Niat jahat genosida: Perbedaan antara revisi

Konten dihapus Konten ditambahkan
Annisa Rizkia (bicara | kontrib)
edit teks
 
(3 revisi perantara oleh 3 pengguna tidak ditampilkan)
Baris 2:
 
== Pengertian Genosida ==
Secara bahasa [[genosida]] berasal dari dua kata “''geno''” dan “''cidium''”. Kata ''geno'' berasal dari bahasa [[Yunani]] yang artinya “ras” sedangkan kata “''cidium''” asal kata dari bahasa latin yang artinya “membunuh”.<ref>{{Cite journal|last=Rivanie|first=Syarif Saddam|date=2020-09-28|title=Pengadilan Internasional dalam Memberantas Tindak Pidana Terorisme: Tantangan Hukum dan Politik|url=http://dx.doi.org/10.37276/sjih.v2i3.36|journal=Sovereign: Jurnal Ilmiah Hukum|volume=2|issue=3|pages=15–27|doi=10.37276/sjih.v2i3.36|issn=2721-8244}}</ref> Suatu kejahatan yang dilakukan secara penyerangan terhadap orang lain akibat perselisihan dari [[Kelompok etnik|etnis]] atau [[budaya]] sering disebut sebagai kejahatan manusia pada [[hukum internasional]] yang mengarah pada perbuatan dalam bentuk pembunuhan secara massal terhadap penyiksaan pada anggota tubuh manusia. Dalam hal ini perselisihan akan semakin meningkat dan mengarah pada suatu perbuatan yang lebih agresif dan orang yang melakukan hal tersebut akan semakin melakukannya di luar batas bahkan termasuk pada perbuatan yang berat. Golongan tindakan atau perbuatan yang berat ini merupakan pembantainpembantaian besar-besaran terhadap suatu etnis tertentu yang mengakibatkan banyaknya korban dan kerugian materil ataupun immateril. Hal tersebut disebut sebagai kejahatan genosida. Kejahatan genosida yang berhubungan dengan pemusnahan etnis atau budaya dan juga termasuk pada kejahatan terhadap kelompok politik karena kelompok tersebut sulit diidentifikasi yang akan menyebabkan masalah internasional dalam suatu negara.
 
Pengertian genosida dalam [[Konvensi Genosida|konvensi genosida]] tahun 1948, diartikan sebagai suatu tindakan dengan maksud menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, [[ras]], [[etnis]] atau [[agama]].<ref>{{Cite journal|last=Ariati|first=Nova|date=2020-11-28|title=KEBIJAKAN PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN KEJAHATAN DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.36085/jpk.v2i2.1177|journal=Jurnal Panji Keadilan : Jurnal Ilmiah Nasional Mahasiswa Hukum|volume=2|issue=2|pages=197–218|doi=10.36085/jpk.v2i2.1177|issn=2622-3724}}</ref> Pandangan lain terkait dengan konsep ''gross violations of human rights'' ini diutarakan juga oleh Thomas van Boven ketika perumusan ''Basic Principles and Guidelines on the Right to a Remedy and Reparation for Victims of Gross Violations of International Human Rights Law and Serious Violations of International Humanitarian Law (Remedy Principles and Guidelines)'' di tahun 2005. Menurutnya, kejahatan internasional yang terdaftar dalam [[Statuta Roma]], yakni kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, [[kejahatan perang]] dan kejahatan agresi, patut pula untuk dikategorikan sebagai suatu bentuk pelanggaran berat HAM.<ref>{{Cite book|last=Crawshaw|first=Ralph|date=9/10/2014|url=http://dx.doi.org/10.1163/ej.9789004164819.i-520.170|title=Essential Texts on Human Rights for the Police|publisher=Martinus Nijhoff Publishers|isbn=978-90-04-16481-9|pages=497–506|url-status=live}}</ref> Sementara itu, menurut Dahniar, Adwani, Mujibus salim dan Mahfud, mereka menafsirkan istilah “''gross violations of human rights and fundamental freedoms''” dengan menggolongkan pelanggaran HAM ke dalam 2 (dua) kategori. Adapun kategori yang dimaksud ini adalah pelanggaran HAM biasa atau “''simple''” dan pelanggaran HAM berat atau “''gross''”. Penggolongan jenis-jenis pelanggaran HAM ini sepenuhnya bergantung pada jenis dan ruang lingkup pelanggaran itu sendiri.<ref>{{Cite journal|last=Dahniar|first=Dahniar|date=2017-05|title=Gross Violation of Human Rights in Aceh: Patterns of Violence through the Indonesian Government’s Policy|url=http://dx.doi.org/10.9790/0837-2205011940|journal=IOSR Journal of Humanities and Social Science|volume=22|issue=05|pages=19–40|doi=10.9790/0837-2205011940|issn=2279-0845}}</ref>
 
Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (''[[International Chamber of Commerce|ICC]]'') dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM). Kelompok bangsa dalam pengertian genosida merupakan kelompok yang mempunyai identitas yang berbeda tetapi dalam satu tanah air bersama sedangkan kelompok ras merupakan kelompok yang mempunyai ciri-ciri atau sifat-sifat secara turun temurun. Kelompok etnis sendiri merupakan kelompok yang mempunyai bahasa, kebudayaan serta [[tradisi]] yang sama secara turun temurun dan merupakan warisan bersama. Oleh karena itu dengan membunuh kelompok-kelompok tersebut termasuk dalam elemen-elemen dari kejahatan genosida. Kejahatan genosida sering dikaitkan dengan kejahatan terhadap manusia tetapi apabila dilihat secara mendalam kejahatan genosida berbeda dengan kejahatan terhadap manusia, di mana kejahatan genosida tertuju pada kelompok-kelompok seperti bangsa, ras, etnis ataupun agama sedangkan kejahatan terhadap manusia ditujukan pada warga negara dan penduduk sipil. Kemudian kejahatan genosida ini dapat melenyapkan sebagian atau keseluruhannya sedangkan kejahatan terhadap manusia tidak ada spesifikasi atau syarat dalam hal tersebut.<ref name=":0">{{Cite journal|last=Parthiana|first=Wayan|date=1981-08-02|title=PERJANJIAN INTERNASIONAL TAK TERTULIS DALAM HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol11.no4.858|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=11|issue=4|pages=344|doi=10.21143/jhp.vol11.no4.858|issn=2503-1465}}</ref>
[[Berkas:Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg|al=Gambar. 1|jmpl|Mass grave in Malang, July 1947 Bersiap Killings Chinese killed and burned by Indonesian soldiers (TNI).jpg]]
 
== Tindak Kejahatan Genosida Ditinjau Dalam Hukum Internasional ==
Genosida merupakan [[Kejahatan]] [[Internasional]] ''(International Crimes)'' di mana merupakan suatu pelanggaran hukum yang berat. Pengertian genosida tersebut kemudian tertuang dalam statuta ''Internasional Criminal Court'' (ICC) dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia (UU Pengadilan HAM).<ref name=":0" /> Kejahatan ini merupakan kejahatan yang dinilai paling serius karena melibatkan masyarakat internasional secara keseluruhan yang telah diatur dalam [[Mahkamah Pidana Internasional]] ''(ICC)'':
Baris 40 ⟶ 41:
== Cara Penyelesaian Sengketa Tindak Kejahatan Genosida Secara Hukum Internasional ==
 
=== Metode PenyelesainPenyelesaian Kasus di Lingkup Hukum Internasional ===
Setiap sengketa internasional berdasarkan Pasal 2 ayat (3) Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) harus diselesaikan secara damai. Penyelesaian sengketa secara damai tersebut berdasarkan Pasal 33 Piagam PBB dibedakan menjadi dua, yaitu penyelesaian sengketa di luar pengadilan dan penyelesaian sengketa melalui pengadilan.<ref>{{Cite journal|last=Gautama|first=Sudargo|date=1978-12-02|title=HUKUM PERDATA INTERNASIONAL YANG HIDUP|url=http://dx.doi.org/10.21143/jhp.vol8.no6.808|journal=Jurnal Hukum & Pembangunan|volume=8|issue=6|pages=629|doi=10.21143/jhp.vol8.no6.808|issn=2503-1465}}</ref> Istilah sengketa-sengketa internasional (''international disputes'') mencakup bukan saja sengketa-sengketa antara negara-negara, melainkan juga kasus-kasus lain yang berada dalam lingkup pengaturan hukum internasional yakni beberapa kategori sengketa tertentu antara negara di satu pihak dan individu-individu, badan-badan [[korporasi]] serta badan-badan bukan negara di lain pihak.<ref>{{Cite journal|last=Johnson|first=D. H. N.|date=1965-10|title=Starke's Studies in International Law. By J. G. Starke. [London: Butterworths. 1965. 174 pp. £1 17s. 6d. net.]|url=http://dx.doi.org/10.1093/iclqaj/14.4.1430|journal=International and Comparative Law Quarterly|volume=14|issue=4|pages=1430–1430|doi=10.1093/iclqaj/14.4.1430|issn=0020-5893}}</ref> Peran yang dimainkan hukum internasional dalam penyelesaian sengketa internasional adalah memberikan cara bagaimana para pihak yang bersengketa menyelesaikan sengketanya menurut hukum internasional. Dalam perkembangan awalnya, hukum internasional mengenal dua cara penyelesaian yaitu cara penyelesaian secara damai dan perang (militer). Cara perang untuk menyelesaikan sengketa merupakan cara yang telah diakui dan dipraktekkan lama. Bahkan perang telah juga dijadikan sebagai alat atau instrumen dan kebijakan luar negeri negara-negara di jaman dulu.<ref>{{Cite web|last=Puspita|first=Lona|date=2018-12-05|title=MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA GATT DAN WTO DITINJAU DARI SEGI HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31227/osf.io/xdfyt|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-17}}</ref>
 
