhasilan dan kerja keras orang Madura mengelola tanah dan menjadikan mereka sukses dalam bisnis pertanian.
# Negosiasi, penyelesaian paling umum yang biasa digunakan dalam masyarakat, cukup banyak sengketa yang diselesaikan setiap harinya dengan prosedur alasan utamanya yaitu bahwa dengan proses ini, semua pihak terkait bisa melakukan pengawasam terhadap proses penyelesaian sengketanya dan semua penyelesaian tersebut didasari dengan kesepakatan-kesepakatan dari pihak-pihak yang bersengketa.
# Mediasi, penggunaan perantara pihak ketiga atau seorang mediator. Mediator tersebut bisa berasal dari negara, organisasi internasional seperti PBB, politikus, ahli hukum, dan seorang ilmuwan. Mediator tersebut keikutsertaan secara aktif dalam proses mediasi tersebut, biasanya seorang mediator dengan kewenangannya sebagai pihak yang tidak memihak mengupayakan perdamaian semua pihak dengan memberikan saran untuk menyelesaikan sengketa tersebut.
# Konsiliasi dalam prosesi penyelesaian sengketa yang lebih formal. Yang dilakukan oleh pihak ketiga atau juga komisi yang sengaja dibentuk oleh pihak-pihak yang bersengketa yang disebut juga sebagai komisi konsiliasi, yang juga memiliki fungsi untuk menetapkan syarat penyelesaian sengketa, yang keputusannya tidak mengikat kedua belah pihak.
 
Ketidak cocokan di antara karakter mereka menjadikan hubungan kedua etnis ini mudah menjadi suatu konflik. Ditambah lagi dengan tidak adanya pemahaman dari kedua etnis terhadap latar belakang sosial budaya masing-masing etnis. Kecurigaan dan kebencian membuat hubungan keduanya menjadi tegang dan tidak harmonis.
Kejahatan-kejahatan yang terjadi dalam lingkup internasional harus diselesaikan melalui badan peradilan apabila secara perdamaian tidak bisa menyelesaikannya. Kejahatan-kejahatan seperti yang termuat dalam ICC yang berhubungan dengan persoalan internasional secara menyeluruh, bisa dihukum. Oleh karena itu pembentukan Mahkamah Pidana Internasional yang permanen dinilai sangat penting bagi penuntutan kejahatan internasional di waktu yang akan datang (Iswadi, 2014: 2). Pengaturan Mahkamah Pidana Internasional di dalam Statuta Roma ialah tertuang pada Pasal 125 ayat 2 dan 3, Pasal 126 ayat 1, Pasal 4 ayat 1, Pasal 4 ayat 2, Pasal 3 ayat 2.<ref>{{Cite journal|last=Siswanto|first=Heni|date=2016-04-19|title=PEMBANGUNAN PENEGAKAN HUKUM PIDANA YANG MENGEFEKTIFKAN KORPORASI SEBAGAI SUBJEK TINDAK PIDANA KORUPSI|url=http://dx.doi.org/10.25041/fiatjustisia.v9no1.584|journal=FIAT JUSTISIA:Jurnal Ilmu Hukum|volume=9|issue=1|doi=10.25041/fiatjustisia.v9no1.584|issn=2477-6238}}</ref> Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.<ref>{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014-08-03|title=PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088|journal=Yustisia Jurnal Hukum|volume=3|issue=2|doi=10.20961/yustisia.v3i2.11088|issn=2549-0907}}</ref> Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di Negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan Etnis Muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan Etnis Muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara [[diplomasi]], apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.<ref>{{Cite web|last=Nugroho|first=Fahry|date=2021-06-07|title=PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/wnhd4|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>
 
Ketidak adilan juga dirasakan oleh masyarakat Dayak terhadap aparat keamanan yang tidak berlaku adil terhadap orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum. Permintaan mereka untuk menghukum orang Madura yang melakukan pelanggaran hukum tidak diperhatikan oleh aparat penegak hukum. Hal ini pada akhirnya orang Dayak melakukan kekerasan langsung terhadap orang Madura, yaitu dengan penghancuran dan pembakaran pemukiman orang Madura.<ref>{{Cite web|last=Hadiyanto|first=Alwan|date=2018|title=ANALISA PENYEBAB TERJADINYA KONFLIK HORIZONTAL
DI KALIMANTAN BARAT|url=https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/79/77|website=https://www.journal.unrika.ac.id/index.php/jurnaldms/article/download/79/77|access-date=22/07/2021}}</ref>
 
== Kejahatan Genosida dalam RUU KUHP 2019 ==
Aspek mendasar lain yang perlu ditelusuri dalam RUU KUHP 2019 adalah ketentuan kejahatan genosida yang tertuang pada Pasal 598. Untuk itu, bagian ini didedikasikan untuk menguji ketepatan rumusan redaksi yang telah disediakan dalam ketentuan tersebut. Berbeda halnya dengan awal kelahiran pelanggaran berat HAM lainnya, secara historis praktik kejahatan genosida telah ada bahkan sebelum istilah kejahatan genosida itu diciptakan. Hal ini kemudian mendorong [[Winston Churchill]], mantan Perdana Menteri [[Britania Raya]], mendeskripsikan kejahatan genosida sebagai suatu “kejahatan tanpa nama” atau dikenal dengan istilah “''the crime without a name''”.<ref>{{Cite journal|last=Melson|first=Robert|date=1983-03|title=Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century. By Leo Kuper. (New Haven, Conn.: Yale University Press, 1981. Pp. 255. $15.00.)|url=http://dx.doi.org/10.2307/1956073|journal=American Political Science Review|volume=77|issue=1|pages=243–244|doi=10.2307/1956073|issn=0003-0554}}</ref> Barulah melalui jerih payah advokasi yang dijalankan oleh [[Raphael Lemkin]] kepada perwakilan negara-negara anggota [[Perserikatan Bangsa-Bangsa|PBB]] terhadap kekejian yang dilakukan oleh [[rezim]] [[Nazisme|Nazi]] kepada penduduk [[Yahudi]], kemudian melahirkan istilah yang saat ini dikenal dengan kejahatan genosida (''crimes of genocide'') melalui tulisannya berjudul ''Axis Rule in Occupied Europe'' pada tahun 1944.<ref>{{Cite journal|last=Herz|first=John H.|date=1945-04|title=Axis Rule in Occupied Europe; Laws of Occupation, Analysis of Government, Proposals for Redress. By Raphael Lemkin. (Washington: Carnegie Endowment for International Peace. 1944. Pp. xxxvii, 674.)|url=http://dx.doi.org/10.2307/1949196|journal=American Political Science Review|volume=39|issue=2|pages=366–367|doi=10.2307/1949196|issn=0003-0554}}</ref>
 
== Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RUU KUHP 2019 ==
Saat ini, RUU KUHP 2019 telah merumuskan pengaturan tentang kejahatan genosida tersebut dalam Pasal 598. Kendati demikian, rumusan pasal tersebut masih belum sejalan dengan ketentuan hukum internasional yang ada. Tercatat setidaknya 6 (enam) hal yang perlu dikritisi terkait dengan pengaturan dalam Pasal 598 tersebut Jika menelaah lebih jauh ke dalam rumusan redaksional yang disediakan dalam Pasal 598 tersebut, dapat dipahami bahwa RUU KUHP 2019 mendeskripsikan genosida sebagai tindakan setiap orang yang dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, etnis atau agama.
Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (''customary international law'').<ref name=":2">{{Cite journal|last=van Schaack|first=Beth|date=2012-03-23|title=Crimes against Humanity|url=http://dx.doi.org/10.1093/obo/9780199796953-0048|journal=International Law|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-979695-3}}</ref> Kejahatan yang disebutkan terakhir ini mempunyai sejarah yang panjang dalam peradaban umat manusia. Untuk pertama kalinya, istilah “kejahatan terhadap kemanusiaan” (''crimes against humanity'') dikembangkan sejak Deklarasi St. Petersburg (''St. Petersburg Declaration'') 1868.<ref>{{Cite journal|last=Ford|first=Stuart|date=2007|title=Crimes against Humanity at the Extraordinary Chambers in the Courts of Cambodia: Is a Connection with Armed Conflict Required?|url=http://dx.doi.org/10.5070/p8242022190|journal=UCLA Pacific Basin Law Journal|volume=24|issue=2|doi=10.5070/p8242022190|issn=2169-7728}}</ref> Pemahaman ini dilandaskan pada kenyataan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan merupakan ancaman terbesar bagi kesejahteraan dan keselamatan umat manusia.<ref name=":2" /> Menyongsong abad XXI, konten kejahatan terhadap kemanusiaan telah berevolusi dari yang telah dirumuskan pasca Perang Dunia II melalui Statuta dan yurisprudensi yang dimiliki oleh badan-badan peradilan internasional seperti ICTY, ICTR dan [[ICC]].<ref>{{Cite journal|last=Sadat|first=Leila Nadya|date=2013-04|title=Crimes Against Humanity in the Modern Age|url=http://dx.doi.org/10.5305/amerjintelaw.107.2.0334|journal=American Journal of International Law|volume=107|issue=2|pages=334–377|doi=10.5305/amerjintelaw.107.2.0334|issn=0002-9300}}</ref> Sebagai contoh, Statuta ICTY menegaskan bahwa kejahatan terhadap kemanusiaan yang dapat diadili hanyalah terbatas kepada suatu serangan yang terjadi dalam konteks konflik bersenjata, terlepas dari pengaturan dalam hukum kebiasaan internasional yang mengafirmasi bahwa keterkaitan dengan suatu situasi konflik bersenjata tidak diperlukan dalam mendakwakan pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan.<ref>{{Cite journal|last=Provost|first=René|date=2009-05-05|title=Amicus Curiae Brief on Joint Criminal Enterprise in the Matter of the Co-Prosecutors’ Appeal of the Closing Order Against Kaing Guek Eav “Duch” Dated 8 August 2008|url=http://dx.doi.org/10.1007/s10609-009-9097-x|journal=Criminal Law Forum|volume=20|issue=2-3|pages=331–351|doi=10.1007/s10609-009-9097-x|issn=1046-8374}}</ref>
 