Baris 57 ⟶ 58:
Efek dari diresmikannya UU tersebut salah satunya hilangnya hak belajar terhadap anak-anak keturunan Rohingnya, yang membuat banyak anak-anak etnis Rohingnya ini tidak lagi meneruskan pendidikannya dan juga dampak tekanan ekonomi seperti perampasan rumah, tanah, pemusnahan dan pelarangan untuk melakukan perbaikan masjid sebagai tempat peribadahan, mengalami berbagai penyiksaan seperti pembunuhan, pemerkosaan, penindasaan anak-anak, di batasinya perkawinan, serta penyiksaan tanpa bicara dan juga perampasan HAM seperti penghilangan kebebasan beragama dan beribadah dengan dilakukannya pemaksaan-pemaksaan seperti pemaksaan keluar dari agama Islam dan diharuskan menganut ajaran Buddha sampai dengan penggantian masjid dengan pagoda Buddha, hilangnya kebebasan beragama. Ini tentu merupakan perbuatan yang sangat kejam yang dilakukan negeri Myanmar terhadap etnis Rohingnya tidak hanya melakukan perbuatan yang tidak manusiawi tetapi juga menghilangkan hak asasi manusia, maka dari itu harus ada tindakan cepat oleh PBB untuk menangani persoalan-persoalan serius ini agar kasus-kasus demikian tidak terjadi kembali.<ref>{{Cite journal|last=Alit Putra|first=Ketut|last2=Rai Yuliartini|first2=Ni Putu|last3=Sudika Mangku|first3=Dewa Gede|date=2020-09-21|title=ANALISIS TINDAK KEJAHATAN GENOSIDA OLEH MYANMAR KEPADA ETNIS ROHINGNYA DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM PIDANA INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.23887/jatayu.v1i1.28662|journal=Jurnal Komunitas Yustisia|volume=1|issue=1|pages=66|doi=10.23887/jatayu.v1i1.28662|issn=2722-8312}}</ref>
 
==== Upaya Penyelesaian Sengketa Antara Pemerintah Myanmar Dengan Etnis Rohingnya Ditinjau Daridari Perspektif Hukum Pidana Internasional ====
Statuta Roma 1998 merupakan dasar bagi terbentuknya Mahkamah Pidana Internasional yang bertujuan untuk dapat memberikan sebuah kepastian bagi para korban tindak pidana internasional berat, bahwa para pelaku tindak pidana tidak bisa lepas dari pertanggungjawaban pidana atas perbuatannya.<ref>{{Cite journal|last=Kania|first=Dede|date=2014-08-03|title=PIDANA PENJARA DALAM PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA INDONESIA|url=http://dx.doi.org/10.20961/yustisia.v3i2.11088|journal=Yustisia Jurnal Hukum|volume=3|issue=2|doi=10.20961/yustisia.v3i2.11088|issn=2549-0907}}</ref> Upaya penyelesaian sengketa merupakan cara untuk suatu pengadilan dalam rangka menyelesaikan suatu sengketa yang bersengketa di suatu negeri. Di dalam proses ini yaitu upaya penyelesaian sengketa yang terjadi di negara Myanmar antara pemerintah Myanmar dengan etnis muslim Rohingnya. Dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi antara pemerintah Myanmar dan etnis muslim Rohingnya, sesuai dengan Pasal 33 Piagam PBB terlebih dahulu sebaiknya menggunakan cara [[diplomasi]], apabila tidak menemukan titik terang dalam permasalahan ini maka baru beralih dengan menggunakan cara hukum yakni melalui peradilan.<ref>{{Cite web|last=Nugroho|first=Fahry|date=2021-06-07|title=PENYELESAIAN KASUS PELANGGARAN HAK ASASI MANUSIA BERAT TERHADAP ETNIS ROHINGYA DI MYANMAR BERDASARKAN HUKUM INTERNASIONAL|url=http://dx.doi.org/10.31219/osf.io/wnhd4|website=dx.doi.org|access-date=2021-07-13}}</ref>
 
=== Kasus konflik antar etnis yang terjadi di Kalimantan Barat ===
Kerusuhan dan pertikaian yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia menunjukkan antara lain kurangnya kemampuan pemerintah dalam mengatasi penyebab terjadinya konflik sosial antar masyarakat. Konflik muncul dengan menggunakan simbol-simbol etnis, agama, dan ras. Hal ini kemungkinan terjadi akibat adanya akumulasi "tekanan" secara mental, spiritual, politik sosial, budaya dan ekonomi yang dirasakan oleh sebagian masyarakat.
 
Baris 82 ⟶ 83:
= Referensi =
<references />
[[Kategori:Pelanggaran Hakhak Asasiasasi Manusiamanusia]]