Adapun cara-cara genosida dapat dilakukan oleh pelaku menurut RUU KUHP 2019 adalah dengan cara:
 
# Membunuh anggota kelompok tersebut;
# Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental berat terhadap anggota kelompok;
# Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh maupun sebagian;
# Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah kelahiran dalam kelompok; atau
# Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke kelompok lain.
 
Kepada setiap orang yang melakukan perbuatan-perbuatan, percobaan dan pembantuan terhadap tindak pidana di atas, RUU KUHP 2019 menentukan bahwasanya orang tersebut dapat dihukum dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. Tidak hanya itu, orang tersebut pun dapat dijatuhi pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun. Rumusan ini jelas berbeda dengan rumusan kejahatan genosida yang diatur dalam Pasal 8 UU Pengadilan HAM maupun pada Pasal 6 Statuta Roma. Oleh karenanya, untuk memahami perbedaan rumusan redaksi ketentuan genosida yang disediakan dalam RUU KUHP 2019 dengan kedua instrumen ini,
 
== Kejahatan terhadap Kemanusiaan dalam RUU KUHP 2019 ==
Meskipun telah dikategorisasikan sebagai kejahatan yang paling mengancam umat manusia seperti genosida dan kejahatan perang, namun berdasarkan sejarah kelahirannya terdapat perbedaan mendasar antara kedua kejahatan tersebut dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Kejahatan genosida dan kejahatan perang telah terkodifikasikan dalam hukum internasional melalui suatu perjanjian internasional khusus, sementara kejahatan terhadap kemanusiaan tumbuh dan berkembang dari hukum kebiasaan internasional (''customary international law'').<ref>{{Cite journal|last=van Schaack|first=Beth|date=2012-03-23|title=Crimes against Humanity|url=http://dx.doi.org/10.1093/obo/9780199796953-0048|journal=International Law|publisher=Oxford University Press|isbn=978-0-19-979695-3}}</ref> Dalam RUU KUHP 2019 kejahatan terhadap kemanusiaan ini diatur dalam Pasal 599 yang menyatakan bahwa seseorang dapat dipidana dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) atau 20 (dua puluh) tahun, jika ia melakukan salah satu perbuatan yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistemik yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil berupa:
 
# Pembunuhan;
# Pemusnahan;
# Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa;
# Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain yang melanggar aturan dasar hukum internasional;
# Kejahatan [[apartheid]];
# Perbudakan;
# Penyiksaan;
# Perbuatan tidak manusiawi lainnya yang sama sifatnya yang ditujukan untuk menimbulkan penderitaan yang berat atau luka yang serius pada tubuh atau kesehatan fisik dan mental;
# Persekusi terhadap suatu kelompok atau perkumpulan tertentu yang didasari oleh latar belakang politik, ras, kebangsaan, etnis, budaya, agama, jenis kelamin atau alasan diskriminatif lainnya yang telah diakui secara universal sebagai hal yang dilarang menurut hukum internasional;
# Perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran secara paksa, pemaksaan kehamilan, pemandulan, atau [[sterilisasi]] secara paksa atau bentuk kekerasan seksual lain yang setara;
# Penghilangan orang secara paksa.
 
Rumusan dalam RUU KUHP 2019 sedikit mengalami perbedaan dengan Pasal 8 UU Pengadilan HAM.
 
= Referensi =
<references />
[[Kategori:Pelanggaran Hakhak Asasiasasi Manusiamanusia]]